Pemikiran Politik Haji Agus Salim

59

3.2 Pemikiran Politik Haji Agus Salim

Berkaitan dengan dalam sejarah perjalanan nasionalisme Islam yang diterapkan Agus Salim, hubungan semangat nasionalisme islam menjadi dasar negara menimbulkan polemik tersendiri antara tokoh politik pada waktu itu. Yaitu antara Agus Salim dan Soekarno. Polemik hubungan agama dan negara antara Agus Salim dan Soekarno, memiliki makna historis sangat penting. Pertama, secara substansial, polemik Agus Salim dan Soekarno ini mewakili perbedaan pandangan dua golongan terkemuka di Indonesia, yaitu golongan nasionalis Islami dan nasionalis sekuler. Polemik mereka juga mereflesikan pertarungan ideologis kedua golongan yang tak terujukkan sekitar tahun 1920 sampai akhir pengujung 1930. Gagasan- gagasan yang dipolemikkan itu mendasar dan aktual, seperti masalah apakah agama harus disatukan atau dipisahkan dari politik, masalah prinsip kenegaraan yang bagaimana yang harus dijadikan dasar negara dan sekulerisasi politik dalam masyarakat berpenduduk mayoritas muslim. Masalah-masalah ini menjadi perdebatan sengit antara golongan nasionalis islam dan nasionalis sekuler, baik menjelang Indonesia merdeka perumusan Piagam Jakarta 1945, demokrasi parlementer perdebatan di bawah konstituante 1957-1959 masa Orde Baru, dan era reformasi pasca Soeharto sekarang ini. Polemik yang menyangkut berbagai ide dan tujuan ini mewarnai corak perkembangan politik, yang berkisar pada peranan Islam, hubungan antara agama dan negara, corak nasionalisme, serta ideologi yang diperlukan dalam menata suatu negara kebangsaan nation state. Kedua, berkaitan dengan kedua tokoh polemik, antara Agus Salim dan Soekarno. Keduanya tokoh politik paling legendaris dalam sejarah Indonesia kontemporer. Agus Salim, ulama intelek yang memiliki ketajaman otak dan dalamnya kehidupan keagamaannya. Sedangkan Soekarno, ideologi dan politikus Indonesia telah memberikan banyak kontribusi intelektual. Ketiga, polemik yang dilakukan secara demokratis itu, telah memberikan kesadaran di kalangan umat Islam saat itu, bahwa Islam tidaklah hanya sekedar sebagai suatu sistem teologi, ajaran-ajaran yang hanya mengatur masalah ketuhanan dan akhirat, tetapi juga mencakup misi kehidupan pribadi, sosial- budaya dan kenegaraan. Polemik antara Agus Salim dan Soekarno adalah salah Universitas Sumatera Utara 60 satu letupan pertarungan-pertarungan ideologis yang terjadi sekitar tahun 1940an, yaitu pertarungan antara golongan nasionalis Islami dengan nasionalis sekuler. Golongan nasionalis sekuler adalah mereka yang berprinsip bahwa dalam kehidupan politik kenegaraan harus ada pemisahan tegas antara agama dan politik. Pada umumnya, golongan ini menyakini bahwa agama hanyalah merupakan ajaran-ajaran yang menyangkut masalah akhirat dan urusan pribadi, sedangkan politik kenegaraan merupakan masalah duniawi. Sedangkan golongan nasionalis Islam berprinsip bahwa agama Islam tidak dapat dipisah dari urusan kenegaraan. Golongan ini yakin dan mempunyai komitmen pada pandangan bahwa negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama, yang dalam arti luas, yaitu agama yang bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan antara sesama manusia, sikap manusia terhadap lingkungannya, alam, dan lain sebagainya. Indikasi pertarungan ideologis antara kedua golongan yang menganut prinsip berbeda ini dapat dilihat dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam SI dengan Partai Nasionalis Indonesia PNI, kasus Jawi Hisworo, kasus majalah Timboel dan Swara Oemoem, kasus perdebatan dan polemik sengit dan berkepanjangan antara tokoh-tokoh nasionalis Islam seperti Haji Agus Salim dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler yang diwakili oleh Soekarno. Polemik ini bermula dari terbitnya artikel Soekarno, “Memudahkan Pengertian Islam”, yang isinya mencerminkan agar dalam Islam ada keharusan pembaharuan pemikiran dan melakukan “reorientasi ajaran-ajaran Islam”. Menurut Soekarno, dasar pembaharuan ini melandasi setiap perubahan dalam sejarah. Ia merupakan keharusan sejarah yang pasti dialami setiap kepercayaan, ideologi atau agama, termasuk