16
BAB II BIOGRAFI HAJI AGUS SALIM
2.1 Den Bagus dari Koto Gadang
Perjalanan sejarah suatu bangsa kadang-kadang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin besar yang penuh pesona dan membawa gelora bangsa di
jamannya, atau disebut juga melahirkan pemikir, pejuang yang ingin membawa bangsanya keluar dari kemelut kehidupannya dengan memberikan alternatif lain
sebagai tandingan terhadap sistem yang dianut dalam hidup dan kehidupan bangsanya. Menurut catatan sejarah bangsa Indonesia, sejak dahulu sampai
sekarang, nama-nama dari para pemimpin, pemikir, pejuang yang terkenal jumlahnya cukup besar di bumi Indonesia, antara lain: Imam Bonjol, Teuku
Umar, Diponegoro, dan lain-lain yang tampil sebagai tokoh jauh sebelum pergerakan Belanda yang dilakukannya, menunjukkan bahwa kesadaran untuk
mengubah keadaan menuju yang lebih baik, bagi kehidupan masa depan bangsanya telah ada sejak akhir abad ke 19.
21
Demikian juga nama-nama seperti, Haji Agus Salim, HOS Cokroaminoto, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Soekarno dan lain-lainnya adalah
sederatan nama yang pernah hadir dan mengisi sejarah bangsa Indonesia di awal abad ke 20, yang dikenal sebagai awal dari periode pergerakan nasional. Tokoh-
tokoh tersebut sekaligus sebagai generasi yang menjadi cikal bakal adanya berbagai corak ideologi yang mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia
22
. Adanya berbagai corak ideologi tersebut, sangat berkaitan dengan latar
belakang pengalaman, pendidikan serta pribadi tokoh yang melahirkan gagasan tersebut. Demikian juga erat hubungannya dengan kondisi sosial, budaya, politik
dan agama. Di samping itu juga pengaruh bangsanya dewasa ini. beberapa faktor yang ada tersebut, menimbulkan kesadaran terhadap keadaan yang sebenarnya,
yang sedang dialaminya sendiri serta bangsanya. Sehingga lahirlah gagasan- gagasan baru sebagai produk dari proses berpikir antara dirinya dengan persoalan
yang sedang dihadapi bangsanya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas tokoh
21
Abdurrachman Surjomihardjo, “Pola-Pola Pemikiran Menuju Kemerdekaan Indonesia”, Jakarta: Prisma, 1976, hal. 17.
22
Daniel Dhakidae, “Ideologi”, Jakarta: Prisma, 1979, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
17
yang bernama Haji Agus Salim memang sangat penting artinya bagi sejarah kebangkitan kaum Muslimin di Indonesia, bahkan sebagai tolak ukur dari
generasi di kalangan kaum Muslimin modern di Indonesia. Pada tanggal 8 Oktober 1884, di sebuah kampung kecil yang dikenal
dengan Koto Gadang, Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat, lahirlah putera Minangkabau dari keluarga Sutan Mohammad Salim dengan isterinya Sitti
Zainab. Putera itu semula diberi nama Masyhudul Haq. Tentu selalu ada cerita di balik nama. Masyudul anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Sutan
Mohammad Salim, menikah tiga kali setelah dua istrinya meninggal berturut- turut. Sang ayah terkesan oleh nama Masyudul Haq, tokoh utama buku yang
sedang dia baca. Ketika Mohammad Salim sedang di surau beberapa hari kemudian, datang kabar gembira. Istrinya, Siti Zainab, baru saja melahirkan
seorang bayi laki-laki. Maka dinamakanlah bayi itu Masyudul Haq
23
. Tak disangka, nama yang bermakna luhur itu di kemudian hari tenggelam
ditelan oleh gelombang kebiasaan dan bayi Masyudul Haq yang tumbuh dewasa serta benar menjadi tokoh pembela umatnya itu, dikenal secara luas baik di
tingkat nasional maupun internasional hanya dengan nama “Agus Salim”. Ketika Masyudul Haq masih kecil, ia diasuh oleh seorang pembantu asal dari Jawa.
Sebagaimana diketahui seorang pembantu dari Jawa mempunyai kebiasaan untuk memanggil momongannya, anak majikannya dengan sebutan “den bagus” atau
secara pendek “gus”. Panggilan kesayangan yang mengandung unsur menghormati ini tanpa terasa diikuti oleh keluarga dan kemudian ditiru pula oleh
kalangan lebih luas, yaitu di lingkungan teman sekolah dan guru-gurunya
24
. Sutan Mohammad Salim menjabat sebagai seorang Jaksa Kepala. Ia
pernah bertugas di Riau dan Medan. Ayah dan Ibu Agus Salim juga berasal dari koto Gadang. Agus Salim adalah campuran dari keturunan ulama dan pegawai
negeri. Kakek Agus Salim bergelar Tuanku Abdul Rahman. Beliau juga mempunyai sepupu yang bernama Akhmad Khatib, yang bermukim di Saudi
Arabia, ia menjadi ulama terkenal di negara Arab dengan gelar Syekh Akhmad Khatib.
