DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL-BUDAYA

BAB II DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL-BUDAYA

Sastra Jawa mengalami perubahan-perubahan menda- sar yang perlu dicermati keberadaannya. Perubahan itu seti- daknya tercermin dari pergeseran kecenderungan penulisan yang semula bersifat “sejarah”, didaktis (ajaran moral), atau jurnalisme ke karya-karya kreatif-imajinatif yang lebih inovatif. Perubahan kecenderungan tersebut tidak begitu saja

terjadi tanpa adanya perubahan-perubahan di luar sastra. 15 Hal yang turut membentuk situasi itu adalah meluasnya

kesempatan mendapatkan pendidikan bagi masyarakat Jawa dan menguatnya rangsangan kreatif ke arah masyarakat modern. Sinyalemen ini sejalan dengan apa yang diungkap- kan Ras (1985:1) bahwa peristiwa-peristiwa terpenting yang berpengaruh terhadap masyarakat Jawa adalah (1) pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan (2) terjadinya pening- katan taraf pendidikan.

Sesungguhnya perubahan corak di dalam karya sastra tidak hanya terjadi pada sifat dan bentuknya, tetapi juga menyangkut pandangan pengarang tentang berbagai hal yang

15 Ras (1985:1) menyatakan bahwa sastra Jawa merupakan hamparan objek studi yang rumit dan sangat menarik, baik ditinjau dari isinya

maupun dari konteks “pengarang-pembaca” atau “produsen-konsumen”, terutama karena masyarakat Jawa telah mengalami perubahan- perubahan penting sejak permulaan abad ke-20.

melingkupinya. 16 Grebstein (Damono, 1978:4) menyatakan bahwa karya sastra tidak akan dapat dipahami selengkap-

lengkapnya jika dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan (peradaban) yang menghasilkannya. Sastra harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya karena merupakan hasil pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Boleh dikatakan bahwa tidak ada karya sastra besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal.

Dalam sastra Jawa, transformasi perubahan itu seti- daknya tercermin dalam pembagian sastra keraton, sastra priayi, dan sastra masyarakat kebanyakan (luar keraton). Kategori tersebut dibedakan dengan titik tolak konteks kedudukan pengarang, motivasi kepengarangan, pengejawan- tahan ide, dan hal-hal yang tergambarkan dalam karya sastra. Kenyataan ini memiliki korelasi dengan pemikiran Kunto- wijoyo (Prawoto, 1991:54) bahwa sastra keraton memiliki ciri-ciri (1) mistisisme, (2) mengedepankan etika satria, dan

(3) memiliki cita-cita nggayuh utami 'meraih keutamaan'. 17

16 Kenyataan membuktikan bahwa sastra bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri atau terpisah dari masyarakat yang melahirkan dan

menikmatinya. Sastra mempunyai kedudukan, peran, dan kegunaan dalam masyarakat; dan semua itu selalu mengalami pergeseran dari waktu ke waktu dan perbedaan antara satu masyarakat dan masyarakat lain.

17 Kemajuan sastra keraton terdorong oleh beberapa faktor yang meliputi (1) menurunnya peran keraton sebagai pusat kekuatan politik dan

ekonomi karena campur tangan pihak Belanda dalam pemerintahan sehingga keraton lebih banyak berfungsi sebagai pusat kesenian dan (2) kuatnya kedudukan raja dalam masyarakat Jawa. Raja merupakan legitimasi dari segala kekuasaan karena raja adalah gung binathara bau dhendha anyakrawati ‘memiliki kekuasaan dewa, pemelihara hukum

Ketiga ciri tersebut oleh Kuntowijoyo dipertentangkan dengan eksistensi sastra priayi yang tidak lagi didominasi oleh mistisisme, etika satria digantikan oleh etika priayi, dan nilai-nilai sosial keraton (untuk nggayuh utami) digantikan oleh cita-cita mobilitas sosial dalam arti mencari tempat dalam masyarakat baru. Apabila sastra priayi memuat petuah-petuah, petuah tersebut lebih menekankan bagaimana orang dapat meraih kedudukan sebagai priayi meskipun ia berasal dari golongan wong cilik. Jadi, kesadaran tentang perubahan sosial dan adanya mobilitas vertikal sangat disa- dari oleh pengarang sastra priayi.

Sementara itu, ciri sastra masyarakat kebanyakan (luar keraton) tidak lagi mempunyai patron keraton sentris dan tidak terkungkung oleh pengagungan terhadap jagad priayiisme. Asumsi tersebut bertolak dari hipotesis bahwa pembentukan kesusastraan merupakan pembangunan sebuah wilayah sastra yang di dalamnya para sastrawan mereali- sasikan diri sebagai subjek yang bebas dan mandiri. Dengan demikian, pembentukan kesusastraan Jawa (juga) berfungsi sebagai sarana bagi penyebaran gagasan mengenai dunia ideal; dalam arti orang Jawa secara keseluruhan dapat mere- alisasikan diri dengan cara yang sama, bebas, dan mandiri. Dari kenyataan tersebut pada akhirnya dapatlah dipahami mengenai dinamika perubahan tema-tema sastra Jawa dari keraton atau istana sentris (tahun 1800--1900-an), tema keluarga dan kawin paksa (tahun 1920-an), tema pendidikan,

dan penguasa dunia’. Oleh karena itu, raja adalah wenang wisesa ing nagari ‘memegang kekuasaan tertinggi di seluruh negeri’ (bdk. Suwondo, 1990:35). Keinginan sastra keraton untuk nggayuh utami setidaknya tercermin dalam Serat Wedha Tama,Serat Tripama,Serat Wulang Reh , dan sebagainya.

tema perjuangan (tahun 1930--1950-an), dan tema-tema sosial dengan beragam persoalan (tahun 1960-an--1997).

