Kritik Sastra pada Masa Orde Lama

3.5.1 Kritik Sastra pada Masa Orde Lama

Secara faktual, kritik sastra Jawa modern pada masa Orde Lama sudah muncul sejak pertengahan tahun 1950-an. Pada masa itu kritik sudah mengarah pada elemen-elemen makro yang, antara lain, membahas masalah keredaksian, di samping elemen-elemen mikro yang membahas masalah internal atau kualitas karya sastra. Munculnya kritik tersebut didukung oleh terbitnya beberapa majalah berbahasa Jawa, baik majalah khusus sastra maupun majalah umum. Majalah umum Panjebar Semangat, misalnya, sudah memiliki rubrik kritik. Hal itu dibuktikan dengan munculnya rubrik “Basa lan Sastra” seperti berikut.

gambar rubrik “basa lan sastra” (gambar diperkecil)

Akan tetapi, kritik yang dimuat dalam rubrik tersebut belum memenuhi syarat sebagai kritik karena di dalamnya tidak tercermin adanya pertimbangan dan penalaran logis tentang baik-buruk karya yang dibahas. Karya kritik yang telah memenuhi syarat sebagai kritik baru muncul pada tahun 1954 dalam Crita Cekak dengan nama rubrik “Sorotan”.

Kehadiran majalah khusus cerpen tersebut disusul oleh majalah khusus lain, yaitu Pustaka Roman (1954). Kehadiran majalah-majalah itu kemudian memicu bangkitnya kelompok pengarang (termasuk pembaca baru). Beberapa pengarang dari mereka sudah menulis sejak zaman Jepang (Soebagijo I.N., Any Asmara, dan Poerwadhie Atmodi- hardjo). Namun, sebagian besar yang lain (Isdito, Satim Kadarjono, Senggono, Soekandar S.G., St. Iesmaniasita, Titiek Sukarti atau T.S. Argarinie, Astuti Wulandari, dan beberapa nama lain) merupakan wajah-wajah baru. Seperti halnya para pengarang prakemerdekaan, sebagian besar wajah baru itu juga berprofesi ganda (selain pengarang, juga menjadi guru atau wartawan). Bahkan, beberapa pengarang itu juga mengembangkan diri sebagai kritikus (panyaruwe), terutama mereka yang berprofesi sebagai wartawan dan guru. Beberapa nama kritikus yang perlu dicatat adalah Isdito, Senggono, M. Sastroyudo, dan S. Hadisampurna. Mereka adalah bagian dari pengarang (sekaligus pembaca) baru pada masa Orde Lama yang dibesarkan oleh dinamika perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.

Pada periode kemerdekaan profesi pengarang Jawa didominasi oleh guru dan wartawan. Profesi itu mengin- dikasikan pula adanya kelompok pembaca kritis yang menaruh perhatian terhadap sastra. Hal itu terbukti dengan munculnya tanggapan-tanggapan atau kritik terhadap se- jumlah karya sastra dalam Crita Cekak yang baru terbit pada awal tahun 1950-an. Seperti telah disinggung di depan, rubrik kritik muncul pertama kali dalam majalah itu dengan nama “Sorotan”. Rubrik “Sorotan” berfungsi sama dengan rubrik kritik dalam majalah Cerita Pendek (berbahasa Indonesia) yang juga terbit pada waktu itu. Rubrik kritik itulah yang selanjutnya mengilhami munculnya rubrik “Basa lan Sastra” dalam Panjebar Semangat pada akhir tahun 1950-an. Rubrik serupa muncul pula dalam Jaya Baya dengan nama “Kasu- sastran” dan dalam majalah Medan Bahasa Basa Djawi milik pemerintah.

