Beberapa Karya Penting

4.2 Beberapa Karya Penting

Setelah berbagai jenis (genre) karya sastra dibi- carakan, berikut dipaparkan karya-karya yang dianggap penting yang terbit pada periode kemerdekaan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa penentuan kriteria “penting” dalam hal ini bersifat relatif (tidak mutlak). Suatu karya dapat dianggap penting karena karya itu memiliki ciri yang berbeda dengan karya-karya lain. Atau, karya itu dianggap penting karena (1) mengalami cetak ulang, (2) mendapat tanggapan banyak pembaca, (3) direproduksi ulang dari cerbung menjadi buku, (4) membangun epigonisme, (5) menunjukkan perkembangan struktur, atau (6) memperoleh penghargaan dan atau menjadi pemenang lomba. Namun, sekali lagi, ciri-ciri itu tidak mutlak.

ilustratornya. Contoh-contoh cergam seperti itu, antara lain, cergam “Jayaprana” (JB, 10 November 1954), “Pedhut Mataram” (JB, 9 Desember 1956), “Putri Damayanti” (MS, 15 Juli 1963), dan seri cergam impor “Panthom“ (PS, 26 Juni 1956). Dari fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa pengarang cergam dimungkinkan hanya seorang pengarang biasa, tetapi dapat juga seorang pengarang fiksi yang sekaligus seorang seniman lukis.

Sebagaimana diketahui bahwa novel-novel Balai Pustaka yang terbit pada tahun 1950-an hampir seluruhnya menekankan nilai didaktis sehingga tidak jauh berbeda dengan novel-novel periode sebelumnya. Akan tetapi, kehadiran Kembang Kanthil (1957) karya Senggono mem- bawa perubahan karena latar ceritanya di luar Jawa, yaitu di Sumatra Selatan (daerah transmigran). Walaupun masih bertema cinta, setidaknya novel itu telah menunjukkan semangat generasi muda dalam membangun negeri pada masa pascakolonial (Hutomo, 1975:60). Kembang Kanthil tidak hanya penting karena menggambarkan semangat kaum muda membangun bangsa, tetapi juga karena di dalamnya ada sisipan cerita detektif. Tentang sisipan ini sebenarnya telah muncul dalam beberapa novel prakemerdekaan, missal- nya dalam Mungsuh mungging Cangklakan (1929) karya Soegeng Tjakrasoewignja. Akan tetapi, sisipan cerita detektif dalam Kembang Kanthil memiliki kekhasan karena berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap makhluk halus.

Novel Kumpule Balung Pisah (1957) dapat pula dianggap sebagai karya penting dalam khazanah sastra Jawa pada dekade 1950-an. Dari segi struktur dan ide, karya itu tidak jauh berbeda dengan novel-novel Balai Pustaka lainnya. Akan tetapi, keistimewaan novel itu tampak pada gaya penceritaan yang sangat lancar karena alur dibangun dengan suspense-suspense yang menarik. Di samping itu, novel ter- sebut juga mengalami cetak ulang (1975), padahal cetak ulang novel-novel Balai Pustaka boleh dikatakan sangat jarang dilakukan.

Karya penting lainnya adalah Serat Gerilya Sala (1957). Novel karya Sri Hadidjojo itu dianggap penting karena merupakan novel pertama yang mengungkap masalah Karya penting lainnya adalah Serat Gerilya Sala (1957). Novel karya Sri Hadidjojo itu dianggap penting karena merupakan novel pertama yang mengungkap masalah

Novel Lara-Lapane Kaum Republik (pemenang lomba penulisan novel majalah Panjebar Semangat tahun 1958) dan Kadurakan ing Kidul Dringu (1964) karya Suparto Brata juga merupakan karya penting pada masa Orde Lama (1945—1965). Kedua novel itu menggarap tema dan masalah perang kemerdekaan ketika Belanda mengadakan serangan yang kedua di Indonesia. Novel Lara-Lapane Kaum Republik mengambil latar keluarga priayi yang terombang-ambing apakah mereka akan memihak Belanda atau kaum repu- bliken. Kenyataan itu membawa konflik kejiwaan yang dalam sehingga mampu menghadirkan persoalan manusia yang sangat manusiawi. Penggarapan karakter tokoh yang mendalam di dalam novel tersebut jarang dilakukan oleh para penulis lain.

