FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA

(1)

commit to user

FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG

BERSIH DAN BERWIBAWA

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

M. Rusydi Prasetya NIM. E 0005210

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010


(2)

commit to user ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA

Oleh

M. Rusydi Prasetya NIM. E 0005210

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, November 2010

Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Sugeng Praptono, S.H., M.H. Isharyanto, S.H., M.M.


(3)

commit to user iii

PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi )

FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA

Oleh :

M. Rusydi Prasetya NIM. E 0005210

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Senin

Tanggal : 17 Januari 2011

DEWAN PENGUJI

1.Sutedjo, S.H.,M.H. : ... Ketua

2.Sugeng Praptono,S.H.,M.H. : ... Sekretaris

3.Isharyanto,S.H.,M.H. : ... Anggota

Mengetahui Dekan,

Mohammad Jamin, S.H., M.Hum NIP.19610930 198601 1001


(4)

commit to user iv

PERNYATAAN Nama : M. Rusydi Prasetya

NIM : E0005210

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 28 November 2010 Yang membuat pernyataan

M. Rusydi Prasetya NIM. E0005210


(5)

commit to user v

ABSTRAK

M. Rusydi Prasetya. E.0005210. 2010. FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban mengenai latarbelakang pembentukan satuan tugas pemberantasan mafia hukum dan fungsi satgas pemberantasan mafia hukum dalam mendukung peradilan yang bersih dan berwibawa.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif dan terapan untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum terkait isu hukum mengenai fungsi satgas pemberantasan mafia hukum dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk menelaah isu hukum ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan historis. Adapun, untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya digunakan jenis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai bahan pengkajian dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun elektonik (internet). Selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis dengan teknik analisis silogisme dan interpretasi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa pembentukan satgas pemberantasan mafia hukum yang dibentuk oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono adalah upaya yang dilakukan presiden untuk melakukan pemberantasan hukum dan mengembalikan citra pengadilan yang bersih dan berwibawa. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sesuai dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab III Pasal 4 ” Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” . Presiden mempunyai kewenangan membentuk lembaga negara bantu untuk memudahkan tugas presiden untuk memberantas mafia hukum yang bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui Unit kerja Presiden bidang pengawasan dan pembangunan (UKP4). Satgas pemberantasan mafia hukum didalam menjalankan fungsinya mempunyai kewenangan melakukan koordinasi, koordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan/monitoring.

Kata Kunci: Fungsi, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Peradilan Bersih dan Berwibawa.


(6)

commit to user vi

ABSTRACT

M. Rusydi Prasetya. E.0005210. 2010. TASK UNIT FUNCTION OF THE MAFIA LAW ERADICATION IN SUPPORTING THE CLEAN AND RESPECTABLE JUSTICE. Law Faculty of Sebelas Maret University Surakarta.

This study aimed to obtain answers about the background of the formation of a task force to eradicate mafia law and the function of the eradication task force of law in supporting the clean and respectable justice.

This is a prescriptive and normative law research and applied to find the rule of law, legal principles, as well as legal doctrines related to legal issues regarding the function of task force to eradicate mafia law in the Constitutional Law of Indonesia. Some approaches used to examine this legal issue are legislation and historical approaches. Now, to resolve legal issues and provide prescriptions about what should be used when the type of primary law materials and secondary legal materials as a material assessment by technique studies document collection of legal materials or library materials from both print and electronic media (internet). Further legal materials were analyzed with analysis techniques of syllogisms and interpretation

Based on the research and discussion concluded that the formation of task force to eradicate mafia law established by the President of the Republic of Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono to combat and restore the image of a court of law and clean and respectable. President as the appropriate government authority in the Act of 1945 Chapter III Article 4 "The President of the Republic of Indonesia shall hold the power of government by the Constitution." The President has the authority to establish state institutions help to ease the task of the president to eradicate mafia law which is directly responsible to the president through the work unit President of supervision and development (UKP4). Task Force to eradicate mafia law in carrying out its functions has the authority to make coordination, evaluation, correction, and monitoring.

Keyword: Fungtion, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, The clean and respectable justice


(7)

commit to user vii MOTTO

“Jangan ada rasa takut sedikitpun untuk melangkah dalam kebenaran, walaupun berat dalam menapakinya, dan yakinkan diri kalau Allah S.W.T selalu melindungi

hambanya yang berada dalam jalanNYA” ( Ayahnda )

“Jangan hidup seperti pohon padi setelah berisi lalu menunduk dan ditebas dengan sabit, Hiduplah seperti pohon kurma, walaupun dilempari dia justru memberi

kurma-kurmanya yang manis, dan semakin panas angin yang menerpa semakin masak dan terus menjadi sempurna.”

(Bunda)

“Selesaikan tanggungjawab yang diamanahkan kepadamu dengan usaha semaksimalnya niscaya kamu akan merasakan suatu kepuasaan yang sebanding

dengan usaha yang telah kamu lakukan untuk menyelesaikan tanggungjawab tersebut”

(M.Rusydi Prasetya) GV-215/XXII


(8)

commit to user viii

PERSEMBAHAN

Penulisan hukum ( skripsi ) ini Penulis persembahkan untuk :

Allah SWT, dzat dimana semuanya didalam gengamannya.

Rosulullah S.AW., sebagai panutan umat manusia.

Ayah dan Ibu Tercinta Keluarga Penulis

Gopala Valentara Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum


(9)

commit to user ix

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Alhamdulillahirabbillalamin

Segala puji syukur atas kehadirat Allah AWT karena hanya dengan berkah, rahmat, karunia, dan ridho-Nya, sehingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul “ FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA” dengan baik dan lancar.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini, masih banyak kekurangannya. Untuk itu Penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, sehingga dapat memperkaya isi penulisan hukum ini.

Penulis yakin bahwa keberhasilan di dalam penyelesaian penulisan hukum ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini, Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. Selaku dekan Fakulktas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

2. Bapak Djatmiko Anom H, S.H. selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

3. Bapak Sugeng Praptono, S.H., M.H. dan Bapak Isharyanto, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Penulisan Hukum (Skripsi) yang telah meluangkan waktu dan memberikan masukan yang membangun dalam memberikan arahan dan bimbingan bagi tersusunnya skripsi ini.

4. Ibu Aminah, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta atas segala kemudahan yang diberikan kepada penulis.


(10)

commit to user x

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan jerih payah dan penuh keihklasan mendidik dan menuangkan ilmu sehingga mampu menjadi bekal untuk lebih memperdalam penguasaan ilmu hukum saat ini dan nantinya.

6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selama ini telah membantu Penulis dalam hal akademis dan hal-hal lain yang berkenaan dengan perkuliahan.

7. Kedua Orang Tuaku Bapak Sarno Hammam dan Ibu Rela Setiyani. Terimakasih atas kasih sayang, kesabaran serta dukungan tiada henti kepada Penulis.

8. Hardianto Wibowo, S.H, teman saya alumni Fakultas Hukum Trisakti dan Kak Zamrony, S.H., M.Kn, Anggota Luar Biasa Gopala Valentara selau Tim Assisten Divisi Kajian dan Riset yang telah memberikan masukan dan data-data yang diperlukan penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi.

9. Serta semua keluarga Trah Karto Maryono yang yang selalu memberikan dukungan moril maupun spirituil kepada penulis.

10.Saudara-saudaraku seperjuangan DIKLATSAR XXII, Dimas Ragil, Muyasaroh, Made Sanjaya , Ronggo Warsito, Devitha Kristi Rosali, Upik Handayani, Titus Cahyono, Rani Dwi Wati, Apriadi Rizal, Dian Perdana Ratri Hapsari, Nanang S, Dodi Tri Hari.