Objek kritik sastra dalam beberapa media massa pada era Orde Lama telah mengarah pada karya sastra dan institusi pendukungnya meskipun dalam Panjebar Semangat kritik cenderung membahas masalah bahasa. Rubrik “Sorotan” dalam Crita Cekak dimulai sejak penerbitan nomor 10, Mei 1956, dengan menampilkan kritik Isdito, seorang guru di Tulungagung. Kritik tersebut ditujukan kepada redaksi (Soebagijo I.N.) agar lebih cermat memilih naskah yang akan dimuat supaya rubrik itu tidak seperti “tempat sampah”. Kritik tersebut termasuk jenis kritik makro-sastra karena fokus perhatiannya adalah penerbitan (keredaksian). Di samping mengkritik sistem redaksi, Isdito juga mengkritik beberapa cerpen yang dimuat dalam Crita Cekak. Dengan demikian, kritik ini termasuk ke dalam sistem kritik mikro karena yang dibahas adalah aspek internal sastra.

Dalam kritiknya Isdito menunjukkan beberapa keburukan cerpen “Ewuh Aya” (Cerita Cekak, Maret 1956) karya Susan. Menurutnya, cerpen itu kurang bernilai karena isinya hanya menonjolkan nafsu kebinatangan (seksualitas) atau hanya membangkitkan krisis akhlak. Dalam kritiknya Isdito membandingkan cerpen Susan dengan cerpen Soekardi berjudul “Fitnah” (Cerita Cekak, Maret 1956). Menurutnya, cerpen karya Sukardi cukup berhasil karena alur disusun dengan baik sehingga cerita menjadi hidup, pepal, dan utuh. Demikian juga dengan cerpen karya Poerwadhie Atmo- dihardjo berjudul "Sampyuh” (Cerita Cekak, Maret 1956). Akan tetapi, menurut Isdito, cerpen tersebut juga mengan- dung kelemahan karena mengesankan adanya pertentangan antarpartai dan pelecehan terhadap agama (Islam).

Kritik Isdito kemudian ditanggapi (dijawab) oleh redaksi melalui rubrik “Layang saka Redaksi”. Dalam jawabannya redaksi berjanji akan memuat “Sorotan” secara berkelanjutan, tetapi redaksi juga meminta agar Isdito dan para kritikus lainnya bertindak secara objektif. Dikatakan oleh redaksi bahwa kritikus harus seimbang dalam mem- berikan penilaian; tidak hanya menunjukkan kelemahan, tetapi juga keberhasilan atau kekuatannya. Kritik yang kemudian berkembang menjadi wacana polemik inilah yang “mendidik” pembaca kritis khususnya dan pembaca awam pada umumnya.

Pada terbitan nomor 12, Juli 1956, Crita Cekak memuat karangan tiga orang kritikus, yaitu Senggono, M. Sastrayudo, dan S. Hadi Sampurna. Dalam karangannya Senggono mengkritik cerpen Iesmaniasita berjudul “Di- pangan Pedhuting Wengi”. Kritik ini termasuk ke dalam kelompok kritik mikro-sastra. Dikatakannya bahwa Iesma- Pada terbitan nomor 12, Juli 1956, Crita Cekak memuat karangan tiga orang kritikus, yaitu Senggono, M. Sastrayudo, dan S. Hadi Sampurna. Dalam karangannya Senggono mengkritik cerpen Iesmaniasita berjudul “Di- pangan Pedhuting Wengi”. Kritik ini termasuk ke dalam kelompok kritik mikro-sastra. Dikatakannya bahwa Iesma-

