Penerbit dan Penerbitan

3.3 Penerbit dan Penerbitan

Sesuai dengan pokok-pokok pikiran yang dikemu- kakan di dalam bab pendahuluan, pembicaraan mengenai penerbit dan penerbitan ini mencakupi cara-cara yang ditem- Sesuai dengan pokok-pokok pikiran yang dikemu- kakan di dalam bab pendahuluan, pembicaraan mengenai penerbit dan penerbitan ini mencakupi cara-cara yang ditem-

Situasi dan kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia yang berantakan sejak pendudukan Jepang dan berlanjut dengan terjadinya inflasi dan krisis ekonomi sampai dengan tahun 1952 akibat perang kemerdekaan (Poespo- negoro dan Notosusanto, 1990:89--175) menyebabkan keti- dakmampuan penerbit untuk memproduksi buku. Balai pustaka --sebagai penerbit pemerintah-- kala itu juga meng- alami hal yang sama meskipun tetap mengadakan aktivitas (Quinn, 1995:29). Terbitnya buku Karti Basa (tata bahasa Jawa) dan Kasusastran Jawi jilid I (kesusastraan Jawa) oleh Kementerian PP dan K (1946) sebagai konsumsi sekolah guru dan sekolah-sekolah yang sederajat merupakan prestasi tersendiri bagi pemerintah dalam era perang kemerdekaan tersebut. Di samping itu, terbitnya kisah perjalanan modern dalam bentuk macapat berjudul Nayaka Lelana (1949) karya Susanto Tirtoprodjo oleh Sari Pers, Jakarta, dan dongeng Kancil Kepengin Mabur (1951) karya Surjosubroto dan Arjoputranto oleh B.P. Nasional, Yogyakarta, merupakan sumbangsih yang sangat berharga bagi sejarah sastra Jawa. Sesuai dengan instruksi Menteri PP dan K tanggal 16 Desember 1950, buku Nayaka Lelana –berhuruf Latin—itu Situasi dan kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia yang berantakan sejak pendudukan Jepang dan berlanjut dengan terjadinya inflasi dan krisis ekonomi sampai dengan tahun 1952 akibat perang kemerdekaan (Poespo- negoro dan Notosusanto, 1990:89--175) menyebabkan keti- dakmampuan penerbit untuk memproduksi buku. Balai pustaka --sebagai penerbit pemerintah-- kala itu juga meng- alami hal yang sama meskipun tetap mengadakan aktivitas (Quinn, 1995:29). Terbitnya buku Karti Basa (tata bahasa Jawa) dan Kasusastran Jawi jilid I (kesusastraan Jawa) oleh Kementerian PP dan K (1946) sebagai konsumsi sekolah guru dan sekolah-sekolah yang sederajat merupakan prestasi tersendiri bagi pemerintah dalam era perang kemerdekaan tersebut. Di samping itu, terbitnya kisah perjalanan modern dalam bentuk macapat berjudul Nayaka Lelana (1949) karya Susanto Tirtoprodjo oleh Sari Pers, Jakarta, dan dongeng Kancil Kepengin Mabur (1951) karya Surjosubroto dan Arjoputranto oleh B.P. Nasional, Yogyakarta, merupakan sumbangsih yang sangat berharga bagi sejarah sastra Jawa. Sesuai dengan instruksi Menteri PP dan K tanggal 16 Desember 1950, buku Nayaka Lelana –berhuruf Latin—itu

Sementara itu, kehadiran majalah Jaya Baya (1 Desember 1945) di Kediri, Api Merdika (1945) dan Praba (8 September 1949) di Yogyakarta, dan terbitnya kembali Panjebar Semangat (1 Maret 1949) di Surabaya yang, antara lain, memuat puisi Jawa modern (guritan) dan cerita pendek Jawa (Hutomo, 1975:38--62) tidak mampu membangkitkan sastra Jawa. Upaya Koesoema Soetan Pamoentjak selaku pimpinan Balai Pustaka (1948--1950) dengan program lima pasalnya, yaitu (1) mengakhiri ketertinggalan akibat keva- kuman selama enam tahun (sejak zaman Jepang) dengan mencetak ulang buku-buku yang berguna bagi masyarakat, (2) memperkenalkan sastra dunia kepada masyarakat, (3) mengemukakan berbagai pendapat para ahli dalam dan luar negeri tentang kebudayaan, (4) menerbitkan karya-karya baru para pengarang (sastra, ilmu pengetahuan, dan budaya), serta (5) mengupayakan bacaan untuk pemuda dan anak-anak (Harahap, 1997:36), juga belum berhasil menerbitkan karya baru sastra Jawa.

Ketika pendidikan formal mulai ditertibkan tahun 1950, ada titik-titik terang ke arah penerbitan buku sastra Jawa sebagai sarana penunjang kegiatan belajar-mengajar. Namun, sayang bahwa sarana penunjang--yang berupa buku- buku ajar dan buku-buku bacaan yang sesuai dengan alam kemerdekaan--itu tidak dapat dipenuhi oleh Balai Pustaka karena lembaga tersebut dipecah menjadi dua bidang sehing-

ga kehilangan otoritasnya secara langsung dari Kementerian PP dan K (Harahap, 1997:42). Dengan hilang-nya otoritas itu, sampai dengan tahun 1952, hanya ada dua judul karya baru sastra Jawa modern yang dapat diterbitkan oleh Balai

Pustaka, yaitu novel O, Anakku …! karangan Th. Suroto dan Jodho kang Pinasthi karangan Sri Hadidjojo, serta cerita satire Dongeng Sato Kewan karangan Prijana Winduwinata.

Setelah dua bidang tersebut disatukan kembali dalam wadah Balai Pustaka tahun 1953, lembaga itu menerbitkan novel Sri Kuning karangan Hardjowirogo (1953). Pening- katan penerbitan karya sastra Jawa modern terjadi ketika lembaga itu dikembalikan fungsinya sebagai penerbit buku- buku sastra dan kebudayaan. Di bawah kendali Sudira (1955- -1963), pada tahun 1957 Balai Pustaka menerbitkan novel Ayu ingkang Siyal karangan Soegeng Tjakarasoewignja, Kembang Kanthil karangan Senggono, Kumpule Balung Pisah karangan A. Saerozi A.M., dan Ngulandara (cetakan

III) karangan Margana Djajaatmaja, disusul dengan pener- bitan antologi cerita pendek Kidung Wengi ing Gunung Gamping karangan Iesmaniasita (1958) dan antologi cerita pendek (17 judul) dan guritan (5 buah) Kemandhang sun- tingan Senggono (1958), serta kumpulan Dongeng Lucu gubahan Suwignyo dkk. (1958).

Di samping itu, Balai Pustaka juga menerbitkan karya tembang macapat. Misalnya, Nayaka Lelana edisi II (Susanto Tirtoprodjo, 1955) dengan aksara Jawa, Sapu Ilang Suhe edisi II (Hardjowirogo, 1960) yang dianggap sebagai novel oleh Subalidinata (1984:32), Cablaka karangan Kyai Anoraga (1960), dan Raden Kamandaka (anonim, 1961). Sesudah kedudukan Sudira digantikan oleh M. Hoetaoeroek (1963--1967), kemudian Soejatmo (1967--1974), dengan perubahan status Balai Pustaka dari dinas menjadi perusahaan negara (PN) sejak 27 Juli 1963, karya sastra Jawa modern terbitan Balai Pustaka hanya bertambah dua judul novel cetak ulang (edisi II) Kembang Kanthil (Senggono, 1965) dan

Kumpule Balung Pisah (Saerozi, 1966), dua judul roman mancanegara Putri Parisade dan Putri Johar Manik saduran Soewignja (1968), dan karya tradisional berbentuk macapat Serat Jakasura-Tresnawati karangan Prijana Winduwinata (1966). Dengan demikian, selama hampir 30 tahun (1945-- 1974), Balai Pustaka hanya menerbitkan (sekitar) 17 judul karya sastra Jawa modern (termasuk 4 judul cetak ulang, 2 judul roman saduran, 1 judul cerita satire), dan beberapa judul cerita tradisional. Jumlah itu jelas jauh tidak seimbang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk etnik (penutur bahasa) Jawa tahun 1961 yang mencapai 45% dari sekitar 97,02 juta jiwa penduduk Indonesia. Dari sekitar 97,02 juta jiwa itu ada kira-kira 46,7% jumlah penduduk usia di atas 10 tahun yang melek huruf dengan rincian 59,8% untuk pria dan 34,1% untuk wanita, pada tahun 1971 meningkat menjadi 72% untuk pria dan 50,3% untuk wanita, serta pada tahun 1974 lebih meningkat lagi di samping terjadi peningkatan jumlah penduduk menjadi sekitar 130 juta jiwa (Ricklefs, 1995:356--369; 433--434).

