2
Dalam suatu penelitian pada tahun 2010 yang berjudul The
Phenomenology of Premenstrual Syndrome in Female Medical Students yang
melibatkan 250 mahasiswa kedokteran di College of Medicine, King Faisal University, Saudi Arabia menunjukkan 35.6 kasus PMS dimana 45 ringan,
32.6 sedang dan 22.4 berat. Terdapat beberapa faktor utama yang mendasari kejadian PMS ini diantaranya adalah usia, faktor lingkungan, menarke pada usia
sangat muda, regularitas haid dan riwayat keluarga yang pernah menderita PMS. Dalam suatu studi yang lain menyatakan gejala PMS sedang sampai berat
mempengaruhi sekitar 8 – 20 wanita pramenopausal yang mengakibatkan beberapa derajat gangguan yang nyata tetapi hanya sedikit faktor resiko yang
dapat diidentifikasi. Kandungan lemak dalam tubuh memberikan pengaruh yang berat melalui interaksinya yang kompleks terhadap faktor hormonal dan
neurokimia, tetapi tidak diketahui apakah kandungan lemak dalam tubuh inilah yang meningkatkan resiko seorang wanita itu mengalami PMS. Dalam studi ini,
sebanyak 1057 wanita usia antara 27 – 44 tahun yang mengalami PMS selama 10 tahun diteliti dan didapatkan bahawa dengan setiap peningkatan 1 kgm
2
dalam indeks massa tubuh IMT akan didapatkan peningkatan sebanyak 3 resiko mengalami PMS. Di situ didapatkan wanita dengan IMT 25.5 kgm
2
mempunyai resiko mengalami PMS lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang dengan IMT 20 kgm
2
Berton-Johnson, 2010.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan data di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara Indeks Massa Tubuh IMT dengan
kejadian Sindroma Pramenstruasi PMS pada mahasiswa Fakultas Kedokteran USU.
3
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Mengidentifikasi hubungan antara Indeks Massa Tubuh IMT dengan Sindroma
Pramenstruasi PMS pada mahasiswa fakultas kedokteran USU.
1.3.2. Tujuan Khusus Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui indeks massa tubuh mahasiswa Fakultas Kedokteran
USU. 2.
Untuk mengetahui keluhan dan gejala PMS pada mahasiswa Fakultas Kedokteran USU.
3. Untuk mengetahui angka kejadian PMS pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran USU.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk penulis dan masyarakat yaitu :
1. Dapat mengetahui angka kejadian PMS pada wanita kelompok umur 20 –
25 tahun. 2.
Memperoleh data mengenai hubungan IMT terhadap kejadian PMS. 3.
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi wanita dengan PMS dan data dasar penelitian berikutnya.
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Menstruasi
2.1.1. Pengertian Menstruasi
Menstruasi adalah pengeluaran darah, mukus, dan debris sel dari mukosa uterus secara berkala. Menstruasi terjadi dalam interval-interval kurang lebih
teratur, siklis, dan dapat diperkirakan waktu-waktunya, sejak menarke sampai menopause kecuali saat hamil, menyusui, anovulasi, atau mengalami intervensi
farmakologis Cunningham, 2005. Haid ialah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai
pelepasan deskuamasi endometrium. Panjang siklus haid ialah jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu dan mulainya haid yang berikutnya. Hari
mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Karena jam mulainya haid tidak diperhitungkan dan tepatnya waktu keluar haid dari ostium uteri eksternum
tidak dapat diketahui, maka panjang siklus mengandung kesalahan ± 1 hari. Panjang siklus haid yang normal atau dianggap siklus haid yang klasik ialah 28
hari, tetapi variasinya cukup luas, bukan saja antara beberapa wanita tetapi juga pada wanita yang sama. Lama haid biasanya antara 3 – 5 hari, ada yang 1 – 2
hari diikuti darah sedikit-sedikit, dan ada yang sampai 7 – 8 hari. Pada setiap wanita biasanya lama haid itu tetap Winkjosastro, 2008.
