IKHTISAR PERKEMBANGAN SASTRA JAWA PERIOD

Jalan Wachid Hasjim No. 99 Yogyakarta 55262 e-mail: kalikasih@yahoo.com

BEKERJA SAMA DENGAN

YAYASAN ADIKARYA IKAPI DAN FORD FOUNDATION

IKHTISAR PERKEMBANGAN SASTRA JAWA MODERN PERIODE KEMERDEKAAN

Tim Peneliti BALAI BAHASA YOGYAKARTA

Penanggung Jawab

Kepala Balai Bahasa Yogyakarta

Koordinator

Sri Widati

Anggota

Slamet Riyadi Tirto Suwondo Dhanu Priyo Prabowa Pardi Imam Budi Utomo Herry Mardianto

Pembantu Teknis

Agung Tamtama

Kata Pengantar

Sapardi Djoko Damono

Editor

Herry Mardianto Dyah Tavipa

Pracetak

Wiwib, Anis, Agus Sinandar

Desain Sampul

Anis

Cetakan Pertama, Juli 2001

Jalan Wachid Hasjim No. 99 Yogyakarta 55262 e-mail: kalikasih@yahoo.com Telp./Fax. (0274) 418312

Daftar Isi

Daftar Isi vi Pengantar Sapardi Djoko Damono

vii Sekapur Sirih

xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Pengantar

1.2 Pokok-Pokok Pikiran

1.3 Sistematika

BAB II DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL-BUDAYA 21 BAB III LINGKUNGAN PENDUKUNG SASTRA

JAWA MODERN PERIODE KEMERDEKAAN

3.1 Pengarang dan Kepengarangan

3.1.1 Pengarang dan Kepengarangan Masa Orde Lama 48

3.1.2 Pengarang dan Kepengarangan Masa Orde Baru 63

3.2 Pengayom dan Kepengayoman

3.2.1 Lembaga-Lembaga Pemerintah

3.2.2 Lembaga-Lembaga Swasta

3.3 Penerbit dan Penerbitan

3.5.1 Kritik Sastra pada Masa Orde Lama 202

3.5.2 Kritik Sastra pada Masa Orde Baru 216

BAB IV KARYA-KARYA SASTRA JAWA MODERN 246

4.1 Jenis Karya

4.1.4 Cerita Bergambar

4.2 Beberapa Karya Penting

4.3 Perkembangan Bahasa 315

4.4 Perkembangan Tema

BAB V PENUTUP 386

Daftar Pustaka

Pengantar

------------------------------------------------------------

Sapardi Djoko Damono

Karya sastra adalah benda budaya; ia diciptakan oleh manusia. Konon manusia adalah makhluk sosial, yang perkem- bangan jiwanya tidak ditentukan sejak lahir tetapi dibentuk oleh lingkungannya. Lingkungan manusia itu, yang disebut kebuda- yaan, sulit ditentukan batasnya. Manusia adalah produk kebuda- yaan sekaligus pencipta kebudayaan sebab setiap sosok manusia merupakan hasil pengaruh sosok lain yang sekaligus juga mem- pengaruhinya. Dalam kaitannya dengan struktur atau hubungan- hubungan antara kebudayaan dan perkembangan masyarakat ada dua pandangan yang perlu disebutkan. Pandangan pertama me- nyatakan bahwa proses perubahan budaya itu terjadi secara alamiah sesuai dengan cara berpikir orang-orang yang membentuk masyarakat itu. Pandangan ini tidak memberikan tekanan pada hubungan-hubungan antara proses tersebut dengan faktor-faktor lingkungan manusia. Pandangan kedua menyatakan bahwa per- kembangan kultural masyarakat tergantung sama sekali pada kondisi material hidupnya, yakni sumber energi, teknologi, dan sistem produksi yang ada dalam kelompok-kelompok masyarakat itu. Jelas bahwa menurut pandangan kedua ini kebudayaan dan berbagai faktor yang disebut itu merupakan suatu struktur. Pan- dangan kedua itu juga menekankan pentingnya keadaan geografis dan iklim ke dalam struktur tersebut, di samping kepercayaan dan ideologi dalam artian yang sempit.

Hubungan-hubungan antara iklim, keadaan geografis, sumber energi, teknologi, dan organisasi produksi dengan demi- kian sangat menentukan perannya dalam perkembangan kebuda- yaan. Dan karena karya sastra adalah benda budaya, untuk meng- hayati dan memahaminya dengan lebih baik diperlukan penge- Hubungan-hubungan antara iklim, keadaan geografis, sumber energi, teknologi, dan organisasi produksi dengan demi- kian sangat menentukan perannya dalam perkembangan kebuda- yaan. Dan karena karya sastra adalah benda budaya, untuk meng- hayati dan memahaminya dengan lebih baik diperlukan penge-

Dengan demikian sastra Jawa modern adalah produk kebudayaan Jawa modern, yang keberadaannya ditentukan ber- bagai faktor yang sudah disebut sebelumnya. Jika ia ditulis oleh pengarang yang tinggal di Jawa, maka berbagai faktor yang ber- kaitan dengan tempat tinggalnya itu akan berpengaruh terha- dapnya. Keadaan geografis, iklim, organisasi sosial, dan teknologi yang ada dalam masyarakat itu memiliki andil dalam pencip- taannya. Pendekatan terhadap sastra berdasarkan pandangan itu biasa dikenal sebagai pendekatan makro. Sastra Jawa modern, jika ditulis oleh pengarang yang tinggal di Pulau Jawa, diciptakan berdasarkan berbagai faktor tersebut. Jawa hanya memiliki dua musim, di Jawa perkembangan teknologi pencetakan tidak se- canggih seperti di beberapa tempat lain, di Jawa penghargaan masyarakat terhadap karya sastra berbeda dari negeri lain pula, organisasi sosial di Jawa berbeda dari yang kita temui di daerah lain, dan seterusnya. Kita tidak bisa membayangkan penghayatan dan pemahaman yang baik atas haiku, misalnya, jika kita sama sekali tidak mengetahui bahwa ada empat musim di Jepang; orang juga tidak akan bisa mengapresiasi tembang Jawa yang sangat ketat bentuknya itu jika tidak pernah mengenal perkembangan Dengan demikian sastra Jawa modern adalah produk kebudayaan Jawa modern, yang keberadaannya ditentukan ber- bagai faktor yang sudah disebut sebelumnya. Jika ia ditulis oleh pengarang yang tinggal di Jawa, maka berbagai faktor yang ber- kaitan dengan tempat tinggalnya itu akan berpengaruh terha- dapnya. Keadaan geografis, iklim, organisasi sosial, dan teknologi yang ada dalam masyarakat itu memiliki andil dalam pencip- taannya. Pendekatan terhadap sastra berdasarkan pandangan itu biasa dikenal sebagai pendekatan makro. Sastra Jawa modern, jika ditulis oleh pengarang yang tinggal di Pulau Jawa, diciptakan berdasarkan berbagai faktor tersebut. Jawa hanya memiliki dua musim, di Jawa perkembangan teknologi pencetakan tidak se- canggih seperti di beberapa tempat lain, di Jawa penghargaan masyarakat terhadap karya sastra berbeda dari negeri lain pula, organisasi sosial di Jawa berbeda dari yang kita temui di daerah lain, dan seterusnya. Kita tidak bisa membayangkan penghayatan dan pemahaman yang baik atas haiku, misalnya, jika kita sama sekali tidak mengetahui bahwa ada empat musim di Jepang; orang juga tidak akan bisa mengapresiasi tembang Jawa yang sangat ketat bentuknya itu jika tidak pernah mengenal perkembangan

