10
nasionalisme didefenisikan sebagai gerakan politik yang berusaha memperoleh atau menerapkan kekuasaan negara dan memberi pembenaran terhadap tindakan
tersebut dengan argumen-argumen nasionalis
12
. Singkatnya, nasionalisme merupakan produk dan sejarah bangsa itu
sendiri. Nasionalisme merupakan fenomena historis, timbul sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik ekonomi dan sosial tertentu. Kondisi-
kondisi yang dimaksudkan adalah munculnya kolonialisme dari suatu negara terhadap negara lainnya. Hal ini terjadi sebab nasionalisme itu sendiri muncul
sebagai suatu reaksi terhadap kolonialisme, reaksi yang berasal dari sistem eklploitasi yang selalu menimbulkan pertentangan kepentingan secara terus
menerus. Dan hal ini tidak hanya terjadi dalam bidang politik, tapi juga dalam bidang ekonomi, sosial dan kultural
13
. Oleh sebab itu, suatu gerakan-gerakan yang bersifat nasional yang muncul menentang kolonialisme dan berusaha untuk
melepaskan diri dari belenggu tersebut didorong oleh semangat nasionalisme.
1.5.2 Hubungan antara Negara dengan Agama
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya
14
. Negara merupakan organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara
sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan
batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik individu, golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri.
Negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya baik itu dalam hal untuk mendapatkan haknya.
Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dalam
rangka ini boleh dikatakan bahwa negara mempunyai dua tugas:
12
Mas’oed Mohtar dan Safroedin Bahar, ”Nasionalisme dan Tantangan Global Masa Kini dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional
” Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998, hal. 161.
13
Sartono Kartodirjo, “Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad 19 dan Abad 20”, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1972, hal. 56-57.
14
Miriam Budiardjo, “Dasar-dasar Ilmu Politik” Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
11
1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni
yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan.
2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-
golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi
kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.
Menurut Harold J. Laski, Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang bersifat memaksa dan yang
secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat The state is a society which is integrated by possessing a
coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society. A society is a group of human beings living together and working
together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society is a state when the way of life to which both individuals and associations must conform is
defined by a coercive authority binding upon them all
15
. Menurut Max Weber, Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah The state is a human society that succesfully claims the monopoli of the
legitimate use of physical force within a given territory
16
. Hubungan antara negara dan agama erat kaitannya dengan keyakinan atau
kepercayaan mayoritas masyarakat didalam suatu negara itu sendiri. Negara merupakan suatu bentuk wilayah atau kawasan dimana mayoritas masyarakat itu
bertempat tinggal dan memiliki identitas sosial yang berkaitan dengan aliran kepercayaan ataupun agama. Agama merupakan bentuk kepercayaan dari umat
yang meyakininya bahwa didalam aliran yang mereka percayai terdapat wujud kebaikan untuk pribadi, golongan, maupun orang lain.
15
Harold J. Laski, “The State in Theory and Practice” New York: The Viking Press, 1947, hal. 8-9.
16
H.H Gerth and C. Wright Mills, trans, eds and introduction, From Max Weber: “Essay in Sociology” New York: Oxford University Press, 1958, hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
12
Holyoake memandang sekularisme sebagai sebuah tatanan sosial yang memisahkan hubungan agama dengan pemerintahan tanpa merendahkan
kepercayaan dari seseorang. Agama dinilai sebagai sebuah hal yang pribadi di dalam setiap insan manusia. Pemerintah selayaknya tidak mencampuri urusan
keyakinan seseorang apalagi sampai mempolitisasi agama. Sekularisme dianggap sebagai sebuah solusi dalam menjamin kebebasan beragama.
Berkembangnya pemahaman mengenai sekularisme diikuti dengan kemunculan negara sekular. Negara sekular merupakan negara yang memisahkan
urusan agama dengan urusan negara. Ada tiga model negara sekular yaitu pertama, negara sekular yang sama sekali anti dengan agama dalam kehidupan
sosial, ekonomi dan politik. Kedua, negara sekular yang melakukan upaya tegas dalam pemisahan agama dengan negara dan terakhir adalah negara sekular yang
memiliki kepentingan terhadap agama dengan menjadikan negara religious. Tak hanya cukup mengurai sekularisme dan negara sekular, hubungan
negara dan agama menjadi poin penting dalam penelitian ini. Negara dan agama diyakini dua hal yang berkaitan erat dan sulit untuk dipisahkan, disebutkan juga
sebagai negara Teokrasi. Modelnya ada dua yakni yang langsung dimana percaya bahwa pemerintahan suatu negara merupakan otoritas dari Tuhan, sedangkan
tidak langsung mempercayai bahwa pemimpin di satu negara memerintah atas kehendak dari Tuhan.
Negara dan agama merupakan dua hal yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Akan tetapi antara negara dan agama sering terjadi perselisihan.
Pihak agama sering merasa memiliki hak dalam urusan keputusan pemerintah. Sehingga negara seringkali dikuasai oleh agama mayoritas di suatu negara.
Upaya negara dalam mengelola kelompok-kelompok lain merupakan sebuah cara yang dilakukan oleh negara untuk dapat mengantisipasi dan menyelesaikan
konflik yang akan maupun sudah timbul akibat dari keberagaman. Negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan memaksa rakyat agar mematuhi
upaya yang dilakukan khususnya dalam mengelolah kelompok minoritas yang cenderung mengalami pergesekan sosial dan berpotensi menimbulkan konflik.
Universitas Sumatera Utara
13
1.6. Metode Penelitian