Sementara itu, dalam kritiknya M. Sastrayuda menyoroti aspek mikro cerpen Isdito berjudul “Takdir” (Crita Cekak, Juli 1956). Menurutnya, cerpen itu kurang baik karena menggambarkan seorang guru yang jatuh cinta kepada murid, seperti halnya Begawan Wisrawa yang jatuh cinta kepada Dewi Sukesi. Kritik itu sekaligus merupakan tanggapan pernyataan redaksi yang mengatakan bahwa percintaan seperti kedua tokoh itu tidak jelek, bahkan sangat manusiawi, asalkan dilakukan dengan cara-cara yang benar. Kritik ini menyebut-nyebut pihak redaksi tidak seimbang Sementara itu, dalam kritiknya M. Sastrayuda menyoroti aspek mikro cerpen Isdito berjudul “Takdir” (Crita Cekak, Juli 1956). Menurutnya, cerpen itu kurang baik karena menggambarkan seorang guru yang jatuh cinta kepada murid, seperti halnya Begawan Wisrawa yang jatuh cinta kepada Dewi Sukesi. Kritik itu sekaligus merupakan tanggapan pernyataan redaksi yang mengatakan bahwa percintaan seperti kedua tokoh itu tidak jelek, bahkan sangat manusiawi, asalkan dilakukan dengan cara-cara yang benar. Kritik ini menyebut-nyebut pihak redaksi tidak seimbang

Selanjutnya, dalam kritiknya S. Hadi Sampurna (seorang guru di Magetan) menanggapi kritik Isdito (Crita Cekak, Maret 1956) yang menuntut seleksi redaksi lebih ketat terhadap cerpen-cerpen yang dimuat. Dalam kritiknya, Hadi Sampurna menyayangkan pernyataan Isdito mengenai pertimbangan kualitas dan bahasa. Oleh Hadi Sampurna, kritik Isdito dianggap tidak konsekuen karena tidak seimbang dalam menilai kualitas dan bahasa. Kata Isdito, kualitas dapat kurang, asalkan jalan cerita runtut dan bahasanya baik.

Dalam rubrik “Kasusastran“ majalah Jaya Baya (nomor 18, 30 Desember 1956) muncul artikel berjudul “Modernisasi (modernake) Kasusastran Jawa” karangan Senggono. Artikel itu membicarakan pengertian sastra secara umum dan langkah-langkah yang harus ditempuh sastrawan agar menjadi pengarang yang baik. Dasar pikiran yang digunakan adalah fakta empirik dalam masyarakat yang menunjukkan perbedaan wawasan antara pendukung sastra lama dan pendukung sastra modern. Para pendukung sastra lama menganggap bahwa sastra tradisional betul-betul asli dan luas cakupannya. Sementara itu, sastra Jawa modern tidak asli karena gayanya seperti sastra Indonesia dan bahasanya banyak terkontaminasi oleh bahasa Indonesia (dan asing). Sebaliknya, pendukung sastra modern berpandangan bahwa sastra lama cenderung borjuis, feodal, dan tidak selaras lagi dengan suasana sekarang. Sastra Jawa modern adalah sastra kreatif, bukan perusak aturan atau konvensi yang ada. Menurut penulis (Senggono), sastrawan memang harus berani menentukan pilihan. Pengarang modern harus berani mengambil teknik penceritaan baru. Alur cerita tidak Dalam rubrik “Kasusastran“ majalah Jaya Baya (nomor 18, 30 Desember 1956) muncul artikel berjudul “Modernisasi (modernake) Kasusastran Jawa” karangan Senggono. Artikel itu membicarakan pengertian sastra secara umum dan langkah-langkah yang harus ditempuh sastrawan agar menjadi pengarang yang baik. Dasar pikiran yang digunakan adalah fakta empirik dalam masyarakat yang menunjukkan perbedaan wawasan antara pendukung sastra lama dan pendukung sastra modern. Para pendukung sastra lama menganggap bahwa sastra tradisional betul-betul asli dan luas cakupannya. Sementara itu, sastra Jawa modern tidak asli karena gayanya seperti sastra Indonesia dan bahasanya banyak terkontaminasi oleh bahasa Indonesia (dan asing). Sebaliknya, pendukung sastra modern berpandangan bahwa sastra lama cenderung borjuis, feodal, dan tidak selaras lagi dengan suasana sekarang. Sastra Jawa modern adalah sastra kreatif, bukan perusak aturan atau konvensi yang ada. Menurut penulis (Senggono), sastrawan memang harus berani menentukan pilihan. Pengarang modern harus berani mengambil teknik penceritaan baru. Alur cerita tidak