Konflik serupa tetapi latar dan sudut padang berbeda dihadirkan oleh Suparto Brata dalam Kadurakan ing Kidul Dringu . Novel tersebut menggambil latar aksi gerilya para pemuda pejuang di daerah selatan Dringu, Probolinggo, Jawa Timur. Melalui latar pedesaan yang serba terbatas, novel itu mampu menghadirkan konflik batin manusia dengan kultur pedesaan yang serba lugu dalam memandang fenomena Konflik serupa tetapi latar dan sudut padang berbeda dihadirkan oleh Suparto Brata dalam Kadurakan ing Kidul Dringu . Novel tersebut menggambil latar aksi gerilya para pemuda pejuang di daerah selatan Dringu, Probolinggo, Jawa Timur. Melalui latar pedesaan yang serba terbatas, novel itu mampu menghadirkan konflik batin manusia dengan kultur pedesaan yang serba lugu dalam memandang fenomena

Novel Timbreng karya Satim Kadaryono agaknya dapat pula dianggap penting karena, menurut Hutomo (1975:66), kualitasnya lebih baik jika dibandingkan dengan Lara-Lapane Kaum Republik karya Suparto Brata. Novel Timbreng dimuat secara bersambung dalam Panjebar Se- mangat tahun 1963. Novel itu mengangkat masalah per- juangan semasa revolusi fisik. Dalam situasi yang gawat digambarkan mengenai konflik batin seorang pejuang, Herman, yang berhadapan dengan ayah kandungnya, seorang Indo-Belanda, yang hendak menghancurkan kemerdekaan Republik Indonesia. Penggambaran pergolakan jiwa para pelaku tampak tidak dibuat-buat, tetapi wajar dan hidup. Di samping itu, yang menjadikan novel ini penting adalah cara bercerita yang benar-benar telah meninggalkan cara bercerita model lama. Karena itu, setelah diterbitkan oleh Djojo Bojo (1993), novel Timbreng memperoleh Hadiah Rancage tahun 1994.

Novel Gumuk Sandi karya Poerwadhie Atmodihardjo merupakan salah satu novel sosial yang penting karena tema, masalah, dan aspek strukturalnya digarap dengan baik dan matang. Dengan mengambil latar kawasan pedesaan, novel itu mampu menunjukkan ideologi kerakyatan dan mem- pertegas budaya wong cilik dalam percaturan kebudayaan Jawa secara makro. Artinya, Gumuk Sandi menjadi sangat berarti karena ia mampu memaparkan konteks perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat Jawa, dari tradisi Novel Gumuk Sandi karya Poerwadhie Atmodihardjo merupakan salah satu novel sosial yang penting karena tema, masalah, dan aspek strukturalnya digarap dengan baik dan matang. Dengan mengambil latar kawasan pedesaan, novel itu mampu menunjukkan ideologi kerakyatan dan mem- pertegas budaya wong cilik dalam percaturan kebudayaan Jawa secara makro. Artinya, Gumuk Sandi menjadi sangat berarti karena ia mampu memaparkan konteks perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat Jawa, dari tradisi