Di samping menerbitkan buku, sejak tahun 1951 Balai Pustaka diserahi tugas untuk mencetak majalah bulanan Medan Bahasa yang dikelola oleh Balai Bahasa, Direktorat Kebudayaan, Kementerian PP dan K. Ketika masih bernama Medan Bahasa dan kemudian berkembang dengan penerbitan edisi khusus Medan Bahasa Bahasa Jawa mulai bulan Januari 1954 (sebagai penjelmaan suplemen stensilan masalah bahasa dan sastra Jawa sejak bulan Agustus 1952), karya sastra Jawa modern, seperti guritan dan cerita pendek, belum mendapat perhatian oleh majalah tersebut. Baru setelah Medan Bahasa Bahasa Jawa diubah namanya menjadi Medan Bahasa Basa Jawi, guritan mulai mendapat tempat meskipun masih ter- Di samping menerbitkan buku, sejak tahun 1951 Balai Pustaka diserahi tugas untuk mencetak majalah bulanan Medan Bahasa yang dikelola oleh Balai Bahasa, Direktorat Kebudayaan, Kementerian PP dan K. Ketika masih bernama Medan Bahasa dan kemudian berkembang dengan penerbitan edisi khusus Medan Bahasa Bahasa Jawa mulai bulan Januari 1954 (sebagai penjelmaan suplemen stensilan masalah bahasa dan sastra Jawa sejak bulan Agustus 1952), karya sastra Jawa modern, seperti guritan dan cerita pendek, belum mendapat perhatian oleh majalah tersebut. Baru setelah Medan Bahasa Bahasa Jawa diubah namanya menjadi Medan Bahasa Basa Jawi, guritan mulai mendapat tempat meskipun masih ter-

sampul majalah Medan Bahasa Basa Jawi

Tersisihnya karya sastra Jawa modern dari penerbitan Balai Pustaka tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang menekankan peningkatan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara serta fungsinya sebagai bahasa resmi demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai contoh, pemerintah daerah di Yogyakarta sejak awal kemerdekaan telah mengambil pra- karsa untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi resmi menggantikan bahasa Jawa di kalangan pemerintahan (Ricklefs, 1995:330) padahal kota Yogyakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa.

Kebijakan tersebut menyebabkan semakin terpuruk- nya posisi bahasa Jawa, seperti diungkapkan oleh Sumirat (1952:41) dalam tembang Megatruh bahwa wak-ngong ‘diriku’ (yang dimaksud adalah “bahasa Jawa”) bernasib buruk sejak zaman kolonial.

Ing samangke jaman republik linuhung, datan ana ingkang nolih, mring wak-ngong kang lagi kojur, wiwit dhek jaman koloni, tetep manggih lakon awon.

(Medan Bahasa Nomor 8, 1952:41)

‘ Sekarang ini zaman republik termasyur, tidak ada yang menoleh, pada diriku yang sedang terpuruk, sejak zaman kolonial, tetap mengalami penderitaan.’

Bahasa Jawa yang bernasib buruk itu sampai-sampai diratapi, ditangisi oleh Siswamartana (1958:34) melalui sonetanya ”Nangis Ngglolo” ‘Menangis Keras’ dalam Medan Bahasa Basa Jawi , Nomor 12, tahun III, 1958, seperti tercermin dalam kutipan penggalan awal bait berikut.

Genea kowe basa Jawa Dhek sewu taunan kepungkur Kondhang kombul kawentar kasuwur Saiki surem tanpa cahya.

‘ Kenapa kamu bahasa Jawa Ketika seribu tahunan yang lalu Tersohor terunggul terkenal termasyur Kini suram tanpa cahaya.’

Semakin terpuruknya posisi bahasa Jawa memang tidak dapat dihindarkan karena situasi dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan tidak menguntungkan. Situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya menjelang tahun 1960, misalnya, amat rawan akibat terjadinya persaingan elit politik (Quinn, 1995:32) dan merajalelanya korupsi yang berdampak terhadap ketidakstabilan pemerintahan. Setelah selama tujuh tahun (1950--1957) para elit politik gagal membangun demokrasi, sejak awal era “demokrasi terpim- pin“ (1959) terjadi lagi krisis ekonomi. Dampaknya, pada tahun 1960 timbul gelombang inflasi yang serius. Keadaan Semakin terpuruknya posisi bahasa Jawa memang tidak dapat dihindarkan karena situasi dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan tidak menguntungkan. Situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya menjelang tahun 1960, misalnya, amat rawan akibat terjadinya persaingan elit politik (Quinn, 1995:32) dan merajalelanya korupsi yang berdampak terhadap ketidakstabilan pemerintahan. Setelah selama tujuh tahun (1950--1957) para elit politik gagal membangun demokrasi, sejak awal era “demokrasi terpim- pin“ (1959) terjadi lagi krisis ekonomi. Dampaknya, pada tahun 1960 timbul gelombang inflasi yang serius. Keadaan

Dalam suasana perekonomian yang amat buruk tersebut banyak penerbit besar yang biasa memproduksi buku-buku dan majalah yang mahal sulit bertahan (Quinn, 1995:32). Sebagai penerbit pemerintah, Balai Pustaka juga terkena imbasnya sehingga mengalami pasang surut, terutama dengan kebijakan yang membatasi penerbitan buku-buku berbahasa daerah. Pembatasan itu lebih diperburuk oleh sikap penerbit Balai Pustaka--sebagai suatu sistem--yang cende- rung pasif, yakni menanti karangan yang masuk, kemudian menimbang dan--kalau perlu--menyensornya untuk selanjut- nya menerbitkan jika tidak bertentangan dengan kebijak- sanaannya (Damono, 1993:56). Hal itu dapat diketahui dari minimnya terbitan karya sastra Jawa modern selama hampir

40 tahun (1945--1974) yang hanya berjumlah (sekitar) 17 judul. Sementara itu, kehadiran majalah Jaya Baya, Api Merdika (yang tidak berumur panjang), Praba, dan Panjebar Semangat--ketika Balai Pustaka mengalami kevakuman dalam penerbitan sastra Jawa modern (1945--1950)--diikuti dengan terbitnya Caraka (Januari 1950) di Semarang, Waspada (Februari 1952) dan Mekar Sari (Maret 1957) di

Yogyakarta, Pustaka Roman (1954), Crita Cekak (Agustus 1955), Cenderawasih (awal tahun 1957), Gotong Royong (1963), dan Kekasihku di Surabaya, serta Candrakirana (Januari 1964) di Surakarta (Hutomo, 1975:16--17; Triyono dkk., 1988:19--42), turut menyemarakkan kehidupan sastra Jawa. Ada 17 cerita pendek dan 5 guritan dalam Panjebar Semangat, Waspada, dan Crita Cekak tahun 1949--1956 yang dipilih dan diambil oleh Senggono untuk diterbitkan dalam bentuk buku antologi berjudul Kemandhang (1958).

Khusus Pustaka Roman dan Crita Cekak, sesuai dengan isinya, merupakan majalah sastra dengan pemimpin redaksi Soebagijo I.N. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika karya-karya redaktur itu menghiasi majalah yang dipimpinnya. Di samping itu, karya Any Asmara dan Poerwadhie Atmodihardjo banyak pula tampil dalam majalah tersebut karena mereka merupakan pengarang yang produktif dan secara kebetulan menjadi anggota redaksi Pustaka Roman. Sesuai dengan slogan yang terpampang dalam sam- pulnya, Pustaka Roman merupakan majalah “wacan minang- ka panglipur wuyung” ‘bacaan sebagai pelipur lara’, ‘bacaan sebagai penghibur duka’. Slogan itu--yang kemudian diper- kuat oleh sepuluh roman serial karya Any Asmara berjudul Panglipur Wuyung terbitan Jaker (1961--1965)--pada gilirannya dipakai untuk memberikan predikat atau sebutan kepada roman-roman tipis ukuran saku yang terbit tahun 1950-an hingga tahun 1970-an.