23
TEMPO, “Agus Salim, Diplomat Jenaka Penopang Republik”, Jakarta: PT. Gramedia, 2013, hal. 119.
24
Panitia Buku peringatan,”Seratus Tahun Haji Agus Salim”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
18
Masa kanak-kanak Agus Salim diliputi suasana bahagia. Walaupun mempunyai banyak saudara, namun semuanya dapat bersekolah. Tambahan lagi
masyarakat Koto Gadang mempunyai tradisi yang baik. Kalau ada anak yang cerdas, dari keluarga tidak mampu, maka masyarakat akan bergotong royong
menyekolahkannya sampai berhasil. Setelah itu, anak tersebut mempunyai kewajiban untuk berbakti bagi desanya. Misalnya dengan menyekolahkan anak-
anak dari keluarga tidak mampu. Kebiasaan baik ini berlangsung terus sehingga hampir tidak ada anak cerdas di Koto Gadang yang tidak selesai sekolahnya.
Masyarakat Koto Gadang merupakan masyarakat yang maju waktu itu di Sumatera Barat.
Agus Salim termasuk anak yang cerdas dalam keluarganya. Beliau juga terkenal pandai bergaul dengan teman-temannya, dan orang kampungnya. Agus
Salim anak yang jenaka, inilah yang menyebabkan ia disenangi oleh kawan- kawannya. Dalam pergaulannya sehari-hari, Agus Salim menjadi pemimpin dari
teman-temannya karena kecerdasannya. Lagi pula, ia tidak sombong walaupun anak seorang jaksa. Agus Salim bergaul dengan anak-anak kampung, tanpa
membeda-bedakan kedudukan orang tuanya. Agus Salim bisa bersekolah di ELS Europeesche Lagere School
lantaran posisi ayahnya sebagai pegawai pemerintah. Bagi orang Hindia Belanda, posisi hoofd djaksa Jaksa Kepala termasuk tinggi dan terhormat. Di sekolah,
bintang Agus Salim mulai berkilau. Agus Salim mulai menunjukkan ciri-cirinya sebagai anak cerdas, suka berdebat dan berpikir kritis. Hobinya main bulu
tangkis, hoki, tenis, dan bridge. Meski tegolong nakal, suka bertengkar, dan keras dalam pendirian, dia disukai guru dan teman-temannya karena pintar. Agus
Salim pun menonjol dan menunjukkan punya kecerdesan di atas rata-rata, termasuk untuk pelajaran bahasa Belanda.
Aktivitas pergaulannya yang luas itu tak menyurutkan prestasinya. Agus Salim tetap cakap di berbagai mata pelajaran, bukan hanya bahasa, melainkan
juga dalam hal berhitung dan sejarah. Saat itu, sempat beredar kabar Agus Salim anak yang istimewa, pandai tanpa belajar. Namun dalam kenyatannya tidak
demikian. Semua prestasinya merupakan buah dari ketekunannya. Agus Salim belajar keras di rumah, meski lingkungan kurang mendukung karena dia kerap
menerima tugas rumah dan ajakan bermain dari teman-temannya.
Universitas Sumatera Utara
19
Untuk menyiasati kondisi ini dan menghindari gangguan dari luar, Agus Salim punya jalan keluar. Pada siang hari setelah makan, dia mengendap-endap
naik ke loteng. Disana dia menekuni pelajaran yang baru didapat sekaligus mempersiapkan untuk esok harinya. Karena di atas plafon itu gelap, dia selalu
membuka beberapa genting agar cahaya dengan leluasa masuk. Selesai belajar, sebelum turun dia membereskan kembali genting-genting itu. Aksi belajar diam-
diam ini baru terbongkar setelah terjadi “kecelakaan”. Suatu hari sehabis belajar,
Agus Salim lupa menutup genting tersebut. Naas hujan turun tak lama kemudian. Air pun masuk membajiri rumah, dan Agus Salim sebagai “si biang kerok”
muncul sambil cengar-cengir.
Kecerdasannya menarik perhatian Jan Brouwer, guru Belanda yang berjiwa revolusioner. Melihat bakat potensial Agus Salim, Brouwer meminta
kepada Sutan Mohammad Salim agar Agus Salim boleh tinggal bersamanya. Brouwer ingin memberi bimbingan langsung kepada “bibit unggul” itu sambil
memberinya makanan bergizi yang dibutuhkan anak dalam pertumbuhan. Ayah
Agus Salim tertarik, tapi memilih jalan kompromi. Sesekali Agus Salim boleh tinggal pada keluarga Brouwer sepulang sekolah sampai sehabis makan malam.