Dalam kurun waktu 1966 hingga 1980 terbit novel Lara Lapane Kaum Republik (1966) karya Suparto Brata, Anteping Tekad (1975) karya Ag. Suharti, dan Tunggak- Tunggak Jati (1977) karya Esmiet. Ketiga karya itu agaknya juga penting dalam khazanah perkembangan sastra Jawa masa itu. Lara Lapane Kaum Republik merupakan novel berbahasa Jawa yang menggunakan perwatakan bulat (round character ). Tokoh utama novel itu (Wiradi) tidak dicitrakan sebagai tokoh hero. Wiradi adalah seorang pemuda yang di rumah merasa tertekan akibat perlakuan tidak adil dari ibu dan saudara-saudaranya, tetapi mampu mengungkapkan jati diri di tengah medan perjuangan merebut kemerdekaan. Model penulisan seperti ini masih jarang dilakukan sehingga novel itu mempunyai ciri khusus. Cara pengungkapan masalahnya tidak terjebak pada bentuk roman picisan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa novel itu sebagai salah satu master piece, setidaknya pada kurun waktu 1970-an. Selain itu, Lara Lapane Kaum Republik mampu melawan arus kecenderungan novel-novel saku yang berkembang pesat sejak 1960-an. Berikut adalah gambar sampul Lara lapane Kaum Republik .

gambar sampul Lara lapane Kaum Republik

Novel penting lainnya adalah Anteping Tekad (1975) karya Ag. Suharti. Novel karya pengarang wanita dari kalangan priayi ini mencoba menyorot kehidupan keluarga priayi di kota besar. Bahasa narasi yang digunakan adalah ragam krama, tetapi ternyata tetap komunikatif. Pemakaian bahasa ragam krama dalam narasi merupakan hal yang cukup “aneh” di tengah tradisi baru sastra Jawa modern yang lebih menekankan bahasa ragam ngoko. Namun, hal itu tidak menjadi penghalang karena materi yang disajikan diolah dengan elemen-elemen cerita yang utuh dan padu. Di samping itu, novel tersebut juga merupakan salah satu bentuk usaha memunculkan budaya priyayi di tengah kehidupan novel-novel Jawa modern yang cenderung menggambarkan kehidupan orang-orang kecil.

gambar cover Anteping Tekad

Novel Tunggak-Tunggak Jati (1977) karya Esmiet juga merupakan karya yang cukup berarti. Novel berlatar pedesaan, khususnya masyarakat di sekitar hutan, memang sudah sering digarap. Akan tetapi, novel Tunggak-Tunggak Jati mampu menimbulkan daya tarik tersendiri karena didukung oleh penggarapan struktur cerita yang padu, utuh, dan komprehensif. Persoalan yang semula umum dapat menjadi khusus dan istimewa karena konflik cerita dibina dengan baik. Di dalam novel ini masalah-masalah krusial Novel Tunggak-Tunggak Jati (1977) karya Esmiet juga merupakan karya yang cukup berarti. Novel berlatar pedesaan, khususnya masyarakat di sekitar hutan, memang sudah sering digarap. Akan tetapi, novel Tunggak-Tunggak Jati mampu menimbulkan daya tarik tersendiri karena didukung oleh penggarapan struktur cerita yang padu, utuh, dan komprehensif. Persoalan yang semula umum dapat menjadi khusus dan istimewa karena konflik cerita dibina dengan baik. Di dalam novel ini masalah-masalah krusial

dengan SARA. 45 Kenyataan ini sangat didukung oleh senioritas Esmiet dalam penulisan sastra Jawa yang dimulai

sejak tahun 1960-an. Dalam kurun waktu 1981--1997 terdapat pula bebe- rapa karya yang dianggap menonjol terutama karena memiliki kualitas lebih baik jika dibandingkan dengan karya- karya lainnya. Karya-karya itu, di antaranya, Dokter Wulan- dari (1987) karya Yunani dan Krikil-Krikil Pasisir (1988) karya Tamsir A.S. Seperti telah dinyatakan bahwa Dokter Wulandari pada awalnya merupakan cerita ber-sambung yang dimuat dalam Jaya Baya tahun 1980-an. Dengan diter- bitkannya dalam bentuk buku oleh Balai Pustaka menun- jukkan bahwa novel tersebut memiliki kualitas yang baik. Kualitas yang baik itu terutama terlihat dalam isi cerita yang mengetengahkan keangkuhan sekelompok masyarakat pri- yayi (bangsawan) terhadap masyarakat wong cilik. Wulan- dari, si calon dokter yang berasal dari sebuah panti asuhan, sebagai simbol masyarakat kelas bawah. Ia menjadi korban keangkuhan mereka hanya karena pernah tinggal di panti asuhan. Namun, berkat ketabahan hati dan kegigih-annya, tokoh itu dapat mencapai tingkat sosial yang tinggi, setidak-