Perubahan besar yang terjadi di Indonesia dapat dicermati dari tumbangnya Orde Lama--sebuah rentang waktu yang selalu dikaitkan dengan situasi merajalelanya korupsi, cepatnya pertumbuhan penduduk yang menciptakan banyak pengangguran, merebaknya tindak kejahatan, dan tidak tercukupinya pangan bagi masyarakat--serta berkua-

sanya Orde Baru 18 yang eksistensinya selalu dikaitkan dengan pembangunan, perbaikan ekonomi, dan berbagai

program pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Sebelum memasuki era Orde Baru, terdapat dua sistem politik yang berkembang di Indonesia, yaitu demo- krasi liberal parlementer dan demokrasi terpimpin. Sistem politik demokrasi liberal parlementar memiliki spesifikasi adanya pembagian kekuasaan pada setiap institusi yang ada, yaitu kekuasaan legislatif (DPR), kekuasaan eksekutif (Perdana Menteri atau kabinet), dan kekuasaan yudikatif (Mahkamah Agung) (Setiawan, 1998:98). Dengan adanya pembagian dan pelaksanaan kekuasaan seperti itu berarti tidak terjadi sentralisasi kekuasaan. Sementara itu, sistem politik demokrasi terpimpin muncul setelah lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (pembubaran konstituante pembuat UUDS dan berlakunya kembali UUD 1945).

Pada masa demokrasi terpimpin, setelah DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan, terjadi sentralisasi kekuasaan:

18 Pengertian Orde Baru banyak mengalami perubahan. Pada awalnya Orde Baru selalu diartikan sebagai pendukung new power, kekuatan

baru yang muncul pada akhir tahun 1965 dan awal tahun 1966, melawan apa yang disebut sebagai Orde Lama; sisa-sisa kekuatan lama yang terpusat di sekitar Soekarno, PKI, dan beberapa partai lainnya.

seluruh kekuasaan, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif berada di tangan Presiden (Soekarno). Partai-partai politik yang ada pada waktu itu sebagian dibu- barkan (membubarkan diri) karena tidak bersedia menerima konsep Nasakom. Partai yang tetap berdiri adalah PNI, NU, PSII, PERTI, Partai Murba, PKI, IPKI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik Indonesia, dan Partindo. Pada waktu itu fungsi-fungsi partai, baik yang dilakukan oleh partai-partai agama maupun partai nasional, tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya kecuali partai komunis (Setiawan, 1998:103). Konsekuensi dari sentralisasi kekua- saan itu adalah keterbatasan masyarakat dalam menyalurkan kreativitas dan kritik-kritik kepada pemerintah. Tidak meng- herankan jika majalah, koran, siaran radio, dan berbagai media lain dikendalikan secara sempurna sehingga tidak lagi mampu menyuarakan suara rakyat, baik mengenai kepen- tingan politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan pula jika karya-karya sastra (terma- suk karya sastra Jawa) yang lahir pada waktu itu adalah karya-karya dengan latar perang atau romantisme yang

sifatnya menghibur (tidak berurusan dengan politik). 19 Hal ini tampak jelas jika disimak, misalnya Serat Gerilya Sala

(1957) karya Sri Hadidjojo, Kembang Kanthil (1957) karya Senggono, Kumpule Balung Pisah (1957) karya A. Saerozi A.M., Kemandhang (1958) antologi susunan Senggono, dan Kidung Wengi ing Gunung Gamping (1958) antologi karya St. Iesmaniasita.

19 Pengecualian untuk Dongeng Sato Kewan (1952) karya Prijana Winduwinata yang secara simbolis berisi kritik sosial politik yang

cukup tajam.

Kelanjutan dari situasi tersebut adalah tumbuh subur- nya karya-karya panglipur wuyung yang diterbitkan dalam bentuk buku saku. Karya sastra yang diterbitkan dalam bentuk buku saku ditandai oleh beberapa ciri, antara lain (1) ditulis dengan media bahasa yang mudah dipahami khalayak luas, (2) cerita yang disajikan tidak berbelit-belit, (3) kisah yang ditampilkan umumnya dibumbui dengan peristiwa- peristiwa sensasional erotik, dan (4) sampul novel menge- depankan gambar natural realisme yang eksotis. Dua ciri terakhir dapat dikaitkan dengan judul-judul yang memberi sugesti “suram” kepada pembaca terhadap unsur-unsur erotik yang dikandung oleh sebuah karya sastra, misalnya Gara- Gara Rok Mepet Rambut Sasak, Randha Teles, Asmara Tanpa Weweka, Godhane Prawan Indo, dan Prawan Kaosan. Kurangnya nilai sastra yang dikandung novel-novel saku tersebut menyebabkan banyak pemerhati sastra “mengejek” novel-novel itu sebagai cerita picisan atau panglipur wuyung ‘pelipur lara’. Namun, eksistensi novel-novel saku tetap dipertahankan dengan kedok (sengaja dipasang sebagai “label” di bagian sampul dalam) bahwa karya-karya tersebut dihadirkan untuk nguri-uri basa lan kasusastran Jawa ‘melestarikan bahasa dan kesusasteraan Jawa’, nyengkuyung kiprah lan gregete revolusi ‘mendukung kiprah dan gerak revolusi’, dan dadiya tepa palupining para mudha ing samadyaning bebrayan ‘semoga menjadi teladan bagi generasi muda di tengah masyarakat’.