2.1.2. Siklus Menstruasi
2.1.2.1 Siklus Endometrium Menurut Ganong 2001, Cunningham et al 2005, dan Sherwood
2001, siklus menstruasi endometrium terdiri dari dua fase, yaitu fase proliferatif dan fase sekretorik Cunningham, 2005; Sherwood, 2001; William,
2001. Pada fase proliferatif, di bawah pengaruh estrogen dari folikel yang sedang
tumbuh, ketebalan endometrium cepat meningkat dari hari kelima sampai keempat belas siklus menstruasi. Seiring dengan peningkatan ketebalan,
5
kelenjar-kelenjar uterus tertarik keluar sehingga memanjang tetapi kelenjar- kelenjar tersebut belum berkelok-kelok atau mengeluarkan sekresi. Fase ini juga
disebut fase praovulasi atau folikular Cunningham, 2005; Sherwood, 2001; William, 2001.
Pada fase sekretorik, setelah terjadinya ovulasi, vaskularisasi endometrium menjadi sangat meningkat dan endometrium menjadi agak sembab
di bawah pengaruh estrogen dan progesteron dari korpus luteum. Kelenjar- kelenjar mulai bergelung-gelung dan menggumpar, lalu mulai menyekresikan
cairan jernih. Endometrium diperdarahi oleh dua jenis arteri. Stratum fungsional
dipasok oleh arteri spiralis yang panjang dan berkelok-kelok dan stratum basale diperdarahi oleh arteri basilaris yang pendek dan lurus Cunningham, 2005;
Sherwood, 2001; William, 2001. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum yang
menyekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan kadar estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga
suplai darah ke endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan fungsional terpisah dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai
Cunningham, 2005; Sherwood, 2001; William, 2001.
2.1.2.2 Peran Aksis Hipotalamus - Hipofisis Anterior – Ovarium Ovarium memiliki dua unit endokrin terkait yaitu penghasil estrogen
selama paruh pertama siklus, dan korpus luteum, yang mengeluarkan progesteron dan estrogen selama paruh akhir siklus. Unit-unit ini secara
sekuensial dipicu oleh hubungan hormonal siklis yang rumit antara hipotalamus, hipofisis anterior, dan kedua unit endokrin ovarium Sherwood, 2001.
Fungsi gonad pada wanita secara langsung dikontrol oleh hormon- hormon gonadotropik hipofisis anterior, yaitu follicle-stimulatin hormone FSH
dan luteinizing hormone LH. Kedua hormon ini pada gilirannya diatur oleh gonadotropin-releasing hormone GnRH dari hipotalamus yang sekresinya
6
pulsatif serta efek umpan-balik hormon-hormon gonad Sherwood, 2001; William, 2001.
Selama fase folikel, folikel ovarium mengeluarkan estrogen di bawah pengaruh FSH, LH dan estrogen itu sendiri. Kadar estrogen yang rendah tetapi
tetap terus meningkat tersebut pertama menghambat sekresi FSH, yang menurun selama bagian terakhir fase folikel, dan kedua secara inkomplit menekan sekresi
LH, yang terus meningkat selama fase folikel. Pada saat pengeluaran estrogen mencapai puncaknya, kadar estrogen yang tinggi itu akan memicu lonjakan
sekresi LH pada pertengahan siklus. Lonjakan LH ini menyebabkan ovulasi folikel yang matang. Sekresi estrogen merosot sewaktu folikel mati pada ovulasi
Sherwood, 2001. Sel-sel folikel lama diubah menjadi korpus luteum, yang mengeluarkan
progesteron serta estrogen selama fase luteal. Progesteron sangat menghambat FSH dan LH, yang terus menurun selama fase luteal. Korpus luteum bergenerasi
dalam waktu sekitar dua minggu apabila ovum yang dikeluarkan tidak dibuahi atau tertanam di uterus. Kadar progesteron dan estrogen menurun secara tajam
pada saat korpus luteum berdegenerasi, sehingga pengaruh inhibitorik pada sekresi FSH dan LH lenyap. Kadar kedua hormon hipofisis anterior ini kembali
meningkat dan merangsang berkembangnya folikel-folikel baru seiring dengan dimulainya fase folikel Sherwood, 2001.
Fase-fase di uterus yang terjadi pada saat yang bersamaan mencerminkan pengaruh hormon-hormon ovarium pada uterus. Pada awal fase folikel, lapisan
endometrium yang kaya akan nutrien dan pembuluh darah terlepas. Pelepasan ini terjadi akibat merosotnya estrogen dan progesteron ketika korpus luteum tua dan
berdegenerasi pada akhir fase luteal sebelumnya. Pada akhir fase folikel, kadar estrogen yang meningkat menyebabkan endometrium menebal. Setelah ovulasi,
progesteron dari korpus luteum menimbulkan perubahan vaskuler dan sekretorik di endometrium yang telah dirangsang oleh estrogen untuk menghasilkan
lingkungan yang ideal untuk implantasi. Sewaktu korpus luteum berdegenerasi, dimulailah fase folikel dan fase haid uterus yang baru Sherwood, 2001.