Islam. Dengan demikian, hendaknya dalam Islam ada usaha rasionalisasi, misalnya dalam menafsirkan Al-Quran dan Hadis, agar kedua sumber hukum Islam itu lebih rasional dan mampu menjamah realitas. Dengan kemunculan dan lajunya pola pemikiran nasionalis sekuler, maka Agus Salim yang berada di pihak Islamis, yang diketahui sebagai orang yang gigih mempertemukan antara kaum intelektual muslim dengan Islam sebagai agamanya, mengeritiknya dengan tajam. Antara lain beliau mengatakan bahwa gagasan-gagasan yang disampaikan oleh kaum nasionalis sekuler tersebut Universitas Sumatera Utara 61 mengandung unsur-unsur yang menyesatkan terhadap pemahaman tentang agama, bahwa agama itu bersifat pribadi atau individual. Oleh karena itu Agus Salim mengatakan bahwa nasionalisme yang keterlaluan bisa jatuh pada chauvinisme, imperalisme dan kolonialisme, karena nasionalisme semacam itu dapat pula mengabaikan rasa sosial, bukan saja terhadap bangsa lain tetapi juga dalam kalangan bangsa sendiri. Agus Salim dan kawan-kawannya yang sepaham memandang bahwa nasionalisme dan apapun juga ajaran atau paham yang timbul dalam benak kepala manusia, hendaklah diletakkan di bawah niat pengabdian kepada Allah SWT. Atas kritikan yang disampaikan tersebut, Soekarno dari kaum nasionalis sekuler yang menanggapi bahwa nasionalisme sebagai pedoman yang harus dinomorsatukan karena inilah pegangan untuk persatuan dan kesatuan Indonesia. Paham-paham lain hendaklah tunduk pada tuntutan ini. Malah menurutnya nasionalisme, Islam dan Marxisme harus dapat bekerja sama dalam rangka kesatuan itu. Di tahun 1927 pula lahir suatu federasi partai-partai yang beranggotakan semua organisasi, meliputi PNI, PSI, BU, Pasundan, Kaum Betawi, Sumatranen Bond dan beberapa klub-klub studi dengan nama Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia PPPKI. Tujuannya ialah mendatangkan persatuan di dalam aksi perjuangannya menghadapi kolonial Belanda bagi semua perhimpunan yang ada, dan berdaya upaya aksi itu bisa lebih teratur. Tetapi harapan terciptanya persatuan dan kesatuan langkah perjuangan tersebut tidaklah segampang dengan kenyataannya. Terbukti hanya beberapa saat terjadilah perpecahan yaitu dengan keluarnya SI dari PPPKI. Di antara sebabnya ialah adanya perbedaan yang mendasar antara organisasi yang satu dengan yang lainnya. Di satu pihak ada yang menganut garis koorperatis, dan lain pihak ada yang menganut garis non-kooperasi. Di samping itu bagi SI adalah suatu langkah yang sangat merugikan organisasi. SI adalah organisasi terbesar jumlah anggotanya paling banyak, dan Islam merupakan dasar perjuangannya di samping bertujuan membangun masyarakat Islam yang adil, makmur dan diridhoi Allah SWT. Organisasi lainnya lebih banyak mengedepankan nasionalisme yang lepas dari pengaruh agama. Universitas Sumatera Utara 62 Oleh karena itu menurut kalangan dari SI, tujuan federasi yang telah dibentuk ini tidak mungkin dapat dicapai, sebab perbedaannya sangat fundamental. Perencanaan dan penyusun konsep bahan federasi ini adalah Soekarno. Pokok-pokok pikirannya antara lain sebagai berikut: Bahwa ide persatuan itu terlepas dari dan tidak peduli terhadap prinsip lain yang berbeda. Bahwa untuk membangkitkan perasaan dan semangat rakyat ada pertaliannya dengan keindahan dan kekayaan Ibu Indonesia yang melahirkan Pahlawan- pahlawan seperti Gajah Mada serta tokoh-tokoh lain dari masa Hindu. Untuk menciptakan dan mempertahankan persatuan ini, maka penting artinya akan cinta kepada tanah air, kesediaan yang tulus dalam membangkitkan diri kepada tanah air serta kesediaan untuk mengesampingkan kepentingan yang sempit. Gagasan Soekarno tersebut telah mendorong Agus Salim untuk berusaha meningkatkan dan membetulkan arah perjuangan yang seharusnya kepada masyarakat umum bangsa Indonesia tanpa kecuali, beserta tokoh-tokoh pergerakan. Beliau mengatakan bahwa ide Soekarno yang memuliakan tanah air di atas segalanya, akan mencairkan keyakinan Tauhid seseorang dan akan mungkin mengurangi bakti seseorang kepada Tuhan. Beliau juga setuju dengan dipentingkannya ide persatuan dan cinta tanah air, tetapi hendaklah cinta