Secara semiotik, “label” itu merupakan sebuah anti- tesis untuk mempertahankan eksistensi sastra Jawa. Dengan membangun idealisme bagi pembaca diharapkan novel-novel itu dapat dipasarkan dan memberi kehidupan bagi pengarang. Kesederhanaan novel-novel saku berkorelasi dengan terpu- Secara semiotik, “label” itu merupakan sebuah anti- tesis untuk mempertahankan eksistensi sastra Jawa. Dengan membangun idealisme bagi pembaca diharapkan novel-novel itu dapat dipasarkan dan memberi kehidupan bagi pengarang. Kesederhanaan novel-novel saku berkorelasi dengan terpu-

Novel saku (panglipur wuyung) mulai tersendat penerbitannya sejak tahun 1970-an karena tumbuh kesadaran membangun ideologi yang memiliki komitmen terhadap kenyataan, bukan menghindar dari kenyataan dengan mem- bangun dunia romantisme untuk sekadar memberi hiburan. Hal ini ditunjang pula oleh munculnya berbagai sanggar sastra Jawa. Arah pembentukan sastra Jawa yang berkualitas mulai terlihat sejak didirikannya OPSJ setelah terlaksananya sarasehan pengarang Jawa oleh Sanggar Bambu, Yogyakarta, pada 24—27 Agustus 1966. Mundurnya penerbitan karya- karya panglipur wuyung juga disebabkan oleh pencabutan subsidi kertas dari pemerintah (Ras, 1985; Asmara, 1983:14), kurangnya pembaca yang berminat, dan turunnya produk- tivitas. Hal itu terjadi karena pembaca dan pengarang trauma terhadap Operasi Tertib Remaja (Opterma) yang menyita beberapa karya panglipur wuyung. Kemungkinan lain adalah karena pada awal tahun 1970-an pemerintah Orde Baru dapat memperbaiki ekonomi sehingga inflasi yang lebih parah dapat sedikit diatasi. Kondisi ekonomi yang semakin baik menyebabkan munculnya penerbitan koran dan majalah umum (bdk. Quinn, 1992:34) dengan kualitas yang lebih baik Novel saku (panglipur wuyung) mulai tersendat penerbitannya sejak tahun 1970-an karena tumbuh kesadaran membangun ideologi yang memiliki komitmen terhadap kenyataan, bukan menghindar dari kenyataan dengan mem- bangun dunia romantisme untuk sekadar memberi hiburan. Hal ini ditunjang pula oleh munculnya berbagai sanggar sastra Jawa. Arah pembentukan sastra Jawa yang berkualitas mulai terlihat sejak didirikannya OPSJ setelah terlaksananya sarasehan pengarang Jawa oleh Sanggar Bambu, Yogyakarta, pada 24—27 Agustus 1966. Mundurnya penerbitan karya- karya panglipur wuyung juga disebabkan oleh pencabutan subsidi kertas dari pemerintah (Ras, 1985; Asmara, 1983:14), kurangnya pembaca yang berminat, dan turunnya produk- tivitas. Hal itu terjadi karena pembaca dan pengarang trauma terhadap Operasi Tertib Remaja (Opterma) yang menyita beberapa karya panglipur wuyung. Kemungkinan lain adalah karena pada awal tahun 1970-an pemerintah Orde Baru dapat memperbaiki ekonomi sehingga inflasi yang lebih parah dapat sedikit diatasi. Kondisi ekonomi yang semakin baik menyebabkan munculnya penerbitan koran dan majalah umum (bdk. Quinn, 1992:34) dengan kualitas yang lebih baik

Ricklefs (1995:356—357) memberi gambaran bahwa situasi setelah kemerdekaan merupakan kegagalan kelompok elite (pimpinan) dalam memenuhi harapan masyarakat luas. Beberapa faktor yang membangun situasi tersebut adalah lajunya pertumbuhan penduduk (dari tahun 1950-an hingga 1960-an), produksi pangan tidak mencukupi, adanya keku- asaan otoriter yang memusat, banyaknya rakyat buta huruf dan miskin. Ricklefs memperkirakan jumlah penduduk pada tahun 1950 mencapai 77,2 juta jiwa; pada tahun 1955 berjumlah 85,4 juta jiwa; dan menurut Sensus Penduduk 1961 jumlah penduduk meningkat menjadi 97,02 juta jiwa. Produksi pangan meningkat, tetapi tidak mencukupi kebu- tuhan. Produksi beras pada tahun 1956 setidaknya 26% lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 1950, tetapi beras impor

masih tetap diperlukan. 20 Dari sisi politik, pada masa itu Pulau Jawa lebih mendapat perhatian karena ibu kota negara

berada di Pulau Jawa. Sebagian kota-kota besar lain di luar Jawa (yang dihuni oleh kaum politisi sipil) pada umumnya cenderung “dilupakan” oleh pemerintah pusat. Perkembangan

20 Kekurangan pangan dan kemiskinan beberapa daerah di Pulau Jawa terjadi sejak tahun 1930-an (Egbert de Vries, 1985:45). Di Jawa

Tengah, misalnya, sebagian rakyat mengkonsumsi gaber (limbah ubi kayu untuk makanan babi), gelang (sagu dari pohon enau untuk makanan itik), bonggol (bagian bawah batang pisang untuk makanan babi), tlancang (semacam keong kecil yang setelah ditumbuk dengan kulitnya dapat dimakan), dedeg (dedak padi untuk makanan ternak), dan masih banyak makanan lain yang dicoba sebagai pengganti beras. Percobaan-percobaan tersebut menyebabkan banyak kematian karena keracunan.

sarana dan prasarana selalu diutamakan bagi kepentingan Pulau Jawa. Tindakan ini menurut Ricklefs (1995:357) menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi daerah-daerah di luar Jawa yang berperekonomian ekspor sehingga menimbulkan kekacauan dengan munculnya pasar-pasar gelap dan terjadi- nya penyelundupan.