Sudah dikatakan sebelumnya bahwa lingkungan manusia itu sulit ditentukan batasnya, dan salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh penyusun buku ini adalah menentukan batas- batas itu – apa saja yang dianggap penting dalam penciptaan karya sastra. Yang paling dekat dengan penciptaan karya sastra tentu saja adalah pengarang, penerbit, pembaca (yang menyangkut juga pengayom), dan tanggapan atau kritik atasnya. Lingkungan itulah yang dicoba digambarkan dan diuraikan dalam buku ini. Hasilnya adalah karaangan yang memberikan gambaraan serta uraian menyeluruh mengenai lingkungan sastra Jawa modern di samping tentang benda budaya itu sendiri. Dalam melakukan tugasnya, penyusun buku ini pantas telah melakukan tugasnya dengan baik.

Dengan membaca buku ini kita bisa mengetahui fungsi dan kedudukan sastra Jawa modern dalam masyarakat, di samping hubungan-hubungannya yang rumit dengan berbagai faktor lain yang mempengaruhinya. Pandangan masyarakat tentang sastra- wan diulas dengan jelas, fungsi dan kedudukan sastrawan dalam perkembangan masyarakat digambarkan dengan baik, berbagai organisasi sosial, misalnya sistem reproduksi sastra, yang mem- bantu penulisan dan penerbitannya juga diuraikan dengan runtut. Buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia, oleh sebab itu pem- bacanya tentu saja juga menjangkau khalayak non-Jawa. Kha- layak semacam itu perlu mendapat gambaran dan uraian mengenai kebudayaan yang telah menghasilkan karya sastra Jawa modern. Siapa tahu kemudian ada yang berminat mempelajari bahasa dan sastra Jawa, atau membaca terjemahan sastra Jawa dalam bahasa Indonesia. Buku ini pasti akan membantu mereka.

Karya sastra adalah rekaman perkembangan pemikiran masyarakat. Sastra Jawa yang ditulis selama puluhan tahun sejak kemerdekaan jelas merekam perubahan-perubahan yang paling subtil dalam pemikiran masyarakat Jawa – yang tidak saja berdiri sendiri tetapi juga berada di lingkungan pemikiran masyarakat lain. Pembaca buku ini tentu bisa mengambil inti sari gambaran Karya sastra adalah rekaman perkembangan pemikiran masyarakat. Sastra Jawa yang ditulis selama puluhan tahun sejak kemerdekaan jelas merekam perubahan-perubahan yang paling subtil dalam pemikiran masyarakat Jawa – yang tidak saja berdiri sendiri tetapi juga berada di lingkungan pemikiran masyarakat lain. Pembaca buku ini tentu bisa mengambil inti sari gambaran

Di samping itu, buku ini menawarkan ruang bagi siapa pun yang berniat mengadakan penelitian mengenai sastra Jawa modern. Di situlah antara lain letak pentingnya buku ini. Itulah jasanya yang harus kita catat. ***

Sekapur Sirih

Setelah buku Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan diterbitkan oleh Gadjah Mada Univesity Press (2001), keinginan untuk menerbitkan buku Ikhtisar Pekem- bangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan ini pun muncul. Keinginan ini sangat mendasar karena sebuah sejarah sastra seyogianya memang dibaca secara berkelanjutan dari periode ke periode. Oleh sebab itu, penerbitan sejarah sastra Jawa modern seyogianya tidak berhenti pada periode prakemerdekaan saja, tetapi berlanjut hingga periode kemerdekaan agar persepsi pembaca tentang perkembangan sastra Jawa modern menjadi utuh, bulat, tidak terbelah. Periode berikutnya ini adalah periode yang disebut sebagai periode baru karena periode ini adalah periode republik yang diasumsikan terbebas dari pengaruh kolo- nial Belanda dan Jepang. Dengan demikian, pada periode ini diasumsikan tergambar sistem sastra Jawa modern periode kemerdekaan yang eksklusif. Sistem itu didukung oleh berbagai elemen pendukung dan dinamika lingkungannya. Dengan adanya komunikasi antarelemen sistem internal dan eksternal sastra itu dapat dipastikan bahwa sistem sastra Jawa adalah sistem yang dinamik yang pengarangnya selalu bergerak dalam dinamika rege- nerasi, populasi, dan proses kepengarangan yang lain. Demikian juga dengan sistem penerbit dan pembaca. Diasumsikan bahwa penerbit dan pembaca membangun dinamika seiring dengan perkembangan pemerintahan di sepanjang periode kemerdekaan (1945—1997). Dengan kata lain, dalam dua masa pemerintahan (Orde Lama dan orde Baru) ini sastra Jawa modern tetap hidup walaupun tidak berjalan mulus. Komunikasi antara elemen- elemen sistem sastra pada periode kemerdekaan itu secara implisit menggambarkan perjuangan lembaga-lembaga atau perorangan Setelah buku Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan diterbitkan oleh Gadjah Mada Univesity Press (2001), keinginan untuk menerbitkan buku Ikhtisar Pekem- bangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan ini pun muncul. Keinginan ini sangat mendasar karena sebuah sejarah sastra seyogianya memang dibaca secara berkelanjutan dari periode ke periode. Oleh sebab itu, penerbitan sejarah sastra Jawa modern seyogianya tidak berhenti pada periode prakemerdekaan saja, tetapi berlanjut hingga periode kemerdekaan agar persepsi pembaca tentang perkembangan sastra Jawa modern menjadi utuh, bulat, tidak terbelah. Periode berikutnya ini adalah periode yang disebut sebagai periode baru karena periode ini adalah periode republik yang diasumsikan terbebas dari pengaruh kolo- nial Belanda dan Jepang. Dengan demikian, pada periode ini diasumsikan tergambar sistem sastra Jawa modern periode kemerdekaan yang eksklusif. Sistem itu didukung oleh berbagai elemen pendukung dan dinamika lingkungannya. Dengan adanya komunikasi antarelemen sistem internal dan eksternal sastra itu dapat dipastikan bahwa sistem sastra Jawa adalah sistem yang dinamik yang pengarangnya selalu bergerak dalam dinamika rege- nerasi, populasi, dan proses kepengarangan yang lain. Demikian juga dengan sistem penerbit dan pembaca. Diasumsikan bahwa penerbit dan pembaca membangun dinamika seiring dengan perkembangan pemerintahan di sepanjang periode kemerdekaan (1945—1997). Dengan kata lain, dalam dua masa pemerintahan (Orde Lama dan orde Baru) ini sastra Jawa modern tetap hidup walaupun tidak berjalan mulus. Komunikasi antara elemen- elemen sistem sastra pada periode kemerdekaan itu secara implisit menggambarkan perjuangan lembaga-lembaga atau perorangan