ini jangan sekedar slogan kosong yang tidak akan berarti bagi rakyat. Selanjutnya Agus Salim mengatakan bahwa cinta tanah air yang berlebihan dapat membahayakan rakyat sendiri dan rakyat lain diluar. Sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Eropa, dimana negeri yang satu memerangi negeri yang lain atas nama tanah air, dan menekan serta merendakan derajat bangsa-bangsa lain diluar Eropa. Lebih dari itu dapat menjadi berhala agama. Agus Salim juga menerangkan bahwa agama yang menghambakan manusia kepada tanah air mendekatkan kepada persaingan berebut-rebutan kekayaan, kemegahan dan kebesaran, memperhinakan dan merusakkan tanah air orang lain dengan tidak mengingati hak dan keadilan. Inilah bahayanya apabila kita menghamba dan membudak kepada Ibu Pertiwi yang menjadi tanah air kita itu karenanya sendiri saja; karena eloknya dan cantiknya; karena kayanya dan baiknya, karena airnya kita minum, karena nasinya kita makan. Atas dasar Universitas Sumatera Utara 63 perhubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia belaka tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan. Agus Salim menganjurkan dan mengajak kepada seluruh bangsa Indonesia, terutama di kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasionalis sekuler, agar di dalam mencintai tanah air itu hendaklah dirinya menempatkan cinta rohaniahnya diatas tujuan kebendaan. Cinta tanah air mestinya menunjukkan cita-cita yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak keadilan dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya dalam pengabdian kepada Allah sebagai cermin iman kita kepadaNya. Akan tetapi bagi Soekarno, gagasan pemikiran mengenai nasionalisme lain baginya. Nasionalisme yang ia perjuangkan dan kemukakan tidak sama dengan yang berkembang di Barat. Hal itu timbul dari kesombongan belaka. Seterusnya Soekarno menegaskan: 42 “Nasionalisme ketimuran ini telah memberi inspirasi kepada berbagai pemimpin Asia, seperti Mahatma Gandhi, CR Das dan Arabindo Ghose dari India, Mustofa Kamil dari Mesir, dan Sun Yat Sen dari Cina. Bahwa nasionalisme kita ini membuat kita jadi perkakas Tuhan dan membuat kita hidup dalam roh. ” Di samping itu Soekarno juga mengatakan, bahwa nasionalismenya itu bukanlah chauvinisme, bukan pula suatu penjiplakan daripada nasionalisme Barat. Tetapi nasionalisme itu timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat. Nasionalisme yang sedemikian itu menimbulkan keinsyafan kepada kita bahwa negeri dan rakyat kita adalah sebagian dari dunia dan rakyat dunia. Oleh karena itu bukan saja menjadi hamba tumpah darah kita, tetapi juga menjadi hamba Asia, juga menjadi hamba kaum sengsara dan hamba dunia. 42 Ibid Hal 51 Universitas Sumatera Utara 64 Atas cap dari Agus Salim tentang nasionalismenya dengan berhala agama, Soekarno menantangnya sebagai berikut: 43 “Jikalau memang harus disebutkan begitu, jikalau itu yang disebutkan menyembah berhala, jikalau itu yang disebutkan membudak kepada benda, jikalau itu yang mendasarkan diri atas keduniaan, maka kita kaum nasionalis Indonesia, dengan segala kesenangan hati bernama mendasarkan diri atas keduniaan itu, sebab kita yakin bahwa nasionalisme pendekar itu, yang dalam hakikatnya tidak beda asal dan tidak beda sifat dengan nasionalisme kita, adalah nasionalisme yang luhur. ” Gagasan Soekarno tersebut sangat penting artinya dalam kaitannya dengan perkembangan politik di Indonesia, sebab gagasan diatas menjadi lawan yang tangguh bagi gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Agus Salim dan yang sepaham, yaitu yang mengajukan tentang nasionalisme Islam. Sebagai jawaban Agus Salim atas tantangan Soekarno tersebut, beliau mengatakan sebagai berikut: Tidak ada perbedaan dalam hal maksud, tujuan dan bidang kerja, hanya saja berbeda dalam dasar dan niat masing-masing. Asas kita agama, yaitu Islam. Niat kita Lillahi Ta’ala. Rela menerima tewas pada jalan Allah perintahNya, syukur jika mendapat kemenangan di jalan itu. Tetapi tetap dalam kalah menang, menyerahkan nasib bagaimanapun akan jatuh keputusannya Subhanahu wa Ta’ala. Sekali lagi Agus Salim mengingatkan mereka, bahwa