Seiring dengan terbitnya beberapa majalah berbahasa Jawa tersebut, terbit pula roman-roman tipis (sekitar 40 halaman) berukuran kecil (rata-rata 11x15 cm) yang kemudian diidentifikasi sebagai roman panglipur wuyung ‘penglipur lara’. Buku-buku kecil dan tipis--dengan kualitas Seiring dengan terbitnya beberapa majalah berbahasa Jawa tersebut, terbit pula roman-roman tipis (sekitar 40 halaman) berukuran kecil (rata-rata 11x15 cm) yang kemudian diidentifikasi sebagai roman panglipur wuyung ‘penglipur lara’. Buku-buku kecil dan tipis--dengan kualitas

Secara historik, roman-roman pelipur lara (berbentuk buku) sudah hadir sejak tahun 1953 dengan terbitnya Gerombolan Gagak Mataram karangan Any Asmara (yang sebelumnya berupa cerita bersambung dalam Panjebar Semangat tahun 1951--1952) dan Sawunggaling karangan Poerwadhie Atmodihardjo produksi penerbit Panyebar Semangat. Tahun-tahun berikutnya, roman-roman serupa ber- munculan sehingga terjadi eksplosi (peledakan) sampai dengan tahun 1968 yang mencapai puncaknya pada tahun 1966 (Ras, 1985:27). Sampai dengan tahun 1970-an, produksi roman pelipur lara mencapai jumlah lebih dari 300 judul (bandingkan Quinn, 1995:38) dengan rekor produk- tivitasnya dipegang Any Asmara (72 judul) dan disusul Widi Widajat (sekitar 60 judul) (Cantrik Banyumas, 1983:19--28; Dojosantoso, 1990:38). Ketika roman picisan itu sedang menjamur, Trim Sutidja berhasil membukukan kumpulan guritan yang diberi judul Pupus Cindhe (1966). Pupus Cin- dhe merupakan buku pertama yang khusus berisi kumpulan guritan.

Melimpahnya roman pelipur lara atau roman picisan tahun 1960-an erat kaitannya dengan munculnya para penga- rang kala itu. Selain pengarang-pengarang yang sudah ada Melimpahnya roman pelipur lara atau roman picisan tahun 1960-an erat kaitannya dengan munculnya para penga- rang kala itu. Selain pengarang-pengarang yang sudah ada

Bermunculannya para pengarang yang menghasilkan ratusan roman picisan tersebut diikuti dan dibarengi oleh kehadiran penerbit-penerbit kecil di beberapa kota. Dari hasil survei tahun 1994--1995 dapat dicatat 72 penerbit roman picisan yang tersebar di Surakarta (31 penerbit), Yogyakarta (21 penerbit), Surabaya (18 penerbit), Semarang (10 pener- bit), Bandung (1 penerbit), dan Tasikmalaya (1 penerbit). Penerbit yang berdomisili (1) di kawasan Surakarta adalah Aneka Buku, Bacaan Buku, Burung Wali, Dahan Lima, Ejema, Firma Nasional, Gunung Lawu, Indah Jaya, Kancil Mas, Kartika, Keluarga Subarno (KS), Kuda Mas, Kusuma Jaya, Lauw, Maju Mas, Muria Press, Rilan, Romantika, Sasongko, Sehat Asli, Selamat, Sri Cahya, Subur, TJT, Tri Aksara, Trikarsa, Triyasa, UK, Utama SD (milik Utama D.S.), dan Widi; (2) di kawasan Yogyakarta adalah Berdikari, Dewaruci, Dua-A (milik Any Asmara), Ganefo, Habiyasa, Hanindita, Jaker, Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Lukman, Mataram, Muria, Nasional, Nefos, Puspa Rinonce, Putra, Rahayu, Rini, Sinta-Riskan, Taman Pustaka Kristen, dan USA; (3) di kawasan Surabaya adalah Ariyati (milik Suparto

Brata), Ariwarti, Ekspres, Cermin, Jaya Baya, Karya, Karya Anda, Kencana, Marfiah, MK, Muawiyah, Mutiara Press, Panyebar Semangat, Rangkah Mas, Tembok Mas, Tri Murti, Tulada, Usaha Baru, dan Usaha Modern; (4) di kawasan Semarang adalah Adi Jaya, Dawud, Dharma, Jaya, Keng, Kondang, Loka Jaya, Panca Setya, Ramadhani, dan Usaha Tama; (5) di kawasan Bandung adalah Lembaga Literatur Baptis; dan (6) di kawasan Tasikmalaya adalah Girimas (Riyadi dkk., 1995:17).

Terjadinya ledakan roman picisan dan menjamurnya penerbit kecil tahun 1960-an berhubungan dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya ketika itu. Seperti telah dikemukakan bahwa dalam era demokrasi terpimpin (1957--1965) terjadi persaingan elit politik--yang dipicu oleh ulah PKI dan ormas-ormasnya--yang menye- babkan ketidakstabilan pemerintahan sehingga perekonomian terjerumus ke dalam inflasi yang melambung tinggi. Suhu politik dalam negeri kala itu dalam keadaan panas sehingga segala aktivitas diawasi secara ketat. Penerbitan roman picisan, misalnya, harus mendapat izin dari kepolisian seba- gai bukti bahwa roman itu bebas dari pengaruh kebu-dayaan Barat yang sedang gencar-gencarnya ditentang. Dalam situasi dan kondisi demikian, gairah membaca masya-rakat terhadap buku-buku sehat mengalami kemunduran karena daya beli mereka rendah (Harahap, 1997:55). Akibatnya, banyak pe- nerbit besar menghentikan usahanya untuk menghindari beban yang semakin berat. Di sisi lain, situasi politik yang panas dan kondisi perekonomian yang mence-maskan mendorong sebagian masyarakat yang melek huruf untuk mencari hiburan segar berupa buku-buku bacaan yang murah dan mudah dicari. Peluang yang amat menjan-jikan keun- Terjadinya ledakan roman picisan dan menjamurnya penerbit kecil tahun 1960-an berhubungan dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya ketika itu. Seperti telah dikemukakan bahwa dalam era demokrasi terpimpin (1957--1965) terjadi persaingan elit politik--yang dipicu oleh ulah PKI dan ormas-ormasnya--yang menye- babkan ketidakstabilan pemerintahan sehingga perekonomian terjerumus ke dalam inflasi yang melambung tinggi. Suhu politik dalam negeri kala itu dalam keadaan panas sehingga segala aktivitas diawasi secara ketat. Penerbitan roman picisan, misalnya, harus mendapat izin dari kepolisian seba- gai bukti bahwa roman itu bebas dari pengaruh kebu-dayaan Barat yang sedang gencar-gencarnya ditentang. Dalam situasi dan kondisi demikian, gairah membaca masya-rakat terhadap buku-buku sehat mengalami kemunduran karena daya beli mereka rendah (Harahap, 1997:55). Akibatnya, banyak pe- nerbit besar menghentikan usahanya untuk menghindari beban yang semakin berat. Di sisi lain, situasi politik yang panas dan kondisi perekonomian yang mence-maskan mendorong sebagian masyarakat yang melek huruf untuk mencari hiburan segar berupa buku-buku bacaan yang murah dan mudah dicari. Peluang yang amat menjan-jikan keun-

Keuntungan yang menggiurkan tersebut mendorong obsesi Any Asmara untuk membuka sendiri usaha penerbitan (dan percetakan). Dengan modal royalti yang diperoleh dari

13 judul roman picisannya, ia mendirikan penerbit “Dua-A” (dari AA, kependekan dari Any Asmara) tahun 1960 (Cantrik Banyumas, 1983:13). Hal serupa dilakukan oleh Utomo D.S. dengan mendirikan penerbit “Utama SD” dan Suparto Brata mendirikan penerbit “Ariyati”. Bahkan, ada badan usaha yang bergerak dalam bidang perdagangan, transportasi, dan industri ikut terjun ke dunia penerbitan. Badan usaha itu, di antaranya, bernama CV Dewaruci, beralamat di Jalan Suroto

7, Kotabaru, Yogyakarta. Buku terbitannya, antara lain, berupa roman serial berjudul Crita-crita Sapanginang ‘cerita- cerita (tamat dibaca) selama mengunyah daun sirih’, yakni cerita-cerita yang tamat dibaca dalam waktu singkat.