11.Segenap Keluarga besar Gopala Valentara PMPA FH UNS, Kakak-kakakku, Jhon Darwin Sitanggang, Agus Tri Anggoro, Andi Sophan serta adik-adikku semuanya. Yang telah memberikan ukiran dan pelajaran kehidupan kepada penulis mengenai apa arti dari kerja keras, tanggungjawab, kebersamaan dan kekeluargaan.

12.Teman-teman bulutangkis di PB.Poetra Soerayu, PB.Hukum Kedokteran. 13.Sahabat-sahabat terbaikku Abdul Wahid “she doel”, Muchlisin “kucing”,


(11)

commit to user xi

14.Seluruh teman mahasiswa fakultas hukum pada umumnya dan teman-teman angkatan 2005 pada khususnya.

15.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan karya yang sempurna, untuk itu kritik dan saran dari pembaca budiman sangat penulis perlukan. Akhirnya, semoga skripsi ini mampu memberikan mafaat bagi kita semua.

Surakarta, Desember 2010

M. Rusydi Prasetya E0005210


(12)

commit to user xii DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan Penguji ... iii

Halaman Pernyataan ... iv

Abstrak ... v

Abstract ... vi

Motto ... vii

Persembahan ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xii

Daftar Gambar ... xv

Lampiran ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori... 12

1. Tinjauan Umum tentang Hukum Tata Negara ... 12

2. Tinjauan Umum tentang Lembaga Negara ... 22

3. Tinjauan Umum tentang Sistem Peradilan Indonesia ... 26


(13)

commit to user xiii

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Dalam Tatanan Hukum Tata Negara Indonesia ... 1. Lembaga Negara Pasca Amandemen Undang-Undang

Dasar 1945 ... 31 2. Kekuasaan Presiden Sebagai Pemegang Kekuasaan

Eksekutif ... 37 a). Kewenangan Presiden ... 38 b). Kekuasaan Presiden ... 39 3. Dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia

Hukum ... 42 B. Fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ...

1. Keanggotaan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia

Hukum ... 46 2. Tugas dan Wewenang Satuan Tugas Pemberantasan

Mafia Hukum ... 47 3. Strategi Pencegahan dan Penindakan ... 47 4. Program Kerja Satuan Tugas Pemberantasan Mafia

Hukum Tahun 2010-2011 ... 48 5. Team Asistensi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia

Hukum ... 66 6. Laporan Triwulan 30 Desember 2009 – 30 Maret 2010 ... 71 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 79 B. Saran... 80


(14)

commit to user xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 29

Gambar 2. Laporan Pengaduan Berdasarkan Jenis Kasus ... 75

Gambar 3. Laporan Pengaduan Berdasarkan Lembaga Yang Diadukan ... 76

Gambar 4. Tindak Lanjut Pengaduan Berdasarkan Instansi ... 77


(15)

commit to user xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Delapan Program Kerja Satgas ... 50

Tabel 2. Susunan Anggota Tim Assistensi ... 66

Tabel 3. Laporan Pengaduan Berdasarkan Jenis Kasus ... 75

Tabel 4. Laporan Pengaduan Berdasarkan Lembaga Yang Diadukan ... 76

Tabel 5. Tindak Lanjut Pengaduan Berdasarkan Instansi ... 77


(16)

commit to user xvi LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.

Lampiran 2 Surat Keputusan Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Nomor SKEP 01/SATGAS/I/2010 tentang Tim Asistensi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.


(17)

commit to user DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i HALAMAN PERSETUJUAN ... ii HALAMAN PENGESAHAN ... iii ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... B. Rumusan Masalah ... C. Tujuan Penelitian ... D. Manfaat Penelitian ... E. Metode Penelitian ... F. Sistematika Penulisan Hukum ...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori... 1. Tinjauan Umum tentang Hukum Tata Negara ... 2. Tinjauan Umum tentang Lembaga Negara ... 3. Tinjauan Umum tentang Sistem Peradilan Indonesia ... B. Kerangka Pemikiran ...

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Dalam Tatanan Hukum


(18)

commit to user

1. Lembaga Negara Pasca Amandemen

Undang-Undang Dasar 1945 ... 2. Kekuasaan Presiden Sebagai Pemegang Kekuasaan

Eksekutif ... a). Kewenangan Presiden ... b). Kekuasaan Presiden ... 3. Dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia

Hukum ... B. Fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ...

1. Keanggotaan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia

Hukum ... 2. Tugas dan Wewenang Satuan Tugas Pemberantasan

Mafia Hukum ... 3. Strategi Pencegahan dan Penindakan ... 4. Program Kerja Satuan Tugas Pemberantasan Mafia

Hukum Tahun 2010-2011 ... 5. Team Asistensi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia

Hukum ... 6. Laporan Triwulan 30 Desember 2009 – 30 Maret

2010 ...

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... .xxx B. Saran... xxx


(19)

commit to user DAFTAR TABEL dan GAMBAR

Tabel 1. Sistematika Undang - Undang No 48 Tahun 2009 ... 52

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 31

Gambar 2. Teori Chaos menurut Charles Sampford ... 64

Gambar 3. Alur Perkembangan Kekuasaan Kehakiman ... 66

Gambar 4, Alur Proses Evolusi Tata Negara ... 71


(20)

commit to user

TASK UNIT FUNCTION OF THE MAFIA LAW ERADICATION IN SUPPORTING THE CLEAN AND RESPECTABLE JUSTICE.

This study aimed to obtain answers about the background of the formation of a task force to eradicate mafia law and the function of the eradication task force of law in supporting the clean and respectable justice.

This is a prescriptive and normative law research and applied to find the rule of law, legal principles, as well as legal doctrines related to legal issues regarding the function of task force to eradicate mafia law in the Constitutional Law of Indonesia. Some approaches used to examine this legal issue are legislation and historical approaches. Now, to resolve legal issues and provide prescriptions about what should be used when the type of primary law materials and secondary legal materials as a material assessment by technique studies document collection of legal materials or library materials from both print and electronic media (internet). Further legal materials were analyzed with analysis techniques of syllogisms and interpretation

Based on the research and discussion concluded that the formation of task force to eradicate mafia law established by the President of the Republic of Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono through Presidential Decree No. 37 of 2009 were efforts made by the president to combat and restore the image of a court of law and clean and respectable. President as the appropriate government authority in the Act of 1945 Chapter III Article 4 "The President of the Republic of Indonesia shall hold the power of government by the Constitution." The President has the authority to establish state institutions help to ease the task of the president to eradicate mafia law which is directly responsible to the president through the work unit President of supervision and development (UKP4). Task Force to eradicate mafia law in carrying out its functions has the authority to make coordination, evaluation, correction, and monitoring. Follow-up which is very slow from the public


(21)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum sesuai dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 setelah amandemen, yang menyatakan.” Negara Indonesia adalah Negara Hukum “ , Hal tersebut sebagai dasar konstitusional semua organ yang bertindak sebagai penegak hukum tersebut di dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya untuk menegakkan hukum. Penegakkan hukum tersebut bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan keadilan bagi masyarakat. Dalam suatu negara hukum seperti di Indonesia, lembaga peradilan merupakan tumpuan harapan untuk memperoleh keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam negara hukum adalah melalui lembaga peradilan. Suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat bagi negara hukum. Bebas berarti tidak adanya campur atau turun tangan dari kekuasaan Executive dan Legislative.