7
Gambar 2.1 : Hubungan antara kadar hormon dan perubahan siklus ovarium dan uterus Sherwood, 2001
8
2.1.3. Aspek hormonal dalam siklus menstruasi
Dari artikel penelitian yang ditulis oleh Razi Maulana 2008 mengutip dari sumber Syahrum et. al. 1994, Greenspan et. al. 1998, dan Deuster et.,al.
1999, menyatakan bahawa hormon adalah zat kimia yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, yang langsung dialirkan dalam peredaran darah dan
mempengaruhi organ tertentu yang disebut organ target. Hormon-hormon yang berhubungan dengan siklus menstruasi ialah :
2.1.3.1 Hormon-hormon yang dihasilkan gonadotropin hipofisis meliputi : 1. Luteinizing Hormon LH
LH dihasilkan oleh sel-sel asidofilik afinitas terhadap asam, bersama dengan FSH berfungsi mematangkan folikel dan sel telur, merangsang terjadinya
ovulasi, pembentukan korpus luteum, serta sintesis steroid seks. Folikel yang melepaskan ovum selama ovulasi disebut korpus rubrum yang disusun oleh sel-
sel lutein dan disebut korpus Maulana, 2008. 2. Folikel Stimulating Hormon FSH
FSH dihasilkan oleh sel-sel basofilik afinitas terhadap basa. Hormon ini mempengaruhi ovarium sehingga dapat berkembang dan berfungsi pada saat
pubertas. FSH mengembangkan folikel primer yang mengandung oosit primer dan keadaan padat solid tersebut menjadi folikel yang menghasilkan estrogen
Maulana, 2008. 3. Prolaktin Releasing Hormon PRH
Secara pilogenetis, prolaktin adalah suatu hormon yang sangat tua serta memiliki susunan yang sama dengan hormon pertumbuhan Growth hormone,
Somatogotropic hormone, thyroid stmulating hormone, Somatotropin. Secara sinergis dengan estradia, prolaktin mempengaruhi payudara dan laktasi, serta
berperan pada pembentukan dan fungsi korpus luteumMaulana, 2008.
2.1.3.2 Steroid ovarium Ovarium menghasilkan progesteron, androgen, dan estrogen. Banyak dari
steroid yang dihasilkan ini juga disekresi oleh kelenjar adrenal atau dapat dibentuk di jaringan perifer melalui pengubahan prekursor-prekursor steroid
9
lain; konsekuensinya, kadar plasma dari hormon-hormon ini tidak dapat langsung mencerminkan aktivitas steroidogenik dari ovarium Maulana, 2008.
1. Estrogen
Fase pubertas terjadi perkembangan sifat seks primer. Kemudian juga terjadi perkembangan sifat seks sekunder. Selanjutnya akan berlangsung siklus
pada uterus, vagina dan kelenjar mammae. Hal ini disebabkan oleh pengaruh hormon estrogen. Terhadap uterus, hormon estrogen menyebabkan endometrium
mengalami proliferasi, yaitu lapisan endometrium berkembang dan menjadi lebih tebal. Hal ini diikuti dengan lebih banyak kelenjar-kelenjar, pembuluh
darah arteri maupun vena. Hormon estrogen dihasilkan oleh teka interna folikel. Estradiol E2 merupakan produk yang paling penting yang disekresi oleh
ovarium karena memiliki potensi biologik dan efek fisiologik yang beragam terhadap jaringan perifer sasaran Maulana, 2008.
Peninggian kadar estradiol plasma berkorelasi erat dengan peningkatan ukuran folikel pra-ovulasi. Setelah lonjakan LH, kadar estradiol serum akan
mencapai kadar terendah selama beberapa hari dan terjadi peningkatan kedua kadar estradiol plasma yang akan mencapai puncaknya pada pertengahan fase
luteal, yang akan mencerminkan sekresi estrogen oleh korpus luteum. Studi kateterisasi telah menunjukkan bahwa peningkatan kadar estradiol plasma pada
fase pra-evolusi dan pertengahan fase luteal dari siklus Maulana, 2008. 2.