Selain disebabkan oleh kemunduran minat masyarakat pembaca terhadap buku-buku bacaan sehat dan kebutuhan masyarakat (etnik Jawa yang melek huruf) akan bacaan yang segar dengan biaya murah, melimpahnya roman picisan ditandai oleh menghilangnya majalah Crita Cekak, Cendra- wasih, Kekasihku, Gotong Royong, dan Pustaka Roman, serta dibredelnya majalah Waspada yang berhaluan komunis akibat pemberontakan G 30 S/PKI. Selain Waspada, kelima majalah tersebut tidak berumur panjang karena biaya operasional amat tinggi dan jatah kertas sangat dibatasi

(Quinn, 1995:32; Kusumayuda dkk., 1995:77--79). Semen- tara itu, meskipun sulit memperoleh kertas, apalagi setelah subsidi kertas dicabut pada tahun 1966, majalah Panjebar Semangat, Jaya Baya, Mekarsari, dan Praba masih mampu bertahan. Bahkan, pada tahun 1960-an, pers berbahasa Jawa menduduki posisi terdepan. Jika majalah berbahasa Indonesia setiap terbit hanya bertiras 7.000 eksemplar, berbeda halnya dengan majalah mingguan Panjebar Semangat yang setiap terbitnya bertiras 99.000 eksemplar dan Jaya Baya bertiras 65.000 eksemplar, serta dwimingguan Mekar Sari bertiras 23.000 eksemplar dan Praba bertiras 14.000 eksemplar (bandingkan Brata, 198:68; Utomo dkk., 2000:58--59).

Telah diungkapkan sebelumnya bahwa roman picisan produksi tahun 1950-an--1970-an--yang mencapai 300 judul lebih--pada umumnya bermutu rendah. Hal itu menunjukkan bahwa dalam perjalanannya selama berabad-abad (abad IX--

XX) sastra Jawa mengalami masa suram. Setelah eksplosi roman picisan mencapai puncaknya tahun 1966, setidak- tidaknya ada tiga peristiwa penting yang berkaitan dengan sastra Jawa sebagai berikut.

Pertama, tidak lama setelah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) terbit sebagai titik awal zaman Orde Baru (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990:413), dalam suasana berlangsungnya operasi keamanan dan ketertiban (termasuk pemeriksaan buku-buku bacaan yang dianggap tidak men- didik), sarasehan pengarang sastra Jawa diselenggarakan oleh Sanggar Bambu di Yogyakarta tanggal 24--27 Agustus 1966. Dalam sarasehan itu, antara lain, diputuskan terben-tuknya OPSJ tingkat pusat dan tingkat daerah. OPSJ tingkat pusat diketuai Soedharma K.D.; sedangkan OPSJ tingkat daerah yang terdiri atas OPSJ Komisariat Daerah Istimewa Yogya- Pertama, tidak lama setelah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) terbit sebagai titik awal zaman Orde Baru (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990:413), dalam suasana berlangsungnya operasi keamanan dan ketertiban (termasuk pemeriksaan buku-buku bacaan yang dianggap tidak men- didik), sarasehan pengarang sastra Jawa diselenggarakan oleh Sanggar Bambu di Yogyakarta tanggal 24--27 Agustus 1966. Dalam sarasehan itu, antara lain, diputuskan terben-tuknya OPSJ tingkat pusat dan tingkat daerah. OPSJ tingkat pusat diketuai Soedharma K.D.; sedangkan OPSJ tingkat daerah yang terdiri atas OPSJ Komisariat Daerah Istimewa Yogya-

Kedua, pada tahun 1967 terjadi penyitaan 57 judul roman picisan, termasuk 21 judul roman picisan berbahasa Jawa, oleh tim Opterma Surakarta. Penyitaan itu dilakukan karena roman-roman tersebut dianggap dapat merusak moral generasi muda, meskipun telah lolos sensor dari pihak yang berwajib. Berita tentang penyitaan roman-roman picisan itu dimuat dalam Mekar Sari nomor 23/X/1 Februari 1967. Roman picisan berbahasa Jawa yang disita adalah Asmara tanpa Weweka, Cahyaning Asmara, Godhane Prawan Indho, Jeng Any Prawan Prambanan, Aboting Kecanthol Kenya Sala, Asmara ing Warung Lotis, Pangurbanan, Kabuncang ing Sepi, Tape Ayu, Tumetesing Luh, Sih Katresnan Jati,Wanita Methakil, Ketangkep Teles, Grombolan Gagak Mataram, Peteng Lelimengan, Rebutan Putri Semarang, Lara Brata, Macan Tutul, Lagune Putri Kasmaran, Gara-Gara Rok Mepet, dan Nyaiku. Akibat penyitaan itu, para pengarang lebih berhati-hati dalam berkarya dan penerbit lebih selektif dalam memproduksi buku-buku bacaan, apalagi subsidi

kertas dicabut pada tahun 1966. Dampaknya, pada tahun 1967 produksi roman picisan mulai menurun dan mencapai tahap penurunan secara drastis sejak tahun 1969. Jika sebelumnya penerbit “Dua-A”, misalnya, mampu mempro- duksi 30.000 eksemplar per judul dan terjual habis dalam waktu setengah bulan, setelah mengalami kelesuan penerbit itu hanya berani memproduksi 5.000 eksemplar per judul (Cantrik Banyumas, 1983:14). Penurunan produksi roman picisan itu pada gilirannya berdampak pada semakin berkurangnya jumlah penerbit (termasuk penerbit “Dua-A” yang gulung tikar tahun 1972 dengan terbitan terakhirnya Titiek Indriany Putri Sala karangan Any Asmara) seiring dengan merosotnya jumlah konsumen pembaca akibat disitanya sejumlah roman picisan. Sebagai antisipasi atas penyitaan roman-roman picisan itu, OPSJ Komisariat Jawa Tengah--yang bermarkas di Surakarta--menerbitkan majalah Gumregah (Januari 1967) dan majalah anak-anak Si Glathik. Sesuai dengan sesanti ‘moto’-nya, majalah Gumregah diha- rapkan menjadi “puspita kasusastran Jawa” ‘bunga kesusas- traan Jawa’. Namun, sayang bahwa kedua majalah itu tidak berumur panjang, senasib dengan majalah Merdika yang terbit di Jakarta (1967).

Ketiga, tahun 1966 merupakan awal menguatnya media massa cetak berbahasa Jawa sebagai saluran publikasi sastra Jawa (Hutomo, 1972). Di samping majalah Penjebar Semangat, Jaya Baya, dan Mekar Sari yang masih beredar, serta majalah Gumregah, Si Glathik, dan Merdika yang hanya hidup sebentar, mulai tahun 1969 bermunculan majalah dan surat kabar baru, yaitu Kembang Brayan (yang hanya mampu bertahan selama 3 tahun, 1969--1971), Djaka Lodhang (1971), dan Cendrawasih (1975) di Yogyakarta; Dharma

Kanda (1970), Dharma Nyata (1971), dan Parikesit (1972) di Surakarta; serta Kunthi (Agustus 1972) dan Kumandhang (1973) di Jakarta (Hutomo, 1975:17; Ras, 1985:27; Quinn, 1995:34--35; Triyono dkk., 1988:45--57); sedangkan Praba sejak tahun 1968 menggunakan bahasa Indonesia (90 %) dan bahasa Jawa (10 %). Majalah Kumandhang (terbit tahun 1973) dan Cendrawasih (terbit tahun 1975) adalah majalah khusus sastra Jawa.