Karya kritik Senggono tersebut tidak hanya mengulas masalah keredaksian dan kepengarangan, tetapi juga mengulas karya sastra. Dalam artikel itu ia juga melakukan pembelaan terhadap puisi Jawa modern (guritan) yang pada periode itu mulai merebak di media massa. Harus diakui, demikian kata Senggono, bahwa sebagian besar pembaca pada masa Orde Lama memang belum dapat menikmati guritan bebas. Hal itu terjadi karena cara pandang yang digunakan masih cara pandang lama. Dikatakannya bahwa penikmatan guritan modern harus dilakukan dengan pende- katan khusus, yaitu mengakrabinya sepenuh hati. Ia juga menyarankan kepada pembaca untuk mengubah konsep lama dan menerima konsep modern, baik berkaitan dengan jenis prosa maupun puisi. Cara mengubah persepsi yang paling mudah, menurutnya, adalah dengan membaurkan diri di tengah kelompok atau organisasi pengarang atau sastrawan.

Dalam artikel “Gandhewa Aywa Terus Pinenthang” (Jaya Baya, 30 Desember 1956) Soekandar S.G. mencoba menjelaskan bahaya dan sekakigus manfaat membaca roman. Menurutnya, jika roman hanya berisi persoalan asmara, hal itu akan membahayakan pembaca. Dikatakan bahwa di tengah kehidupan ini banyak hal yang dapat memabukkan, misalnya bacaan ilmu kebatinan atau filsafat. Akan tetapi, Dalam artikel “Gandhewa Aywa Terus Pinenthang” (Jaya Baya, 30 Desember 1956) Soekandar S.G. mencoba menjelaskan bahaya dan sekakigus manfaat membaca roman. Menurutnya, jika roman hanya berisi persoalan asmara, hal itu akan membahayakan pembaca. Dikatakan bahwa di tengah kehidupan ini banyak hal yang dapat memabukkan, misalnya bacaan ilmu kebatinan atau filsafat. Akan tetapi,

Soekandar S.G. menyatakan bahwa dengan menulis roman para pengarang Jawa pada dekade 1960-an mengem- ban misi melestarikan kehidupan sastra Jawa modern. Padahal, sebagian pengarang Jawa adalah dwibahasawan sehingga jika mereka menulis dalam bahasa Indonesia, dari segi keuangan akan untung karena imbalannya relatif lebih tinggi. Di sisi lain, pembaca Jaya Baya dapat diibaratkan sebagai busur panah yang tali busurnya tidak boleh tegang akibat ditarik terus-menerus. Sekali waktu mereka perlu diberi bacaan berat, tetapi di waktu lain perlu disuguhi bacaan yang sedang-sedang saja. Di sela-sela bacaan yang berat, menurutnya, pembaca perlu disuguhi bacaan ringan agar suasana jiwa menjadi santai, seperti halnya busur panah yang tidak ditarik dengan tegang. Pada saat itulah pembaca dapat beristirahat meskipun membaca artikel berat.

Para pengarang roman Jawa, demikian kata Soekan- dar S.G., memang mempunyai gaya pengucapan sendiri- sendiri seperti halnya para pengarang sastra Sunda. Baik pengarang Jawa maupun Sunda harus mampu membatasi vulgarisme agar karyanya tidak jatuh menjadi picisan yang hanya berisi cerita seks dan kejahatan. Seperti yang terjadi pada cerpen karya Susan yang mengarah ke picisan (dalam Crita Cekak), cerpen itu langsung dikritik oleh Isdito. Itulah Para pengarang roman Jawa, demikian kata Soekan- dar S.G., memang mempunyai gaya pengucapan sendiri- sendiri seperti halnya para pengarang sastra Sunda. Baik pengarang Jawa maupun Sunda harus mampu membatasi vulgarisme agar karyanya tidak jatuh menjadi picisan yang hanya berisi cerita seks dan kejahatan. Seperti yang terjadi pada cerpen karya Susan yang mengarah ke picisan (dalam Crita Cekak), cerpen itu langsung dikritik oleh Isdito. Itulah

