Perkembangan Tema

4.4 Perkembangan Tema

Secara umum dapat dikatakan bahwa tema yang ditampilkan dalam karya sastra Jawa modern, baik genre prosa, puisi, maupun drama cukup beragam. Cinta, rumah tangga (keluarga), pendidikan, perjuangan, religiuitas, dan kritik sosial--antara lain--merupakan tema-tema yang digarap pada periode kemerdekaan. Data menunjukkan bahwa meskipun tema-tema yang ditampilkan beragam, sebagian besar karya sastra Jawa modern periode kemerdekaan-- terutama prosa--tidak pernah lepas dari masalah cinta (hubungan pria-wanita); suatu masalah yang dalam konteks sastra Jawa agaknya sangat “istimewa”. Dalam sebagian besar karya sastra Jawa, masalah cinta selalu ditampilkan bersamaan dengan masalah-masalah lain; atau sebaliknya, berbagai masalah lain sering dibumbui dengan masalah cinta. Karena masalah-masalah tersebut seringkali erat berhu- Secara umum dapat dikatakan bahwa tema yang ditampilkan dalam karya sastra Jawa modern, baik genre prosa, puisi, maupun drama cukup beragam. Cinta, rumah tangga (keluarga), pendidikan, perjuangan, religiuitas, dan kritik sosial--antara lain--merupakan tema-tema yang digarap pada periode kemerdekaan. Data menunjukkan bahwa meskipun tema-tema yang ditampilkan beragam, sebagian besar karya sastra Jawa modern periode kemerdekaan-- terutama prosa--tidak pernah lepas dari masalah cinta (hubungan pria-wanita); suatu masalah yang dalam konteks sastra Jawa agaknya sangat “istimewa”. Dalam sebagian besar karya sastra Jawa, masalah cinta selalu ditampilkan bersamaan dengan masalah-masalah lain; atau sebaliknya, berbagai masalah lain sering dibumbui dengan masalah cinta. Karena masalah-masalah tersebut seringkali erat berhu-

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tema-tema karya sastra Jawa modern periode kemerdekaan agak berbeda dengan tema-tema karya sastra periode sebelumnya (zaman Jepang atau prakemerdekaan) meskipun sebagian kecil tema- tema pada masa lalu itu masih dijumpai dalam karya sastra Jawa periode kemerdekaan. Hal itu terjadi karena karya- karya tersebut hidup dan berkembang dalam kondisi sosial politik yang berbeda. Untuk mendukung dan membela Jepang, misalnya, tema karya sastra Jawa pada masa Jepang lebih didominasi oleh tema sosial tentang perjuangan melawan Sekutu. Hal demikian tampak misalnya dalam cerpen “Tanggap lan Tandang ing Garis Wingking” karya Poerwadhie Atmodihardjo dan “Nyuwun Pamit Kyai” karya Soebagijo I.N. Demikian pula dengan kecenderungan tema pada masa Balai Pustaka (1917--1942) yang banyak menyo- dorkan tema rumah tangga (keluarga), kawin paksa, dan pertentangan adat antara kaum muda dan kaum tua. Namun, setelah Indonesia merdeka hingga pertengahan tahun 1970- an, justru tema cinta atau percintaan (romantisme) yang mendominasi karya sastra Jawa, terutama dalam genre prosa; di samping tema kritik sosial dan religiusitas (dalam genre puisi). Meskipun demikian, pada awal tahun 1950-an (awal periode kemerdekaan) ternyata tema-tema yang aktual pada masa Balai Pustaka (pada tahun 1920-an), yakni masalah jodoh dan pertentangan golongan muda terhadap golongan tua, masih mencuat ke permukaan. Agaknya, kecenderungan tersebut berkaitan dengan pengarang (baca subbab 3.1) yang

sebagian merupakan generasi tua atau angkatan kasepuhan. Beberapa pengarang yang termasuk ke dalam angkatan kasepuhan itu, antara lain, adalah Hardjowirogo, Sri Hadi- djojo, Th. Suroto, Sunarno Sisworahardjo, dan Senggono masih aktif berkarya pada periode awal kemer-dekaan. Oleh karena itu, tidak salah jika Hutomo (1975) menyatakan secara ekstrem bahwa sejak terbitnya Serat Rijanta tahun 1920 hingga dekade 1960-an tidak terjadi perkembangan kualitas karya sastra Jawa, termasuk tema yang ditampilkan. Karya sastra Jawa, dalam bentuk novel, yang menampilkan penentangan tradisi kawin paksa adalah O, Anakku... (1952) karya Th. Suroto dan Sri Kuning (1953) karya Hardjowirogo. Kedua novel tersebut mengambil latar sebelum perang sehingga oleh Damono ditengarai sebagai naskah sisa sebelum perang (periode prakemerdekaan). Selain itu, novel Balai Pustaka lainnya juga menampilkan tema yang hampir sama, yaitu cinta dan perjodohan. Misalnya, Djodho kang Pinasthi (1952) dan Serat Gerilja Sala (1957) karya Sri Hadidjojo, serta Kembang Kanthil (1957) karya Senggono. Adapun novel lainnya, yaitu Sinta (1957) karya Sunarno Sisworahardjo, Kumpule Balung Pisah (1957) karya A. Saerozi A.M., dan Sapu Ilang Suhe (1960, cetakan II) karya Hardjowirogo, cenderung mempersoalkan masalah rumah tangga, sebuah tema yang banyak digarap dalam sastra Jawa prakemerdekaan.

Jika diperhatikan, tema dalam novel-novel terbitan Balai Pustaka pada awal kemerdekaan terlihat hampir tidak mengalami perkembangan yang berarti. Secara dominan beberapa novel mengangkat tema penolakan generasi muda-- terutama oleh tokoh wanita, seperti Sripeni (dalam novel Serat Gerilja Sala ), Sri Kuning (dalam novel Sri Kuning),

Wartini, Supini, dan Darmini (dalam novel Kumpule Balung Pisah )--terhadap tradisi kawin paksa yang masih dianut oleh generasi tua. Tentu saja, tema tersebut dibalut oleh persoalan cinta antara dua remaja. Beberapa novel lainnya mengangkat persoalan rumah tangga, seperti kesulitan ekonomi, perce- raian, atau peran orang tua. Kedua tema itu sesungguhnya merupakan tema “warisan” dari periode tahun 1920-an.