pemimpin- pemimpin tersebut Mahatma Gandhi dan lain-lain tidak bisa lepas dari berbuat salah. Oleh sebab itu tidak patut dijadikan ukuran, apalagi dijadikan pedoman. Cukup mengambil teladan dari Ibrahim A.S yang kemurnian perjuangannya telah dijamin oleh Tuhan. Apabila pujian itu untuk mereka manusia biasa saja, mudah sekali berubah menjadi caci makian. Lebih lanjut Agus Salim mengatakan bahwa hanya Allah SWT semata yang dapat menjaga kesucian perjuangan. Perjuangan kita tidak bersandar kepada persatuan, melainkan semata-mata bersandar kepada 43 Ibid Hal 51 Universitas Sumatera Utara 65 Allah SWT. Manusia itu timbul keserakahannya apabila mendapat keuntungan. Di sinilah diperlukannya sikap dan niat Lillahi Ta’ala, agar tidak jatuh pada sikap yang demikian. Nasionalisme menurut Haji Agus Salim ditinjau dari Islam menunjukkan bahwa ide dasar pemikirannya berlandaskan ajaran-ajaran Islam yaitu arti pentingnya mempertahankan kedaulatan suatu bangsa dan negara dari tangan penjajah. Ini menunjukkan bahwa ideologi yang dipegang Haji Agus Salim adalah nasionalisme atau cinta tanah air, karena Haji Agus Salim ingin membebaskan warga negara dari ketertindasan yang merupakan masalah yang paling krusial dalam masyarakat untuk diperangi agar terciptanya suatu keadaan atau suasana yang tenteram dan damai, ini sesuai dengan Al- Qur’an dalam surat al-Hujurat ayat 9 yang berbunyi: 44 “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil .” QS. Al-Hujurat ayat 9. Haji Agus Salim sangat menyakini kebenaran Islam sebagai suatu ideology kenegaraan. Sebagai suatu ideology, Islam dalam pandangan Haji Agus Salim mempunyai cakupan pengertian yang sangat luas. Cakupan kehidupan ini tidak hanya meliputi kehidupan dunia, tetapi juga kehidupan akhirat. Segala aspek yang terdapat dalam kehidupan dunia dan akhirat itu diatur oleh ajaran- ajaran Islam. Oleh karena itu Islam merupakan suatu ajaran yang serba mencakup. Dalam hal ini Haji Agus Salim mengikuti prinsip Al-Quran agar setiap orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaknya mengatur seluruh aspek kehidupannya secara Islami. 44 QS. Al-Hujurat : 9 Universitas Sumatera Utara 66 “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhanny a”. Konsekuensi dari firman Allah ini adalah bahwa seorang manusia itu tidak lebih hanya merupakan seorang hamba Allah yang harus mematuhi segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Yang namanya seorang hamba adalah manusia yang jauh lebih banyak berusaha untuk menunaikan kewajibannya daripada menuntut hak yang dimilikinya. Sikap seorang hamba lainnya adalah selalu berusaha menerjemahkan perintah-perintah Tuhannya yang seringkali tanpa diikuti oleh keinginan untuk mempertanyakan perintah-perintah tersebut. Oleh karena ia yakin bahwa segala perintah itu benar. Prinsip penghambaan diri kepada Allah seperti inilah yang tampaknya dijadikan dasar ideologis Haji Agus Salim dalam meneropong persoalan-persoalan kehidupan yang terjadi di sekitarnya. Dari gagasan-gagasan polemiknya dengan Soekarno, terkesan bahwa Haji Agus Salim memandang ajaran Islam bukan semata-mata sebagai agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya hablun minallah, tetapi juga antara manusia dengan sesamanya hablun minannas. Islam adalah sebuah ideology yang mampu membimbing manusia dalam hidupnya di dunia guna mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Dalam kehidupan politik, manusia membutuhkan dasar ideologi ini. Dengan demikian seorang Muslim tidak mungkin melepaskan keterlibatannya dalam politik tanpa member perhatian kepada Islam. Berdasarkan pemikiran ideologinya itu, Haji Agus Salim menolak segala bentuk pemikiran sekular, sebab pemikiran tersebut mengabaikan nilai- nilai transedental Islam. Ini sekaligus merupakan bahaya tersendiri bagi umat Islam. Haji Agus Salim menegaskan bahwa paham sekularisme mengandung bahaya-bahaya. Ia juga mengemukakan bahwa sekularisme adalah suatu pandangan hidup, opini-opini, tujuan-tujuan dan sifat-sifat yang dibatasi oleh batas-batas keberadaan duniawi. Dalam kehidupan seorang sekularis tidak terdapat tujuan-tujuan apa pun yang akhirnya