Artikel “Rembag Basa lan Sastra Jawi” (Jaya Baya, 7 Juli 1957) karya D membicarakan masalah keterlambatan pengembangan bahasa dan sastra Jawa. Masalah itu pernah pula disinggung dalam majalah Merdeka. Menurutnya, untuk membahas dan mengantisipasi persoalan tersebut perlu diadakan pertemuan antarlembaga atau perkumpulan. Ia menilai bahwa terasa adanya beban berat bagi siswa dan guru dalam mempelajari bahasa dan sastra Jawa secara baik. Melihat kenyataan demikian, sering muncul gagasan negatif untuk tidak perlu membicarakan bahasa dan sastra Jawa. Padahal, mempelajari bahasa dan sastra Jawa (sebagai bahasa ibu) lebih mudah daripada mempelajari bahasa dan sastra lainnya (bahasa kedua atau ketiga). Sebenarnya jumlah guru bahasa dan sastra Jawa tidak kurang, tetapi sistem pendidikan yang menempatkan bahasa Jawa pada posisi marginal menyebabkan kehidupan bahasa dan sastra Jawa makin merana. Dalam kritiknya ia menuntut peran masyarakat Jawa untuk turut serta memelihara atau memperhatikan bahasa dan sastra Jawa.

Patrissiwi Djiwadi menulis artikel berjudul “Wawasan Mbabarake Wawasan” dalam rubrik “Kasusastran” majalah Jaya Baya (11 Agustus 1957 s.d. 1 September 1957). Sebe- lumnya, artikel itu telah disampaikan pada pertemuan Paguyuban Jawi (14 Juli 1957) di SGB Kalianyar, Surabaya. Hal itu dapat dilihat pada surat dari redaksi Jaya Baya, 11 Agustus 1957.

Kritik sastra karya Pratissiwi Djiwadi ditulis cukup panjang dan berbobot sastra walaupun ia mengaku bahwa dirinya bukan ahli sastra. Dalam pernyataannya ia berpen- dapat bahwa kelangsungan hidup sastra Jawa menjadi tanggung jawab bersama anggota masyarakat Jawa, bukan hanya menjadi daerah garapan sekelompok kecil saja.

Selanjutnya, kritikus tersebut juga menyatakan bahwa ciri-ciri sastra Jawa periode kemerdekaan dapat diamati lewat beberapa buku kesusastraan Jawa. Namun, pada kenyataan- nya, pengamatan secara demikian itu tidak mudah dilakukan karena tidak banyak media massa yang memuat rubrik kritik, di samping jumlah penerbitan menurun. Oleh karena itu, seorang kritikus (panyaruwe) harus mengamati secara langsung karya-karya sastra melalui media-media massa yang memuat berbagai genre sastra Jawa modern. Menurutnya, pengertian “modern” masih perlu diperjelas karena masalah itu bersinggungan dengan dunia filsafat. Dengan pengertian “modern” seperti itu, menurutnya, hanya majalah Crita Cekak saja yang secara jelas sudah memuat sastra yang benar-benar modern, yaitu dalam bentuk cerpen, kritik, dan kadang- kadang guritan.