Beberapa upaya yang dilakukan untuk mengatasi situasi sulit tersebut adalah dengan memperbaiki bidang pendidikan dan ekonomi. Di bidang pendidikan, jumlah lembaga pendidikan ditingkatkan. Tahun 1953—1960 jumlah anak didik sekolah dasar meningkat dari 1,7 juta menjadi 2,5

juta. 21 Sekolah-sekolah lanjutan, baik negeri maupun swasta

21 Mengenai perkembangan sistem sekolah (pendidikan) di Indonesia, publikasi resmi mencatat bahwa dari tahun 1900 sampai 1928 pelajar-

pelajar dari pendidikan rendah bumiputera berlipat ganda kira-kira 12 kali lipat dari 125.444 orang menjadi 1.513.088 orang (Kartodirdjo, 1991:216). Dari jumlah murid yang terakhir ini 65.106 orang di sekolah-sekolah dengan bahasa Belanda sebagai pengantar. Dijelaskan lebih jauh bahwa kecepatan meluasnya sekolah-sekolah dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan meluasnya sekolah-sekolah dengan bahasa bumiputera sebagai pengantar menunjukkan bahwa golongan sekolah yang pertama itu sangat dibatasi dan sejak semula sangat selektif; dan ini direncanakan untuk menjadi sekolah golongan elite atau standenschool dengan fasilitas pendidikan lebih mengun- tungkan golongan Eropa dan elite bumiputera daripada fasilitas-fasilitas untuk massa rakyat. Kualifikasi pendidikan ala Barat menjadi lambang prestise bagi masyarakat. Suparto Brata yang menguasai serba sedikit bahasa Belanda merasa beruntung dapat menikmati bacaan-bacaan berbahasa Belanda ketika pada tahun 1954 tidak ada cerita berbahasa Indonesia yang terbit. Adanya gerakan antibahasa Belanda (tahun 1956) menyebabkan orang-orang Belanda dan pemakai bahasa Belanda menyingkir. Kemudian, bahasa Inggris menjadi pilihan alternatif. Suparto Brata menyadari bahwa dengan kemampuannya berbahasa Belanda dan Inggris (berkat pendidikan Barat)--sehingga mampu

(umumnya sekolah dengan latar belakang agama), dan lembaga-lembaga tingkat universitas bermunculan (terutama)

di Pulau Jawa. 22 Keuntungan dari perluasan bidang pendidikan adalah (1) tahun 1930 jumlah orang dewasa

melek huruf tercatat 7,4%, sedangkan tahun 1961 jumlah tersebut mencapai 46,7% dari jumlah anak-anak di atas usia sepuluh tahun (56,6% di Sumatera dan 45,5% di Jawa) dan (2) meningkatnya jumlah penduduk melek huruf; hal itu tercermin dari oplah surat kabar harian yang melonjak hampir dua kali lipat dari 500.000 eksemplar tahun 1950 menjadi di atas 933.000 eksemplar tahun 1956. Sementara itu, oplah majalah meningkat tiga kali lipat menjadi di atas 3,3 juta

eksemplar dalam kurun waktu yang sama. 23 Sejak pertumbuhan beberapa surat kabar dan majalah

itulah perkembangan sastra Jawa menjadi lebih subur. Keme- lekhurufan tersebut juga mendorong penerbit pemerintah (Balai Pustaka) menyediakan bahan bacaan bagi masyarakat

membaca karya-karya Agatha Christy, Hilda Lauwrence, dsb.--ia dapat menjadi pengarang pertama roman detektif berbahasa Jawa (Brata, 1991:93).

22 Beberapa universitas didirikan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 1954 yang diberlakukan mulai tanggal 10

November 1954 (Ricklefs, 1995:357; Poesponegoro dkk., 1984:285).

23 Menurut Kementerian Penerangan bagian Sosial, Pers dan Grafika-- yang mengurus pembagian kertas untuk surat kabar dan majalah

(lSoebagijo, 1977:110)--pada akhir tahun 1952 tercatat sejumlah 66 harian berbahasa Indonesia dengan oplah 369.000, yang berarti oplah rata-rata adalah 5.590 eksemplar. Pada akhir tahun 1953 meningkat menjadi 467.000 eksemplar. Adapun pada pertengahan tahun 1954 tercatat 70 harian dengan oplag 469.050 eksemplar.

luas dengan diterbitkannya O, Anakku…(1952) karya Th. Suroto, Jodho kang Pinasthi (1952) karya Sri Hadidjojo, Sri Kuning (1953) karya R. Hardjowirogo, Serat Gerilya Sala (1957) karya Sri Hadidjojo, Kembang Kanthil (1957) karya Senggono, Kumpule Balung Pisah (1957) karya A. Saerozi A.M., Kemandhang (1958) antologi susunan Senggono, dan Kidung Wengi ing Gunung Gamping (1958) karya St. Iesma- niasita. Di samping itu, ada pula beberapa penerbit swasta yang menerbitkan karya sastra, misalnya Taman Pustaka Kristen menerbitkan Mitrane Wong Buwangan (1955) karya S. Bratasoewignja dan Jaker menerbitkan Putri Gangga (1961).

Pemulihan bidang ekonomi dimulai dengan meng- ubah struktur ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi

nasional. 24 Langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah menumbuhkan kelas pengusaha. Pengusaha-pengu-

saha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah

24 Ekonomi kolonial seharusnya tidak selalu dipandang dari sisi negatif (terjadinya sistem monopoli), tetapi juga harus dikaji sisi positifnya dari

berbagai upaya yang dilakukan. Dilihat dari tujuan awalnya, ekonomi kolonial memiliki misi agar bangsa Indonesia tidak terlalu bergantung pada barang-barang impor dari Benua Eropa. Di bidang ekonomi pada umumnya kepentingan-kepentingan non-Indonesia tetap mempunyai arti penting (Ricklefs, 1995:356). Shell dan perusahaan-perusahaan Amerika (Stanvac dan Caltex) mempunyai posisi kuat di bidang industri minyak. Sebagian besar pelayaran antarpulau berada di tangan KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) milik Belanda. Perbankan didominasi oleh perusahaan-perusahaan Belanda, Inggris, dan Cina; orang-orang Cina juga menguasai jasa kredit di pedesaan. Dari gambaran ini jelas bahwa bangsa Indonesia secara ekonomis tidak merdeka dan situasi tersebut mendukung gerakan radikalisme yang muncul pada akhir tahun 1950-an.