Perkembangan tema yang statis tersebut diperparah lagi oleh tema-tema novel saku terbitan swasta yang mulai menjamur pada awal tahun 1960-an hingga pertengahan tahun 1970-an. Topeng Setan (1954) karya Any Asmara dalam Pustaka Roman dapat dikatakan sebagai tonggak awal terbitnya novel panglipur wuyung ‘penghibur duka’ dalam bentuk buku saku yang tipis. Novel (atau novellet?) detektif tersebut sesungguhnya dapat menjadi sebuah cerita yang menarik, tetapi karena alur dan penokohannya tidak digarap dengan baik, novel tersebut kurang memenuhi syarat sebagai sebuah karya sastra yang baik. Dengan kata lain, yang ditonjolkan di dalamnya hanyalah tema percintaan yang dibalut dengan cerita detektif tanpa pengolahan secara baik. Tema-tema percintaan pun--yang dibumbui oleh berbagai persoalan moral, sosial, perjuangan, kebangsaan, maupun cerita misteri dan detektif--masih dapat diperinci lagi ke dalam beberapa variasi atau subtema, seperti nilai kesetiaan istri, cinta membutuhkan pengorbanan, cinta palsu menga- kibatkan kerugian, dan jodoh merupakan ketentuan Tuhan. Beberapa judul novel panglipur wuyung yang bertema seperti itu, antara lain, Tumetesing Luh, Tang-gungane Pelor Tem- baga, Kumandhanging Dwikora, Ngrungkebi Tresna Suci, Pangurbanan, Remuk, Gagak Ngampar, Panglipur, Asmara Tanpa Weweka, Panggodaning Iblis, Kiprahe Putra Revolusi,

Telik Sandi, Sedulur Sinara Wedi, Nyaiku, Dawet Ayu, Semi Prawan Metro, Prawan Semarang, Kuburan Sing Angker, Kertas Jambon, Putri Tirta Gangga, Grombolan Gagak Seta, Isih Ana Kaelokan, Kasrimpet ing Srawung, Mekar ing Mangsa Panen, Neng Artati, Duraka, Kraman, Kuman- dhanging Dwikora, Nyaiku, Pangurbanan, Ambyar Sadu- runge Mekar, Tangise Kenya Ayu, Sri Panggung Maerakaca, Tekek kok Lorek, Tante Lies, Tetesing Waspa, Jagade wis Peteng, Ni Wungkuk, Tatiek Indriyani Putri Sala, Randha Teles, Tilas Buwangan Nusa Kambangan, Lara Lapane Kaum Republik, Gerombolan Gestok, Bokor Kencana, Sala Kerem, Titising Kadurakan, dan Sukwati Telu.

Meskipun sebagian besar novel pada era roman panglipur wuyung lebih dominan menampilkan tema per- cintaan (romansa), terdapat satu dua buah novel yang terbit pada masa itu yang tidak terjebak pada tema yang populer (atau picisan) tersebut. Satu di antaranya adalah Lara Lapane Kaum Republik (1963) karya Suparto Brata. Novel berlatar perang tersebut lebih menonjolkan aspek kejiwaan para tokohnya secara realistis di tengah suasana peperangan melawan Belanda.

Tema dalam novel-novel pada awal kemerdekaan hingga pertengahan tahun 1970-an tersebut tidak jauh berbeda dengan tema yang ditampilkan dalam cerita pendek (crita cekak). Artinya, tema-tema yang ditampilkan dalam cerita pendek dalam berbagai majalah Jawa yang terbit pada waktu itu pun lebih banyak berkutat di seputar cinta remaja dan rumah tangga. Meskipun dapat dianggap kurang representatif, Kemandhang (1958) merupakan contoh sebuah antologi cerita pendek Jawa yang dapat dijadikan cermin Tema dalam novel-novel pada awal kemerdekaan hingga pertengahan tahun 1970-an tersebut tidak jauh berbeda dengan tema yang ditampilkan dalam cerita pendek (crita cekak). Artinya, tema-tema yang ditampilkan dalam cerita pendek dalam berbagai majalah Jawa yang terbit pada waktu itu pun lebih banyak berkutat di seputar cinta remaja dan rumah tangga. Meskipun dapat dianggap kurang representatif, Kemandhang (1958) merupakan contoh sebuah antologi cerita pendek Jawa yang dapat dijadikan cermin

1 buah bertema mistik. Antara tema cinta dan rumah tangga itu sendiri terdapat pertalian yang erat karena dalam tema rumah tangga juga muncul permasalahan cinta.

Meskipun secara umum tema dalam prosa Jawa pada awal kemerdekaan hingga tahun 1970-an didominasi oleh tema cinta dan rumah tangga, sastra Jawa modern subperiode itu--tepatnya tahun 1952--telah menghasilkan karya sastra pembaharu, yaitu antologi cerpen Dongeng Sato Kewan. Antologi tersebut dikatakan sebagai pembaharu karena tema yang ditampilkan telah merambah pada masalah kritik sosial dan politik; lagi pula, yang lebih menarik, tema itu disam- paikan secara satiris-simbolis. Namun, sayang sekali bahwa tema seperti itu tidak pernah lagi muncul dalam prosa Jawa pada tahun-tahun sesudahnya; dan baru diangkat kembali pada tahun 1990-an oleh Krishna Mihardja.