Lembaga peradilan sebagai motor atau penggerak dari sistem peradilan tersebut di dalam pelaksanaannya memunculkan kekuasaan kehakiman. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan pengertian “ Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Selanjutnya di dalam Bab III tentang pelaku kekuasaan kehakiman Pasal 18, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa

“ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”


(22)

commit to user

Di dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menjelaskan bahwa

“Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Akan tetapi, Mahkamah Agung bukan satu-satunya lembaga yang melakukan pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Berdasarkan Pasal 24B Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu, diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung meliputi pelaksanaan tugas yudisial, administrasi, dan keuangan, sedangkan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial adalah pengawasan atas perilaku hakim, termasuk hakim agung. Dalam rangka pengawasan diperlukan adanya kerja sama yang harmonis antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” .

Di dalam alam terminologi hukum dikenal namanya das sein and das sollen (harapan dan kenyataan). Sama halnya dengan peradilan bersih, sebuah harapan dan cita -cita mulia mendambakan ada peradilan yang benar-benar bersih sebagai wadah para pencari keadilan memperjuangkan dan mempertahankan serta mendapatkan hak-haknya. Alam realitas hukum yang terjadi, tidaklah demikian dan dalam tataran realitasnya berbanding jauh panggang dari api. Peradilan yang bersih dan berwibawa hanyalah sebuah angan-angan atau cita-cita semata yang hanya diinginkan, apabila peradilan itu sendiri belum bisa bersih dari mafia peradilan. Sebagai lembaga peradilan sudah selayaknya menjunjung tinggi yang namanya keadilan tanpa memandang kepentingan-kepentingan di dalamnya yang bisa mempengaruhi keadilan itu sendiri.


(23)

commit to user

Perwujudan peradilan yang bersih adalah sesuatu yang nihil untuk tercapai apabila pelaksana sistem peradilan tersebut yaitu Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya serta organ-organ yang ada di dalamnya belum dapat terbebas dari berbagai hal yang dapat menciderai keadilan itu sendiri. Bukan menjadi hal yang tabu di masyarakat saat ini kalau mengatakan mereka yang mempunyai uang dan jabatanlah yang bisa mendapatkan keadilan tersebut. Masyarakat yang mulai gerah dengan perlakuan diskriminasi di muka hukum tidak serta merta diam begitu saja, melalui berbagai LSM mereka mulai membongkar dan menyuarakan suaranya lewat media elektronik maupun media cetak, mengenai apa yang mereka sebut dengan kebobrokan sistem peradilan saat ini.

Sering didengar unkapan (kiasan): “pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan”, yang seharusnya bukan suatu khayalan atau angan-angan, tetapi “ideal” (cita-cita). Dalam kenyataannya sekarang terdapat kritik dan ketidakpercayaan pada pengadilan, yang pada intinya mengandung tuduhan terjadinya “ketidakadilan”, dan mengandung gugatan bahwa pengadilan tidak dapat memperbaiki yang salah (to right wrongs). Kegagalan pegadilan ini merupakan pula suatu kegagalan sistem hukum di dalam memberi keadilan. Kegagalan semacam ini tidak dapat dipersalahkan pada perorangan (oknum) ataupun sekelompok orang (hakim dan advokat “hitam” misalnya). Hal ini harus dilihat sebagai akibat “macetnya” (break down) sistem, yang karena itu tidak dapat berfungsi dengan baik. Pengawasan “melekat” (build-in control)

yang selalu dipersipakan dalam suatu sistem, yang seharusnya dpat mengatasi hal semacam ini tidak dapat berjalan (Jurnal Hukum Pantarei.2009. Vol 1 No 4:20).

Menurut Wirawan Adnan, salah seorang Tim Pengacara Pembela Muslim, adanya berbagai pungutan liar di dunia peradilan termasuk suap atau makelar kasus, hanyalah gejala dari adanya mafia peradilan. Pungutan liar yang pada kenyataannya dibiarkan berjalan oleh pimpinan instansi setempat memperkuat beroperasinya mafia peradilan. Contoh praktis adalah jika kita menginginkan memperoleh salinan putusan pengadilan, yang seharusnya diberikan gratis


(24)

commit to user

kepada masing-masing pihak yang berperkara, kenyataannya kita diminta untuk membayar (Jonaedi Efendi, 2010:18).

Seperti dalam kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Saat dibukanya rekaman pembicaraan hasil sadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari telepon milik pengusaha Anggodo Widjojo dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada bulan November 2009 yang lalu seakan membuka mata dan telinga seluruh masyarakat Indonesia mengenai keberadaan mafia di sistem peradilan di Indonesia. Dari rekaman berdurasi sekitar 4,5 jam itu terungkap adanya konspirasi antara pejabat di Kepolisian, Kejaksaan, pengacara serta sejumlah orang di lingkaran dunia hukum dengan Anggodo untuk menjebak pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Rekaman pembicaraan tersebut seakan telah membeberkan dengan jelas bagaimana permainan aparat hukum baik kepolisian, kejaksaan dan pengacara dalam merekayasa atau mengarahkan suatu perkara mulai dari membuat keterangan palsu di BAP sampai menyuap para penyidik di Kepolisian. Terungkapnya rekayasa peradilan ini, juga menyadarkan semua pihak bahwa kebobrokan sistem hukum yang selama ini seakan hanya bayangan, ternyata benar-benar ada dan terbukti didepan mata. Rekayasa peradilan diskenariokan oleh mereka yang mempunyai kepentingan untuk mencapai tujuannya, tanpa menghiraukan aturan hukum yang berlaku. Yang sebagian mereka mengandalkan loby-loby karena adanya hubungan pertemanan atau adanya ikatan saudara dan juga disertai dengan pemberian penghargaan yang di nominalkan dengan besaran pemberian uang, apabila apa yang mereka kehendaki dapat dilaksanakan. Hal inilah yang merusak tatanan hukum di negara Indonesia, mereka melakukan hal tersebut tanpa adanya rasa bersalah dan bahkan sebagian mereka menganggap ini sudah menjadi budaya di negara kita (Jonaedi Efendi, 2010:9-10).

Dari sisi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di dalam upaya memberantas mafia hukum mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Dibentuknya


(25)

commit to user

Satuan Tugas (satgas) pemberantasan mafia hukum tersebut adalah salah satu wujud keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas keberadaan mafia hukum. Satgas Mafia Hukum yang dibentuk pemerintah ini, memfokuskan pada sembilan kategori praktek mafia hukum meliputi mafia peradilan, korupsi, pajak dan bea cukai, tambang, kehutanan, perikanan, perbankan, pertanahan serta narkoba. Diharapkan dengan dibentuknya satuan tugas pemberantasan mafia hukum ini upaya pemberantasan korupsi akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan tanpa adanya tebang pilih dan prioritas kasus mana yang harus. Dengan segala keterbatasan wewenangnya yang hanya bertugas melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi dan pemantauan pemberantasan mafia hukum dapat berjalan efektif.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam yang tertuang dalam bentuk penelitian dengan judul: “

FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM

DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN

BERWIBAWA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka perumusan yang diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1.Apakah yang melatarbelakangi dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum?

