Latar Belakang FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum sesuai dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 setelah amandemen, yang menyatakan. ” Negara Indonesia adalah Negara Hukum “ , Hal tersebut sebagai dasar konstitusional semua organ yang bertindak sebagai penegak hukum tersebut di dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya untuk menegakkan hukum. Penegakkan hukum tersebut bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan keadilan bagi masyarakat. Dalam suatu negara hukum seperti di Indonesia, lembaga peradilan merupakan tumpuan harapan untuk memperoleh keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam negara hukum adalah melalui lembaga peradilan. Suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat bagi negara hukum. Bebas berarti tidak adanya campur atau turun tangan dari kekuasaan Executive dan Legislative . Lembaga peradilan sebagai motor atau penggerak dari sistem peradilan tersebut di dalam pelaksanaannya memunculkan kekuasaan kehakiman. Di dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan pengertian “ Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” . Selanjutnya di dalam Bab III tentang pelaku kekuasaan kehakiman Pasal 18, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” commit to user 2 Di dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menjelaskan bahwa “ Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Akan tetapi, Mahkamah Agung bukan satu-satunya lembaga yang melakukan pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Berdasarkan Pasal 24B Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu, diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung meliputi pelaksanaan tugas yudisial, administrasi, dan keuangan, sedangkan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial adalah pengawasan atas perilaku hakim, termasuk hakim agung. Dalam rangka pengawasan diperlukan adanya kerja sama yang harmonis antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” . Di dalam alam terminologi hukum dikenal namanya das sein and das sollen harapan dan kenyataan. Sama halnya dengan peradilan bersih, sebuah harapan dan cita -cita mulia mendambakan ada peradilan yang benar-benar bersih sebagai wadah para pencari keadilan memperjuangkan dan mempertahankan serta mendapatkan hak-haknya. Alam realitas hukum yang terjadi, tidaklah demikian dan dalam tataran realitasnya berbanding jauh panggang dari api. Peradilan yang bersih dan berwibawa hanyalah sebuah angan-angan atau cita-cita semata yang hanya diinginkan, apabila peradilan itu sendiri belum bisa bersih dari mafia peradilan. Sebagai lembaga peradilan sudah selayaknya menjunjung tinggi yang namanya keadilan tanpa memandang kepentingan-kepentingan di dalamnya yang bisa mempengaruhi keadilan itu sendiri. commit to user 3 Perwujudan peradilan yang bersih adalah sesuatu yang nihil untuk tercapai apabila pelaksana sistem peradilan tersebut yaitu Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya serta organ-organ yang ada di dalamnya belum dapat terbebas dari berbagai hal yang dapat menciderai keadilan itu sendiri. Bukan menjadi hal yang tabu di masyarakat saat ini kalau mengatakan mereka yang mempunyai uang dan jabatanlah yang bisa mendapatkan keadilan tersebut. Masyarakat yang mulai gerah dengan perlakuan diskriminasi di muka hukum tidak serta merta diam begitu saja, melalui berbagai LSM mereka mulai membongkar dan menyuarakan suaranya lewat media elektronik maupun media cetak, mengenai apa yang mereka sebut dengan kebobrokan sistem peradilan saat ini. Sering didengar unkapan kiasan: “pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan”, yang seharusnya bukan suatu khayalan atau angan-angan, tetapi “ideal” cita-cita. Dalam kenyataannya sekarang terdapat kritik dan ketidakpercayaan pada pengadilan, yang pada intinya mengandung tuduhan terjadinya “ketidakadilan”, dan mengandung gugatan bahwa pengadilan tidak dapat memperbaiki yang salah to right wrongs . Kegagalan pegadilan ini merupakan pula suatu kegagalan sistem hukum di dalam memberi keadilan. Kegagalan semacam ini tidak dapat dipersalahkan pada perorangan