45 SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) merupakan persoalan tersendiri pada zaman pemerintahan Orde Baru yang sering menjadi

komoditas politik dan konflik horizontal antarelemen bangsa di Indonesia sehingga sering mengakibatkan persoalan dan kerusuhan yang menjurus kepada tindakan anarki dan perusakan.

tidaknya sejajar dengan kelompok masyarakat yang pernah melecehkannya.

gambar sampul DOKTER WULANDARI

Novel Krikil-Krikil Pasisir dianggap penting karena mengangkat persoalan yang berkaitan dengan kehidupan nelayan. Persoalan ini belum banyak digarap oleh pengarang- pengarang lain sehingga novel itu dapat dikatakan mem- berikan kemungkinan lain (baru) dari kebiasaan yang sudah ada. Biasanya sastra Jawa lebih sering mengungkapkan budaya agraris, tetapi lewat karya itu muncul perspektif lain, khsusnya dalam hal ide. Dari segi struktur, novel itu masih konvensional, tetapi dari segi nuansa, karya itu mampu memberikan warna tersendiri bagi sastra Jawa.

Di samping novel-novel yang telah disebutkan, masih ada beberapa novel yang cukup penting, di antaranya Sumpahmu Sumpahku karya Naniek P.M. (nama samaran P.C. Pamudji). Novel itu mengangkat persoalan penderitaan masyarakat miskin yang diwakili oleh tokoh Waspaningsih dan Sujaka. Akibat kemiskinan itu, kedua remaja tersebut harus berpisah untuk kemudian mengadu nasib di kota yang berbeda., Setelah melewati berbagai cobaan, pada akhirnya kedua remaja itu berjumpa kembali meskipun dalam keadaan yang menyedihkan. Sujaka sedang menjalani perawatan akibat kecelakaan, sedangkan Waspaningsih sebagai petugas Di samping novel-novel yang telah disebutkan, masih ada beberapa novel yang cukup penting, di antaranya Sumpahmu Sumpahku karya Naniek P.M. (nama samaran P.C. Pamudji). Novel itu mengangkat persoalan penderitaan masyarakat miskin yang diwakili oleh tokoh Waspaningsih dan Sujaka. Akibat kemiskinan itu, kedua remaja tersebut harus berpisah untuk kemudian mengadu nasib di kota yang berbeda., Setelah melewati berbagai cobaan, pada akhirnya kedua remaja itu berjumpa kembali meskipun dalam keadaan yang menyedihkan. Sujaka sedang menjalani perawatan akibat kecelakaan, sedangkan Waspaningsih sebagai petugas

Untuk genre cerpen, ada beberapa antologi yang dapat dianggap penting, di antaranya Dongeng Sato Kewan (1952) karya Prijana Winduwinata dan Kemandhang (1958) him- punan Senggono. Dongeng Sato Kewan sejak semula ber- bentuk buku, sedangkan Kemandhang semula berupaka karya yang terbit di majalah-majalah berbahasa Jawa. Karya Prijana Winduwinata itu dinilai penting karena tokoh-tokohnya terdiri atas binatang (fabel) dan isinya bersifat satiris. Hanya karya itulah satu-satunya cerita fabel yang muncul pada periode kemerdekaan. Selain itu, antologi tersebut dikatakan penting juga karena merupakan satu-satunya karya yang berani melontarkan persoalan krusial suatu bangsa di tengah perubahan sosial-politik lewat gaya satiris-simbolis.