2.Bagaimanakah fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dalam mendukung sistem peradilan yang bersih dan berwibawa?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui latarbelakang dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum; dan


(26)

commit to user

b. Untuk mengetahui fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dalam mendukung sistem peradilan yang bersih dan berwibawa. 2. Tujuan Subyektif

a. Untuk mengembangkan dan memperdalam pengetahuan penulis di bidang Hukum Tata Negara khususnya mengenai latarbelakang dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dalam mendukung peradilan yang bersih dan berwibawa; dan

b. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar S1 dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bermanfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Tata Negara pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan mengenai kedudukan dan fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dalam menegakkan peradilan yang bersih dan berwibawa dalam tatanan hukum tata negara Indonesia.

c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Guna mengembangkan penalaran ilmiah dan wacana keilmuan penulis serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh dalam bangku perkuliahan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi semua pihak yang bersedia menerima dan


(27)

commit to user

bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti serta bermanfaat bagi para pihak yang berminat pada permasalahan yang sama.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian guna mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, juga akan mempermudah pengembangan data, sehingga penyusunan penulisan hukum ini sesuai dengan metode ilmiah. Metode dalam penulisan ini dapat diperinci sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau doctrinal research yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35). 2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif . Artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008:22).

3. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud, 2008: 93). Adapun dalam penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan beberapa pendekatan yang relevan dengan permasalahan penelitian yang


(28)

commit to user

dihadapi, diantaranya adalah pendekatan perundang-undangan dimana munculnya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ini dari Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Yang didalamnya termuat wewenang, fungsi, serta tugas Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang perlu dikaji mengenai keberadaanya dalam Hukum Tata Negara Indonesia.

Pendekatan sejarah digunakan untuk mencari latarbelakang dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum oleh Presiden sebagai salah satu upaya yang dilakukan Presiden untuk memberantas keberadaan Mafia Hukum.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008:141).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis dan sumber bahan hukum primer dan sekunder. Tentunya sumber bahan hukum yang dimaksud berkaitan dan menunjang diperolehnya jawaban atas permasalahan penelitian yang diketengahkan penulis.

5. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka dalam penggumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan/studi


(29)

commit to user

dokumen. Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah silogisme dan interpretasi. Silogisme adalah metode argumentasi yang konklusinya diambil dari premis-presmis yang menyatakan permasalahan yang berlainan. Dalam mengambil konklusi harus terdapat sandaran untuk berpijak. Sandaran Umum dihubungkan dengan permaslahan yang lebih khusus melalui term yang ada pada keduanya (Mundiri, 2005:100).

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Adapun berdasarkan dasar penemuan hukum oleh hakim terdapat beberapa jenis interpretasi, diantaranya: interpretasi gramatikal yaitu penafsiran berdasarkan bahasa, Interpretasi teleologis atau sosiologis yaitu penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan, peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang baru, penafsiran sistematis adalah dengan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungnya dengan undang-undang lain. Interpretasi Historis yaitu makna undang-undang dapat dijelaskan dan ditafsirkan dengan jalan menelusuri sejarah yang terjadi. Ada dua jenis interpretasi sejarah, diantaranya penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Berikutnya ada penafsiran komparatif yaitu interpretasi yang hendak memperoleh penjelasan dengan jalan memperbandingkan hukum, Interpretasi futuristik merupakan metode penafsiran yang bersifat antisipatif yaitu hendak memperoleh penjelasan dari ketentuan perundangan dengan berpedoman pada


(30)

undang-commit to user

undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Beberapa jenis metode interpretasi pada kenyataannya sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapat dikatakan bahwa dalam setiap interpretasi atau penjelasan undang-undang mencakup berbagai jenis penafsiran (Sudikno Mertokusumo, 2003: 170-173).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan hukum semata-mata disajikan untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum sebagai karya ilmiah yang disesuaikan dengan kaidah baku penulisan suatu karya ilmiah. Adapun penulisan hukum (skripsi) ini nantinya terdiri dari 4 bab, yaitu: Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Pembahasan dan Penutup, Daftar Pustaka dan disertai lampiran-lampiran, yang apabila disusun, sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab Pendahuluan menyajikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan memberikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber dari bahan hukum yang penulis gunakan dan doktrin ilmu hukum yang dianut secara universal mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang tinjauan hukum tata negara, tinjauan tentang lembaga negara, tinjauan tentang sistem peradilan indonesia, tinjauan tentang mafia hukum. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur befikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pikir.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan mengungkapkan dan membahas hasil penelitian dari sumber data sekunder yang berupa analisis mengenai latar belakang dibentuknya satuan tugas (satgas) pemberantasan hukum dalam


(31)

commit to user

sistem ketatanegaraan Indonesia. Penulis juga mendeskripsikan hasil temuan tentang fungsi satuan tugas (satgas) pemberantasan mafia hukum didalam menciptakan peradilan yang bersih dan berwibawa di dalam hukum tata negara Indonesia.

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini penulis menyimpulkan hasil penelitian dan pembahasan, serta memberikan saran-saran sebagai sarana evaluasi terutama terhadap temuan-temuan selama penelitian yang menurut hemat penulis memerlukan perbaikan.


(32)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Hukum Tata Negara a. Konsep Negara Hukum

Konsep negara hukum dipahami sebagai suatu kondisi dalam masyarakat, di mana hukum dalam negara demokratis ditentukan oleh rakyat yang tidak lain merupakan pengaturan hubungan diantara sesama rakyat. Penelusuran konsep negara hukum sesungguhnya dapat dilakukan mulai dari Yunani dan Romawi Kuno, yang juga menjadi sumber teori kedaulatan. Menurut Jimly Asshidiqie, gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum (A. Muhammad Assrun, 2004:39-40)

Pertumbuhan konsep negara hukum menjelang abad XX yang ditandai dengan lahirnya konsep negara hukum modern (welfare state), dimana tugas negara sebagai penjaga malam dan kemananan mulai berubah. Konsepsi nachwachterstaat bergeser menjadi welvarsstaat. Negara tidak boleh pasif tetapi harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat, sehingga kesejahteraan bagi semua orang terjamin. Menurut Bagir Manan, konsepsi negara hukum modern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan negara kesejahteraan. Di dalam konsep ini tugas negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat saja, tetapi memikul tanggungjawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Ni’matul Huda, 2007:55-56)


(33)

commit to user

Menurut Scheltema Ajaran Negara berdasarkan atas hukum (de rechtstaat dan the rule of law) yang mengandung esensi bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada hukum (Subject to the law). Tidak ada kekuasaan diatas hukum (above to the law). Semuanya ada dibawah hukum (Under the rule of law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse power) baik pada kerajaan maupun republik. Secara maknawi, tunduk pada hukum mengandung pengertian pembatasan kekuasaan seperti halnya ajaran pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan (Bagir Manan , 2006:9-10). b. Ciri Negara Hukum

Pada zaman modern konsep negara hukum di Eropa Kontinenetal dikembangkan antara lain oleh Emmanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl dengan menggunakan istilah “rechststaat”. Sedangkan dalam tradisi Anglo Saxon (Amerika), konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “the rule of law”. Menurut Julius Stahl empat ciri negara hukum yang disebutnya “rechststaats” tersebut mencakup empat prinsip, antara lain:

1) Perlindungan Hak Asasi Manusia; 2) Pembagian Kekuasaan;

3) Pemerintahan berdasar undang-undang; dan 4) Adanya Pengadilan Tata Usaha Negara.

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan 3 ciri penting dalam setiap negara hukum yang disebutnya “ The Rule Of Law” , yaitu:

1) Supremacy of law;

2) Equality before the law;

3) Due process to law (Ni’matul Huda, 2007:55-56).

Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut diatas, pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip rule of law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk


(34)

commit to user

menandai ciri-ciri Negara hukum modern dizaman modern. Bahkan oleh “ The Internastional Commission of jurist”, prinsip-prinsip Negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan yang tidak memihak (indepedence and impartiality of judicary) yang pada zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang diangggap ciri penting negara hukum menurut “The International Commission Of Jurists” itu adalah:

1) Negara harus tunduk pada hukum;

2) Pemerintah menghormati hak-hak individu; 3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak; dan

Dari uraian-uraian diatas, dapat dirumuskan kembali adanya dua belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtstaat) yang merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara modern sehingga dapat disebut Negara Hukum yaitu:

1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Dalam republik yang menganut sistem presidensiil yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2) Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap diskriminatif dalam segala bentuk


(35)

commit to user

dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang jauh lebih maju.

3) Asas Legalitas (Due Process of Law)

Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (Due Process of Law) yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. 4) Pembatasan Kekuasaan

Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang.

Kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat

checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

5) Organ-organ Eksekutif Independen

Pembatasan kekuasaan dizaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang


(36)

commit to user

bersifat independen, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan atau pemberhentian pimpinannya.

6) Peradilan yang bebas dan tidak memihak

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang. Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa.

7) Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama negara hukum. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara. Peradilan Tata Usaha Negara ini penting karena yang menjamin agar warga negara tidak dizalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa.


(37)

commit to user

8) Peradilan Tata Negara (Constitusional Court)

Dalam negara hukum modern diharapkan adanya jaminan tegaknya keadilan tiap-tiap warga negara dengan mengadopsikan gagasan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya Mahkamah Konstitusi adalah upaya memperkuat sistem check and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.

9) Perlindungan Hak Asasi Manusia

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyaratkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis.

10)Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat)

Dalam prinsip demokrasi yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

11)Berfungsi sebagai sarana mewujudkan Tujuan Bernegara

(Welfare Rechtstaat)

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi maupun


(38)

commit to user

yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

12)Transparansi dan Kontrol sosial

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partispasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat (Jimly Asshiddiqie, 2005: 123-129).

c. Negara Hukum Indonesia

Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur dalam Penjelasan UUD 1945, dalam Perubahan UUD 1945 telah diangkat ke dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensi ketentuan tersebut adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum. Sekaligus ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun penduduk.


(39)

commit to user

Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula dimuat dalam Penjelasan, yang berbunyi: “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).” Disamping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat dalam Penjelasan: “Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).” Prinsip ini mengandung makna ada pembagian kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan (tidak absolut dengan kekuasaan tidak terbatas). Dengan ketentuan baru ini, maka dasar sebagai negara berdasarkan atas hukum mempunyai sifat normatif, bukan sekedar asas belaka. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Ni’matul Huda, 2007 : 62-63).

Dalam paham the rule of law, upaya untuk melindungi hak-hak asasi manusia diterapkan dengan prinsip “ equality before the law”

sedangkan dalam paham rechstaat dengan prinsip “ wetwetigheid”, yang kemudian menjadi “ rechmatigheid”. Negara hukum indonesia hendak mewujudkan asas kerukunan antara pemerintah dan rakyat bukan hanya dengan penekanan hak atau kewajiban melainkan, yang penting menjalin hubungan antara kedua hal tersebut. Perwujudan negara hukum indonesia hendaklah dibangun berdasarkan ciri-ciri : 1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yan didasarkan

asas kekeluargaan;

2) Hubungan fungsional antar kekuasaan negara yang proporsional; 3) Prinsip penyelesaian sengketa yang mengutamakan musyawarah

dan peradilan sebagai usaha terakhir;


(40)

commit to user

Mencermati uraian mengenai paham negara hukum rechstaat, the rule of law, dan negara hukum indonesia, dapat dikatakan bahwa ketiga paham negara hukum ini bermuara pada satu pengertian dasar bahwa hal yang mendasar dari negara hukum adalah kekuasaan yang berlandaskan hukum dan semua orang sama di hadapan hukum atau negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara, dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dalam kerangka kekuasaan hukum (Marwan Effendy, 2005 : 32-33).

d. Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power)

Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut

thr rule of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut

rechstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Dalam empat ciri klasik negara hukum Eropa Kontinental yang biasa disebut rechstaat, terdapat elemen pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri pokok negara hukum (Jimly Assiddiqie, 2006 : 11-12).

Ajaran pemisahan kekuasaan berasal dari Montesquieu yang bertujuan untuk membatasi kekuasaan badan-badan atau pejabat penyelenggara negara dalam batas-batas cabang kekuasaan masing-masing. Dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan tersebut dapat dicegah penumpukan kekuasaan di satu tangan (absolut) atau sekelompok kecil orang (oligarki) yang akan menimbulkan penyelenggaraan pemerintahan sewenang-wenang. (Bagir Manan, 2006 : 7-8).

Pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional atau doktrin pemerintahan yang terbatas, yang membagi kekuasaan pemerintahan kedalam cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tugas kekuasaan legislatif adalah membuat


(41)

commit to user

hukum, kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan hukum dan kekuasaan yudikatif bertugas menafsirkan hukum. Terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan pengertian ini adalah checks and balances, yang mengatakan bahwa masing-masing cabang pemerintahan membagi sebagian kekuasaannya pada cabang yang lain dalam rangka membatasi tindakan-tindakannya. Ini berarti, kekuasaan dan fungsi dari masing-masing cabang adalah terpisah dan dijalankan oleh orang yang berbeda, tidak ada agen tunggal yang dapat menjalankan otoritas yang penuh karena masing-masing bergantung satu sama lain

Konsepsi trias politicia yang diidealkan oleh Montesquieu ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan prinsip checks and balances. Karena itu, doktrin trias politicia yaang biasa dinisbatkan dengan tokoh Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara selalu harus tercermin di dalam tiga jenis organ negara, sering terlihat tidak relevan lagi untuk dijadikan rujukan (Ni’matul Huda, 2007:64-65).

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (Separation of power) akan tetapi didalam Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai sistem tersendiri yaitu pembagian kekuasaan (distribution of power) dimana di dalam pembagian kekuasaan tersebut dimungkinkan adanya kerjasama antara lembaga-lembaga negara. Kenyataan didalam kehidupan antar lembaga negara didalam menjalankan fungsi dan wewenangnya diperlukan adanya kerjasama diantara lembaga tersebut semisal antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi bersama-sama menjalankan fungsi dan wewenangnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sesuai dalam Bab I Pasal 1 Nomor (2 dan 3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009


(42)

commit to user

tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencerminkan bahwa diperlukannya kerjasama antara kedua lembaga tersebut untuk menjalankan kekuasaan kehakiman dengan tujuan terselenggarannya Negara Hukum republik Indonesia (Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti, 2005:20).

2. Tinjauan tentang Lembaga Negara a. Pengertian Lembaga Negara

Secara sederhana, istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat atau biasa dikenal dengan sebutan organisasi non-pemerintah (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik berada di ranah eksekutif, legislatif, yudikatif, ataupun bersifat campuran (Jimly Asshiddiqie, 2006:31).

Ciri-ciri penting organ negara dalam arti sempit menurut Jimly Asshiddiqie (Jimly Asshiddiqie, 2006:38) adalah :

1) Organ negara itu dipilih atau diangkat untuk menduduki jabatan atau fungsi tertentu;

2) Fungsi itu dijalankan sebagai profesi utama atau bahkan secara bersifat eksklusif;

3) Karena fungsinya itu, ia berhak mendapatkan gaji dari negara. Lebih lanjut lagi, secara sistematis Jimly Asshiddiqie mengklasifikasikan konsep lembaga negara menjadi 5 (lima) konsep yaitu ( Jimly Asshiddiqie, 2006:41-42):

1) Organ negara mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi

law creating or law applying function;

2) Mencakup individu yang menjalankan fungsi law creating or law applying function dan mempunyai posisi dalam struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan;


(43)

commit to user

3) Badan atau organisasi yang menjalankan law creating or law applying function dalam kerangka struktur dan sistem kenegeraan atau pemerintahan;

4) Organ atau lembaga negara hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945, undang-undang atau peraturan yang lebih rendah;

5) Organ atau lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya ditetapkan oleh UUD 1945.