Dalam hal pembaca, Patrissiwi Djiwadi menunjukkan bahwa pembaca majalah berbahasa Jawa tentu memiliki pengarang idola yang karya-karyanya menarik perhatian Dalam hal pembaca, Patrissiwi Djiwadi menunjukkan bahwa pembaca majalah berbahasa Jawa tentu memiliki pengarang idola yang karya-karyanya menarik perhatian

Masalah keredaksian juga diungkap dalam karya kritik ini, yaitu tentang sikap redaksi dalam menangani sajak atau guritan. Menurutnya, redaksi tidak mempertimbangkan penempatan guritan modern sebagai jenis sastra Jawa modern yang sudah berkembang. Oleh karena itu, patut dipertanyakan mengapa pemuatan guritan sering dilakukan semena-mena, misalnya diselipkan di tengah-tengah iklan. Cara pemuatan seperti itu, menurutnya, jelas merupakan sikap yang kurang menghargai eksistensi guritan modern. Padahal, karya lelucon saja mendapatkan tempat khusus dalam rubrik “Ayo Ngguyu” atau “Ana-Ana Wae”. Melalui kritik tersebut Patris- siwi meminta redaksi agar memberi tempat khusus bagi guritan sebagai salah satu jenis sastra yang diterima oleh masyarakat.

Dalam Sarasehan Bahasa dan Kesusastraan Jawa di Solo, tahun 1957, Suyadi Pratomo (Damono, 1993:108) menegaskan kondisi pengarang Jawa sebagai berikut.

Banyak suara-suara terdengar, kesusastraan Jawa kini sangat merosot. Sekarang tiada lagi buku roman atau novel yang tebal, tiada lagi buku bernilai seperti buah Banyak suara-suara terdengar, kesusastraan Jawa kini sangat merosot. Sekarang tiada lagi buku roman atau novel yang tebal, tiada lagi buku bernilai seperti buah

Kutipan tersebut menyiratkan bahwa Suyadi Pratomo masih mengacu pada visi lama dan memuja atau meng- unggulkan sastra lama seperti karya Ranggawarsita dan Jasadipura. Cerpen yang muncul di majalah dianggapnya kurang bernilai karena disampaikan dengan bahasa yang kurang tertib. Demikian pula guritan yang muncul di media massa sulit dimengerti isinya atau dianggap tidak mengan- dung isi apa pun. Dikatakan pula bahwa penerbitan karya sastra yang berbentuk buku sangat jarang pada karena masyarakat pada waktu itu lebih senang dengan cerpen yang disampaikan dengan bahasa sezaman dan komunikatif. Mereka menyadari bahwa penguasaan bahasa Jawa mereka Kutipan tersebut menyiratkan bahwa Suyadi Pratomo masih mengacu pada visi lama dan memuja atau meng- unggulkan sastra lama seperti karya Ranggawarsita dan Jasadipura. Cerpen yang muncul di majalah dianggapnya kurang bernilai karena disampaikan dengan bahasa yang kurang tertib. Demikian pula guritan yang muncul di media massa sulit dimengerti isinya atau dianggap tidak mengan- dung isi apa pun. Dikatakan pula bahwa penerbitan karya sastra yang berbentuk buku sangat jarang pada karena masyarakat pada waktu itu lebih senang dengan cerpen yang disampaikan dengan bahasa sezaman dan komunikatif. Mereka menyadari bahwa penguasaan bahasa Jawa mereka

Di samping menyoroti pengarang generasi muda, Suyadi Pratomo juga mengulas jenis sastra Jawa modern. Dalam karangan berjudul “Puisi Jawi Gagrag Enggal” (Medan Bahasa Bahasa Djawa, nomor 4, tahun IV, April 1959) ia membicarakan puisi Jawa yang ditulis oleh para penyair periode kemerdekaan. Sementara itu, pengamat bernama S. Pant dalam tulisannya berjudul “Pundi Titikaning Kemajenganipun Basa” (Medan Bahasa Bahasa Djawa, nomor 5-6, tahun II, Mei--Juni 1957) mengulas perkem- bangan bahasa Jawa periode awal kemerdekaan. Ia meng- ambil contoh pemakaian bahasa Jawa dalam novel terbitan Balai Pustaka tahun 1952--1953 dan dalam guritan “Gelenging Tekad” karya Soebagijo I.N.