Cover Dongeng Sato Kewan

Dalam Dongeng Sato Kewan digambarkan bahwa manusia bebal yang terlihat pandai memang sangat banyak. Lewat antologi itu manusia (pembaca) secara aktual diajak untuk mengaca pada kehidupan dan kemampuan yang Dalam Dongeng Sato Kewan digambarkan bahwa manusia bebal yang terlihat pandai memang sangat banyak. Lewat antologi itu manusia (pembaca) secara aktual diajak untuk mengaca pada kehidupan dan kemampuan yang

Sementara itu, antologi Kemandhang dinilai penting karena antologi itu menyajikan sejumlah karya dari sejumlah pengarang cerpen hingga tahun 1958. Lewat antologi itu sejarah sastra Jawa dapat dilihat persepsi dan dimensinya. Usaha mengumpulkan cerpen dari beberapa pengarang memberikan dorongan tersendiri dalam upaya pelestarian dan pendokumentasian sastra dalam sebuah buku. Karya-karya yang termuat dalam antologi itu (dari majalah menjadi buku) juga merupakan pertanda betapa penting karya-karya tersebut.

Kenyataan tersebut kemudian diikuti St. Iesmaniasita lewat antologinya Kidung Wengi ing Gunung Gamping. Hutomo (1965:48) berpendapat bahwa pada umumnya cerpen-cerpen dalam antologi itu mengandung bayang- bayang samar potret diri pengarang. Pada umumnya cerpen- cerpen itu berbicara tentang percintaan yang berakhir dengan kesedihan. Walaupun berbicara tentang cinta yang berakhir dengan kesedihan, lewat cerita-cerita itu St Iesmaniasita berani melawan model stereotip (happy-ending) yang selama itu berkembang. Struktur cerita semacam ini sangat jarang Kenyataan tersebut kemudian diikuti St. Iesmaniasita lewat antologinya Kidung Wengi ing Gunung Gamping. Hutomo (1965:48) berpendapat bahwa pada umumnya cerpen-cerpen dalam antologi itu mengandung bayang- bayang samar potret diri pengarang. Pada umumnya cerpen- cerpen itu berbicara tentang percintaan yang berakhir dengan kesedihan. Walaupun berbicara tentang cinta yang berakhir dengan kesedihan, lewat cerita-cerita itu St Iesmaniasita berani melawan model stereotip (happy-ending) yang selama itu berkembang. Struktur cerita semacam ini sangat jarang

Cover Kidung Wengi ing Gunung Gamping St. Iesmaniasita

Kumpulan cerpen Kringet saka Tangan Prakosa (1974) karya St. Iesmaniasita dapat juga dianggap sebagai karya penting pada kurun waktu 1966--1980. Antologi itu memuat lima buah cerpen, yaitu “Tandure Ijo Kumlawe”, “Calon Ratu”, “Kringet saka Tangan Prakosa”, “Dinane Isih Riyaya”, dan “Atine Bocah”. Kumpulan cerpen yang dicetak ulang pada tahun 1995 itu termasuk istimewa karena masing-masing cerpen mempunyai jumlah halaman yang banyak, tidak seperti umumnya cerpen Jawa yang pendek- pendek. Di samping itu, cerpen-cerpen dalam antologi itu merupakan ungkapan estetika Jawa yang bernuansa kewa- nitaaan. Cara St. Iesmaniasita mengungkapkan masalah sangat kuat menyiratkan ciri kewanitaan. Ciri kewanitaan Jawa sangat menonjol sehingga--barangkali--dapat digunakan sebagai salah satu referensi psikologi wanita Jawa, terutama dalam menjaga perasaan dan penampilan diri. Gambaran ini menunjukkan bahwa St. Iesmanisita merupakan pengarang yang menonjol pada masa awal Orde Baru. Selanjutnya karya-karyanya banyak diterbitkan dalam bentuk buku, baik oleh Balai Pustaka maupun oleh swasta (Jaya Baya, PKJT).