Untuk menarik simpati konsumen (pembaca) yang semakin tidak menggemari roman picisan, media massa berbahasa Jawa tersebut mengadakan pembenahan, di antaranya dengan meningkatkan mutu cetakannya. Pembe- nahan itu juga sekaligus sebagai antisipasi terhadap pengarang yang mengalihkan profesinya menjadi pengarang sastra Indonesia karena bahasa Jawa kurang dihargai dan ngambek ‘enggan’-nya pengarang yang berbakat, seperti Soedharma K.D., akibat karangannya ditolak oleh redaksi (Cantrik Banyumas, 1983:2; Brata, 1981:58). Alasan peno- lakan itu adalah perusahaan (media massa) tidak mau merugi hanya karena menampilkan karangan yang bermutu yang tidak disukai oleh konsumen (Brata, 1981:88--89). Perlakuan redaksi yang dianggap tidak proporsional itu menimbulkan kegusaran para pengarang berbakat yang mengakibatkan sastra Jawa dan pengarangnya lesu darah (Soedharma K.D. dalam Brata, 1981:58 dan 84). Dengan demikian, kualitas sastra Jawa yang tersebar di media massa cetak--yang mendapat predikat sebagai “sastra koran dan sastra majalah” (Hutomo, 1975:16) atau “sastra magersari” ‘sastra menebeng’ (Riyadi dkk., 1996:14)--tidak jauh berbeda dengan kualitas roman-roman picisan.

Keadaan sastra Jawa yang lesu darah menunjukkan bahwa sastra daerah yang pernah dikagumi itu belum terentas dari jurang keterpurukannya. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk membangkitkannya. Upaya-upaya itu, antara lain, berupa pembentukan grup-grup atau sanggar sastra akibat tidak berfungsinya secara organisatoris OPSJ yang dibentuk tahun 1966. Grup-grup atau sanggar itu, misalnya Sanggar Nur Praba (1970) yang diprakarsai Moch. Nursyahid P. dan Sanggar Sastra Sasanamulya (1971) yang diprakarsai Arswendo Atmowiloto di Surakarta; Grup Diskusi Sastra Blora (1972) yang diprakarsai Poer Adhi Prawoto dkk. di Blora; Sanggar Sastra Parikuning (1974) pimpinan Esmiet di Banyuwangi; Paguyuban Pengarang Muda--disingkat Prada-- (1976) di bawah naungan Kembang Brayan, Sanggar Brayan Muda--disingkat Sanggar Sabda--, Sanggar Sastra Soedjadi Madinah yang diprakarsai Moch. Soedjadi Madinah, dan Sanggar Sastra Buwana Pratria pimpinan Suharjanto B.P. (staf Redaksi Djaka Lodang) di Yogyakarta; Sanggar Sastra Triwida (18 Mei 1980) yang diprakarsai Tamsir A.S. dkk. di Tulungagung; dan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (31 Juli 1977) yang diprakarsai Suripan Sadi Hutomo dkk. di Surabaya (Widati dkk., 1999:29--44). Selain mengadakan diskusi kepengarangan, para anggota grup dan sanggar itu menghasilkan karangan-karangan yang menghiasi media massa cetak dan di antaranya ada yang menghasilkan antologi cerita pendek dan guritan Taman Sari (1975) atas prakarsa anggota Sanggar Sastra Sasanamulya dengan ban- tuan Pusat Pengembangan Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) serta antologi guritan Napas-napas Tlatah Cengkar (1973) dan Tepungan karo Omah Lawas (1973) karya para anggota Grup Diskusi Sastra Blora.

Untuk memberikan dorongan dan motivasi agar para pengarang tetap bersemangat dalam berkarya (mengarang), berbagai pertemuan diselenggarakan. Misalnya, Sarasehan Basa Jawi tanggal 12--13 Juni 1971 yang diselenggarakan majalah Kunthi di Jakarta, sarasehan Pengarang Sastra Jawa tanggal 23--25 Maret 1973 dan sarasehan serupa pada tahun- tahun berikutnya yang diselenggarakan PKJT di Surakarta, serta Sarasehan Pengarang Sastra Jawa tanggal 12--14 No- vember 1975 yang diselenggarakan oleh Susilomurti selaku pimpinan majalah Kumandhang bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Di samping diskusi dan sarasehan, kegiatan sayem- bara mengarang diselenggarakan untuk membangkitkan sastra Jawa. Kegiatan yang diadakan, misalnya, berupa sayembara mengarang cerita pendek dan guritan oleh Pusat Kebudayaan Jawa Tengah tahun 1971, 1972, dan 1973; sayembara serupa juga diadakan oleh Dewan Kesenian Surabaya bekerja sama dengan majalah Jaya Baya tahun 1974; dan sayembara mengarang cerita pendek oleh majalah Djaka Lodang tahun 1972. Akan tetapi, berbagai upaya tersebut ternyata tidak berhasil mendongkrak sastra Jawa menjadi sastra yang dapat dibanggakan. Upaya-upaya itu baru dapat membangkitkan pengarang untuk menulis di media massa cetak, tetapi belum berhasil mendongkrak penerbit untuk memproduksi karya sastra Jawa atau membangkitkan konsumen untuk membeli karya sastra (dan karya berbahasa) Jawa (Riyadi dkk., 1996:16). Fungsi sastra Jawa sebagai hiburan secara berangsur-angsur juga tergusur oleh sarana informasi yang berupa radio dan televisi dengan suguhan hiburan yang lebih menarik.

Keadaan sastra Jawa yang amat memprihatikan tersebut lebih diperburuk oleh pemberlakuan kurikulum 1975 yang menyisihkan bahasa (dan sastra) daerah dari mata pelajaran wajib. Alasannya, bahasa (dan sastra) daerah di- anggap tidak penting (dan menghambat terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa) sehingga hanya dijadikan mata pelajaran tambahan atau kokurikuler. Akibatnya, banyak sekolah tidak memberikan pelajaran bahasa dan sastra daerah. Hal itu berdampak pada munculnya kecaman bahwa kurikulum 1975 merupakan sumber malapetaka bagi pem- binaan dan pengembangan bahasa dan sastra daerah (Riyadi, 1955a:131--138).

Kebijakan pemerintah memberlakukan kurikulum 1975 amat bertentangan dengan kebijakan sebelumnya yang menetapkan berlakunya Pedoman Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan mulai tanggal 18 Maret 1974. Akan lebih bijaksana apabila kebijakan pemberlakuan Pedoman Ejaan Bahasa Jawa itu didukung oleh kebijakan yang relevan, yakni pemberlakuan kurikulum yang tetap memberikan porsi bahasa dan sastra daerah sebagai mata pelajaran wajib karena pengajaran bahasa dan sastra daerah merupakan sarana yang amat efektif untuk menyosialisasikan pedoman ejaan tersebut. Keadaan bahasa dan sastra Jawa yang amat buruk itu lebih diperburuk lagi oleh adanya kebijakan Politik Bahasa Nasional (1976) yang oleh beberapa pemerhati bahasa dan sastra Jawa dianggap sebagai upaya “peng- Indonesia-an” (Indonesiasi) secara sistematik sehingga posisi bahasa dan sastra daerah semakin terpojokkan dan marginal (bandingkan Utomo dkk., 2000:44). Itulah sebabnya, erosi penggunaan bahasa Jawa oleh generasi muda cukup drastis dari waktu ke waktu (bandingkan Alwi, 1998:13). Kenyataan Kebijakan pemerintah memberlakukan kurikulum 1975 amat bertentangan dengan kebijakan sebelumnya yang menetapkan berlakunya Pedoman Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan mulai tanggal 18 Maret 1974. Akan lebih bijaksana apabila kebijakan pemberlakuan Pedoman Ejaan Bahasa Jawa itu didukung oleh kebijakan yang relevan, yakni pemberlakuan kurikulum yang tetap memberikan porsi bahasa dan sastra daerah sebagai mata pelajaran wajib karena pengajaran bahasa dan sastra daerah merupakan sarana yang amat efektif untuk menyosialisasikan pedoman ejaan tersebut. Keadaan bahasa dan sastra Jawa yang amat buruk itu lebih diperburuk lagi oleh adanya kebijakan Politik Bahasa Nasional (1976) yang oleh beberapa pemerhati bahasa dan sastra Jawa dianggap sebagai upaya “peng- Indonesia-an” (Indonesiasi) secara sistematik sehingga posisi bahasa dan sastra daerah semakin terpojokkan dan marginal (bandingkan Utomo dkk., 2000:44). Itulah sebabnya, erosi penggunaan bahasa Jawa oleh generasi muda cukup drastis dari waktu ke waktu (bandingkan Alwi, 1998:13). Kenyataan

Sebagai reaksi atas ketidakpuasan para pemerhati bahasa dan sastra Jawa tersebut, beberapa lembaga meng- ambil inisiatif untuk mencari solusi, setidak-tidaknya untuk mengurangi kekecewaan mereka. Misalnya, untuk meman- tapkan pembinaan dan pengembangan, Pusat Pembi-naan dan Pengembangan Bahasa (kini bernama Pusat Bahasa), antara lain, menyelenggarakan Seminar Pengem-bangan Sastra Daerah (13--16 Oktober 1975), Seminar Bahasa Daerah (19--

22 Januari 1976), Konferensi Bahasa dan Sastra Daerah (24--

27 Januarai 1977), dan mendanai penelitian (dan penerbitan) bahasa dan sastra daerah melalui Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (kemudian bernama Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah).