Berbeda dengan tema dalam prosa hingga per- tengahan tahun 1970-an yang hampir dapat dikatakan tidak meninggalkan masalah cinta dan kehidupan rumah tangga, tema dalam puisi Jawa, khususnya puisi Jawa modern (guritan) hingga awal tahun 1970-an justru lebih intens menggarap masalah sosial kemasyarakatan pada masa itu. Hal itu dapat dimaklumi karena puisi sebagai sarana kritik merupakan kristalisasi dari pengalaman penggurit tentang segala segi yang melingkunginya, baik sosial ekonomi maupun sosial politik yang dituangkan dalam bahasa yang padat dan indah. Berkaitan dengan itu, tema puisi tersebut diangkat berdasarkan berbagai masalah yang berkembang pada waktu itu. Agaknya, tema yang agak menonjol pada Berbeda dengan tema dalam prosa hingga per- tengahan tahun 1970-an yang hampir dapat dikatakan tidak meninggalkan masalah cinta dan kehidupan rumah tangga, tema dalam puisi Jawa, khususnya puisi Jawa modern (guritan) hingga awal tahun 1970-an justru lebih intens menggarap masalah sosial kemasyarakatan pada masa itu. Hal itu dapat dimaklumi karena puisi sebagai sarana kritik merupakan kristalisasi dari pengalaman penggurit tentang segala segi yang melingkunginya, baik sosial ekonomi maupun sosial politik yang dituangkan dalam bahasa yang padat dan indah. Berkaitan dengan itu, tema puisi tersebut diangkat berdasarkan berbagai masalah yang berkembang pada waktu itu. Agaknya, tema yang agak menonjol pada

Di samping tema yang menyangkut perbedaan pandangan antara generasi muda dan generasi tua, beberapa guritan yang bertema sosial yang menyangkut penderitaan masyarakat miskin juga banyak ditampilkan. Beberapa gegu- ritan yang bertema sosial tersebut, antara lain, “Saka Tlatah Cengkar ” karya St. Iesmaniasita, “Warga Ngalela ing Asepi” karya Slamet Poerwono, “Paceklik” karya Sutresna, “Si Gendhuk Tumungkul Nangis ” karya S. Rien, dan “Sapa sing Salah ” karya Prijanggana. Guritan karya Iesmaniasita tersebut, misalnya, mengungkapkan masalah kehidupan yang serba sulit seperti berikut.

kareben kabut kandel alam peteng lelimengan lagu kalap ing kasepen garing dhaerah kang dakambah dene darbekku layang gadhen

‘biarlah kabut tebal alam gelap gulita nyanyian lenyap dalam kesepian ‘biarlah kabut tebal alam gelap gulita nyanyian lenyap dalam kesepian

Tema-tema seperti itu, yang menyangkut penderitaan masyarakat miskin, agaknya lebih dominan ditampilkan berkaitan dengan situasi dan kondisi sosial ekonomi dan politik pada saat itu, yakni menjelang dan setelah tum- bangnya Orde Lama yang digeser oleh Orde Baru. Tema sosial itu ditampilkan karena penggurit sebagai anggota masyarakat mempunyai peranan menanggapi realitas, berko- munikasi dengan realitas, dan menciptakan kembali realitas sosial yang terjadi di lingkungannya. Realitas sosial yang bersinggungan dengan penggurit itu meliputi berbagai aspek, misalnya kemiskinan, ketidakadilan, dan perjuangan (hidup). Di dalam mencipta kembali realitas sosial itu penggurit tidak hanya “memindahkan” realitas itu ke dalam guritannya, tetapi ada unsur kreativitasnya. Oleh karena itu, cukup banyak dijumpai realitas sosial yang disorot atau dikritik secara tajam menurut visi si penggurit, misalnya guritan karya Sri Soebijanto berikut.

MANGSA KETIGA Ketiga ngerak

Lemah ngenthak-enthak Tanduran garing kemlingking ... Apa ora eling?

Pak Noyo gumregah Ati susah anggresah Awak krasa sayah

Si Tole nangis anggero Si Tole nangis anggero

Bapak ... Priksanana kae Wong kang wus lempe-lempe Iki wis wayah ngene ... Weteng krasa luwe.

Ulungna astamu bapak Marang biyung kang wis mbrabak Ngrasakake panandang Kurang pangan lan sandhang.

Kapan? Kapan tekane??? Tumetese udan ing tanah kiye Tumiba tetanduran ledung-ledung subur Negara makmur.

(Panjebar Semangat, No. 31, 5 Des. 1966) MUSIM KEMARAU Kemarau panjang

tanah kerontang tanaman kering ... Apakah tidak ingat?

Pak Noyo bangkit Hati susah mendesah Badan terasa payah

Si anak menangis seru minta makan ... perut hanya terisi blondho

Bapak ...

Lihatlah itu Orang yang sudah lumpuh Ini sudah waktunya demikian ...

Perut terasa lapar Ulurkan tanganmu Bapak Kepada ibu yang sudah hampir menangis Merasakan kesengsaraan Kurang makan kurang sandang.

Kapan? Kapan datangnya??? Menetesnya hujan di tanah ini Menjatuhi tanaman hijau subur Negara makmur.’

Contoh tema sosial tersebut dapat dipahami secara dua tahap. Pertama, secara tersurat guritan itu hanya ber- cerita tentang musim kemarau panjang sehingga rakyat menderita. Kedua, secara tersirat guritan itu merupakan sebuah kritik terhadap keadaan sosial poitik pada masa itu (1966) yang diumpamakan musim kemarau panjang. Pemaknaan secara tersirat itu dipertegas oleh pernyataan sebagai harapan terhadap perubahan sosial politik yang dilakukan oleh pemimpin bangsa, yang terdapat pada akhir baris bait terakhir: (supaya) negara makmur.

Tema perjuangan banyak juga ditampilkan dalam guritan subperiode tersebut. “Gelenging Tekad” karya Soebagijo I.N. (MBBD 5--6, 1957) berikut ini, misalnya, mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan.

Ning Sang Hyang E weruh marang kuwajiban

Sigra nempuh barisaning pedhut gunung Pepalanging laku ginempur lawaran Matemah abun kandel tapis tinindhung

Tan prabeda lawan tekading bangsa ‘Tapi matahari tahu kewajiban

Segera menerobos barisan kabut gunung Rintangan jalan diterjang segera Akhirnya embun tebal lenyap dienyahkan

Tak berbeda dengan tekad bangsaku’ Contoh puisi lain yang bertema perjuangan dan

kepahlawanan adalah “Piweling” karya Hadi Suraja. Puisi itu mengungkapkan tekad seorang pejuang yang siap mati di medan perang. Menjelang keberangkatannya ke medan perang, pejuang tersebut berpesan kepada istrinya agar anaknya kelak setelah lahir dididik dengan cerita-cerita heroik realistik dan bukan dengan cerita-cerita fiktif.