Cerpen “Bedhug” (1991) karya Jayus Pete penting pula dicatat karena cerpen pemenang lomba itu mampu mengalahkan puluhan judul cerpen dalam lomba yang diselenggarakan oleh Taman Budaya dan Dewan Kesenian Yogyakarta tahun 1991. Karya itu penting karena mampu menangkap persoalan masyarakat yang sedang berubah dengan model penulisan yang memikat dan penggarapan konflik yang mendalam. Kendati tema sederhana, cerpen itu mampu mengangkat masalah kejiwaan yang dalam tanpa harus mengabaikan suspense-suspensenya. Sebuah selendang berwarna merah mampu mengangkat masalah kemiskinan dan kegelapan kehidupan seseorang dalam kontemplasi. Struktur cerita cukup tertata dan relatif lebih baik jika dibandingkan dengan cerpen-cerpen lainnya. Artinya, tokoh, latar, dan alur hadir dalam satu kesatuan yang kuat dan komprehensif.

Antologi cerpen Ratu (1995) karya Krishna Mihardja layak pula dianggap penting. Cerpen-cerpen yang terkumpul dalam antologi itu sebelumnya telah dimuat di berbagai majalah berbahasa Jawa. Semua cerpen berstruktur sure- alistis. Cerpen-cerpen dalam antologi itu mampu menjadi muara berbagai ide dan media untuk mengkritik secara tajam situasi sosial dan politik di Indonesia, misalnya cerpen “Sapari”, “Horn”, “Dalang”, dan “Sandhal Jinjit”. Khusus dua cerpen yang disebut terakhir telah diindonesiakan dan dimuat di Horison (1999) dan Kompas (14 Maret 1993). Gaya penulisan cerpen yang sudah sering dijumpai dalam sastra Indonesia ini jarang sekali digunakan di dalam sastra Jawa modern.

gambar cover RATU

Khusus jenis puisi (guritan), karya Soebagijo I.N. yang berjudul “Gelenging Tekad” (Panjebar Semangat, 12 Juli 1949) agaknya dapat dikategorikan sebagai karya penghubung (transisi) antara puisi Jawa tradisional dan puisi Jawa modern. Melalui jenis puisi Barat (Itali) itu kehidupan puisi Jawa di awal periode kemerdekaan berusaha dapat berkembang seirama dengan perubahan pola pemikiran dan konsep kesastraan modern, terutama dalam bentuk dan tema. Memang, karya Soebagijo I.N. masih terikat oleh puisi tradisional Barat (soneta), tetapi dalam hal bentuk puisi tersebut telah menunjukkan kebaruan.

Sebagai jenis puisi transisi, puisi “Gelenging Tekad” pantas dianggap sebagai karya penting. Karya berbentuk soneta itu menampakkan pola kesinambungannya dengan sastra Jawa tradisional karena model pembaitan, pembarisan, dan persajakannya masih teratur rapi seperti metrum tembang macapat. Di samping itu, dalam “Gelenging Tekad” juga masih terasa adanya irama singir (syair) dan irama parikan (pantun). Kenyataan itu memberikan gambaran bahwa puisi Jawa modern pada masa awal kemerdekaan tetap memper- hitungkan budaya lokal sebagai materi yang dapat dikem- bangkan dalam budaya modern (puisi). Diolahnya budaya lokal (singir dan pantun) seperti dalam puisi tersebut memberikan dampak yang kuat bagi penulisan puisi pada masa-masa berikutnya.