Sementara itu, Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta (kini bernama Balai Bahasa), sebagai kepanjangan tangan Pusat Bahasa, --yang paling sering menjadi jujugan ‘tujuan (mendadak)’ pengaduan--bekerja sama dengan instansi dan lembaga-lembaga lain, mulai tahun 1976 mengadakan sara- Sementara itu, Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta (kini bernama Balai Bahasa), sebagai kepanjangan tangan Pusat Bahasa, --yang paling sering menjadi jujugan ‘tujuan (mendadak)’ pengaduan--bekerja sama dengan instansi dan lembaga-lembaga lain, mulai tahun 1976 mengadakan sara-

Di Surakarta, Pusat Kebudayaan Jawa Tengah--yang sebelumnya aktif mengadakan sarasehan dan sayembara mengarang serta pernah membiayai penerbitan Guritan: Antologi Sajak-sajak Jawi himpunan Iesmaniasita (1975), kumpulan cerita pendek dan guritan Taman Sari (1975), dan kumpulan guritan Tepungan karo Omah Lawas (1979)--tetap eksis dengan menyelenggarakan sayembara penulisan novel, drama, dan pakeliran (tahun 1979). Naskah pemenang I, II, dan III dalam sayembara itu kemudian diterbitkan dalam jumlah yang terbatas pada tahun 1980. Novel pemenang sayembara itu adalah Penganten karya Suryadi W.S., Ing Pojok-pojok Desa karya Tamsir A.S., dan Tumusing Panalangsa karya Ny. Syamsirah; sedangkan drama dime- nangkan oleh Pangurbanan karya Aryono K.D., Kali Ciliwung karya Moch. Nursyahid P., dan Secuwil Ati lan Wengi karya Suliyanto.

Di kalangan penerbit, setelah 6 tahun (1969--1974) tidak memproduksi karya sastra Jawa modern, mulai tahun 1975 Balai Pustaka--yang diberi hak istimewa untuk menerbitkan buku “Proyek Paket Buku” sejak tahun 1976 (Harahap, 1997:59)--hanya dapat menerbitkan novel Anteping Tekad karya Ag. Suharti (1975), kumpulan cerita pendek dan guritan Kalimput ing Pedhut karya Iesmaniasita (1976), novel (edisi III) Kumpule Balung Pisah karya A.

Serozi A.M. (1978), dan Mendhung Kesaput Angin karya Ag. Suharti (1980).

Sementara itu, di luar Balai Pustaka terbit kumpulan cerita pendek Langite Isih Biru suntingan Susilomurti dan M. Nuhsin (1975) produksi Koperasi Karyawan Pers Adijaya (KKPA) dan Kringet saka Tangan Prakosa karya Iesma- niasita (1975) terbitan Yayasan “Djojo Bojo”. Pada tahun 1976, Pustaka Jaya membuat kejutan dengan menerbitkan novel Tanpa Daksa karangan Soedharma K.D. dan Tunggak- tunggak Jati karangan Esmiet meskipun oleh penerbit tersebut kedua novel itu merupakan terbitan pertama dan terakhir (hingga sekarang) bagi karya sastra Jawa modern. Jumlah novel Jawa bertambah dengan hadirnya novel Titi karangan Soedharma K.D. (1978) terbitan Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah (PPBSD) Jawa Tengah. Di samping itu, pada tahun 1970-an masih ada sejumlah penerbit yang memproduksi roman picisan. Misalnya, “Dua A” menerbitkan Ni Wungkuk (1970), Tetesing Waspa (1970), dan Titiek Indriani Putri Sala (1972), Adi Jaya menerbitkan Adiling Pangeran (1971), dan Indah Jaya menerbitkan Telik Sandi (1974), seluruhnya karya Any Asmara; USA mener- bitkan Jagade wis Peteng karya Any Asmara (1970) dan Gudheg Ayu Digondhol Thuyul karya Moch. Soedjadi Madinah (1970); Keluarga Subarno menerbitkan Prawan Kaosan karya Widi Widayat (1973) dan Tilas Buwangan Nusakambangan karya Any Asmara (1976); Muria mener- bitkan Neng Artati Putri Sunda karya Any Asmara (1972) dan Dhayoh Bengi Sangu Maesan karya Esmiet (1975); Lembaga Literatur Baptis menerbitkan Isih Ana Kaelokan (1974) dan Kasrimpet ing Srawung (1975) karya Ny. Andy; serta Puspa Rinonce menerbitkan Titising Kadurakan,

Durjana Alas Setra , dan Gandaruwel Siwar Modar karya Ragil Suwarno Pragolapati (1975). Penerbit Muria juga memproduksi roman sejarah Jaka Sangkrip karya Any Asmara (1979). Sementara itu, Trim Sutidja membukukan kumpulan guritannya yang kedua berjudul Kabar saka Paran (1976); sedangkan Diah Hadaning mereproduksi sendiri antologi guritannya yang diberi judul Jangkah Patang Puluh Telu (1977).

Dari hasil pendataan (sementara) dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 1970--1980 terdapat 6 penerbit (Balai Pustaka, Yayasan “Djojo Bojo”, Pustaka Jaya, KKPA, PKJT, dan PPBSD) yang memproduksi 9 novel, 3 drama, dan

4 kumpulan cerita pendek dan atau guritan, serta 8 penerbit (Adi Jaya, “Dua-A”, Indah Jaya, Keluarga Subarno, Lembaga Literatur Baptis, Muria, Puspa Rinance, dan USA) mener- bitkan 16 roman picisan. Dengan demikian, selama 11 tahun (1970--1980) hanya ada kira-kira 14 penerbit yang mem- produksi sekitar 32 judul karya sastra Jawa modern. Jumlah itu jauh lebih sedikit daripada jumlah penerbit dan terbitan dalam satu dasawarsa sebelumnya (1960--1969) yang mencapai sekitar 70 penerbit dan 200 judul buku karya sastra Jawa modern. Minimnya terbitan buku sastra Jawa modern tahun 1970--1980 itu menimbulkan keheranan seorang ilmuwan asing sehingga ia berkomentar bahwa “sastra Jawa kala itu bagai pohon tanpa daun”. Maksudnya, sastra Jawa dalam kurun waktu 1970--1980 itu masih hidup, tetapi sulit ditemukan terbitan karya sastra Jawa modern dalam bentuk buku (Riyadi, 1995b:492).