Jimly Asshiddiqie membedakan lembaga dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya (Jimly Asshiddiqie, 2006:111-118) :

1) Pembedaan dari segi fungsinya

Lembaga-lembaga negara dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs) dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxilary state organs). Untuk memahami perbedaan keduannya, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain) yaitu, kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan kehakiman atau yudikatif.

2) Pembedaan dari segi hirarkinya

Ada dua kriteria yang dipakai, yaitu kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya dan kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalm sistem kekuasaan negara. Dari segi hirarkinya, lembaga negara dapat dibedakan dalam 3 (tiga) lapis yaitu :

a)Organ pertama dapat disebut lembaga tinggi negara, yaitu (1) Presiden dan Wakil Presiden;

(2) Dewan Perwakilan Rakyat; (3) Dewan Perwakilan Daerah;

(4) Majelais Permusyawaratan Rakyat; (5) Mahkamah Konstitusi;


(44)

commit to user

(6) Mahkamah Agung;

(7) Badan Pemeriksa Keuangan.

b)Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang mendapatkan kewenangan dari UUD 1945 dan ada mendapatkan kewenangan dari undang-undang. Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi lapis kedua adalah

(1) Menteri Negara;

(2) Tentara Nasional Indonesia; (3) Kepolisian Negara;

(4) Komisi Yudisial;

(5) Komisi pemilihan umum; dan (6) Bank Sentral.

c)Organ lapis ketiga adalah kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Artinya, keberadaannya secara hukum hanaya didasarkan atas kebijakan Presiden (presidential policy) atau beleid Presiden. Jika Presiden hendak membubarkannya, maka tentu presiden berwenang untuk itu.

Perkembangan masyarakat, baik secara ekonomi, politik dan sosial budaya serta pengaruh globalisme dan lokalisasi menghendaki struktur organisasi negara yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka serta lebih efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik dan mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan. kemudian beemunculanlah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan (council), komisi (commission), komite (comitte), badan (board), atau otorita (authority). Lembaga-lembaga baru tersebut biasa disebut state auxiliary organs atau auxiliary institution sebagai lembaga yang bersifat penunjang (sampiran). Diantara lembaga tersebut ada juga disebut sebaga self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif,


(45)

commit to user

dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut (Jimly Asshiddiqie, 2006:ix-x). Menurut Cornelis Lay yang dikutip Ni’matul Huda, kehadiran lembaga-lembaga sampiran negara merupakan bagian dari desain kelembagaan negara yang bertumpu pada prinsip pemencaran kekuasaan. Sebuah pilihan yang boleh jadi merupakan reaksi terhadap politik Orde Baru:otoritarianisme, sentralistik dan unformitas (Cornelis Lay dalam Ni’matul Huda, 2007:201).

Firmansyah Arifin yang dikutip oleh Ni’matul Huda, berpendapat dalam kasus di Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi inti dan mempengaruhi banyaknya pembentukan lembaga-lembaga negara baru yang bersifat independen yaitu

1) Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah akibat asumsi dan bukti mengenai korupsi yang sistemik dan mengakar dan sulit diberantas;

2) Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada kerena satu atau halnya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain;

3) Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoala birokrasi dan KKN;

4) Pengaruh global, dengan pembentukan auxiliary state agency atau

watchdog institutions di banyak negara yang berada dalam situasi menuju demokrasi telah menjadi suatu kebutuhan bahkan suatu keharusan sebagai alternatif dari lembag-lembaga yang ada yang mungkin menjadi bagian sistem yang hrus direformasi;

5) Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai prasyarat untuk memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-satunya jalan bagi negara-negara asalnya berada di bawah kekuasaan otoriter (Firmansyah Arifin dalam Ni’matul Huda, 2007:202).


(46)

commit to user

3. Tinjauan tentang Sistem Peradilan Indonesia a. Sistem Peradilan Di Indonesia

Sebagai suatu sistem, peradilan memiliki sub sistem-sub sistem yang menunjang bekerjanya sistem peradilan yang ada. Sistem Peradilan mempunyai mekanisme yang bergerak menuju kearah pencapaian misi dari hakekat keberadaan peradilan, sebagai suatu lembaga operasionalisasi sistem peradilan menuntut adanya visi yang jelas agar aktivitas atau pelaksanaan peran peradilan berproses secara efektif dan efisien. Sistem tersebut terdiri atas bagian-bagian yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan semuanya bermuara pada satu tujuan, yaitu penegakan hukum yang benar, adil, berkepastian hukum dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Menurut Satjipto Raharjo, bagian-bagian tersebut berhubungan satu dengan yang lain dalam satu kesatuan dan bekerja secara aktif mencapai tujuan pokok, didalamnya terkandung unsur-unsur

1) Berorientasi pada tujuan;

2) Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya;

3) Sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu lingkungannya;

4) Bekerjanya bagian-bagian fari sistem it menciptakan sesuatu yang berharga;

5) Masing-masing bagian harus cocok satu dengan yang lain (ada keterhubungan);

6) Kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol) (Sunarjo, 2010:16).

Sebagaimana ditegaskan dalam Cetak Biru (blueprint) pembaharuan Mahkamah Agung RI bahwa VISI Mahkamah Agung adalah “mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik,


(47)

commit to user

profesional dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau, dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik.” Visi Mahkamah Agung tersebut merupakan sinar pemberi arah (moving target) bagi perjalanan lembaga peradilan kedepan.

Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, memiliki prosedur hukum acara dan yurisdiksinya masing-masing. Tiap-tiap peradilan tersebut sebagai sub sistem-sub sistem dari sistem peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, memiliki kompetensi sesuai dengan domain (ranah) kompetensi keilmuan yang melekat pada predikat peradilan masing-masing.

b. Tinjauan Tentang Peradilan Yang Bersih dan Berwibawa

Perwujudan lembaga peradilan sebagai tonggak terdepan di dalam pencarian suatu keadilan adalah hal yang diidamkan masyarakat. Keadilan itu sendiri adalah tujuan lembaga peradilan didalam menjalankan fungsi dan wewenangnya masing-masing. Di dalam mencapai tujuannya lembaga peradilan terdapat berbagai organ pelaksana didalamnya diantaranya yang paling penting adalah keindepensiaan pelaksana peradilan tersebut bebas dari berbagai kepentingan dari luar yang akan mempengaruhi keadilan tersebut.