Poma aja ko-wulang - Bapakmu kaya Arjuna

Dhedheren mimis ing dhadha Sebaren anggit ing mbun-bun - Bapakmu mati ing rana.

‘Maka jangan kau didik - Bapakmu bagai Arjuna

Tanamkan peluru di dada Tebarkan nalar di ubun-ubun - Bapakmu gugur di medan laga.’

Selain tema-tema tersebut, tema yang muncul akibat terjadinya gejolak sosial juga banyak diungkapkan dalam khazanah puisi Jawa modern, misalnya tema pendidikan (didaktik) dengan berbagai variasinya. Dalam “Adigang, Adigung, Adiguna ” karya Senggono, misalnya, diingatkan agar masyarakat, bangsa, dan negara tidak sombong, ti-dak congkak, dan tidak merasa paling hebat karena se- sungguhnya masih ada pihak lain yang melebihinya. Dalam guritan itu digambarkan bahwa pihak lain selalu meng- incarnya yang dimanifestasikan dengan “beruang dari ti-mur” dan “singa dari barat”, seperti dalam kutipan tiga larik terakhir berikut.

lali yen wetan ana beruwang lan singa barong ing jagad kulon padha adu landheping netra.

‘lupa bahwa di sebelah timur ada beruang dan singa raja hutan di dunia barat sedang waspada mengincarnya.’

Sifat sombong dan congkak memang termasuk sifat yang tidak terpuji. Oleh karena itu, untuk menghindari sifat yang demikian, sejak dini anak-anak agar diantisipasi dengan memberikan pendidikan kepribadian, seperti yang diungkap- kan Tjokrosumardjo dalam guritan yang berjudul “Ing Pundi lan Kados Pundi ?” (MBBD, No. 8, 1958). Dalam guritan itu Sifat sombong dan congkak memang termasuk sifat yang tidak terpuji. Oleh karena itu, untuk menghindari sifat yang demikian, sejak dini anak-anak agar diantisipasi dengan memberikan pendidikan kepribadian, seperti yang diungkap- kan Tjokrosumardjo dalam guritan yang berjudul “Ing Pundi lan Kados Pundi ?” (MBBD, No. 8, 1958). Dalam guritan itu

Ing pawiyatan winulang, winuruk dwija, sarjana, pra sujana linangkung.

Ing gesang bebrayan, pinanggih seserepan, pengalaman, cinepeng kinarya sangu.

Luhuring budi, kawaskithan, kapitadosan dhateng Pangeran, tinempuha lesus prahara, datan gampil sirna.

‘Di sekolah di beri pelajaran, dididik guru, sarjana, para tokoh yang terhormat.

Dalam kehidupan yang bermasyarakat, menemukan pengetahuan, pengalaman, dipegang sebagai bekal.

Keluhuran budi, kearifan, keyakinan kepada Tuhan, diterjang angin dahsyat, takkan mudah sirna.’

Selain guritan di atas, masih ada beberapa guritan lain yang menampilkan tema dan masalah pendidikan. Misalnya, “Katur Jeng Ibu” karya Lebdodi dan “Taman Kusuma” karya Soepanto (MBBD, No 6 dan 8, 1958).

Tema yang bernapas religius agaknya juga mewarnai sejumlah guritan hingga pertengahan tahun 1960-an . Dalam guritan “Ing Pundi lan Kados Pundi”, misalnya, terlihat bahwa masalah keimanan (keyakinan) kepada Tuhan meru- pakan faktor penting untuk membentuk kepribadian yang teguh. Beberapa contoh lainnya adalah “Pasrah” karya S. Pant, “Gusti” karya Moeljono Soedarmo dan “Prihatin” karya Karweni. Dalam “Pasrah” karya S. Pant (MBBD, No.

7, 1957), misalnya, diungkapkan bahwa dalam suasana sepi, hamba memohon kebahagiaan hidup kepada Tuhan --yang dimanifestasikan dengan toya ‘air’-- karena hanya Tuhan yang mampu mengabulkan permohonan.

Mangka tan wonten saweneh toya Kwagang nyirep ngoronging donya Anjawi kang saking Paduka.

O, Gusti Rajaning Raja Mugi kepareng amelasana Aparing tentreming nyawa.

‘Padahal tak ada air apa pun Mampu menghapus dahaga dunia kecuali yang dari Paduka.

O, Tuhan Raja segala Raja Semoga berkenan mengasihi O, Tuhan Raja segala Raja Semoga berkenan mengasihi

secara umum dapat dikatakan bahwa karya-karya prosa Jawa modern dekade 1970-an--1997 menampilkan tema yang makin beragam meskipun tema-tema itu tidak pernah lepas dari masalah cinta (hubungan pria-wanita). Agaknya, tema percintaan yang dibalut atau membalut berbagai persoalan moral dan sosial pun masih berlanjut setelah era roman picisan dalam bentuk buku saku. Namun, jika pada masa novel panglipur wuyung segala persoalan dikemas dengan masalah cinta sehingga persoalan di luar cinta hanya sebagai bumbu cerita, novel setelah masa tersebut persoalan cinta hanya digunakan sebagai bumbu cerita.

Tema-tema sosial--seperti protes sosial--dan per- juangan atau kepahlawanan banyak muncul, terutama dengan terbitnya novel yang bersumber dari kisah tradisional dalam bentuk cerita bersambung melalui majalah berbahasa Jawa. Kritik sosial yang cukup tajam seperti pemberontakan wanita terhadap dominasi kaum pria, sering dikemas dalam cinta segitiga, termasuk keinginan wanita untuk mandiri, seperti tampak pada sikap Windurini dalam novel Nasak Grumbul ana Macane dan sikap Rukmana dan Liena dalam novel Pacar Gadhing. Tema sosial yang dikemas dengan cinta segitiga biasanya disebabkan oleh ketidakhadiran anak dalam keluarga atau kesepian seorang istri dari laki-laki karier sehingga menimbulkan penyelewengan seks.