Sesudah itu, dia harus pulang. Masa ini menjadi salah satu fragmen berharga dalam kehidupan Agus Salim, yang akhirnya membuat dia semakin percaya diri
berhadapan dengan bangsa asing. Agus Salim juga belajar mengaji Al Quran. Ini membuat keseimbangan
antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Keduanya harus dicapai untuk mendapatkan kesempurnaan hidup. Apalagi Agus Salim berasal dari keluarga berketurunan
ulama terkenal. Ia harus matang dalam pengetahuan agama, sebagai bekal hidupnya kelak. Agus Salim juga belajar silat, karena silat berguna untuk
membela diri. Agus Salim mempunyai keyakinan dan kepribadian sendiri agar tidak terpengaruh oleh adat kebiasaan orang Barat. Agus Salim mempunyai dasar
agama yang kuat. Sebelum menamatkan pelajarannya di sekolah dasar, Agus Salim telah khatam mengaji Al Quran. Ilmu silatnya juga bisa diandalkan. Pada
tahun 1897, Agus Salim menyelesaikan sekolah dasarnya di ELS dengan hasil yang memuaskan.
Universitas Sumatera Utara
20
Dalam usia 13 tahun, sesudah tamat dari ELS dengan baik, Agus Salim berangkat menuju Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya. Dengan kapal laut
Agus Salim berangkat ke Jakarta, ia meninggalkan kampung halaman, ayah ibunya, dan sanak familinya. Sesampai di Jakarta Agus Salim masuk ke HBS
Hogere Burgerschool, yaitu sekolah menengah Belanda. Dalam kurun waktu lima tahun, Agus Salim selesai dan berhasil menempuh ujian di HBS 1903
dengan nilai terbaik sekaligus menjadi juara. Pada saat itu, dapat dikatakan hampir tidak anak pribumi yang dapat duduk di bangku sekolah HBS, terkecuali
Agus Salim dan P.A. Hoesein Djajadiningrat, dan sisanya adalah anak-anak bangsa Eropa. Kecerdasaan yang dimiliki oleh Agus Salim sudah pernah
diramalkan oleh gurunya, bahwa kelak Agus Salim akan menjadi orang penting di Indonesia.
Sebenarnya Agus Salim memiliki minat yang besar terhadap pendidikan tingkat selanjutnya. Oleh karena itu ia berusaha mendapatkan beasiswa ke negeri
Belanda, bahkan ada yang mengajurkan supaya ia melanjutkan pendidikannya di Stovia. Tetapi semua usaha yang dilakukan itu mengalami kegagalan. Sehingga
beritanya terdengar oleh R.A. Kartini, yang dirinya ditawari beasiswa ke negeri Belanda oleh pemerintah. Pada saat itu, menurut Kartini dirinya tidak mungkin
pergi sejauh itu, meskipun untuk melajutkan pendidikan. Dibalik itu juga keadaan adat budaya saat itu belum memberikan keleluasaan terhadap kaum
wanita. Begitu pula Kartini tidak lama lagi akan melangsungkan pernikahannya.
Oleh karena itu Kartini memberikan saran kepada pemerintah agar beasiswa tersebut diberikan kepada Agus Salim. Usul tersebut diterima oleh pemerintah
yang selanjutnya ditawarkan kepada Agus Salim. Tetapi Agus Salim menganggap cara yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sebuah
penghinaan terhadap dirinya. Agus Salim tidak ingin mendapatkan beasiswa tersebut karena anjuran Kartini, menurutnya pemerintah harus memberikan
beasiswa kepadanya karena kemauan pemerintah sendiri, bukan karena Kartini. Sejak peristiwa itu, Agus Salim mengurungkan niat untuk melanjutkan
pendidikannya.
Universitas Sumatera Utara
21
Di usia menginjak 19 tahun, Agus Salim dihadapkan pada kenyataan yang tidak diharapkan sebelumnya. Sementara dirinya menganggur, datanglah
permintaan orang tuanya agar Agus Salim segera bekerja di pemerintah. Minat membaca yang dimilikinya merupakan modal yang sangat baik untuk menjadi
pegawai pemerintah. Akan tetapi beliau merasa enggan, bahkan mulai timbul rasa bencinya terhadap Belanda. Itulah sebabnya harapan orangtuanya tidak
dapat dipenuhinya. Dari sikap Agus Salim yang seperti itu, kemudian timbul suasana tegang antara dirinya dengan orangtuanya. Sementara itu Agus Salim
mulai bekerja sebagai penterjemah, kemudian bekerja lagi sebagai pembantu notaris.
Memasuki usia 21 tahun, Agus Salim meninggalkan Jakarta merantau ke Indragiri untuk bekerja pada sebuah pertambangan. Di saat yang sama,
pemerintah menawarkan kerja sebagai konsul Belanda di Jeddah untuk mengurus jamaah haji Indonesia di Arab. Awalnya tawaran pemerintah itu ditolaknya,
tetapi karena sikap tersebut menambah beban penyakit yang diderita ibunya, bahkan ibunya kemudian meninggal dunia, maka akhirnya Agus Salim menerima
tawaran tersebut. Dengan catatan bahwa beliau bekerja di Jeddah hanya untuk memenuhi pesan terakhir dari ibunya tercinta.
Universitas Sumatera Utara
22
2.2 Islam dalam Pergulatan Encik Salim