Beberapa puisi St. Iesmaniasita agaknya juga dapat dianggap sebagai karya penting. Puisi karya penyair tersebut umumnya mampu mempertemukan kebudayaan Jawa masa silam--seperti yang tercermin dalam karya-karya pujangga Jawa--dengan kebudayaan umum pada zamannya. Gagasan yang dilontarkannya menggugah pikiran pengarang seang- katannya untuk merenungkan kembali posisi mereka dalam sejarah sastra: apakah mereka ingin tetap berpegang pada akar kebudayaannya ataukah menciptakan babakan sastra baru. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam salah satu puisinya “Apa Kowe Wis Lega?” (Panjebar Semangat, 2 Februari 1954). Di samping itu, puisi-puisi St. Iesmaniasita mampu memberikan suasana kejawaan yang khas wanita. Dengan kata lain, karakter kewanitaannya tampak jelas dalam pilihan kata-katanya. Oleh karena itu, puisi-puisi St. Iesmaniasita dapat dinilai sebagai tonggak perkembangan puisi Jawa modern di awal tahun 1950-an. Sejak keha- dirannya puisi Jawa benar-benar menunjukkan visi yang modern, terutama dalam hal struktur. Sturktur puisi karya St. Iesmaniasita benar-benar telah lepas dari gaya soneta dan cenderung bebas dan kontemplatif. Bahkan, gaya penyair ini kemudian diikuti oleh generasi berikutnya.

Pada masa Orde Baru muncul pula beberapa karya puisi yang cukup penting, di antaranya puisi yang dibukukan dalam antologi Geguritan Antologi Sajak-Sajak Jawi (1975) suntingan St. Iesmaniasita. Dapat dikatakan bahwa antologi itu menjadi barometer perkembangan puisi Jawa pada kurun waktu 1966—1980. Di dalam antologi itu dimuat 69 puisi karya 13 penyair ( Anie Sumarno, Moelyono Soedarmo, Muryolelono, N. Sakdani, Prijanggana, Rachmadi K., Sl.

Supriyanto, St. Iesmaniasita, Sujono, Susilomurti, Tamsir A.S., Trim Sutidja, dan Ts. Argarini).

Pada kurun waktu selanjutnya, salah satu karya yang sangat berarti adalah Siter Gadhing (1996) karya Djaimin K. Antologi itu dianggap berarti karena terbitan Lembaga Studi Jawa Yogyakarta tersebut meraih hadiah sastra Rancage (1997). Di samping itu, karya tersebut merupakan antologi puisi Jawa modern yang sarat dengan nafas kejawen. Di dalam Siter Gadhing didapati gaya penulisan yang kontemplatif (seperti yang dimulai oleh St. Iesmaniasita). Gaya semacam ini memang sudah sering dijumpai dalam puisi Jawa modern, tetapi ketajaman kontemplasi karya ini sangat menonjol sehingga suasana kejawaan menjadi sangat spesifik di tengah kehidupan budaya modern. Karya semacam itu jarang di jumpai dalam khazanah puisi Jawa modern. Oleh karena itu, Siter Gadhing menjadi istimewa dan penting dalam percaturan sastra Jawa modern.

Cover Siter Gadhing

Di bidang drama, naskah berjudul Kali Ciliwung (1980) karya Moch. Nursyahid P. tampaknya dapat dianggap sebagai tonggak penulisan drama berbahasa Jawa. Naskah ini berkisah tentang kehidupan orang-orang yang hidup di pinggir kali Ciliwung, Jakarta. Orang-orang pinggiran itu ialah pengemis, pemulung, pelacur, dan sebagainya. Satu hal yang sangat menarik dalam drama ini dan kemudian menjadi Di bidang drama, naskah berjudul Kali Ciliwung (1980) karya Moch. Nursyahid P. tampaknya dapat dianggap sebagai tonggak penulisan drama berbahasa Jawa. Naskah ini berkisah tentang kehidupan orang-orang yang hidup di pinggir kali Ciliwung, Jakarta. Orang-orang pinggiran itu ialah pengemis, pemulung, pelacur, dan sebagainya. Satu hal yang sangat menarik dalam drama ini dan kemudian menjadi