Seperti halnya buku I, buku II ini adalah hasil kerja keras yang tanpa pamrih dari sebuah tim peneliti sastra Balai Bahasa Yogyakarta, yang terdiri atas Sri Widati (koordinator), Slamet Riyadi, Tirto Suwondo, Dhanu Priyo Prabowa, Imam Budi Utomo, Pardi, dan Herry Mardianto (anggota), dan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (konsultan). Untuk itu, tidak ada kata lain yang pantas saya ucapkan selain terima kasih yang tulus kepada seluruh anggota tim. Khusus untuk Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, saya beserta seluruh anggota tim juga hanya dapat mengucapkan terima kasih yang amat dalam atas kesediaannya membimbing tim ini, membaca ulang naskah, dan memberikan kata pengantar. Akhirnya, yang tidak dapat saya lupakan adalah ucapan terima kasih kepada Drs. Suwadji, Kepala Balai Bahasa Yogyakarta, atas izin dan dorongannya kepada tim sehingga buku ini dapat terbit.

Semoga, harapan saya beserta seluruh anggota tim, agar buku ini dapat dibaca oleh seluruh pencinta sastra Jawa, dan selanjutnya berdialog (membaca cermat) secara langsung dengan setiap unsur yang dipaparkan di dalam buku ini, terutama mengenai pengarang, karya-karya, dan sebagainyanya. Dari dialog itu niscaya akan terlihat secara lebih transparan perjalanan sejarah sastra Jawa modern periode kemerdekaan (1945--1997).

Saya dan seluruh anggota tim sadar sepenuhnya bahwa buku ini masih banyak kekurangannya. Terlebih lagi, buku ini hanyalah sebuah "ikhtisar", sehingga dapat dipastikan akan terbayang sesuatu yang singkat dan kurang memuaskan. Oleh karena itu, kami berharap pembaca dapat memberikan masukan dan koreksi sehingga terbitan berikutnya akan lebih sempurna. Terima kasih.

Koordinator,

Sri Widati

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Pengantar

Dalam buku I (Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan ) telah dipaparkan sejarah perjalanan sastra Jawa modern periode prakemerdekaan yang mencakupi masa peralihan (transisi) hingga tahun 1945. Periode tersebut amat penting karena di dalamnya tergambar suatu dinamika sastra Jawa modern dan lingkungannya, terutama ketika sastra Jawa mengubah konsep estetika sastra tradisional menjadi konsep estetika sastra baru yang meng- gunakan perangkat modern (Barat). Buku I secara implisit menggambarkan perkembangan elemen-elemen internal dan eksternal (elemen mikro dan makro-sastra) yang terjadi di sepanjang dua masa pemerintahan kolonial (Belanda dan Jepang). Pada periode kemerdekaan pun --seperti yang digarap di dalam buku II ini-- telah terjadi pergantian peme- rintahan yang melatari kehidupan sastra Jawa modern karena sejak tahun 1945 hingga tahun 1997 (sebelum masa Refor- masi) berlangsung dua masa pemerintahan (Orde Lama dan Orde Baru) yang tidak dapat dipisahkan dari dinamika sastra Jawa modern.

Pada setiap kurun waktu yang dilalui oleh sastra Jawa modern di sepanjang periode kemerdekaan (1945—1997) diasumsikan tercatat sejumlah kenangan historis berbagai peristiwa sosial, ekonomi, politik, dan kultural, baik pada Pada setiap kurun waktu yang dilalui oleh sastra Jawa modern di sepanjang periode kemerdekaan (1945—1997) diasumsikan tercatat sejumlah kenangan historis berbagai peristiwa sosial, ekonomi, politik, dan kultural, baik pada

sosial dan politik waktu itu. 1 Refleksi dan dampak perubahan sosial-kultural di

dalam sejumlah karya sastra Jawa modern periode kemer- dekaan sesungguhnya merupakan suatu gambaran mata rantai

1 Kenangan-kenangan historis yang tersimpan di dalam karya-karya sastra Jawa yang terbit pada setiap periode tidak dapat dilepaskan dari latar

belakang pengarang yang selalu terlibat dalam berbagai situasi di sekitarnya. Dengan kata lain, pengarang tidak dapat terbebas dari berbagai faktor yang melingkunginya, termasuk berbagai elemen ekstrinsik yang menyangga proses penghadiran karya-karya sastra. Adapun kenangan struktural yang terpateri di dalam karya sastra Jawa adalah kaidah atau pola intrinsik yang acuan konvensionalnya menjadi kerangka acuan estetik suatu jenis sastra pada masyarakat Jawa tradisional. Seperti kita ketahui bahwa pola estetik sastra tradisional, baik jenis puisi maupun prosa, terletak pada kemapanan unsur-unsur pendukungnya. Di dalam puisi, misalnya, pola struktur tradisional yang hingga saat ini masih melekat dalam kenangan masyarakat adalah kemapanan konvensi tembang macapat. Demikian pula di dalam prosa, keindahan struktur wayang dan babad tetap kuat dalam ingatan masyarakat Jawa sehingga tidak aneh jika struktur alur dan tokoh novel- novel Jawa masih menunjukkan ciri tradisional. Kenangan struktural itu merupakan bagian dari sejarah sastra Jawa modern karena sejarah sastra tidak hanya dilihat dari perkembangan lingkungannya (sistem makro), tetapi juga dari perkembangan sastra itu sendiri (sistem mikro) sebagai sebuah bentuk karya seni.

dari periode sebelumnya (prakemerdekaan). Hal itu sekaligus menggambarkan bahwa periode kemerdekaan tidak datang dari situasi kekosongan budaya. Bukti literer lainnya dapat pula dilihat dari misi yang dibawa oleh para pengarang Jawa periode kemerdekaan, misalnya penolakan unsur budaya priayi, emansipasi, dan pergeseran etos kerja dalam masya- rakat merupakan tema-tema yang pernah (telah) digarap oleh para pengarang periode prakemerdekaan, bahkan telah dirintis sejak masa transisi. Hal itu ditegaskan oleh Damono (1993:58) bahwa beberapa novel Balai Pustaka tahun 1950- an merupakan sastra Jawa periode sebelum perang. Beberapa masalah yang telah digarap pada periode terdahulu ada yang mendapat tekanan lebih banyak pada periode kemerdekaan walaupun setiap dekade dimungkinkan memiliki visi yang berbeda.