Situasi sosial yang diangkat dalam novel Jawa tersebut membuktikan bahwa pola-pola kehidupan modern mendatangkan benturan-benturan sosial yang masih perlu disikapi dengan penuh kearifan. Pada periode ini terdapat Situasi sosial yang diangkat dalam novel Jawa tersebut membuktikan bahwa pola-pola kehidupan modern mendatangkan benturan-benturan sosial yang masih perlu disikapi dengan penuh kearifan. Pada periode ini terdapat

Munculnya tema sosial dalam karya-karya sastra Jawa setelah era novel panglipur wuyung berkaitan dengan masuknya nilai-ilai demokrasi, hak asasi, dan kapitalisme dari roh budaya modern Barat. Tema-tema sosial banyak diakomodasi pada masalah kemelut rumah tangga, kawin paksa, perselingkuhan, kejahatan, hingga pengiriman tenaga kerja wanita ke luar negeri dengan segala problematikanya. Novel Tunggak-Tunggak Jati, misalnya, berbicara masalah pembauran yang merupakan salah satu masalah krusial antara pribumi dan Tionghoa yang dijalin melalui percintaan antara

Karmodo dan Lien Nio. Selain itu, muncul pula kesadaran wanita untuk menggugat pandangan lama yang menilai wanita atas konsep bibit, bobot, dan bebet (terutama terjadi dalam kalangan keluarga priayi). Dengan lantang, pandangan tradisional tersebut digugat oleh wanita-wanita Jawa modern karena pandangan tersebut tidak sesuai lagi dengan iklim demokrasi yang menjunjung hak asasi, seperti yang dilakukan oleh Wulandari dalam novel Dokter Wulandari. Akan tetapi, ironis sekali, masih banyak wanita modern yang terjebak pada sikap yang justru mengukuhkan budaya tradisional sekalipun mereka telah berpendidikan modern. Sebaliknya, beberapa tokoh pria dalam novel Jawa meman- faatkan konsep tradisional itu sebagai alat untuk menge- sahkan dominasinya terhadap kemandirian perempuan, seperti tampak pada sikap Rudi dan Bambang Trisula dalam novel Dokter Wulandari. Penolakan serupa juga dilakukan oleh Sintru dalam novel Sintru, oh Sintru, yakni berupa pemberontakan wanita terhadap ketamakan laki-laki. Melalui tokoh Sintru, novel ini menggugat pandangan tradisional yang selalu menempatkan dominasi laki-laki yang apa pun kondisinya selalu diposisikan sebagai kepala keluarga. Sintru berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu hidup mandiri dengan membuka usaha pertokoan.

Dalam novel karya Suryadi W.S. itu, Sintru bermak- sud mengubah citra wanita tradisional yang selalu dan harus menunggu cinta laki-laki. Ia memberanikan diri untuk menyatakan cinta kepada seorang pria. Akan tetapi, di dalam dari perjuangan Sintru tersebut terdapat satu celah yang negatif. Keputusannya untuk meninggalkan bayi yang baru dilahirkan di rumah sakit dan menyerahkan bayi itu kepada Dalam novel karya Suryadi W.S. itu, Sintru bermak- sud mengubah citra wanita tradisional yang selalu dan harus menunggu cinta laki-laki. Ia memberanikan diri untuk menyatakan cinta kepada seorang pria. Akan tetapi, di dalam dari perjuangan Sintru tersebut terdapat satu celah yang negatif. Keputusannya untuk meninggalkan bayi yang baru dilahirkan di rumah sakit dan menyerahkan bayi itu kepada

Kesan tentang novel Jawa sebagai “sastra desa”, seperti penilaian Hutomo terhadap novel Sumpahmu Sum- pahku (1993), mulai berkurang dengan munculnya beberapa novel yang mengangkat kehidupan mahasiswa atau masyarakat kelas menengah ke atas, seperti novel Kubur Ngemut Wewadi , Lintang, dan Dokter Wulandari. Tema sosial yang berkaitan dengan dunia mahasiswa menjadi persoalan utama dalam novel Kubur Ngemut Wewadi (1993) karya A.Y. Suharyono, yakni liku-liku kehidupan mahasiswa yang menghadapi kendala studi akibat keterbatasan biaya dari orang tuanya, penyelewengan seks di lingkungan mahasiswa, dan kejahatan yang menyebabkannya harus meringkuk dalam penjara.

Kesan tentang novel Jawa sebagai “sastra ndesa” belum terhapus sama sekali karena masih muncul beberapa kritik sosial yang ditujukan kepada kehidupan masyarakat desa. Perjuangan untuk mengatasi kesulitan rumah tangga sering juga menyebabkan wanita melakukan tindakan yang bertentangan dengan naluri kewanitaannya. Dalam keadaan terpaksa, seorang istri sering harus memilih antara dua hal, yakni tetap menjaga kehormatan sebagai wanita yang bermoral atau dirinya harus rela kehilangan suami dan atau anaknya, seperti yang dialami oleh Dinarsih dalam novel Wong Wadon Dinarsih (1991)

Ada beberapa novel Jawa yang mengangkat persoalan kesulitan kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan sehing-ga menyebabkan kaum perempuan harus turut mencari tam- bahan penghasilan keluarga. Pada umumnya kaum perem- puan mudah tergiur oleh propaganda untuk bekerja di luar Ada beberapa novel Jawa yang mengangkat persoalan kesulitan kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan sehing-ga menyebabkan kaum perempuan harus turut mencari tam- bahan penghasilan keluarga. Pada umumnya kaum perem- puan mudah tergiur oleh propaganda untuk bekerja di luar