penulisan naskah drama berbahasa Jawa yang diseleng- garakan oleh PKJT. Dari sekian naskah yang menjadi peme- nang, Kali Ciluwung memang menghadirkan sesuatu yang baru dan segar. Di samping itu, penggarapan masalah yang berkaitan dengan orang-orang pinggiran (dengan bahasa Jawa) ternyata mampu menghadirkan suatu intrepretasi lain yang dapat menggiring penonton/pembaca pada suatu kultur budaya orang Jawa (wong cilik). Orang-orang kecil dari desa atau kota di Jawa yang kemudian mengembara atau merantau ke Jakarta ternyata sebagian besar hanyalah menjadi orang- orang terbuang. Sebagai orang-orang yang terbuang, ternyata mereka memiliki norma-norma tersendiri yang menye- mangati mereka untuk tetap hidup. Gambaran semacam ini memang sering digarap oleh beberapa pengarang, tetapi pengolahan konflik yang sublim dan tajam tidak sebaik dalam Kali Ciliwung. Tampilnya drama tersebut merupakan suatu bentuk oposisi kultural terhadap budaya priayi yang selama ini menjadi kiblat sebagian besar masyarakat Jawa.

46 Pada tahun-tahun berikutnya, model pisuhan ini kemudian meng-ilhami grup teater berbahasa Jawa, Teater Gapit, untuk mendayagunakan pisuhan

sebagai kekuatan pementasan drama berbahasa Jawa. Massardi (1994:103) menyatakan bahwa teater berbahasa Jawa dengan model bahasa pisuhan ternyata mampu menghadirkan sebuah dunia yang selama ini tidak pernah diakui keberadaannya dalam karya seni. Yang dibidik dari pementasan teater semacam ini bukan hanya sumpah-serapah yang kedengarannya “menggelikan”, melainkan juga tembang dan kalimat- kalimat indah yang dicuplik dari khazanah sastra-budaya Jawa. Artinya, format pementasan-pementasan dan cara mereka berekspresi sangat me- yakinkan sebagai representasi dari budaya dan manusia Jawa.

Naskah drama ternyata juga memperoleh tempat yang layak di tengah-tengah dunia sastra Jawa. Oleh sebab itu, dalam perkembangannya, naskah drama, satu di antaranya Kali Ciliwung , kemudian menjadi semacam “model” bagi kelompok-kelompok teater berbahasa Jawa, misalnya kelom- pok Teater Gapit. Naskah-naskah drama yang sering dipentaskan oleh kelompok teater ini sering memanfaatkan kata-kata pisuhan. Lewat kata-kata pisuhan, kelompok ini kemudian dapat tampil sebagai grup yang sangat kuat sampai dekade 1990-an.

Di samping jenis-jenis sastra seperti di atas, jenis lain yang perlu dicatat ialah cergam. Dalam khazanah sastra Jawa modern periode awal kemerdekaan cergam memang belum mampu menunjukkan adanya karya-karya penting. Akan tetapi, dalam kurun waktu selanjutnya (dengan segala keter- batasannya), terutama pada masa Orde Baru, kehadiran cergam mampu memberikan nilai yang signifikan dalam konteks sejarah sastra Jawa modern. Bahkan, boleh dikatakan bahwa sekarang cergam menjadi salah satu primadona penerbitan majalah berbahasa Jawa. Hal itu terlihat, dalam setiap terbitannya, majalah-majalah berbahasa Jawa selalu menampilkan cergam.

Demikian antara lain paparan mengenai beberapa karya sastra Jawa modern yang dianggap penting. Dari paparan sebagaimana telah dikemukakan akhirnya dapat dikatakan bahwa ternyata tidak setiap genre memiliki karya yang masuk ke dalam kategori penting. Namun, hal itu tidak berarti bahwa karya-karya selain yang dipaparkan dalam buku ini tidak penting. Dikatakan demikian karena pada hakikatnya semua karya sastra Jawa itu tetap berarti dalam sejarah sastra Jawa modern secara keseluruhan.