Progesteron Kadar progesteron adalah rendah selama fase folikuler, kurang dari 1
ngml 3,8 nmoll dan kadar progesteron akan mencapai puncak yaitu antara 10- 20 mg ml 32-64 nmol pada pertengahan fase luteal. Selama fase luteal, hampir
semua progesteron dalam sirkulasi merupakan hasil sekresi langsung korpus luteum Maulana, 2008.
Pengukuran kadar progesteron plasma banyak dimanfaatkan untuk memantau ovulasi. Kadar progesteron di atas 4-5 ngml 12,7-15.9 nmoll
mengisyaratkan bahwa ovulasi telah terjadi. Perkembangan uterus yang sudah dipengaruhi hormon estrogen selanjutnya dipengaruhi progesteron yang
dihasilkan korpus luteum menjadi stadium sekresi, yang mempersiapkan
10
endometrium mencapai optimal. Kelenjar mensekresi zat yang berguna untuk makanan dan proteksi terhadap embrio yang akan berimplantasi. Pembuluh
darah akan menjadi lebih panjang dan lebar Maulana, 2008. 3.
Androgen Androgen merangsang pertumbuhan rambut di daerah aksila dan pubes
serta mampu meningkatkan libido. Androgen terbentuk selama sintesis steroid di ovarium dan adrenal, sebagai pembekal estrogen. Androgen pada wanita dapat
berakibat maskulinisasi, maka pembentukan yang berlebih akan menyebabkan gangguan yang berarti. Fase folikuler dan fase luteal kadar rata-rata testosteron
plasma berkisar antara 0,2 ngmg-0,4ngmg 0,69-1,39 nmoll dan sedikit meningkat pada fase pra-ovulasi Maulana, 2008.
2.2. Konsep Sindroma Pramenstruasi PMS
2.2.1. Definisi PMS
Sindroma pramenstruasi merupakan keluhan-keluhan yang biasanya mulai satu minggu sampai beberapa hari sebelum datangnya haid, dan
menghilang sesudah haidnya datang, walau pun kadang-kadang berlangsung terus sampai haid berhenti Winkjosastro, 2008.
Menurut kamus kedokteran, PMS merujuk kepada tanda dan gejala yang terjadi antara waktu ovulasi dan sebelum terjadinya menstruasi. Gejala yang
ditunjukkan berupa perubahan fisik, psikologis dan perilaku Anon b, 2008. Kejadian PMS terjadi beberapa hari sehingga 2 minggu sebelum haid dan
menghilang saat haid. Walaupun kebanyakan wanita akan mengalami tanda dan gejala yang berhubungan dengan siklus menstruasi, kebanyakan tanda dan gejala
ini hanya ringan yang merupakan reflek dari perubahan fisiologi tubuh. Walaubagaimanapun, sedikit wanita mengalami gejala yang mengganggu kerja,
hubungan, dan aktivitas sosial mereka Anon a, 2007 .
11
2.2.2. Etiologi PMS
Etiologi PMS tidak jelas, akan tetapi mungkin satu faktor yang memegang peranan ialah ketidakseimbangan antara estrogen dan progesteron
dengan akibat retensi cairan dan natrium, penambahan berat badan, dan kadang- kadang dengan edema Winkjosastro, 2008.
Faktor kejiwaan, masalah dalam keluarga, masalah sosial dan lain-lain juga memegang peranan penting. Yang lebih mudah menderita PMS ialah
wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid dan terhadap faktor-faktor psikologis Winkjosastro, 2008.
Terdapat bukti adanya hubungan sebab-akibat antara sekresi dan penarikan progesteron dengan timbulnya PMS, walaupun begitu, dasar biologis
dari keterkaitan ini belum dipastikan. Di luar kehamilan, progesteron dihasilkan dalam jumlah besar hanya selama fase luteal siklus ovarium. Akan tetapi tidak
dijumpai perbedaan nyata dalam kecepatan sekresi progesteron oleh korpus luteum dari wanita yang menderita PMS dengan tidak. Berdasarkan anggapan
ini, tidak diketahui adanya efek progesteron yang jelas menunjukkan bahwa hormon ini berperan dalam kejadian PMS, apalagi menjelaskan perbedaan yang
besar dalam tingkat keparahan dalam gejala-gejala yang dialamai wanita ini Cunningham, 2005.