Nasib buruk penerbitan yang menimpa karya-karya sastra Jawa modern tahun 1970--1980 juga menimpa pener- bitan majalah berbahasa Jawa kala itu. Sejak tahun 1969, tiras Nasib buruk penerbitan yang menimpa karya-karya sastra Jawa modern tahun 1970--1980 juga menimpa pener- bitan majalah berbahasa Jawa kala itu. Sejak tahun 1969, tiras

Sedikitnya jumlah penerbit dan terbitan karya sastra Jawa modern serta ketidakberdayaan majalah berbahasa Jawa untuk mengembalikan kejayaannya tahun 1960-an menun- jukkan bahwa komunitas etnik (berbahasa) Jawa tahun 1980- an yang berjumlah 56.357.040 jiwa (40,44%) (Alwi, 1996:4) tidak mampu mengangkat bahasa dan sastra Jawa sebagai kekayaan budaya yang dapat dibanggakan. Namun, karena sudah terbiasa menghadapi tantangan yang cukup berat, para pemerhati bahasa dan sastra Jawa (termasuk lembaga dan institusi yang terkait) tidak jera untuk membangkitkan bahasa dan sastra Jawa dari keterpurukannya. Untuk memperbaiki bidang pendidikan dan pengajaran, misalnya, Badan Pene- litian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menyelenggarakan Seminar Pengajaran Bahasa Daerah (18--20 Agustus 1980) di Denpasar, Bali. Melalui Proyek Javanologi di Yogyakarta, badan tersebut juga menyelenggarakan Sarasehan Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa (14--15 Desember 1982), sarasehan tentang kebudayaan Jawa secara rutin, serta memberikan penghargaan terhadap majalah berbahasa Jawa sebagai pem- bina bahasa dan sastra Jawa, dan memberikan penghargaan Sedikitnya jumlah penerbit dan terbitan karya sastra Jawa modern serta ketidakberdayaan majalah berbahasa Jawa untuk mengembalikan kejayaannya tahun 1960-an menun- jukkan bahwa komunitas etnik (berbahasa) Jawa tahun 1980- an yang berjumlah 56.357.040 jiwa (40,44%) (Alwi, 1996:4) tidak mampu mengangkat bahasa dan sastra Jawa sebagai kekayaan budaya yang dapat dibanggakan. Namun, karena sudah terbiasa menghadapi tantangan yang cukup berat, para pemerhati bahasa dan sastra Jawa (termasuk lembaga dan institusi yang terkait) tidak jera untuk membangkitkan bahasa dan sastra Jawa dari keterpurukannya. Untuk memperbaiki bidang pendidikan dan pengajaran, misalnya, Badan Pene- litian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menyelenggarakan Seminar Pengajaran Bahasa Daerah (18--20 Agustus 1980) di Denpasar, Bali. Melalui Proyek Javanologi di Yogyakarta, badan tersebut juga menyelenggarakan Sarasehan Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa (14--15 Desember 1982), sarasehan tentang kebudayaan Jawa secara rutin, serta memberikan penghargaan terhadap majalah berbahasa Jawa sebagai pem- bina bahasa dan sastra Jawa, dan memberikan penghargaan

Seiring dengan penyelenggaraan berbagai kegiatan oleh Proyek Javanologi tersebut, sejumlah pengarang muda di Yogyakarta, di antaranya Andrik Purwasito, A. Nugroho, dan Titah Rahayu, membentuk organisasi yang disebut Kelompok Pengarang Sastra Jawa “Rara Jonggrang” (13 Juni 1982). Kelompok itu pada tahun 1983 menerbitkan buletin Rara Jonggrang (Hutomo, 1997:13--14), tetapi tidak dapat berlanjut. Setelah itu, pada tanggal 16 Juli 1982 didirikan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro yang diketuai oleh Moh. Maklum. Kelompok Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro itu sempat menyelenggarakan Sarasehan Jati Diri Sastra Daerah tanggal 2—4 Desember 1984.

Sementara itu, Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Tengah menyelenggarakan Sarasehan Penga- rang Sastra Jawa tanggal 12—14 November 1982 di Unga- ran. Dalam sarasehan itu, antara lain, diputuskan terbentuk- nya OPSJ antarwaktu yang mempunyai masa kerja sampai dengan diselenggarakannya Kongres Istimewa Orga-nisasi Pengarang Sastra Jawa. Akan tetapi, pada Kenya-taannya, organisasi tersebut bubar sebelum kongres dilak-sanakan.

Balai Bahasa Yogyakarta tetap eksis seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Setidak-tidaknya setahun sekali lembaga itu menyelenggarakan sarasehan, seminar, loka- karya, atau simposium, di samping kegiatan lain, seperti lomba dan pemberian penghargaan. Kegiatan yang langsung menyentuh sistem penerbitan, antara lain, berupa pemberian penghargaan terhadap cerita pendek dalam majalah berbahasa Jawa terbitan tahun 1980 (1982), lomba mengarang cerita pendek (1984) dan esai sastra Jawa (1985) yang diikuti Balai Bahasa Yogyakarta tetap eksis seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Setidak-tidaknya setahun sekali lembaga itu menyelenggarakan sarasehan, seminar, loka- karya, atau simposium, di samping kegiatan lain, seperti lomba dan pemberian penghargaan. Kegiatan yang langsung menyentuh sistem penerbitan, antara lain, berupa pemberian penghargaan terhadap cerita pendek dalam majalah berbahasa Jawa terbitan tahun 1980 (1982), lomba mengarang cerita pendek (1984) dan esai sastra Jawa (1985) yang diikuti

Kehadiran SSJY setidak-tidaknya menjadi penyejuk hati para pengarang sastra Jawa yang telah lama menahan kekesalan karena merindukan tempat berteduh yang tahan hempasan badai. Kekesalan mereka disebabkan oleh kegagalan sanggar-sanggar sastra Jawa pra-1982--termasuk OPSJ antarwaktu bentukan Sarasehan Pengarang Sastra Jawa (12--14 November 1982) di Ungaran--untuk mempertahan- kan diri, kecuali Sanggar Sastra Triwida di Tulungagung yang masih aktif, serta tidak berdayanya beberapa sanggar yang lahir pada pasca-1982, seperti Sanggar Gurit Gumuruh (1988) pimpinan Muhammad Yamin di Yogyakarta, Sanggar Kalimasada (1990) pimpinan Sukoso D.M. di Kutoarjo, Purworejo, Sanggar Sastra “Penulis Muda Kudus” (1991) pimpinan Yudhi M.S. dan Kelompok Pengarang Sastra Jawa Gunung Muria (1991) pimpinan Aryono K.D. di Kudus, dan

Sanggar Sastra Tabloid Tegal (1991) pimpinan Lanang Setiawan di Tegal. Dalam aktivitas dua bulanannya, SSJY menerbitkan majalah sastra Jawa Pagagan meskipun hanya bertiras ± 150 eksemplar setiap terbit dengan ketebalan rata- rata 30 halaman, dan mengadakan diskusi kepengarangan. Sampai dengan akhir Desember 1997, Pagagan sudah mencapai nomor 34.

Kegiatan SSJY lainnya berupa pemberian penghar- gaan “Sinangling” terhadap karya terbaik para anggota sanggar serta sarasehan dan pentas seni dalam peringatan hari ulang tahunnya. Berkat peran serta SSJY, sejak tahun 1991 hingga 1997 Panitia Festifal Kesenian Yogyakarta (FKY) dapat menerbitkan kumpulan guritan dan cerita pendek hasil sayembara mengarang, yaitu Antologi Guritan dan Crita Cekak (1991), Rembulan ing Ngayogyakarta (1992), Cakra Manggilingan (1993), Pangilon (1994), Pesta Emas Sastra Jawa (1995), dan Pisungsung (1997). Selanjutnya, untuk menyongsong Kongres Bahasa Jawa II (22--26 Oktober 1996) di Malang, SSJY dapat menyuguhkan kumpulan cerita pendek dan guritan Pemilihan Lurah (1996).

Sebagaimana diketahui, dalam salah satu butir kepu- tusan Kongres Bahasa Jawa I yang diselenggarakan di Semarang pada tanggal 15--20 Juli 1991, disebutkan bahwa “bahasa dan susastra Jawa pada jenjang pendidikan dasar dan lanjutan harus dimasukkan sebagai pelajaran tersendiri dalam kelompok muatan lokal”. Putusan itu berdampak terhadap pemberlakuan kurikulum baru tahun 1994 yang memberikan peluang bagi bahasa (dan sastra) Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib (di DIY). Pemberlakuan kurikulum 1994 itu agak melegakan pemerhati bahasa dan sastra Jawa yang hampir 20 tahun menunggu pengembalian bahasa dan sastra

Jawa sebagai mata pelajaran wajib. Akan tetapi, mereka belum sepenuhnya lega karena kedudukan kurikulum itu mengindikasikan adanya unsur diskriminatif dengan dipergu- nakannya istilah “muatan lokal”. Di samping itu, mereka meragukan apakah alokasi waktu yang disediakan--yang hanya 2--3 jam pelajaran per minggu--dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mencapai target yang telah ditentukan.