Perkembangan yang tampak menonjol pada dekade awal kemerdekaan adalah tema-tema yang menyangkut masalah kemiskinan dengan berbagai dampaknya pada masyarakat, masalah perang (dalam rangka) mempertahankan kemerdekaan dan dampaknya bagi manusia, dan masalah- masalah politik pada awal era keterbukaan periode kemer- dekaan. Masalah-masalah tersebut tidak bersifat permanen karena pada masa Orde Baru, terutama sejak awal dekade 1970-an, ada masalah lain yang dianggap lebih penting, yaitu masalah politik, keamanan dan ketertiban (nasional), transmigrasi, pendidikan, keluarga berencana, dan program- program pembangunan lima tahun lainnya, baik di kota maupun di desa. Dampak dari berbagai program pemerintah terhadap masyarakat itu sering digunakan sebagai acuan sastra walaupun hal itu tidak terlalu menonjol karena sastra memang tidak harus berkaitan erat dengan perkembangan Perkembangan yang tampak menonjol pada dekade awal kemerdekaan adalah tema-tema yang menyangkut masalah kemiskinan dengan berbagai dampaknya pada masyarakat, masalah perang (dalam rangka) mempertahankan kemerdekaan dan dampaknya bagi manusia, dan masalah- masalah politik pada awal era keterbukaan periode kemer- dekaan. Masalah-masalah tersebut tidak bersifat permanen karena pada masa Orde Baru, terutama sejak awal dekade 1970-an, ada masalah lain yang dianggap lebih penting, yaitu masalah politik, keamanan dan ketertiban (nasional), transmigrasi, pendidikan, keluarga berencana, dan program- program pembangunan lima tahun lainnya, baik di kota maupun di desa. Dampak dari berbagai program pemerintah terhadap masyarakat itu sering digunakan sebagai acuan sastra walaupun hal itu tidak terlalu menonjol karena sastra memang tidak harus berkaitan erat dengan perkembangan

Perkembangan penerbit pada masa Orde Lama lebih didominasi oleh penerbit swasta. Akan tetapi, seperti tampak pula pada periode prakemerdekaan, misi penerbit swasta memang berbeda dengan penerbit pemerintah (RI)--yang jumlahnya sedikit--sehingga dapat diramalkan bahwa arah sastra Jawa modern pada masa Orde Lama mengacu kepada

selera penerbit swasta yang lebih mementingkan profit. 2 Dengan demikian, terlihat bahwa perkembangan tema pada

karya-karya hasil terbitan dua penerbit itu (swasta dan pemerintah) juga akan berkaitan dengan kondisi pengarang dan karyanya yang pada gilirannya juga berpengaruh pada pembaca yang dituju.

2 Pada periode kemerdekaan pemerintah hanya memiliki tiga buah penerbit, yaitu Balai Pustaka, Kementerian PPK Jakarta yang

menerbitkan majalah Medan Bahasa, dan Kanwil dan K Jawa Tengah (di Semarang) yang menerbitkan Pustaka Candra.

Masa atau era Orde Lama adalah kurun waktu yang amat penting karena pada masa itu berbagai kebijakan yang benar-benar baru (pada masa republik) mulai dijalankan. Sementara itu, masyarakat Jawa --sebagai bagian dari masya- rakat Indonesia-- sedang melanjutkan suatu proses mengin- donesia dengan melepaskan beberapa unsur budaya tradi- sional (selain pergeseran ragam bahasa krama) untuk menjadi budaya baru di tengah masyarakat Indonesia yang amat plural. Berbagai perubahan dalam elemen internal sastra secara tersirat menunjukkan bahwa sistem sastra di ling- kungan masyarakat Jawa sebenarnya merupakan sistem yang terbuka. Penanda keterbukaan pada sistem sastra Jawa modern itu juga dapat dilihat melalui jenis-jenis sastra yang berkembang pesat ke arah prosa modern dengan munculnya variasi-variasi baru, terutama jenis fiksi. Berbeda dengan sastra klasik, sastra modern (termasuk sastra Jawa modern) pada umumnya bukan merupakan sastra penggerak atau penyebab situasi, melainkan merupakan sastra yang hanya mendukung dan menggambarkan akibat dari situasi atau peristiwa yang telah terjadi (Darma, 1998).

Dalam karya-karya yang bervariasi itu tersirat dengan jelas bahwa jatidiri pengarang generasi baru periode kemerdekaan memperlihatkan jarak estetika yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya, baik dalam hal jenis (genre) sastra, tema, maupun bahasa pengantar (narasi) yang digu- nakan. Dengan demikian, kelompok muda yang aktivitas kepengarangannya sebagian besar didukung oleh pers men- coba (bereksperimen) menggeser kedudukan sekaligus duduk berdampingan dengan kelompok tua (kasepuhan). Berbagai tema yang diambil menunjukkan keterlibatan pengarang secara aktif dalam mobilitas sosial pada masa itu. Munculnya Dalam karya-karya yang bervariasi itu tersirat dengan jelas bahwa jatidiri pengarang generasi baru periode kemerdekaan memperlihatkan jarak estetika yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya, baik dalam hal jenis (genre) sastra, tema, maupun bahasa pengantar (narasi) yang digu- nakan. Dengan demikian, kelompok muda yang aktivitas kepengarangannya sebagian besar didukung oleh pers men- coba (bereksperimen) menggeser kedudukan sekaligus duduk berdampingan dengan kelompok tua (kasepuhan). Berbagai tema yang diambil menunjukkan keterlibatan pengarang secara aktif dalam mobilitas sosial pada masa itu. Munculnya

Perkembangan dalam hal bahasa pengantar yang digunakan dalam karya sastra Jawa modern sebenarnya merupakan kelanjutan dari karya-karya prakemerdekaan, terutama sejak tahun 1930-an. Hal demikian tidak hanya tampak pada adanya kecenderungan menggunakan bahasa ragam ngoko (yang dirasa lebih egaliter) dalam narasi, tetapi juga tampak pada semakin tidak dapat bertahannya bahasa Jawa dari pengaruh kosakata Indonesia dan asing (Belanda, Inggris, Arab, dan Mandarin). Karena sejak kemerdekaan dunia pers demikian maju, di samping meningkatnya pendi- dikan dan profesi (pekerjaan) para pengarang, kedudukan pengarang sastra Jawa pada periode kemerdekaan bergeser; mereka tidak lagi ekabahasawan, tetapi dwibahasawan atau bahkan multibahasawan (tidak hanya fasih berbahasa ibu, tetapi juga fasih berbahasa Indonesia dan asing).