Selain menulis kritik dalam Crita Cekak, Senggono juga menulis kritik dalam media massa lain, di antaranya berjudul “Puisi Gagrak Enggal” (Medan Bahasa Bahasa Djawa, nomor 6, tahun II, Juni 1958). Dalam tulisan itu ia membahas puisi “Dayaning Sastra” karya R. Intojo, “Saka Tlatah Cengkar”, “Kowe wis Lega”, dan “Oleh-Oleh” karya Iesmaniasita, dan “Pangudarasaning Cah Glandhangan” karya Moeljono Soedarmo. Kecuali itu, Senggono juga memilih dan menyunting 17 cerpen dan 5 guritan yang kemudian dibukukan dalam Kemandhang (Balai Pustaka, 1958). Ketika memilih cerpen dan guritan itu ia tentu memakai pertimbangan baik-buruk karya. Pertimbangan baik-buruk sastra itu sudah masuk ke dalam kategori kritik sastra. Selanjutnya, R. Seto B.M. menulis sebuah ulasan berjudul “Urun Rembug Bab Mekaring Basa Jawi” (Medan

Bahasa Bahasa Djawa, nomor 6, tahun III, Juni 1958). Dalam tulisan itu R. Seto B.M. mengulas masalah bahasa ragam sastra dengan mengambil contoh cerpen karya Sriningsih berjudul “Wengi kang Sepi” dan guritan karya Rachmadi K. berjudul “Kalap”.

Dalam artikel berjudul “Waosan Bab Awon-Saening Sekar Enggal” (Medan Bahasa Bahasa Djawa, nomor 7, tahun III, Juli 1958), Samidja mengulas beberapa guritan, yaitu “Critane Inten lan Areng Watu”, “Kudhup”, “Gara- Gara”, dan “Prihatin”. Sementara itu, dalam ulasan berjudul “Jumbuhing Irama Sastra lan Gendhing” (Medan Bahasa Bahasa Djawa, nomor I, yahun IV, Maret 1959), Sawarda Padyasastra menyoroti keserasian hubungan irama sastra dengan gamelan. Kemudian, Muryalelana juga menulis kritik dalam majalah Medan Bahasa Bahasa Djawa (nomor 10, tahun III, 1958). Dalam tulisan itu ia mengusulkan dua hal penting, yaitu (1) agar nama dan karya-karya tokoh sastra Jawa dimuat dalam Medan Bahasa Bahasa Djawa dan (2) agar soneta Jawa dikelompokkan ke dalam puisi gagrag anyar dan penulisnya digolongkan sebagai angkatan kemerdekaan atau angkatan Surabaya. Alasannya, soneta merupakan jenis puisi baru yang sudah menggunakan konsep keindahan yang berbeda dengan konsep keindahan tembang.

Secara keseluruhan akhirnya dapat dikemukakan bahwa sistem kritik pada masa Orde Lama sebenarnya sudah meliputi dua jenis, yaitu (1) kritik yang membahas elemen- elemen sistem mikro atau sistem internal sastra dan (2) kritik yang membahas elemen-elemen eksternal atau sistem makro- sastra. Akan tetapi, jika diperbandingkan, jumlah atau populasi kritik jenis pertama relatif lebih banyak daripada kritik jenis kedua. Bahkan, kritik jenis kedua yang membahas Secara keseluruhan akhirnya dapat dikemukakan bahwa sistem kritik pada masa Orde Lama sebenarnya sudah meliputi dua jenis, yaitu (1) kritik yang membahas elemen- elemen sistem mikro atau sistem internal sastra dan (2) kritik yang membahas elemen-elemen eksternal atau sistem makro- sastra. Akan tetapi, jika diperbandingkan, jumlah atau populasi kritik jenis pertama relatif lebih banyak daripada kritik jenis kedua. Bahkan, kritik jenis kedua yang membahas