Selain mengangkat tema-tema sosial, novel Jawa juga mengangkat tema-tema perjuangan, terutama perjuangan dalam menegakkan kedaulatan negara. Persoalan perjuangan masih sering menjadi masalah penting dalam novel Jawa periode ini walaupun peristiwa perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia tersebut telah lewat beberapa puluh tahun. Beberapa novel (cerbung) yang mengangkat tema perju- angan, baik untuk menghadapi penjajahan maupun untuk menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan, di antaranya adalah Jago saka Bang Wetan (1981), Jaka Mandar (1982), Nyai Ageng Serang (1982), Manggalayuda Guntur Geni (1982), dan Timbreng (1994). Ada kemung- kinan bahwa novel-novel yang mengangkat tema perjuangan itu dimaksudkan sebagai penggugah semangat dan jiwa nasionalisme pada generasi muda di tengah-tengah arus modernisasi dewasa ini. Kemungkinan tersebut cukup signifikan karena novel-novel itu ditulis oleh “penulis tua” (seperti Tamsir, Any Asmara, Soebagijo I.N., Sumadiwiryo, Sastroatmodjo, dan Imam Sardjono) yang secara langsung mengalami--setidaknya menyaksikan--perjuangan bangsa kita dalam meraih kemerdekaan. Sementara itu, novel-novel karya “penulis muda” (seperti Ardini Pangastuti, Widhy

Pratiwi, Naniek P.M., Yunani, dan A.Y. Suharyono) banyak menampilkan persoalan-persoalan yang terkait dengan ketim- pangan-ketimpangan sosial yang terjadi dalam kehidupan modern ini.

Data menunjukkan bahwa tema dan masalah dalam cerpen tidak jauh berbeda dengan tema dan masalah yang ditampilkan dalam novel. Beberapa tema tradisional, missal- nya mengenai keyakinan masyarakat bahwa jodoh telah digariskan oleh Tuhan, masih kuat mewarnai beberapa cerpen Jawa setelah tahun 1970-an yang terbit dalam berbagai majalah berbahasa Jawa. Melalui beberapa tokoh, misalnya, dapat dilihat dengan jelas mengenai keyakinan masyarakat bahwa jika memang jodoh, seorang pria akan bertemu dengan seorang wanita dan kemudian mengikat hubungan sebagai suami-istri walaupun melalui jalan yang berliku-liku. Hal ini terlihat misalnya dalam cerpen Retno Sawitri (1985), Kaputusan Pungkasan (1986), dan Yen Jodho ora Kurang Merga ( 1990). Selain itu, pada periode ini juga masih banyak muncul cerpen yang mengangkat tema cinta tak sampai, seperti tampak dalam Jagad ora Sagodhong Kelor (1982) dan Atosing Atimu Ngungkuli Watu Item (1991).

Seperti halnya novel, beberapa cerpen Jawa juga tetap mengangkat persoalan ketidakharmonisan rumah tangga akibat sikap egoisme laki-laki. Situasi hubungan pria-wanita seperti itu menimbulkan perselisihan yang makin tajam sehingga mengakibatkan perceraian setelah diawali perse- lisihan pendapat, terutama terjadi dalam keluarga priayi. Pada umumnya, pria priayi tidak menempatkan wanita pada status hubungan yang setara sebagai suami-istri sehingga sering memunculkan tindakan yang diskriminatif. Ketertindasan gender seperti itu disebabkan oleh kuatnya dominasi pria Seperti halnya novel, beberapa cerpen Jawa juga tetap mengangkat persoalan ketidakharmonisan rumah tangga akibat sikap egoisme laki-laki. Situasi hubungan pria-wanita seperti itu menimbulkan perselisihan yang makin tajam sehingga mengakibatkan perceraian setelah diawali perse- lisihan pendapat, terutama terjadi dalam keluarga priayi. Pada umumnya, pria priayi tidak menempatkan wanita pada status hubungan yang setara sebagai suami-istri sehingga sering memunculkan tindakan yang diskriminatif. Ketertindasan gender seperti itu disebabkan oleh kuatnya dominasi pria

Tema dan masalah sosial--terutama pendidikan-- menjadi perbincangan menarik dalam kehidupan masyarakat Jawa yang berada dalam kondisi tarik-menarik antara mengikuti pola hidup modern dengan pola hidup tradisional. Oleh sebab itu, tampak jelas adanya dua kelompok masya- rakat yang memiliki pandangan yang berseberangan dalam hal pendidikan bagi generasi muda. Pertama, kelompok yang berpikiran modern menganggap bahwa pendidikan meru- pakan jalan untuk memasuki peluang kerja (pada sektor formal). Kelompok ini biasanya terdiri atas para keluarga yang telah berpikiran maju, misalnya tampak dalam cerpen Gabahku kari Telung Sak dan Layang saka Semarang. Akan tetapi, pada periode ini, seakan-akan terjadi kilas balik sehingga memunculkan kelompok kedua. Kelompok yang terdiri atas masyarakat pedesaan ini memandang bahwa pengangguran terdidik yang makin meningkat disebabkan oleh kesalahan orientasi pendidikan modern. Mereka menilai bahwa pendidikan tidak lagi memiliki prospek ekonomi sesuai dengan tuntutan dan semangat zaman. Selain itu, muncul pula penilaian bahwa keretakan hubungan keluarga Tema dan masalah sosial--terutama pendidikan-- menjadi perbincangan menarik dalam kehidupan masyarakat Jawa yang berada dalam kondisi tarik-menarik antara mengikuti pola hidup modern dengan pola hidup tradisional. Oleh sebab itu, tampak jelas adanya dua kelompok masya- rakat yang memiliki pandangan yang berseberangan dalam hal pendidikan bagi generasi muda. Pertama, kelompok yang berpikiran modern menganggap bahwa pendidikan meru- pakan jalan untuk memasuki peluang kerja (pada sektor formal). Kelompok ini biasanya terdiri atas para keluarga yang telah berpikiran maju, misalnya tampak dalam cerpen Gabahku kari Telung Sak dan Layang saka Semarang. Akan tetapi, pada periode ini, seakan-akan terjadi kilas balik sehingga memunculkan kelompok kedua. Kelompok yang terdiri atas masyarakat pedesaan ini memandang bahwa pengangguran terdidik yang makin meningkat disebabkan oleh kesalahan orientasi pendidikan modern. Mereka menilai bahwa pendidikan tidak lagi memiliki prospek ekonomi sesuai dengan tuntutan dan semangat zaman. Selain itu, muncul pula penilaian bahwa keretakan hubungan keluarga

Sejalan dengan makin pesatnya jaringan komunikasi, masyarakat Jawa tidak mungkin terhindar dari budaya keterbukaan sebagai konskuensi dari dunia global. Oleh sebab itu, beberapa cerpen Jawa mengangkat tema-tema keterbukaan atau tuntutan hidup transparan sebagai penya- daran terhadap pentingnya kejujuran dalam hidup. Tema itu dikemas dengan berbagai ketimpangan sosial yang melanda kehidupan masyarakat dewasa ini (perjudian, korupsi, penipuan dengan berbagai modus operandi-nya, dll.), seperti yang terdapat dalam cerpen Nomer 011 (1981), Tamu Ayu (1982), Kabar saka Paran (1982), Bajingan-Bajingan (1984), Aja Seneng Mbanting Kucing (1984), Kasrimpet Buntut (1984), Gardhu Kampling (1987), Sing Diburu isih Keplayu (1991), Wayangan (1994), dan Botoh (1997).