kehilangan makna hidup dan mengalami spiritual degeneration kemerosotan spiritual. Pemahaman Haji Universitas Sumatera Utara 67 Agus Salim tentang bahaya sekularisme dan Islam sebagai ideologi perlu dikemukakan dalam hubungan ini karena pemahamannya itu mempunyai kaitan yang erat dengan pandangannya tentang masalah persatuan agama dan negara. Keyakinan Haji Agus Salim akan kebenaran Islam sebagai ideologi inilah yang membuatnya gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan gagasan persatuan agama dengan negara. Keyakinannya itu juga membuatnya begitu peka terhadap nilai-nilai sekular yang dianggapnya bertentangan dengan Islam. Haji Agus Salim mengemukakan salah satu sebab mengapa orang tidak sependapat dengan gagasan persatuan agama dan negara adalah karena terdapatnya gambaran keliru mengenai negara Islam. Haji Agus Salim menganggap kekeliruan tersebut karena ketidaktahuan mengenai gambaran negara Islam yang sesungguhnya. Kekhalifahan Usmaniah terakhir di Turki yang menurut Soekarno dianggap sebagai negara Islam, oleh Agus Salim dinilai tidak mencerminkan cirri-ciri negara Islam. Kekhalifahan ini penuh penyimpangan- penyimpangan Islam dalam praktik kenegaraannya. Haji Agus Salim mencoba menjernihkan gambaran negara Islam sebagaimana yang dipahami Soekarno maupun kalangan nasionalis yang antipersatuan agama dan negara. Seperangkat hukum-hukum saja, bagaimanapun kelebihan yang dimilikinya, tidak akan mampu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera, atau meminjam istilah Al- Quran “baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur negeri yang bai k, aman, dan memperoleh ampunan Tuhan”. Agar hukum- hukum tersebut mampu menjamin dan membentuk masyarakat yang diidam- idamkan, maka mutlak diperlukan adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana. Kekuatan eksekutif tersebut adalah negara. Di sinilah arti pentingnya lembaga negara sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hukum itu. Bagi Agus Salim, oleh karena negara itu hanya merupakan alat untuk merealisasikan hukum-hukum Allah, maka hal ini dapat diartikan bahwa negara itu sifatnya bisa saja sementara. Sebab manakala tujuan yang dikehendaki Islam telah tercapai, dengan sendirinya ada kemungkinan negara tidak diperlakukan lagi. Sifat dan watak asli hukum-hukum Allah syariah Islam memberikan bukti lain tentang keharusan menegakkan negara sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum tersebut. Yaitu dengan terdapatnya petunjuk kuat bahwa hukum- Universitas Sumatera Utara 68 hukum itu diwahyukan demi menciptakan negara dan mengorganisasikan berbagai aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi maupun budaya dalam masyarakat umat manusia. Yang menjadi sifat dan watak asli hukum-hukum Allah itu, pertama, bahwa hukum-hukum itu meliputi sejumlah hukum dan aturan, yang dalam tingkatan tertentu, membentuk suatu sistem sosial. Oleh karena di dalam sistem hukum ini aturan pokok yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai makhluk sosiokultural dapat ditemukan. Kedua, yaitu bahwa pelaksanaan semua hukum-hukum itu mempunyai tingkat ketergantungan yang besar dengan keberadaan negara yang akan dijadikan alat untuk melaksanakannya. Dalam polemiknya dengan Soekarno, terlihat bahwa Agus Salim mencari dasar suatu pemerintahan negara. Dasar pemerintahan negara, menurut Agus Salim telah jelas dan pasti qath’i, yaitu Islam. Jadi prinsip pemerintahan negara ini tidak boleh yang lain, sekalipun ditentukan melalui musyawarah parlemen atau meminta persetujuan mayoritas warga negara. Dalam hubungan inilah Agus Salim pernah menyatakan bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan pada saat itu, yaitu sekularisme atau paham agama. Maka negara yang dikehendaki Agus Salim adalah negara yang pada prinsipnya diatur oleh syariat Islam. Pandangan Agus Salim urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Ia menegaskan bahwa dalam Islam mustahil memisahkan agama dari politik. Islam, menurutnya adalah ideologi komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia di dunia ini. Universitas Sumatera Utara 69

BAB 4 PENUTUP