diberi kesempatan untuk berpartisipasi membangun ekonomi nasional lewat program Benteng yang pada tahun 1950— 1953 memberikan bantuan kredit terhadap 700 perusahaan bangsa Indonesia. Program pemerintah ini pada hakikatnya merupakan kebijakan untuk melindungi perusahaan pribumi. Kendati demikian, upaya itu ternyata tidak membuahkan hasil yang diharapkan: pengusaha Indonesia lamban menjadi dewasa, bahkan banyak pihak menyalahgunakan kebijakan itu untuk mencari keuntungan. Banyak perusahaan baru didirikan, tetapi perusahaan baru itu hanya dijadikan kedok

orang-orang Cina untuk meraup uang pemerintah. 25 Ketidakberhasilan program Benteng mengakibatkan

defisit keuangan negara sehingga pada tahun 1952 terjadi krisis moneter. Namun, pemerintah tetap memberi perhatian kepada pengusaha dan pedagang nasional golongan ekonomi lemah. Langkah selanjutnya dilakukan oleh pemerintah dengan mewajibkan perusahaan asing memberikan pelatihan dan tanggung jawab kepada pekerja pribumi; mendirikan perusahaan-perusahaan negara; menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha swasta nasional dan memberikan perlin- dungan agar mereka mampu bersaing dengan perusahaan asing.

Situasi ekonomi pada masa Orde Lama semakin terpuruk karena pemerintah Indonesia membangun wacana anti-Barat, menolak liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme, termasuk kolonialisme dan imperialisme

25 Hal tersebut didahului oleh persetujuan-persetujuan antara para pendukung pemerintah dan orang-orang Cina--apa yang disebut

perusahaan-perusahaan “Ali Baba”--, orang Indonesia (Ali) mewakili seorang pengusaha Cina (Babah) yang sebetulnya pemilik perusahaan tersebut (Ricklefs, 1995:371).

baru (neokolonialisme dan neoimperialisme). Upaya yang dilakukan pemerintah dengan mengambil jarak terhadap negara-negara Barat tersebut mempunyai dampak tidak mengalirnya bantuan (dana) dari negara-negara Barat. Kondisi tersebut diperburuk oleh politik luar negeri Indonesia yang memihak kepada negara-negara sosialis (Uni Soviet, RRC, dan negara-negara Eropa Timur).

Ketika Orde Baru 26 mulai berkuasa, kebijakan eko- nomi mengarah kepada strategi yang berorientasi ke luar. 27

Strategi ini memberi peluang bagi pihak swasta untuk berperan aktif dalam sistem pasar bebas. Langkah itu

26 Kekuatan Orde Baru didukung oleh militer (ABRI) dibantu para teknorat (umumnya berpendidikan Barat), mahasiswa, intelektual, dan

eksponen lepas lainnya. Selanjutnya kekuatan Orde Baru semakin meluas. Meskipun ABRI tetap diklaim sebagai kekuatan utama, hampir semua orang--dari pejabat, politisi, teknorat, sampai pegawai negeri-- tidak dapat melepaskan diri dari wacana kekuatan Orde Baru (bdk. Ali, 1986:120).

27 Meskipun demikian, sejak terjadinya peristiwa Malari pada tahun 1974, pemerintah Orde Baru menyadari secara serius dampak negatif dari

strategi ekonomi dan pembangunan yang berorientasi ke luar, yang antara lain menimbulkan lonjakan kenaikan harga untuk setiap macam barang dan jasa, kemacetan sektor produksi, dan menimbulkan kebangkrutan di kalangan pengusaha pribumi. Sejak saat itu pemerintah berupaya melaksanakan program “Indonesianisasi” dan “pribuminisasi” kehidupan ekonomi nasional. Strategi ke arah nasionalisme ekonomi tersebut, menurut Mas’oed (1990:119), berorientasi pada (1) pengalihan modal dari penanaman modal asing ke warga negara Indonesia, (2) pengharusan bagi pemodal asing untuk mengurangi proporsi tenaga kerja non-Indonesia, (3) pembatasan bidang usaha perusahaan- perusahaan asing, dan (4) pemberian prioritas pada perusahaan- perusahaan pribumi dalam memperoleh kontrak kerja dari pemerintah.

diharapkan segera membuahkan hasil tanpa memerlukan perombakan radikal struktur sosial-ekonomi (Mas’oed, 1990:116—117). Semua ini tidak lain berkat diberlakukannya peraturan 3 Oktober 1966 yang memuat pokok-pokok usaha, yaitu (1) penyeimbangan anggaran belanja, (2) pengekangan ekspansi kredit untuk usaha-usaha produktif, khususnya bidang pangan, ekspor, prasarana, dan industri, (3) penun- daan pembayaran utang luar negeri dan upaya mendapatkan kredit baru, dan (4) penanaman modal asing guna membe- rikan kesempatan negara lain untuk berpartisipasi membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja, membantu usaha peningkatan kerja, dan membantu usaha peningkatan

pendapatan nasional. 28 Pemilihan strategi tersebut memiliki dua alasan

mendasar, yaitu (1) memberikan kepuasaan material bagi masyarakat luas dalam bentuk penyediaan kebutuhan sandang-pangan; strategi ini diterapkan Orde Baru untuk menarik simpati rakyat dalam melumpuhkan kekuatan Orde Lama dan (2) menumbuhkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia; alasan ini didasari oleh sikap Orde Lama di bawah komando Soekarno yang mencurigai penanaman