Tuntutan kehidupan modern yang cenderung mem- bawa seseorang untuk menempuh jalan pintas dalam mencari kepuasan hidup merupakan ciri-ciri cerpen Jawa, khususnya pada tahun 1990-an. Persoalan-persoalan semacam itu banyak dikemas dalam tema kritik sosial, seperti terlihat dalam cerpen Horn, Sapari, Kopri, dan Sandhal Jinjit karya Krishna Mihardja. Cerpen pertama mengungkapkan kritik sosial terhadap situasi pengekangan kehidupan berdemokrasi bagi masyarakat bawah. Sementara itu, ketiga cerpen yang lain mengungkapkan ketertatih-tatihan masyarakat bawah Tuntutan kehidupan modern yang cenderung mem- bawa seseorang untuk menempuh jalan pintas dalam mencari kepuasan hidup merupakan ciri-ciri cerpen Jawa, khususnya pada tahun 1990-an. Persoalan-persoalan semacam itu banyak dikemas dalam tema kritik sosial, seperti terlihat dalam cerpen Horn, Sapari, Kopri, dan Sandhal Jinjit karya Krishna Mihardja. Cerpen pertama mengungkapkan kritik sosial terhadap situasi pengekangan kehidupan berdemokrasi bagi masyarakat bawah. Sementara itu, ketiga cerpen yang lain mengungkapkan ketertatih-tatihan masyarakat bawah

Tema yang diangkat dalam puisi setelah tahun 1970- an, agaknya, tidak jauh berbeda dengan tema-tema puisi Jawa sebelum tahun tersebut. Di samping tema yang bersifat sosial dan individual, tema yang bersifat religius juga sering ditampilkan. Agaknya, religiusitas ini merupakan salah satu ciri khas manusia Jawa yang sadar terhadap ikatan yang bersifat transendental.

Di samping berupa kritik, tema sosial yang sering ditampilkan dalam karya-karya pada periode ini adalah gambaran kehidupan masyarakat pedesaan (masyarakat kelas bawah) yang dituangkan dalam bentuk balada. Melalui balada itulah, penggurit dapat memberikan suasana yang sangat khas pada puisi Jawa modern.

Seperti telah diungkapkan di depan, di samping tema sosial, tema individual--yang berkaitan dengan manusia sebagai makhluk individu atau pribadi--juga merupakan tema yang paling digandrungi oleh para penggurit. Dalam hal ini, tema individual secara khusus merupakan ungkapan cinta kasih seorang penggurit kepada kekasihnya. Fenomena itu dapat diterangkan sebagai berikut. Pertama, karya sastra berbentuk puisi merupakan kristalisasi dari pengalaman seorang penggurit yang bersifat personal. Pengalaman yang dianggap paling berkesan di dalam kehidupan seseorang adalah pengalaman yang berkaitan dengan cinta antara pria dan wanita. Bahkan, dapat dikatakan bahwa persoalan cinta merupakan persoalan yang tidak akan pernah kering digali dari berbagai aspek. Kedua, jika dilihat dari sistem pengarangnya (lihat subbab 3.1), penggurit pada periode

Orde Baru lebih didominasi oleh penggurit berusia muda sehingga tidak mengherankan jika masalah cinta terefleksi di dalam guritannya. Berikut ini contoh kutipan guritan karya Mimiet Sumitro yang ditujukan kepada Rini.

GETERING KATRESNAN SUCI mekare surya ing bang wetan

tinatah beninge eseme nini ledung ngrembuyung kebak pangrengkuh gumelar ing donyane ati wengi iki sliramu dak kanthi nlusuri padhange rembulan kang tinatah abyore lintang .... lumakua nini lumakua ... liwat getering katresnan suci nini ... kaya ing wengi iki sliramu bakal dak kanthi minangka wujud antepe tekad.

(PS, No. 30, 25 Okt. 1969) GETAR CINTA SUCI Mekarnya mentari di ufuk timur

disungging beningnya senyum adinda sejuk subur penuh harapan tergelar di dunianya hati Malam ini adinda kunanti disungging beningnya senyum adinda sejuk subur penuh harapan tergelar di dunianya hati Malam ini adinda kunanti

Meskipun tidak sebanyak tema yang bersifat sosial dan individual, tema religius juga mewarnai sejumlah guritan pada subperiode ini. Yang tonjolkan dalam aspek religiusitas, yaitu perasaan, sikap, dan tingkah laku seseorang yang dilandasi oleh keimanan terhadap Tuhan tanpa merujuk pada salah satu agama tertentu. Jika aspek religius pada guritan itu merujuk pada agama tertentu, misalnya Islam, dikatakan bahwa guritan tersebut merupakan guritan religius yang bersifat islami. Berikut ditampilkan sebuah guritan yang kental dengan napas religius yang islami. Guritan ini merupakan pemahaman keagamaan dari sebuah peristiwa penting dalam agama Islam, yaitu peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad.