oknum ataupun sekelompok orang hakim dan advokat “hitam” misalnya. Hal ini harus dilihat sebagai akibat “macetnya” break down sistem, yang karena itu tidak dapat berfungsi dengan baik. Pengawasan “melekat” build-in control yang selalu dipersipakan dalam suatu sistem, yang seharusnya dpat mengatasi hal semacam ini tidak dapat berjalan Jurnal Hukum Pantarei.2009. Vol 1 No 4:20. Menurut Wirawan Adnan, salah seorang Tim Pengacara Pembela Muslim, adanya berbagai pungutan liar di dunia peradilan termasuk suap atau makelar kasus, hanyalah gejala dari adanya mafia peradilan. Pungutan liar yang pada kenyataannya dibiarkan berjalan oleh pimpinan instansi setempat memperkuat beroperasinya mafia peradilan. Contoh praktis adalah jika kita menginginkan memperoleh salinan putusan pengadilan, yang seharusnya diberikan gratis commit to user 4 kepada masing-masing pihak yang berperkara, kenyataannya kita diminta untuk membayar Jonaedi Efendi, 2010:18. Seperti dalam kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Saat dibukanya rekaman pembicaraan hasil sadapan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dari telepon milik pengusaha Anggodo Widjojo dalam sidang di Mahkamah Konstitusi MK pada bulan November 2009 yang lalu seakan membuka mata dan telinga seluruh masyarakat Indonesia mengenai keberadaan mafia di sistem peradilan di Indonesia. Dari rekaman berdurasi sekitar 4,5 jam itu terungkap adanya konspirasi antara pejabat di Kepolisian, Kejaksaan, pengacara serta sejumlah orang di lingkaran dunia hukum dengan Anggodo untuk menjebak pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Rekaman pembicaraan tersebut seakan telah membeberkan dengan jelas bagaimana permainan aparat hukum baik kepolisian, kejaksaan dan pengacara dalam merekayasa atau mengarahkan suatu perkara mulai dari membuat keterangan palsu di BAP sampai menyuap para penyidik di Kepolisian. Terungkapnya rekayasa peradilan ini, juga menyadarkan semua pihak bahwa kebobrokan sistem hukum yang selama ini seakan hanya bayangan, ternyata benar-benar ada dan terbukti didepan mata. Rekayasa peradilan diskenariokan oleh mereka yang mempunyai kepentingan untuk mencapai tujuannya, tanpa menghiraukan aturan hukum yang berlaku. Yang sebagian mereka mengandalkan loby-loby karena adanya hubungan pertemanan atau adanya ikatan saudara dan juga disertai dengan pemberian penghargaan yang di nominalkan dengan besaran pemberian uang, apabila apa yang mereka kehendaki dapat dilaksanakan. Hal inilah yang merusak tatanan hukum di negara Indonesia, mereka melakukan hal tersebut tanpa adanya rasa bersalah dan bahkan sebagian mereka menganggap ini sudah menjadi budaya di negara kita Jonaedi Efendi, 2010:9-10. Dari sisi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di dalam upaya memberantas mafia hukum mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Dibentuknya commit to user 5 Satuan Tugas satgas pemberantasan mafia hukum tersebut adalah salah satu wujud keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas keberadaan mafia hukum. Satgas Mafia Hukum yang dibentuk pemerintah ini, memfokuskan pada sembilan kategori praktek mafia hukum meliputi mafia peradilan, korupsi, pajak dan bea cukai, tambang, kehutanan, perikanan, perbankan, pertanahan serta narkoba. Diharapkan dengan dibentuknya satuan tugas pemberantasan mafia hukum ini upaya pemberantasan korupsi akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan tanpa adanya tebang pilih dan prioritas kasus mana yang harus. Dengan segala keterbatasan wewenangnya yang hanya bertugas melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi dan pemantauan pemberantasan mafia hukum dapat berjalan efektif. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam yang tertuang dalam bentuk penelitian dengan judul: “ FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka perumusan yang diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah yang melatarbelakangi dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum? 2. Bagaimanakah fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dalam mendukung sistem peradilan yang bersih dan berwibawa?

C. Tujuan Penelitian