Mewujudkan peradilan bersih dan bebas adalah tanggung jawab bersama stake holder bangsa. Semua elemen harus menyadari bahwa peradilan bersih akan menghasilkan multi efek keadilan sosial yang akan mengikis habis korupsi dan nepotisme dalam berbagai sektor kehidupan termasuk di dalamnnya pengadilan. Untuk mewujudkan peradilan bersih maka hakim dalam memutus perkara harus berpedoman dengan kode etik dan perilaku hakim. Meski demikian, hakim juga membutuhkan pengawasan lembaga lain seperti Komisi Yudisial agar berjalan sesuai rasa keadilan. “Komisi Yudisial dibentuk atas keprihatinan atas kondisi peradilan dan hakim yang belum sesuai


(48)

commit to user

dengan harapan masyarakat,” kata Muzayyin Menurut Busyro Muqoddis beberapa unsur peradilan yang bersih adalah

a) Penguatan legalitas fungsi independensi dan transparansi; b) Transparansi rekruitmen pejabat peradilan;

c) Transparansi internal dalam proses peradilan; d) Informasi dan keuangan;

e) Efektifitas sanksi bagi pelanggar; f) Efektifitas lembaga pengawas eksternal;

g) Kemudahan akses Beria Acara Perkara (BAP), dakwaan, dan putusan;

h) Transparansi nalar hukum dari aspek moralitas hukum, kepastian hukum dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) terdakwa atau para pihak (Jurnal Buletin Komisi Yudisial.2009. Vol IV :9).


(49)

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara hukum dimana didalamnya terdapat sistem peradilan yang bersih dan berwibawa didalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Akan tetapi di dalam prakteknya dijumpai adanya mafia peradilan yang telah masuk ke dalam ranah sistem peradilan di Indonesia yang menyebabkan tujuan dari adanya sistem peradilan terebut tidak dapat terselenggara sesuai yang di

Peradilan Bersih Dan Berwibawa Mafia Peradilan

Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009)


(50)

commit to user

harapkan masyrakat dan bangsa Indonesia. Keberadaan mafia peradilan tidak bisa begitu saja dibiarkan dan harus segera diberantas karena telah menyebar ke semua ranah hukum. Pemerintah disini sebagai penyelenggara kekuasaan eksekutif tidak bisa tinggal dia begitu saja melihat mafia peradilan yang telah merusak tatanan hukum . Sebagai upaya untuk memberantas mafia peradilan tersebut Presiden Susilo Bambang Yudoyono membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum diharapakan keberadaan mafia peradilan tersebut dapat secepatnya diberantas.


(51)

commit to user BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG DIBENTUKNYA SATUAN TUGAS

PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM TATANAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA

1. Lembaga Negara Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945

Reformasi politik tahun 1998 yang kemudian disusul dengan reformasi konstitusi (amandemen UUD 1945) tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 merupakan sebuah perubahan besar bagi bangsa Indonesia dalam bidang ketatanegaraan. Lahirnya lembaga-lembaga negara independent ataupun komisi-komisi negara dengan dasar hukum pembentukannya yang sangat berseragam. Ada komisi negara yang kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power) , Ketetapan MPR, Undang-Undang (legislative entrusted power), dan bahkan ada pula lembaga atau komisi yang kewenangannya berasal atau bersumber dari Keputusan Presiden (Peraturan Presiden).

Perubahan mendasar terhadap tatanan Lembaga Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memunculkan berbagai macam lembaga-lembaga negara independen ataupun komisi negara dalam ketatanegaraan Indonesia yang tentunya memerlukan pengaturan yang jelas dan tegas mengenai tugas serta kewenangan masing lembaga-lembaga negara tersebut dalam menjalankan fungsinya, agar tidak menimbulkan tumpangtindih kewenangan.

Ditingkat pusat dapat dibedakan dalam empat tingkatan kelembagaan yang meliputi antara lain:

a. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden;


(52)

commit to user

b.Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang diatur atau ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden;

c. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden;

d.Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat di bawah Menteri (Jimly Asshiddiqie, 2006:50).

Ni’matul Huda menambahkan penjelasan dari tingkat kelembagaan ditingkat pusat sebagaimana berikut:

a. Lembaga Negara pada tingkatan konstitusi misalnya adalah Presiden, Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kewenagannya diatur dalam dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan dirinci lagi dalam Undang-Undang, meskipun pengangkatan para anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden sebagai pejabat administrasi negara yang tertinggi.

b.Lembaga-Lembaga tingkat kedua adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang berarti sumber kewenangan berasal dari pembentuk undang-undang. Proses pemberian kewenangan kepada lembaga-lembaga ini melibatkan peran DPR dan Presiden, atau untuk hal-hal tertentu melibatkan pula peran DPD. Karena itu pembubaran atau pengubahan bentuk dan kewenangan lembaga semacam ini juga memerlukan keterlibatan Presiden dan DPR. Jika pembentukannya melibatkan DPD, maka pembubarannya juga harus melibatkan DPD. Misalnya, Kejaksaan Agung, Bank Indonseia (BI). Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), PPATK, Komnas HAM, dan sebagainya yang dibentuk berdasarkan undang-undang, dan karena itu


(53)

commit to user

tidak dapat diubah atau dibubarkan kecuali dengan mengubah atau mencabut undang-undangnya.

Pengaturan kewenangan mengenai lembaga-lembaga tersebut terdapat dalam undang-undang (UU), tetapi pengangkatan anggotanya tetap dengan Keputusan Presiden sebagai pejabat administrasi negara tertinggi. Bahkan, lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang dasarpun pengangkatan anggotanmya tetap dilakukan dengan Keputusan Presiden, sehingga pembentukan dan pengisian jabatan keanggotaan semua lembaga negara tersebut tetap melibatkan administrasi yang kekuasaan tertingginya berada ditangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Presiden adalah kepala pemerintahan dan arena itu presiden jugalah yang merupakan administrator negara tertinggi atau pejabat tata usaha negara yang tertinggi.

c. Pada tingkat ketiga adalah lembaga-lembaga yang sumber kewenangannya murni dari presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga pembentukannya sepenuhnya bersumber dari beleid (cara atau langkah yang ditempuh untuk melaksanakan program) presiden

(presidential policy). Artinya, pembentukan, perubahan, ataupun pembubarannya tergantung kepada kebijakan presiden semata. Pengaturan mengenai organisasi lembaga negara yang bersangkutan juga cukup dituangkan dalam Peraturan Presiden yang bersifat regeling

dan pengangkatan anggotanya dilakukan dengan keputusan presiden yang bersifat beschiking.

d.Yang lebih rendah lagi tingkatannya ialah lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri. Atas inisiatif menteri sebagai pejabat publik berdasarkan kebutuhan berkenaan dengan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan di bidang-bidang yang menjadi tanggungjawabnya, dapat saja dibentuk badan, dewan lembaga ataupun panitia-panitia yang sifatnya permanen dan bersifat spesifik (Ni’matul Huda, 2007:90).


(54)

commit to user

Ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) yang berasal dari Montesquieu yang bertujuan untuk membatasi kekuasaan badan-badan atau pejabat penyelenggara negara dalam batas cabang kekuasaan masing-masing. Dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan tersebut dapat dicegah penumpukan kekuasaan disatu tangan (absolut) atau sekelompok kecil orang (oligarki) yang akan menimbulkan penyelenggaraan pemerintahan yang sewenang-wenang. Dalam praktik, ajaran pemisahan kekuasaan tidak dapat dijalankan secara konsekuen. Selain tidak praktis, pemisahan secara absolut antara cabang-cabang kekuasaan yang tidak disertai atau meniadakan sistem pengawasan atau keseimbangan antara cabang kekuasaan yang satu dengan yang lain dapat menimbulkan kesewenang-wenangan menurut atau di dalam lingkungan masing-masing cabang kekuasaan tersebut. Bagaimanapun juga, tetap diperlukan suatu mekanisme yang mengatur hubungan antara cabang-cabang kekuasaan itu baik dalam rangka menjalankan bersama suatu fungsi penyelenggaraan negara maupun untuk saling mengawasi antara cabang-cabang kekuasaan yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain.