ISRA’ MI’RAJ Sepi nyenyet

Peteng dhedhet Baitullah apayungan lintang Muhammad nyawang tawang

Penggalihe cuwa, penggalihe sungkawa Lawas koncatan sabda Lawas koncatan tresna “Dhuh Gusti, punapa Paduka supe abdi?” Jibril tumurun bumi Jasmani koncatan rohani Ati Nabi disuceni. Rasulullah kagawa ngumbara Nasak wengi Ngisra’ Masjidil Aqsha Mi’raj langit sapta Mumbul Sidratul Muntaha. Sadalu-dalu kapranggulan pralambang Lambanging donya, lambanging alam baka “Dhuh Gusti, Cahya Paduka ulap mata.” Rasul tumungkul tafakur Ing ngarsa tampa dhawuh sembahyang Mangga manembah Sang Hyang.

(PS, No. 21, 26 Mei 1973) ISRA’ MI’RAJ Sepi mencekam

Gelap gulita Baitullah dipayungi bintang Muhammad melihat angkasa Hatinya berduka, hatinya sungkawa Lama ditinggal sabda Lama ditinggal cinta “Wahai Gusti, mengapa Anda lupa hamba?” Jibril turun ke bumi

Jasmani ditinggal rohani Hati Nabi disucikan. Rasulullah dibawa mengembara menembus malam Berisra’ di Masjidil Aqsha Mi’raj langit tujuh Naik Sidratul Muntaha. Semalaman menjumpai perlambang Lambang dunia, lambang alam baka “Wahai Gusti, Cahaya Paduka menyilaukan mata.” Rasul menunduk tafakur Di bawah menerima perintah sembahyang Mari menyembah Tuhan.’

Lewat guritannya itu penggurit tidak hanya “ber- cerita” tentang peristiwa penting dalam sejarah Islam yang diresepsi menurut pemahamannya sendiri, tetapi juga mengajak pembaca untuk melaksanakan hasil dari isra’ mi’raj tersebut (salat lima waktu): mangga manembah Sang Hyang ‘mari menyembah Tuhan’.

Tema-tema puisi Jawa modern (guritan) periode 1981--1997 juga tidak jauh berbeda dengan tema-tema dalam cerpen dan novel. Bahkan, tema-tema guritan pada periode ini juga tidak jauh berbeda dengan tema-tema guritan pada periode sebelumnya. Sejalan dengan makin cepatnya peru- bahan sosial budaya yang melanda bangsa Indonesia, per- soalan-persoalan sosial cenderung dominan disuarakan dalam puisi-puisi Jawa. Tema-tema sosial itu tidak hanya berkaitan dengan persoalan domestik, tetapi juga berkaitan dengan persoalan yang terjadi di luar negeri.

Berbagai masalah sosial yang muncul dalam guritan (termasuk macapat) pada umumnya berkaitan dengan kemis- kinan, kepedulian terhadap lingkungan hidup, penindasan, perjuangan individu untuk mengatasi problema hidup, pendidikan, dan politik. Kentalnya berbagai persoalan sosial itulah yang menyebabkan sastra Jawa saat itu (khususnya guritan) cenderung mengungkapkan gugatan atau kritik sosial terhadap ketimpangan yang menyelimuti kehidupan masya- rakat. Protes sosial tersebut dipicu juga oleh peristiwa- peristiwa di luar negeri sebagai manifestasi kesa-daran terhadap paham kebebasan yang dibungkus dengan slogan hak asasi manusia, terutama yang terjadi di negara yang baru “belajar” berdemokrasi. Problematika sosial tersebut, antara lain, diungkapkan dalam puisi Kali Luk Ula (karya Turiyo Ragilputra) dan Tlanak dudu Sarajevo (karya Herry Lamongan).

Seperti halnya cerpen Jawa yang banyak mengangkat potret keterpinggiran masyarakat desa, sebagian besar guritan pada periode ini pun cenderung berbicara mengenai kehi- dupan orang-orang desa (terutama guritan karya sastrawan lokal), seperti yang terdapat dalam antologi puisi penyair Tegal Roa (1994), Ruwat Desa, dan Potret Reformasi (1998). Pada periode ini, lahir juga guritan-guritan yang seolah-olah dimaksudkan sebagai alat untuk menggugah kembali kenangan-kenangan tempo dulu yang selalu akrab dengan lingkungan. Tema-tema sosial seperti itu terasa sangat kental, antara lain, dalam guritan Kampung Kalairan dalam antologi Cakra Manggilingan (1993) karya Djaimin K.

Persoalan kehidupan wong cilik, misalnya perjuangan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, benar-benar mewarna guritan pada pada periode ini. Menje- Persoalan kehidupan wong cilik, misalnya perjuangan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, benar-benar mewarna guritan pada pada periode ini. Menje-

Budaya korupsi dan mental yang sangat buruk telah mengubah--bahkan menghapus--nilai-nilai kebersamaan se- hingga melemahkan kepedulian pihak yang mampu terhadap penderitaan orang lain. Keadaan seperti itu terus berjalan dan makin tidak terbendung akibat kuatnya tuntutan hidup modern yang berorientasi pada kenikmatan hidup lahiriah. Dalam kondisi ini terjadi dikotomi sosial antara masyarakat kota sebagai kelas orang kaya dan masyarakat desa sebagai sosok masyarakat miskin yang terlihat dari perbedaan gaya hidupnya. Lukisan ketimpangan sosial yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan untuk membe-dakan perkara benar-salah itu, antara lain, terlihat dalam guritan Jaman karya Agus Soegiyanto (1996) dan juga sinyalemen Turiyo Ragilputra yang menggugat kemerdekaan yang belum Budaya korupsi dan mental yang sangat buruk telah mengubah--bahkan menghapus--nilai-nilai kebersamaan se- hingga melemahkan kepedulian pihak yang mampu terhadap penderitaan orang lain. Keadaan seperti itu terus berjalan dan makin tidak terbendung akibat kuatnya tuntutan hidup modern yang berorientasi pada kenikmatan hidup lahiriah. Dalam kondisi ini terjadi dikotomi sosial antara masyarakat kota sebagai kelas orang kaya dan masyarakat desa sebagai sosok masyarakat miskin yang terlihat dari perbedaan gaya hidupnya. Lukisan ketimpangan sosial yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan untuk membe-dakan perkara benar-salah itu, antara lain, terlihat dalam guritan Jaman karya Agus Soegiyanto (1996) dan juga sinyalemen Turiyo Ragilputra yang menggugat kemerdekaan yang belum