28 Untuk menanggulangi kemerosotan ekonomi, pada tanggal 10 Januari 1967 pemerintah mengesahkan berlakunya Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1967 yang berkenaan dengan penanaman modal asing. Sebelumnya, untuk memberikan pelayanan di bidang ini, pada tanggal 9 Januari 1967 dibentuk Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing yang langsung dipimpin oleh Ketua Presidium Kabinet (Jenderal Soeharto) bersama dengan beberapa menteri sebagai anggota. Badan ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1968 dibubarkan dan diganti dengan Panitia Teknis Penanaman Modal dengan tugas mengadakan penelitian dan penilaian terhadap syarat-syarat perizinan yang berkaitan dengan penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri (Poespo- negoro, 1984:434).

modal asing dan bantuan-bantuan negara Barat serta keti- dakmampuan pemerintah membayar utang luar negeri mempersulit pemerintah Orde Baru dalam mencari bantuan modal asing. Kondisi ini, menurut Mas’oed (1990:118), membuat pemerintah Orde Baru--agar mendapat dukungan dari pemilik dana di luar negeri--bersedia menerima anjuran International Monetary Fund (IMF) mengenai perlu diciptakannya iklim usaha yang loyal bagi beroperasinya modal asing dan diintegrasikannya kembali perekonomian Indonesia ke dalam sistem ekonomi kapitalis internasional. Hal itu mencerminkan adanya komitmen untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang merupakan landasan untuk merancang kehidupan politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru (bdk. Setiawan, 1998:108). Rehabilitasi ekonomi itu berkaitan dengan upaya memisahkan diri dari negara- negara komunis dan dijalinnya kembali hubungan dengan dunia nonkomunis. Perbaikan hubungan dengan Amerika dan Jepang merupakan langkah strategis bagi upaya rehabilitasi ekonomi tersebut.

Ricklefs (1991:433) menandaskan bahwa sejak se- mula pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto berupaya menjalankan kebijakan-kebijakan stabi- lisasi dan pembangunan ekonomi, menyandarkan legitimasi pemerintah pada kemampuan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat. Setidaknya, hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa pada tahun 1970--1980-an kondisi rakyat kelas bawah relatif lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi pada masa Orde Lama, lebih-lebih pada masa penjajahan Belanda; tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia lebih memberi harapan jika dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan yang telah dicapai sejak abad ke-18.

Ricklefs (1991:433) memperkuat asumsi tersebut dengan menunjukkan data bahwa pada masa pemerintahan kolonial (tahun 1930) hanya terdapat 1.030 orang dokter (yang memenuhi syarat) di Indonesia, padahal penduduk Indonesia pada waktu itu berjumlah 60,7 juta jiwa. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa untuk setiap 59.000 penduduk di seluruh Indonesia hanya tersedia satu orang dokter. Sementara itu, pada tahun 1974 terdapat 6.221 orang dokter. Dengan memperkirakan jumlah penduduk sebesar 130 juta jiwa (menurut sensus tahun 1971 berjumlah 118,4 juta jiwa), berarti bahwa seorang dokter harus melayani 20,9 ribu jiwa. Adapun Sensus Penduduk 1980 mencatat jumlah penduduk sebesar 147,3 juta jiwa dan jumlah dokter sebanyak 12.931 orang sehingga seorang dokter harus melayani 11,4 ribu jiwa. Data-data itu menunjukkan kemajuan drastis meskipun distribusi pelayanan medis tetap tidak merata dan masih jauh dari ideal.

Di sisi lain, produksi pangan mengalami peningkatan secara mencolok karena tersedianya bibit berkualitas unggul dan melimpahnya persediaan pupuk. Oleh sebab itu, sikap pesimistis mengenai akan terjadinya kekurangan pangan di Indonesia tidak beralasan sama sekali. Keadaan itu meng- akibatkan kegiatan impor beras berkurang karena pemerintah mencapai kemandirian dalam pengadaan beras. Gambaran ini menunjukkan prestasi luar biasa sebagai akibat dari kemajuan teknologi, di samping adanya kebijakan ekonomi dan pening- katan pangan oleh pemerintah dan adanya inisiatif serta kerja keras petani. Meningkatnya kesejahteraan ekonomi masya- rakat mendorong pula meningkatnya sarana penyediaan pen- didikan. Penyediaan pendidikan meningkat jauh melebihi keadaan pada masa kolonial yang tercermin dari jumlah Di sisi lain, produksi pangan mengalami peningkatan secara mencolok karena tersedianya bibit berkualitas unggul dan melimpahnya persediaan pupuk. Oleh sebab itu, sikap pesimistis mengenai akan terjadinya kekurangan pangan di Indonesia tidak beralasan sama sekali. Keadaan itu meng- akibatkan kegiatan impor beras berkurang karena pemerintah mencapai kemandirian dalam pengadaan beras. Gambaran ini menunjukkan prestasi luar biasa sebagai akibat dari kemajuan teknologi, di samping adanya kebijakan ekonomi dan pening- katan pangan oleh pemerintah dan adanya inisiatif serta kerja keras petani. Meningkatnya kesejahteraan ekonomi masya- rakat mendorong pula meningkatnya sarana penyediaan pen- didikan. Penyediaan pendidikan meningkat jauh melebihi keadaan pada masa kolonial yang tercermin dari jumlah

(13,2% untuk pria dan 2,3% untuk wanita). Pada tahun 1971, angka-angka tersebut bertambah menjadi 72% untuk pria dan 50,3% untuk wanita, dan pada tahun 1980 masing-masing menjadi 80,4% dan 63,6%. Berbagai keuntungan dari pendidikan umum dalam bahasa Indonesia itu tidak hanya terlihat pada jumlah penduduk melek huruf, tetapi juga terlihat pada peningkatan jumlah penduduk yang dapat berbahasa nasional (Indonesia), yaitu dari 40,8% pada tahun 1971 menjadi 61,4% pada tahun 1980.