Sebagian wanita mengalami gejala-gejala PMS selama 7 – 10 hari terakhir siklus menstruasi mereka yang diperkirakan disebabkan oleh retensi
garam dan air. Namun kecil kemungkinannya bahwa hal ini atau perubahan hormonal lain yang terjadi selama fase luteal akhir berperan sebagai penyebab
karena perjalanan waktu dan keparahan gejala tidak berubah bila fase luteal dihentikan secara dini dan menstruasi ditimbulkan dengan pemberian obat-obat
William, 2001. Batas tertentu estrogen menyebabkan retensi garam dan air serta berat
badan bertambah. Mereka yang mengalami akan menjadi mudah tersinggung, tegang dan perasaan tidak enak. Gejala-gejala dapat dicegah bila pertambahan
berat badan dapat dicegah. Peranan estrogen pada PMS tidak nyata, sebab ketegangan ini timbul terlambat pada siklus tidak pada saat ovulasi waktu
12
sekresi estrogen berada pada saat puncaknya. Kenaikan sekresi vasopresin kemungkinan berperan pada retensi cairan pada saat pramenstruasi William,
2001. Berbagai faktor gaya hidup tampaknya menjadikan gejala-gejala lebih
buruk, termasuk stres, kurangnya kegiatan fisik dan diet yang mengandung gula, karbohidrat yang diolah, garam, lemak, alkohol dan kafein yang tinggi Anon
e, 2011.
2.2.3. Faktor Risiko Terjadinya PMS
Gejala ini biasanya terjadi pada wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid. Di bawah ini dinyatakan beberapa faktor
yang meningkatkan risiko terjadinya PMS Anon c, 2010, Anon d, 2010. 1.
Riwayat ibu kandung penderita yang pernah mengalami PMS. 2.
Wanita yang pernah melahirkan PMS semakin berat setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan
komplikasi. 3.
Status perkahwinan wanita yang sudah menikah lebih banyak mengalami PMS dibandingkan yang belum.
4. Usia PMS semakin sering dan mengganggu dengan bertambahnya usia,
terutama antara usia 30 – 45 tahun. 5.
Stres faktor stres memperberat gangguan PMS. 6.
Diet faktor kebiasaan makan seperti tinggi gula, garam, kopi, teh, coklat, minuman bersoda, produk susu, makanan olahan akan memperberat
gejala PMS. 7.
Kekurangan zat-zat gizi seperti kurang vitamin B terutama vitamin B6, vitamin E, Vitamin C, magnesium, zat besi, seng, mangan, asam lemak
linoleat. 8.
Kebiasaan merokok dan minum alkohol dapat memperberat gejala PMS. 9.
Kegiatan fisik kurang berolahraga dan aktivitas fisik menyebabkan semakin beratnya PMS.
13
Menurut Vliet, E.L., 2003, terdapat beberapa faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan kejadian PMS seperti :
1. Wanita yang menunda kehamilan dan menjalani sedikit kehamilan –
mengakibatkan lebih banyak siklus ovulasi. 2.
Peningkatan obesitas yang signifikan, yang mengubah rasio estrogen dan progesteron di dalam tubuh. Majoritas wanita yang menderita PMS
adalah dalam golongan obes. 3.
Diet tinggi lemak, protein, garam, gula, alkohol dan minuman kafein yang memperparah PMS.
4. Kekurangan magnesium dalam diet yang merupakan kofaktor penting
dalam sintesa neurotransmiter yang meningkatkan afek. 5.
Kekurangan masukan B6 yang juga merupakan kofaktor penting dalam sintesa neurotransmiter yang meningkatkan afek dan berhubungan
dengan metabolisma estrogen dan progesteron.
2.2.4. Gejala PMS
Gejala PMS sangat berbeda dari seorang wanita ke wanita yang lain dan dari satu siklus ke siklus yang lain, dan dapat terjadi antara ringan hingga berat.
Sebagian wanita sadar akan gejala yang mereka hadapi itu menjadi semakin memberat pada waktu meningkatnya stres dalam bentuk emosional dan fisikal.
Lebih dari 150 gejala telah dihubungkan dengan PMS, dan sebagiannya dinyatakan seperti dibawah.