Pemikiran mengenai mekanisme saling mengawasi dan kerja sama ini telah melahirkan teori-teori modifikasi atas ajaran pemisahan kekuasaan yaitu teori pembagian kekuasaan (distribution of power) yang menekankan pada pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan pada pemisahan organ, dan teori checks and balances.

Prinsip ajaran pemisahan kekuasaan meskipun dapat tetap dijalankan dengan organ-organ negara yang disusun secara terpisah dan disertai dengan masing-masing kekuasaan yang terpisah pula, dalam penyelenggaraannya diciptakan mekanisme yang menekankan pada saling mengawasi dan kerja sama ini telah melahirkan teori-teori modifikasi atas ajaran pemisahan kekuasaan yaitu teori pembagian kekuasaan (distribution of powers) yang menekankan pada pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan pada pemisahan organ, dan teori checks and balances. Meskipun prinsip ajaran pemisahan kekuasaan tetap dijalankan dengan organ-organ


(55)

commit to user

negara yang disusun secara terpisah dan disertai dengan masing-masing kekuasaan yang terpisah pula, dalam penyelenggaraannya diciptakan mekanisme yang menekankan pada saling mengawasi antara cabang kekuasaan satu dengan cabang kekuasaan yang lain. Hanya dengan mekanisme checks and balances dapat dicegah masing-masing cabang kekuasaan menyalahgunakan kekuasaanya atau bertindak sewenang-wenang. Tanpa checks and balances dari cabang kekuasaan yang lain, eksekutif dapat menjalankan kekuasaan yang sewenang-wenang (Bagir Manan, 2006:8).

Kedudukan lembaga eksekutif sesudah adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dipandang sebagai lembaga negara yang memegang kekuasaan pemerintahan yang sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hal tersebut sesuai dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) yang berdasarkan prinsip checks and balances.

Bentuk keorganisasian banyak negara modern dewasa ini juga mengalami perkembangan yang sangat pesat, khususnya berkenaan dengan inovasi baru yang tidak terelakkan. Perkembangan baru itu juga terjadi di Indonesia, ditengah keterbukaan yang muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi di era reformasi empat tahun tahun terakhir. Pada tingkatan pertama, muncul kesadaran yang makin kuat bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi tentara, organisasi kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral harus dikembangkan secara independen. Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Dari keempatnya, yang sekarang telah resmi menikmati kedudukan.

Pada tingkat kedua, juga muncul perkembangan berkenaan dengan lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia


(56)

commit to user

(Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan sebagainya. Di bidang administrasi dan pelaporan transaksi keuangan dibentuk pula lembaga baru yang bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang juga ditentukan bersifat independen. Selain itu ada pula komisi yang dibentuk hanya dengan Keputusan Presiden, Komisi Hukum Nasional (KHN).

Komisi atau lembaga semacam ini selalu diidealkan bersifat independent dan seringkali memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campur-sari, yaitu semi-legislatif dan regulatif, semi-administratif, dan bahkan semi-judiaktif. Bahkan, dalam kaitan itu muncul pula istilah independent and self regulatory bodies yang juga berkembang dibanyak negara. Di Amerika Serikat, lembaga-lembaga seperti ini tercatat lebih dari 30-an jumlahnya dan pada umumnya jalur pertanggungjawabannya secara fungsional dikaitkan dengan Kongres Amerika Seriakt. Yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini, misalnya, adalah Federal Trade Commision (FTC), Federal Communication Commision (FCC), dan sebagainya. Kedudukan lembaga-lembaga ini di Amerika Serikat, meskipun secara administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan eksekutif, tetapi pengangkatan dan pemberhentian para anggota komisi itu ditentukan dengan pemilihan oleh kongres. Oleh karena itu, keberadaan lembaga-lembaga seperti ini di Indonesia dewasa ini, betapapun juga, perlu didudukkan pengaturannya dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia modern, dan sekaligus dalam kerangka pengembangan sistem hukum nasional yang lebih menjamin keadilan dan demokrasi di masa yang akan datang (Jimly Asshiddiqie, 2009:190-191).


(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 77

http://www.satgas-pmh.go.id/satgaspmhdev/?q=node/21 > [09 November 2010 pukul 22.00]

Tabel 4 : Laporan Pengaduan Berdasarkan Lembaga Yang Diadukan

Lembaga / Instansi Jumlah Kasus

Pengadilan ( PN, PT, MA ) 510

Kepolisian 517

Kejaksaan 309

Pemda/DPRD 133

BPN 90

Lain – lain 287

JUMLAH 1.846

http://www.satgas-pmh.go.id/satgaspmhdev/?q=node/21 > [09 November 2010 pukul 22.00]


(2)

http://www.satgas-pmh.go.id/satgaspmhdev/?q=node/21 > [09 November 2010 pukul 22.00]

Tabel 5: Tindak Lanjut Pengaduan Berdasarkan Instansi

Lembaga / Instansi Jumlah Kasus

Mabes Polri 26

Kejaksaan Agung 29

Komisi Yudisial 7

KPK 4

Mahkamah Agung 16

Kemenkuham 1

Polda Jawa Timur 1

Polda Sumatera Utara 3

Polda Kalimantan Barat 1

Polda Riau 1

Kejati Sulteng 1

Kejari Bantul 1

Gubernur DKI Jakarta 1

Kemenbudpar 1


(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 79

http://www.satgas-pmh.go.id/satgaspmhdev/?q=node/21 > [09 November 2010 pukul 22.00]

Gambar 4: Tindak Lanjut Pengaduan Berdasarkan Instansi

http://www.satgas-pmh.go.id/satgaspmhdev/?q=node/21 > [09 November 2010 pukul 22.00]

Tabel 6: Tindak Lanjut Pengaduan Berdasarkan Wilayah

Lembaga/Instansi Jumlah

DKI Jakarta 360

Jawa Timur 179

Sumatera Utara 161

Jawa Barat 137

Jawa Tengah 93

Lain – lain 585

JUMLAH 1.515

http://www.satgas-pmh.go.id/satgaspmhdev/?q=node/21 > [09 November 2010 pukul 22.00]


(4)

Gambar 5: Tindak Lanjut Pengaduan Berdasarkan Wilayah

http://www.satgas-pmh.go.id/satgaspmhdev/?q=node/21 > [09 November 2010 pukul 22.00]


(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 79

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Latar belakang dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia

Hukum yang dibentuk oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 30 Desember 2009 melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum adalah:

a. Membantu presiden menjalankan fungsinya sebagai pemegang pemerintahan seperti yang terdapat didalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat 1 “ Presiden Republik Indonesia memegang

kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar “.

b. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) 2. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum didalam menjalankan tugas dan

wewenangnya berpedoman pada Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun

2009 yaitu melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi, dan

pemantauan/monitoring.

B. Saran

1. Untuk menguatkan kedudukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia

Hukum dalam Hukum Tata Negara Indonesia, diperlukan

pembentukan melalui Undang-Undang yang akan memperjelas kedudukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Sehingga upaya pemberantasan mafia hukum tidak hanya berpatokan kepada waktu sesuai dalam keputusan presiden yang tentunya akan berdampak pada kinerja satuan tugas pemberantasan mafia hukum tersebut.


(6)

2. Percepatan penyelesaian kasus-kasus yang masuk dari masyarakat dan dipublikasikan mengenai hasil konkrit yang didapat. Kerjasama yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan serta mengabaikan semua unsur-unsur politis yang ada dalam upaya pemberantasan mafia hukum dan menciptakan peradilan yang bersih dan berwibawa.