Fakta-fakta kepengarangan itu mendorong eksodus sastrawan Jawa (yang berbahasa Jawa) ke dalam penulisan sastra berbahasa Indonesia; atau mereka menulis sastra dalam dua bahasa secara bergantian. Sejak tahun 1975, misalnya, Grup Diskusi Sastra Blora yang beranggotakan guru-guru bahasa Jawa aktif mengikuti diskusi sastra dan kebudayaan di berbagai kesempatan sehingga mereka mengembangkan pe- nulisan fiksi dalam dwibahasa. Pergeseran tersebut semakin jelas pada dekade selanjutnya, terutama sejak didirikannya Sanggar Sastra Triwida (1980) di Tulungagung. Itulah sebabnya, pada tahun 1980-an bermunculan pengarang- pengarang baru dari Jawa Timur, di antaranya Jayus Pete,

Bonari Nabonenar, dan Sri Purnanto. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta pun pengaruh keberadaan sanggar amat men- colok. Krishna Mihardja dan A.Y. Suharyono, misalnya, pada mulanya aktif di Yoga Sastra asuhan Ragil Suwarno Prago- lapati dan Kembang Brayan pimpinan Kusfandi, demikian juga Turiyo Ragilputra melalui Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Melalui pergaulan lintas sastra semacam itu pengarang sastra Jawa setelah tahun 1970-an melakukan adaptasi dan belajar secara autodidak dengan berbagai informasi dari luar sehingga mereka memperkenalkan jenis fiksi Jawa eksperimental yang surealistis.

Perkembangan lain yang mulai tampak adalah dalam hal penggarapan elemen sastra, seperti tokoh dan latar, yang menunjukkan penguasaan (imaji) kehidupan riil dalam masyarakat. Dalam jenis puisi, sejumlah nama seperti St. Iesmaniasita, Ngalimu Anna Salim, Poer Adhie Prawoto, Susilomurti, Trim Sutidja, Muryalelana, Anie Sumarno, Suripan Sadi Hutomo, Lesmanadewa Purbakusuma, Moch. Nursyahid Purnomo, Anjrah Lelana Brata, Turiyo Ragilputra, dan Jaimin K. muncul dengan guritan-guritannya yang mengindonesia atau yang kembali kepada jiwa Jawa. Para penggurit itu sebagian besar berprofesi sebagai guru atau wartawan, dan beberapa di antaranya adalah dosen. Fakta dalam sistem pengarang itulah yang kemudian memberikan kemungkinan (peluang) pada pengembangan struktur, teknik penceritaan, dan pengembangan kosakata.

Dalam hal penerbitan dan penyebarluasan karya- karya sastra Jawa modern, periode kemerdekaan tetap bersandar pada kehadiran dan aktivitas majalah. Dapat terjadi demikian karena pada periode kemerdekaan tidak banyak penerbit yang berminat menerbitkan karya-karya sastra Jawa Dalam hal penerbitan dan penyebarluasan karya- karya sastra Jawa modern, periode kemerdekaan tetap bersandar pada kehadiran dan aktivitas majalah. Dapat terjadi demikian karena pada periode kemerdekaan tidak banyak penerbit yang berminat menerbitkan karya-karya sastra Jawa

Keberadaan sastra Jawa di tengah rubrik-rubrik ma- jalah atau pers umum (berbahasa Jawa) yang populer itu mendorong perkembangan sastra ke arah selera massa. Karena pers, terutama pers swasta, bertujuan khusus mencari keuntungan melalui luas kolom dan durasi penerbitan, hal itu berpengaruh pada kebijakan internal dan eksternal penerbit sehingga karya-karya yang dimuat lebih diarahkan pada tujuan mencari keuntungan (uang) daripada menjaring pem- baca. Betapa pun, pada periode kemerdekaan tampak bahwa kreativitas sastra Jawa modern yang dihasilkan merupakan kelanjutan dari kreativitas sastra periode prakemerdekaan. Keberlanjutan sastra Jawa modern dalam majalah itu membuktikan bahwa pers masih menjadi pengayom bagi sastra Jawa karena berkat lembaga-lembaga itu sastra Jawa masih dapat beredar di tengah masyarakat.

Buku II (Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan ) ini disusun sebagai suatu mata rantai yang melanjutkan sejarah perkembangan sastra Jawa modern periode prakemerdekaan. Oleh karena itu, buku ini meru- pakan mata rantai baru bagi sejarah sastra Jawa sesudah proklamasi kemerdekaan karena pada periode ini terbayang suatu era baru di bawah pemerintahan yang berdaulat penuh atas negaranya. Di samping itu, komunikasi sistem sastra dengan beberapa sistem sosial yang terdekat dan berpengaruh bagi perkembangan sastra Jawa menjadikan sastra sebagai sesuatu (bentuk) yang kompleks. Kekompleksan itu menun- Buku II (Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan ) ini disusun sebagai suatu mata rantai yang melanjutkan sejarah perkembangan sastra Jawa modern periode prakemerdekaan. Oleh karena itu, buku ini meru- pakan mata rantai baru bagi sejarah sastra Jawa sesudah proklamasi kemerdekaan karena pada periode ini terbayang suatu era baru di bawah pemerintahan yang berdaulat penuh atas negaranya. Di samping itu, komunikasi sistem sastra dengan beberapa sistem sosial yang terdekat dan berpengaruh bagi perkembangan sastra Jawa menjadikan sastra sebagai sesuatu (bentuk) yang kompleks. Kekompleksan itu menun-

Periode kemerdekaan yang mencakupi dua masa pemerintahan, yaitu Orde Lama (1945--1965) dan Orde Baru (1966--1997), menyimpan banyak peristiwa literer yang berkaitan dengan dinamika sastra Jawa modern. Di sepanjang masa pemerintahan Orde Lama telah terjadi beberapa peris- tiwa historis yang penting bagi kehidupan sastra Jawa. Peristiwa penting pertama adalah pergantian pengarang yang disebabkan oleh adanya peralihan pemerintahan (dari peme- rintahan kolonial, Belanda dan Jepang, ke pemerintahan RI). Peralihan pemerintahan pada awal kemerdekaan bersifat amat krusial karena pemerintahan baru terpaksa harus bekerja keras “membersihkan” unsur-unsur kolonial dalam berbagai bidang kehidupan. Pembersihan “kenangan masa lalu” tersebut menandai adanya keinginan untuk mengganti iklim politik kolonial.