1. Gejala fisik:
• Pembengkakan dan nyeri payudara • Kembung, retensi cairan, penambahan berat badan
• Perubahan kebiasaan buang air besar • Jerawatan
• Rasa ingin makan yang berlebihan terutama makanan manis atau
masin • Perubahan pola tidur
14
• Keletihan • Penurunan nafsu seks
• Sakit. Yang biasa dikeluhkan adalah sakit kepala atau migrain, nyeri
payudara, nyeri sendi dan otot, nyeri punggung bawah oleh karena perdarahan menstruasi
2. Gejala perilaku:
• Agresif • Menjauhkan diri dari keluarga dan teman
• Gejala emosional dan kognitif • Depresi, sedih, dan perasaan tidak berguna
• Mudah marah • Perubahan mood yang cepat
• Penurunan waspada dan tidak upaya untuk konsentrasi Anon e,
2011
2.2.5. Diagnosis PMS
Dalam penuntun diagnosis dari American Psychiatry Association APA, menyatakan kriteria mendiagnosis PMS sebagai berikut :
1. Gejala berhubungan dengan siklus menstruasi dan gejala muncul mulai
minggu terakhir fase luteal siklus menstruasi dan menghilang setelah muncul menstruasi.
2. Diagnosis PMS ditegakkan bila ditemukan 5 gejala PMS dengan minimal
terdapat 1 gejala mayor. Gejala-gejala mayor PMS tersebut adalah : labilitas afektif seperti menarik diri, semangat kerja menurun, tiba-tiba
marah atau sedih; iritabilitas seperti mudah marah dan tersinggung, tegang dan cemas; perubahan suasana hati dan putus asa. Gejala minor
PMS adalah : pembengkakan pada anggota badan, nyerikembung pada perut, perubahan nafsu makan, lekas lelah, nyeri kepala, mualmuntah,
payudara nyeritegang, gangguan tidur, gangguan buang air besar, dan
15
susah berkonsentrasi. Gejala fisik seperti edema, nyeri persendian atau nyeri otot, dan pertambahan berat badan.
Dalam DSM-IV diagnosa PMS pula ditegakkan hanya bila gangguan itu secara nyata mengganggu pekerjaan atau fungsi peran. DSM-IV memasukkan
kriteria diagnostik PMS ini seperti berikut : A.
Pada sebagian besar siklus menstruasi selama tahun terakhir, lima atau lebih gejala berikut ditemukan untuk sebagian besar waktu selama
minggu terakhir fase luteal, mulai menghilang dalam beberapa hari setelah onset fase folikular, dan menghilang dalam minggu pascar
menstruasi, dengan sekurang-kurangnya salah satu gejala adalah1,2, 3, atau 4 :
1. Mood terdepresi yang jelas, perasaan putus asa, pikiran mencela diri sendiri.
2. Kecemasan yang jelas, ketegangan, perasaan “bersemangat” atau “tidak tenang”.
3. Labilitas afektif yang tidak jelas misalnya, perasaan tiba-tiba sedih atau menangis atau meningkatnya kepekaan terhadap penolakan
4. Kemarahan atau iritabilitas yang menetap dan jelas atau meningkatnya konflik interpersonal.
5. Menurunnya minat dalam aktivitas seharian misalnya pekerjaan, sekolah, teman, kegemaran.
6. Perasaan subjektif adalah kesulitan dalam berkonsentrasi. 7. Letargi, mudah lelah, atau kehilangan tenaga.
8. Perubahan yang jelas dalam nafsu makan, makan berlebihan atau kecanduan makanan tertentu.
9. Hipersomnia atau insomnia. 10. Perasaan subjektif sedang terlanda atau keluar kendali.
16
11. Gejala fisik lain, seperti nyeri atau pembengkakan payudara, nyeri kepala, nyeri sendi atau otot, sensasi “kembung”, kenaikan berat
badan. Catatan : pada perempuan yang sedang menstruasi, fase luteal berhubungan
dengan periode antara ovulasi dan onset menstruasi, dan fase folikuler dimulai saat menstruasi. Pada perempuan yang tidak menstruasi misalnya yang telah
menjalani histerektomi, penentuan waktu fase luteal dan folikuler mungkin memerlukan pengukuran hormon reproduktif dalam sirkulasi.
B. Gangguan dengan jelas mengganggu pekerjaan, sekolah, atau aktivitas
sosial biasanya dan hubungan dengan orang lain misalnya, menghindari aktivitas sosial, menurunnya produktivitas dan efisiensi di pekerjaan atau
sekolah. C.