Di wilayah pedesaan, dampak dari kemelekhurufan tersebut mampu mengubah hubungan sosial masyarakat dengan terbukanya komunikasi dengan dunia luar sehingga budaya lokal mengalami erosi oleh budaya nasional. Contoh baik mengenai pergeseran ini ditunjukkan Kuntowijoyo (1994:74—75) dengan menyinggung masuknya lembaga- lembaga nasional ke wilayah pedesaan (pelembagaan demo- krasi). Hal itu mengisyaratkan bahwa pada tataran tertentu budaya lokal pedesaan, ritual sosial desa, festival, kesenian, mitologi, dan bahasa “desa” semuanya digantikan oleh simbol-simbol nasional. Ritual sosial-politik nasional, seperti perayaan 17 Agustus, menggantikan acara-acara desa seperti suran . Perayaan-perayaan desa dipenuhi oleh pesan-pesan nasional dari permasalahan kesehatan, penataan lingkungan, hingga Keluarga Berencana. Kesenian desa digantikan oleh

29 Di samping keadaan kesehatan dan situasi pangan yang buruk, buta huruf selalu dijadikan sebagai ciri daerah-daerah terkebelakang atau

negara-negara berpenghasilan rendah. Dengan demikian, perluasan pendidikan merupakan salah satu sarana yang (secara tidak langsung) untuk menaikkan taraf hidup masyarakat.

TV dan nyanyian desa digeser oleh lagu-lagu--dan artis-artis- -nasional. Mitologi mengenai cikal bakal desa tidak lagi memenuhi pikiran anak-anak muda karena nama-nama pah- lawan nasional atau pahlawan revolusi memenuhi pikiran mereka.

Pergeseran tersebut menimpa pula pada bahasa khas desa. Dialek dan intonasi khas (desa) hampir tidak dikenal lagi. Bahasa Indonesia menjadi makin populer di masyarakat karena kedekatan mereka dengan media massa--baik cetak maupun elektronik--berbahasa Indonesia dengan berbagai ragam tawaran yang lebih menarik. Keadaan itu diperburuk lagi oleh diberlakukannya Kurikulum 1975 yang menyi- sihkan bahasa (dan sastra) Jawa dari mata pelajaran wajib. Alasannya adalah bahasa dan sastra daerah tidak begitu penting (dianggap mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa) sehingga hanya dijadikan mata pelajaran tambahan (kokurikuler). Karena disisihkan dari mata pelajaran wajib, banyak sekolah akhirnya tidak memberikan mata pelajaran bahasa dan sastra daerah (Jawa). Dampak dari kebijakan tersebut adalah anak-anak semakin tidak mampu berbahasa dan bersastra Jawa sehingga banyak pihak mengecam bahwa Kurikulum 1975 merupakan sumber malapetaka bagi pembi- naan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa (Riyadi dkk., 1995:132--138).

Kebijakan pemberlakuan Kurikulum 1975 berten- tangan dengan kebijakan sebelumnya yang menetapkan berlakunya Pedoman Ejaan Bahasa Jawa yang Disempur- nakan mulai 18 Maret 1974. Kebijakan pemberlakuan pedoman ejaan bahasa Jawa itu seharusnya didukung oleh kebijakan yang relevan, yakni pemberlakuan kurikulum dengan tetap memberikan porsi bahasa dan sastra daerah Kebijakan pemberlakuan Kurikulum 1975 berten- tangan dengan kebijakan sebelumnya yang menetapkan berlakunya Pedoman Ejaan Bahasa Jawa yang Disempur- nakan mulai 18 Maret 1974. Kebijakan pemberlakuan pedoman ejaan bahasa Jawa itu seharusnya didukung oleh kebijakan yang relevan, yakni pemberlakuan kurikulum dengan tetap memberikan porsi bahasa dan sastra daerah

Dinamika perubahan sosial budaya yang terjadi terus- menerus--sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru--itulah yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi partum- buhan dan perkembangan sastra Jawa modern. Di tengah dinamika dan proses perubahan itu sastra Jawa modern tidak hanya terpengaruh dan sekaligus terlibat, tetapi juga mere- kam dan sekaligus mengabadikannya. Karena dinamika perubahan yang terjadi itu melahirkan berbagai macam persoalan (sosial, budaya, politik, ekonomi, kemanusiaan, dan sebagainya), sastra Jawa pada akhirnya juga mengungkap dan merefleksikan berbagai persoalan tersebut. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika tema dan masalah yang ditampilkan dalam karya-karya sastra Jawa modern sangat beragam.

Pada tahun 1980-an, misalnya, karya-karya sastra Jawa tidak hanya menampilkan tema yang menyangkut berbagai persoalan domestik, tetapi juga merambah ke persoalan sosial-politik. Hal itu terjadi karena para pengarang (muda) tergugah kesadarannya untuk menghadirkan karya- karya berkualitas dengan titik pijak konteks kemasyarakatan. Kondisi itu tidak semata dipicu oleh lontaran Arief Budiman tentang sastra kontekstual dalam Sarasehan Kesenian di Surakarta tahun 1984, tetapi juga karena para pengarang Jawa sadar dan merasa perlu untuk menunjukkan komitmen sosialnya karena pada dekade itu peristiwa yang mengarah Pada tahun 1980-an, misalnya, karya-karya sastra Jawa tidak hanya menampilkan tema yang menyangkut berbagai persoalan domestik, tetapi juga merambah ke persoalan sosial-politik. Hal itu terjadi karena para pengarang (muda) tergugah kesadarannya untuk menghadirkan karya- karya berkualitas dengan titik pijak konteks kemasyarakatan. Kondisi itu tidak semata dipicu oleh lontaran Arief Budiman tentang sastra kontekstual dalam Sarasehan Kesenian di Surakarta tahun 1984, tetapi juga karena para pengarang Jawa sadar dan merasa perlu untuk menunjukkan komitmen sosialnya karena pada dekade itu peristiwa yang mengarah