Sastra Jawa modern yang disangga oleh kekuatan bahasa dan budaya etnis Jawa dipengaruhi oleh perubahan sosial politik pemerintah walaupun kedudukannya sebagai sastra modern sudah dirintis sejak masa transisi (dari abad

XIX ke abad XX). Perkembangan sistem internal dan eksternal yang sudah tampak pada periode prakemerdekaan diasumsikan mengalami guncangan juga. Hal tersebut di- XIX ke abad XX). Perkembangan sistem internal dan eksternal yang sudah tampak pada periode prakemerdekaan diasumsikan mengalami guncangan juga. Hal tersebut di-

kritik). 3 Hubungan timbal-balik antarsistem itu amat penting artinya bagi perkembangan sastra Jawa modern karena tanpa

komunikasi semacam itu sistem sastra Jawa pasti tidak akan berfungsi (tertutup).

Sejak awal kemerdekaan (sebagai lanjutan dari masa Jepang) dinamika sastra Jawa modern terus bergulir. Seperti diketahui bahwa--walaupun hanya berlangsung tiga tahun

3 Istilah pengayom (patron, maecenas) yang bersinonim dengan pelindung atau penyokong adalah orang atau lembaga yang turut

berperan dalam melindungi dan mendukung proses kehadiran sastra (The New Oxford Encyclopedic Dictionary Vol.V, 1987:1232; The Glorier International Dictionary Vol. 2, 1988:961; Encyclopedia Americana Vol. 16, 1991:74). Penerbit (publisher) adalah lembaga yang berfungsi menerbitkan dan menyebarluaskan sastra. Pembaca (reader) adalah kelompok masyarakat yang menjadi “penerima” kehadiran sastra. Dalam pengertian “penerima” ini terdapat dua kelompok pembaca, yaitu pembaca yang sungguh-sungguh pembaca (real reader) dan pembaca kritis atau kritikus (sophisticated reader atau ideal reader) (Iser, 1987:27--38; bdk. Riffaterre, 1973:46). Masing-masing elemen di luar sistem sastra itu juga menjadi elemen terdekat dari sistem mikro- sastra periode tertentu sehingga elemen-elemen itu dapat dilihat sebagai bagian sistem yang menunjang kehadiran sastra Jawa pada periode itu.

dan sangat restriktif--kehadiran kolonialisme Jepang memi- liki arti yang cukup penting. Dikatakan penting karena masa (Jepang) itu berfungsi menyiapkan kehadiran sebuah periode

baru kesastraan Jawa modern. 4 Tiga orang pengarang yang disiapkan pada masa Jepang adalah pengarang yang benar-

benar baru sehingga mereka disebut generasi perintis periode kemerdekaan. Mereka adalah Soebagijo I.N., Poerwadhie Atmodihardjo, dan Any Asmara. Mereka disebut generasi perintis bukan hanya karena waktu kehadirannya saja, melainkan juga--yang lebih penting--karena mereka mem- bawa wacana sastra yang benar-benar baru dan “mem- bangkitkan” sehingga oleh Hutomo (1975) masa itu disebut sebagai masa kebangkitan.

Kenyataan menunjukkan bahwa periode awal kemer- dekaan memang dapat disebut periode vakum yang tidak memungkinkan kelanjutan sejarah secara langsung. Keva- kuman yang disebabkan oleh kekacauan suasana sosial- politik sejak tahun 1945 itu baru berakhir pada tahun 1949

(kedaulatan bangsa kembali di tangan RI). 5 Namun, dengan kehadiran tiga pengarang di masa Jepang itu kevakuman

dapat dikatakan tidak terjadi. Kehadiran kembali mereka seiring dengan kehadiran kembali Panjebar Semangat (1949)

4 Periode zaman Jepang yang dalam kesastraan Indonesia dikenal dengan nama Angkatan ’45, setidak-tidaknya, telah melahirkan sebuah generasi

baru sastra Jawa modern. Generasi tersebut menawarkan aspirasi baru bagi sastra, konsep puisi baru dari luar (soneta), dan model sastra propaganda yang tendensius.

5 Menurut Damono (1993:58—59) hal seperti itu juga dialami oleh sastra Indonesia.

walaupun masih berisi rubrik-rubrik yang sederhana. 6 Sebenarnya, masalah kehadiran kembali sastra Jawa dalam

majalah telah diawali oleh sebuah majalah berbahasa Jawa milik Veteran di Kediri (1945) bernama Djaja Baja

(selanjutnya diubah ejaannya menjadi Jaya Baya) 7 . Dengan demikian, kevakuman total sastra Jawa pada awal periode

kemerdekaan dapat dikatakan hampir tidak ada karena pada tahun 1955 terbit dua majalah khusus sastra Jawa, yaitu Tjrita Tjekak (selanjutnya ditulis Crita Cekak) dan Pustaka Roman

asuhan Soebagijo I.N. 8 Dengan demikian, usaha itu mem- berikan peluang bagi bangkitnya suatu generasi pengarang

dan pembaca baru, termasuk di dalamnya pembaca kritis (kritikus). Sistem kritik yang diperkirakan tidak berjalan, ternyata dapat hidup melalui rubrik "Sorotan” dalam majalah

6 Majalah tersebut milik dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo, telah berdiri sejak tahun 1933. Pada saat itu majalah tersebut bersaing ketat dengan

majalah berbahasa Jawa milik kolonial, Kadjawen (selanjutnya ditulis Kajawen ) yang telah berdiri lebih dahulu (1926).

7 Majalah yang telah terbit tahun 1945 di Kediri ini pada tahun 1950-- 1954 pernah berganti menggunakan media bahasa Indonesia, dan baru

kembali menggunakan bahasa Jawa setelah pindah ke Surabaya. Di samping itu, penataan rubrik, terutama rubrik kesastraan, belum menunjukkan kemantapan. Setelah kembali menggunakan bahasa pengantar bahasa Jawa, barulah majalah ini mulai menata dan melengkapi rubrik-rubrik sastra dengan lebih baik, misalnya dengan membuka rubrik “cerkak”, “cerbung”, “geguritan”, dan “cergam”.

8 Menurut Damono (1993:65--66), kehadiran majalah sastra (berbahasa) Jawa diilhami oleh majalah berbahasa Indonesia yang sejenis, yaitu

Kisah . Majalah-majalah khusus yang diilhami oleh semangat membangun kelompok pembaca baru diharapkan mampu menerima konsep sastra yang baru.

Crita Cekak . Rubrik kritik seperti itu diasumsikan masih berlanjut hingga sekarang walaupun diperkirakan tetap tidak berjalan lancar karena tidak didukung oleh tradisi.