Gangguan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gejala dari gangguan lain, seperti gangguan depresif berat, gangguan panik, gangguan distimik, atau
gangguan kepribadian walaupun mungkin bertumpang tindih dengan salah satu gangguan tersebut.
D. Kriteria A, B, dan C harus ditegakkan oleh pencatatan harian prospektif
selama sekurang-kurangnya dua siklus simptomatik yang berturut-turut Diagnosa dapat dibuat sementara sebelum penegakan ini
2.3. Konsep Indeks Massa Tubuh IMT
2.3.1. Definisi indeks massa tubuh
Indeks massa tubuh merupakan ukuran standar berhubungan dengan berat badan dengan tinggi badan. IMT juga membantu dalam pengukuran resiko
terjadinya kelainan kesehatan dalam populasi dengan IMT yang berbeda. Ukuran IMT adalah dengan menghitung berat badan dalam kilogram per tinggi badan
dalam meter kuadrat. Batas atas IMT normal merupakan indikasi peningkatan resiko untuk menghidapi gangguan kesehatan LeBlond, R., Brown, D.,
DeGowin, R., 2009.
17
Indeks massa tubuh IMT merupakan pengukuran yang menunjukkan hubungan antara berat badan dan tinggi badan. IMT merupakan perhitungan
nilai akhir yang diambil antara berat badan dalam kilogram kg per tinggi badan dalam meter kuadrat m
2
. IMT lebih berhubungan dengan lemak tubuh dibandingkan dengan indikator lainnya untuk tinggi badan dan berat badan
Anon F, 2012. IMT merupakan alternatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta merupakan metode skrining kategori berat badan dan
tinggi badan yang mudah dilakukan.
2.3.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh
Tabel 2.1 : Klasifikasi IMT Asia menurut IOTF
Klasifikasi IMT kgm
2
Berat badan kurang 18.5
Berat badan normal 18.5 – 22.9
Berisiko Untuk Obesitas 23.0 – 24.9
Obes I 25.0 – 29.9
Obes II ≥30.0
Sumber dari : IOTF, International Obesity Taskforce
2.4. Hubungan IMT dan PMS
Pengukuran nilai IMT adalah untuk mengetahui secara kasar kandungan lemak tubuh seseorang dimana yang sangat mempengaruhi perubahan dalam
hitungan IMT adalah berat badan. Elizabeth R. Berton-Johnson dan kawan-kawan melakukan penelitian
terhadap kandungan lemak tubuh yang menjadi pencetus terjadinya PMS menyatakan bahawa terdapat hubungan yang positif antara IMT dan terjadinya
18
PMS. IMT juga berhubungan dengan risiko terjadinya gejala fisik dan emosi pada penderita PMS Berton-Johnson, 2010.
Sindroma pramenstruasi kemungkinan disebabkan oleh interaksi antara faktor hormonal dan neurokimia, dan adipositas meningkatkan resiko itu melalui
beberapa mekanisme. Perbandingan dengan wanita IMT 20 kgm
2
, pada wanita dengan IMT
≥30 kgm
2
Obesitas juga berperan dalam mengubah fungsi neurotransmitter melalui efeknya terhadapt estrogen dan progesteron. Dalam beberapa penelitian
sebelumnya yang pernah dilakukan, kejadian PMS menunjukkan abnormalitas serotonin, gamma-aminobutyric acid GABA, dan sistem lain dibandingkan
dengan kontrol yang bebas gejala. Estrogen meningkatkan aksi serotonin dengan meningkatkan sintesa, transportasi, dan pengambilan kembali serta ekspresi
reseptor, dan respon pada postsinaps. Dinyatakan juga jumlah estradiol yang rendah berhubungan dengan adipositas akan mengganggu fungsi serotonin dan
menyumbang kepada terjadinya PMS Berton-Johnson, 2010. mempunyai 39 lebih rendah estradiol folikular, 20
estradiol luteal lebih rendah, dan 20 lebih rendah level progesteron. Siklus estrogen dan progesteron yang berfluktuasi dengan jelas memberi kesan
terhadap onset PMS Berton-Johnson, 2010.
Prevalensi kejadian PMS di Virginia adalah sebesar 10.3 persen. Wanita obes IMT atau = 30 mempunyai peningkatan resiko hampir tiga kali lipat
berbanding kejadian PMS pada wanita non-obes Masho. S.W., 2005
19
2.5. Kerangka Teori