Pada tahun 1990-an muncul pula fenomena menarik. Fenomena itu muncul dari suatu kenyataan bahwa masya- rakat, terutama rakyat bawah, semakin tersisih dari program- program pembangunan ekonomi nasional yang bersifat fisik. Hal itu terjadi barangkali tidak lepas dari kebijakan peme- rintah pada akhir tahun 1980-an--yang dikenal dengan Pakto

27 (Paket 27 Oktober) 1988--untuk menyongsong dibukanya “pasar global”. Kebijakan yang lebih memberi peluang kepa-

da pengusaha besar daripada pengusaha kecil dan menengah itu mengakibatkan rakyat kecil tereduksi kesejahteraan dan kemerdekaannya. Oleh sebab itu, sebagai salah satu dokumen budaya yang lebih berpihak kepada aspek manusia dan kemanusiaan, karya-karya sastra Jawa pun kemudian menca- tat dan mengungkapkan berbagai peristiwa dan fenomena yang sedang terjadi (dan melanda) masyarakat.

Beberapa cerpen karya Krishna Mihardja dalam antologi Ratu (Pustaka Nusatama, 1995), misalnya, dengan jelas mengungkapkan ironi dan kritik sosial yang cukup tajam. Beberapa cerpen dalam antologi tersebut berisi gu- gatan terhadap ke(pe)mapanan kekuasaan dan teralie-nasinya masyarakat dalam proses pembangunan. Hal ini terjadi karena peranan negara (Orde Baru) dalam penye-lenggaraan pembangunan (ekonomi) terlalu dominan sehingga masya- rakat tersisihkan. Secara signifikan, beberapa cerpen dalam Ratu mengedepankan retorika-retorika pem-bangunan yang ekspansif untuk mengakumulasikan loyalitas masyarakat terhadap negara (penguasa). Menguatnya arti-kulasi birokrasi dan terbungkamnya suara rakyat memper-lihatkan kekuasaan bercorak hegemonik dan tenggelamnya identitas masyarakat.

Dalam konteks ini harus dipertim-bangkan bagaimana posisi negara dan masyarakat menurut pemerintah rezim Orde Baru.

Menurut Fatah (1999:6), ada empat aspek pokok dalam operasi pemerintah Orde Baru, yaitu (1) kekuasaan negara begitu luas sehingga benar-benar menenggelamkan masyarakat, (2) militer memainkan peranan politik sangat jauh dalam rangka represi yang relatif permanen, (3) biro- krasi didisfungsikan sehingga menjadi instrumen rezimentasi, dan (4) praktik ekonomi pragmatis yang melahirkan “cukong”, kolusi, dan korupsi. Menurut Muhaimin (1990:78), nilai paling sentral dalam pengendalian kekuasaan dan pembinaan demokrasi (Pancasila) adalah prinsip musya- warah. Dengan demikian, apabila nilai tersebut tidak diaktu- alisasikan secara wajar akan menjadi penyebab timbul-nya kekuasaan mutlak dan kesewenang-wenangan (otoriter). Dalam arti bahwa penguasa memiliki power sangat besar sehingga dapat memaksakan kehendak kepada warga atau kelompok. Bahkan, jika perlu, dengan menggunakan keke- rasan fisik, penguasa dapat memaksa masyarakat untuk patuh terhadap perintah-perintah yang dikeluarkan (bdk. Budiman, 1996:3).

Pernyataan-pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa informasi-informasi pembangunan dalam masyarakat didominasi oleh informasi yang bersumber dari birokrasi pemerintah melalui retorika politik yang meninabobokan. Pemerintah dan aparatnya melembagakan diri sebagai satu- satunya sumber informasi pembangunan, sedangkan infor- masi-informasi alternatif faktual dan objektif dari masyarakat cenderung direduksi dan diminimalisasi (Abar, 1990:xxii) dengan alasan demi stabilitas pembangunan (nasional). Kecenderungan yang muncul kemudian adalah tumbuhnya Pernyataan-pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa informasi-informasi pembangunan dalam masyarakat didominasi oleh informasi yang bersumber dari birokrasi pemerintah melalui retorika politik yang meninabobokan. Pemerintah dan aparatnya melembagakan diri sebagai satu- satunya sumber informasi pembangunan, sedangkan infor- masi-informasi alternatif faktual dan objektif dari masyarakat cenderung direduksi dan diminimalisasi (Abar, 1990:xxii) dengan alasan demi stabilitas pembangunan (nasional). Kecenderungan yang muncul kemudian adalah tumbuhnya

Berbagai hal dan atau kecenderungan semacam itu pula yang kemudian mempengaruhi (dan sekaligus direkam oleh) para pengarang dan karya-karya sastra Jawa modern. Sebagaimana diketahui bahwa apa yang mempengaruhi (dan sekaligus dicatat oleh) pengarang dan karya-karya sastra Jawa modern tidak terbatas pada persoalan hubungan sosial dan politik seperti yang diungkapkan di atas, tetapi juga persoalan lain menyangkut hubungan manusia dengan sesama, dengan dirinya sendiri, dan dengan Tuhan. Persoalan mengenai keberadaan wanita, misalnya, juga menjadi per- hatian para pengarang Jawa. Hal ini setidaknya terlihat jelas, misalnya, dalam Dokter Wulandari (1987) karya Yunani, Sintru Oh Sintru (1993) karya Suryadi W.S., dan Astirin Mbalela (1995) karya Peni. Demikian juga dengan persoalan pendidikan. Oleh beberapa pengarang Jawa, persoalan pendidikan, antara lain, diabadikan dalam Dokter Wulandari karya Yunani dan Kembang Alang-Alang (1993) karya Margareth Widhy Pratiwi. Jadi, jelas bahwa bagaimanapun juga perkembangan sastra Jawa modern berhubungan erat dengan dinamika perubahan sosial budaya yang meling- kupinya.