Harapan kebangkitan pengarang baru memang dimo- titivasi oleh pers, seperti kehadiran majalah Panjebar Se- mangat, Jaya Baya, Crita Cekak, Pustaka Roman, Kuman- dhang, Gotong Royong, dan Tjederawasih (selanjutnya ditulis Cenderawsih). Di samping menampung jenis sastra khusus seperti cerkak dan roman, majalah-majalah itu juga

memuat rubrik kritik dan puisi modern (guritan) 9 . Pada dekade 1960-an, kedua rubrik itu menunjukkan gejala

perkembangan literer yang disusul semakin berkembangnya model-model penulisan realistis dan roman-roman populer. Dengan melihat berbagai perubahan internal--sebagai kelan- jutan dari kebangkitan sebuah generasi pengarang Jawa-- dapat dikatakan bahwa mata rantai sastra Jawa modern tidak terhenti pada masa mempertahankan kedaulatan negara (di sepanjang tahun 1945—1949), tetapi terus berlanjut. Pemba- ruan dalam sisi internal juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan lingkungan yang mendukung dan memperluas wawasan, profesi, dan pendidikan pengarang angkatan baru, terutama sejak berdirinya Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) tahun 1966 di Yogyakarta. Kehadiran organisasi pengarang sastra Jawa tersebut diasumsikan berpengaruh pula terhadap sistem pengarang, pengayom, penerbit dan penyebarluasan, pembaca yang diharapkan, dan kritik sastra.

Dengan adanya perkembangan jumlah majalah (umum dan khusus) dan semakin jelasnya pergantian generasi

9 Kedua ragam sastra itu juga menjadi bagian atau mata rubrik dalam majalah Panjebar Semangat.

(yang diawali sejak zaman Jepang) dapat dikatakan bahwa sastra Jawa modern mampu belajar dan beradaptasi dengan berbagai perubahan dari elemen-elemen pendukung di sekitarnya. Perkembangan sastra Jawa modern itu setidaknya dimotivasi oleh tiga aspek pokok. Pertama, masyarakat Jawa bukan lagi masyarakat monolingual karena sebagian dari mereka adalah dwilingual atau multilingual akibat semakin banyaknya pengarang yang mengenyam pendidikan tinggi. Kedua , fakta empirik tersebut memberikan kemungkinan bagi mereka untuk dapat berkomunikasi secara lebih luas sehingga berdampak pada berbagai aspek kesastraan sastra Jawa yang dihasilkan. Ketiga, sejak dilepaskannya dari patron kerajaan, sastra Jawa menikmati kebebasannya menjadi sastra indi- vidual (milik masyarakat). Dengan demikian, sastra Jawa modern benar-benar harus mandiri dan harus mencari penyangga hidupnya sendiri. Di sepanjang periode kemer- dekaan memang ada beberapa lembaga yang menunjukkan kepengayomannya secara terbuka. Pers, misalnya, merupakan lembaga di luar sastra yang sejak awal (sejak periode pra- kemerdekaan) telah menunjukkan simpatinya kepada sastra Jawa. Selanjutnya, beberapa lembaga pemerintah dan nonpe- merintah juga menjadi pengayom sastra Jawa modern. Dengan kondisi demikian, walaupun kurun waktu 1945-- 1965 relatif pendek, perkembangan apa pun yang terjadi pada periode itu menjadi fondasi bagi perkembangan sastra Jawa

selanjutnya. 10

10 Beberapa fondasi penting yang dibangun bagi perkembangan sastra Jawa adalah munculnya model sastra realis yang dirintis oleh

Poerwadhie Atmodihardjo. Selain itu, timbul rintisan model sastra simbolik. Demikian pula diperkenalkan penulisan sastra panglipur wuyung, yakni ragam fiksi yang sudah dirintis oleh Soebagijo I.N. melalui majalah Pustaka Roman yang merupakan salah satu ragam fiksi

Perjalanan sejarah sastra Jawa modern periode kemer- dekaan memang harus membahas kurun waktu Orde Lama yang hanya berjarak waktu pendek (1945--1965). Masa itu sama pentingnya dengan masa Jepang karena pada masa itu bangsa Indonesia--dari berbagai kalangan dan etnis--sedang bersiap-siap untuk menegakkan dasar-dasar sebuah peme- rintahan baru melalui penataan kebijakan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Proses perubahan itu diikuti oleh perubahan sistem-sistem penyangga lainnya, yaitu sistem pengarang, sistem pegayom, sistem penerbit dan penyebarluasan, sistem pembaca, dan sistem kritik. Hal itu terlihat pada berbagai kondisi sastra dari periode ke periode sehingga sastra menjadi bagian dari sistem komunikasi sosial yang kompleks dan

rumit. 11 Dari komunikasi tersebut terlihatlah beberapa aspek

kesastraan yang penting. Pertama, tumbuhnya generasi pengarang baru yang membawa perkembangan baru. Ke- lompok pengarang baru memiliki keberanian untuk meng- garap berbagai jenis sastra dengan tema yang beragam. Selain itu, sejak akhir tahun 1960-an mulai tampak ada sejumlah pengarang sastra Jawa yang beralih ke penulisan sastra Indonesia. Di antara mereka ada yang kemudian tetap menulis dalam dua bahasa (Jawa dan Indonesia), misalnya Suparto Brata, Poerwadhie Atmodihardjo, dan Prijana winduwinata. Kedua, seperti ditunjukkan oleh Ras (1979:2), sejak akhir tahun 1960-an berkembang beberapa ragam puisi

yang diterima oleh sebagian besar pembaca sastra Jawa. 11 Pembahasan tentang pengarang, penerbit, dan pembaca akan diuraikan

lebih lengkap dan mendalam pada bab III.

dan fiksi. Dalam hal fiksi, muncul cerita detektif dan cerita berlatar perang. Sejak tahun 1980-an, perkembangan itu semakin tampak terutama dalam hal bentuk pengucapan. Misalnya, bentuk pengucapan realistis bergeser ke surealistis atau sastra yang berkolaborasi dengan gambar (cergam) berkembang menjadi jenis komik. Ketiga, pergeseran tersebut menandai adanya perkembangan internal sastra Jawa pada

masa Orde Baru. 12 Dalam hal puisi, sejak tahun 1970-an, puisi realisme berkembang ke arah puisi imajisme, di

samping berkembang pula puisi-puisi balada yang kemudian disusul dengan bentuk-bentuk puisi tipografis. Selain itu, berkembang pula berbagai bentuk sastra fiksi, misalnya (1) cerita bergambar dan (2) cerita pendek, seperti cerita pendek yang pendek (short short-story) dan cerita pendek yang panjang (long short-story) yang berdampingan dengan puisi

modern (guritan). 13 Ras (1979:2) menjelaskan bahwa pada tahun 1970-an terjadi eksodus pengarang sastra Jawa ke

12 Khusus tentang tema berlatar perang, sebagai negara yang baru merdeka, masalah perang mempertahankan kedaulatan negara

diasumsikan merupakan bagian dari masalah pokok waktu itu dan mampu menciptakan sekelompok pengarang yang mengangkat tema- tema perjuangan. Penelitian berjudul Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang (Widati-Pradopo dkk., 1988) menunjukkan bahwa tema-tema perang sangat menonjol karena sebagian besar pengarang pada periode itu adalah pelaku atau saksi sejarah. Hal itu dapat dibuktikan oleh akrabnya sebagian besar pengarang dengan berbagai situasi dan masalah pertempuran.

13 Berkembang pesatnya jenis puisi modern, baik dari segi tema maupun bentuk, bukan berarti berhentinya jenis puisi tradisional (macapat)

dalam kancah sastra Jawa. Kedua jenis puisi tersebut dapat berdam- pingan secara harmonis.

sastra Indonesia, di antaranya Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, dan Arswendo Atmowiloto. Arus eksodus itu terjadi sebagai akibat adanya kesadaran baru di kalangan masyarakat yang merasa bahwa mereka merupakan warga bangsa yang besar (bangsa Indonesia), bukan lagi warga sebuah etnis. Keempat, munculnya berbagai penerbitan swasta—sebagai upaya untuk mengimbangi keterbatasan penerbitan pemerintah--memberi kemungkinan bagi lahirnya pengayom baru. Karena tidak diimbangi oleh kontrol yang baik, termasuk tidak didukung oleh masyarakat pembaca kritis, kebijakan pemerintah dalam pers dan kemudahan izin penerbitan buku berdampak ke arah suburnya penulisan dan

penerbitan panglipur wuyung. 14 Kelima, perkembangan kelompok pembaca baru di kota dan di desa berkorelasi

dengan munculnya generasi pengarang sastra Jawa dan tumbuhnya penerbitan swasta. Dalam hal tema dan jenis sastra yang dipilih oleh pengarang (baru), secara umum, tersirat pula adanya arah pembaca yang berbeda-beda sesuai dengan missi penerbit(an).

1.2 Pokok-Pokok Pikiran

Dalam buku I (Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan ) telah disebutkan bahwa perkembangan sastra Jawa modern periode prakemerdekaan tidak hanya didukung oleh sejumlah pengarang yang andal, tetapi juga oleh adanya kenyataan bahwa sastra merupakan suatu institusi yang kompleks yang di dalamnya tersirat adanya komunikasi antara pengarang dan berbagai sistem di luar sastra. Hal tersebut menggarisbawahi pandangan bahwa

14 Tanpa diduga, kebijakan pemerintah tersebut menciptakan dampak negatif baru bagi sastra Jawa modern pada periode selanjutnya.

karya sastra memang tidak dapat hadir secara sendiri, tetapi selalu didukung oleh beberapa elemen yang berada di luarnya (Tanaka,1976:1). Dengan demikian, elemen-elemen yang terlibat dalam penghadiran sastra adalah elemen atau sub- elemen dari suatu sistem yang kompleks. Elemen-elemen “luar” sastra (sistem makro) dan elemen-elemen “dalam” sastra (sistem mikro) masing-masing memiliki sistem sendiri- sendiri yang mengatur dirinya sendiri (Ackoff dalam Tanaka, 1976:8--11). Akan tetapi, seperti halnya sebuah organisasi, bagian dari masing-masing sistem sastra yang luas itu saling berkomunikasi dan semuanya mendukung satu tujuan (Ackoff dalam Tanaka, 1976:9).

Dari sudut pandang tersebut, kedudukan sastra dapat dilihat dari dua arah, yaitu (1) sebagai sistem yang luas yang terbangun oleh sejumlah elemen pendukung dan (2) sebagai subjek dirinya sendiri yang spesifik (Tanaka, 1976:1). Dengan demikian, di samping dapat ditinjau dari sisi elemen- elemen di luarnya, sastra dapat pula ditinjau dari dirinya sendiri, yaitu sebagai karya imajinatif yang menggunakan media bahasa dengan unsur estetik dominan (Wellek dan Warren, 1956:25). Oleh karena itu, di dalam buku ikhtisar perkembangan sastra Jawa periode kemerdekaan ini, selain dipaparkan elemen-elemen sistem makro (pengarang, peng- ayom, penerbit, pembaca, dan kritik), diuraikan pula elemen- elemen sistem mikro karya-karya sastra Jawa modern periode kemerdekaan, khususnya sejak tahun 1945 hingga 1997.

1.3 Sistematika

Sebagai kelanjutan buku I, buku II yang memaparkan ikhtisar perkembangan sastra Jawa modern periode kemer- dekaan ini disusun dengan sistematika berikut.

Bab pertama (pendahuluan) berisi pengantar dan uraian latar belakang sastra Jawa modern periode kemer- dekaan. Dalam bab ini dibicarakan secara ringkas beberapa aspek pokok, yaitu pertautan historis antara periode prake- merdekaan dan periode kemerdekaan, informasi kondisi internal (sistem mikro) dan kondisi eksternal (sistem makro) yang mendukung kehadiran sastra Jawa periode kemer- dekaan, dan masalah-masalah lain yang perlu dibahas dalam uraian inti. Selain itu, dibicarakan pula landasan penalaran yang menjelaskan berbagai masalah substansial mengenai ikhtisar perkembangan sastra Jawa modern periode kemer- dekaan.

Bab kedua (dinamika perubahan sosial-budaya) berisi uraian tentang berbagai peristiwa sosial-politik-ekonomi- budaya yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi keberadaan atau eksistensi sastra Jawa modern periode kemerdekaan, terutama pada masa pemerintahan Orde Lama (1945--1965) dan Orde Baru (1966—1997).

Bab ketiga (lingkungan pendukung sastra Jawa modern periode kemerdekaan ) berisi uraian berbagai elemen sistem makro yang mencakupi kondisi pengarang dan kepengarangan, pengayom dan kepengayoman, penerbit dan penerbitan, pembaca, dan kondisi kritik sastra yang menjadi lingkungan (terdekat) pendukung keberadaan sastra Jawa modern periode kemerdekaan.

Bab keempat (karya-karya sastra Jawa modern periode kemerdekaan ) berisi uraian mengenai elemen-elemen sistem mikro sastra Jawa modern periode kemerdekaan yang meliputi jenis-jenis (genre) karya sastra yang berkembang, beberapa karya yang dianggap penting, perkembangan pemakaian bahasa, dan perkembangan tema.