Keberhasilan penyelenggaraan Kongres bahasa Jawa I dengan putusan yang dihasilkan tersebut ikut mendorong para pengarang sastra Jawa untuk menulis karya yang berkualitas dan memberikan motivasi kepada penerbit untuk mempro- duksi karya sastra Jawa. Dorongan dan motivasi itu kemudian terpacu oleh kebesaran hati Yayasan Kebudayaan “Ran- cange” yang memberikan penghargaan sangat menarik kepada karya sastra Jawa modern. Yayasan yang sebelumnya khusus memberikan penghargaan kepada karya dan tokoh pengembang bahasa dan sastra Sunda itu mulai tahun 1994 juga memberikan penghargaan kepada karya dan tokoh pengembang bahasa dan sastra Jawa. Sampai dengan tahun 1997, karya sastra Jawa modern yang diberi penghargaan adalah novel Sumpahmu-Sumpahku (Naniek P.M., 1993) untuk tahun 1994 dan Timbreng (S. Kadarjono, 1994) untuk tahun 1996, keduanya terbitan Yayasan “Djojo Bojo”, dan kumpulan guritan Siter Gadhing (Djaimin K., 1996) terbitan Lembaga Studi Jawa untuk tahun 1997. Sementara itu, penerima penghargaan jasa adalah Karkono Kamajaya untuk tahun 1995, Muryalelana untuk tahun 1996, dan Tadjib Ermadi untuk tahun 1997.

Dorongan dan motivasi yang juga dilandasi oleh sikap ketidakjeraan itu--sebagaimana telah dikemukakan—meru- pakan modal utama bagi pemerhati bahasa dan sastra Jawa.

Oleh karena itu, sesudah tahun 1980 muncul beberapa penerbit di Surabaya yang menerbitkan karya-karya sastra Jawa modern. Beberapa penerbit itu, di antaranya Bina Ilmu, Citra Jaya, Pusat Pengabdian pada Masyarakat IKIP Sura- baya, Yayasan “Djojo Bojo”, Sinar Wijaya, Fajar Harapan, dan Kelompok Seni Rupa Bermain. Penerbit Bina Ilmu menerbitkan roman sejarah Kadurakan ing Arya Blitar (Djuhari, 1981) dan Jago saka Bang Wetan: Sawunggaling (Tamsir A.S., 1981), novel Sapecak Bumi kang Kobong (1984), Ombak Sandyakalaning (1991), Pacar Gadhing (1991), dan Wong Wadon Dinarsih (1991) karangan Tamsir A.S., serta cerita anak-anak Putri Rembulan (Tantri Angsoka, 1981) dan Panunggang si Mega (Sari Sr., 1981); Citra Jaya menerbitkan roman sejarah Jaka Mandar (Trimo Sumo- diwiryo, 1983) dan Suromenggolo Warok Ponorogo (Purwowijoyo, 1983), serta cerita anak-anak Uwi Maratuwa (Yoodin, 1982), Wong Agung Wilis (Sri Adi Oetomo, 1983), Panji Laras (Yunani, 1984), dan Dewi Tanjung Sedhayung (Soenarto Timoer, 1984); Pusat Pengabdian pada Masyarakat IKIP Surabaya menerbitkan antologi guritan penyair wanita Kalung Barlean suntingan Suripan Sadi Hutomo (1988); Yayasan “Djojo Bojo” menerbitkan novel Sumpahmu- Sumpahku (Naniek P.M., 1993), Timbreng (S. Kadarjono, 1994), dan Nalika Langite Obah (Esmiet, 1997); Sinar Wijaya menerbitkan novel Kembang Alang-alang (Widi Pratiwi, 1993), Nalika Prau Gonjing (Ardini Pangastuti, 1993), Sintru, Oh Sintru (Suryadi W.S., 1993), Kerajut Benang Ireng (Harwimuka, 1993), dan Kubur Ngemut Wewadi (AY. Suharyono, 1993); Fajar Harapan menerbitkan cerita anak-anak Dewi Sanggalangit (Tantri Angsoka, 1983), Oleh karena itu, sesudah tahun 1980 muncul beberapa penerbit di Surabaya yang menerbitkan karya-karya sastra Jawa modern. Beberapa penerbit itu, di antaranya Bina Ilmu, Citra Jaya, Pusat Pengabdian pada Masyarakat IKIP Sura- baya, Yayasan “Djojo Bojo”, Sinar Wijaya, Fajar Harapan, dan Kelompok Seni Rupa Bermain. Penerbit Bina Ilmu menerbitkan roman sejarah Kadurakan ing Arya Blitar (Djuhari, 1981) dan Jago saka Bang Wetan: Sawunggaling (Tamsir A.S., 1981), novel Sapecak Bumi kang Kobong (1984), Ombak Sandyakalaning (1991), Pacar Gadhing (1991), dan Wong Wadon Dinarsih (1991) karangan Tamsir A.S., serta cerita anak-anak Putri Rembulan (Tantri Angsoka, 1981) dan Panunggang si Mega (Sari Sr., 1981); Citra Jaya menerbitkan roman sejarah Jaka Mandar (Trimo Sumo- diwiryo, 1983) dan Suromenggolo Warok Ponorogo (Purwowijoyo, 1983), serta cerita anak-anak Uwi Maratuwa (Yoodin, 1982), Wong Agung Wilis (Sri Adi Oetomo, 1983), Panji Laras (Yunani, 1984), dan Dewi Tanjung Sedhayung (Soenarto Timoer, 1984); Pusat Pengabdian pada Masyarakat IKIP Surabaya menerbitkan antologi guritan penyair wanita Kalung Barlean suntingan Suripan Sadi Hutomo (1988); Yayasan “Djojo Bojo” menerbitkan novel Sumpahmu- Sumpahku (Naniek P.M., 1993), Timbreng (S. Kadarjono, 1994), dan Nalika Langite Obah (Esmiet, 1997); Sinar Wijaya menerbitkan novel Kembang Alang-alang (Widi Pratiwi, 1993), Nalika Prau Gonjing (Ardini Pangastuti, 1993), Sintru, Oh Sintru (Suryadi W.S., 1993), Kerajut Benang Ireng (Harwimuka, 1993), dan Kubur Ngemut Wewadi (AY. Suharyono, 1993); Fajar Harapan menerbitkan cerita anak-anak Dewi Sanggalangit (Tantri Angsoka, 1983),

Sementara itu, di Semarang tercatat ada 3 penerbit yang memproduksi karya sastra Jawa modern, yaitu penerbit Yayasan Adhigama, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, dan IKIP Semarang Press. Penerbit Yayasan Adhigama menerbitkan kumpulan guritan Kidung Jaman (1987), kumpulan cerita pendek Nalika Srengenge durung Angslup (1996), dan novel Lintang (1997) karangan Ardini Pangas- tuti; Fakultas Sastra Universitas Diponegoro menerbitkan kumpulan guritan Lintang-lintang Abyor suntingan Soesatyo Darnawi (1993), dan IKIP Semarang Press menerbitkan kumpulan guritan dan novelet Anak Lanang (Bu Titis, 1993).

Di Yogyakarta tercatat ada 7 penerbit yang mempro- duksi karya sastra Jawa modern, yaitu penerbit Wirofens Group, Yayasan Pustaka Nusatama, Lembaga Studi Jawa (LSJ), Keluarga Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa (KJBSJ) FPBS IKIP Yogyakarta, Panitia Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY), dan Balai Bahasa Yogyakarta. Wirofens Group menerbitkan antologi guritan Kala Bendu karangan Mohammad Yamin (1991); Yayasan Pustaka Nusatama menerbitkan novel Lintang saka Padhepokan Gringsing (AY. Suharyono, 1994), antologi guritan Kristal Emas (1994) dan antologi cerita pendek Jangka (1995) karangan Suwardi Endraswara; dan Ratu (1995) karangan Krishna Mihardja, serta kumpulan cerita anak-anak Ajisaka (Ki Hadisukatno, 1994); Lembaga Studi Jawa menerbitkan novel Astirin Mbalela (Peni, 1995) dan kumpulan guritan Siter Gadhing (Djaimin K., 1996); Keluarga Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa (KJBSJ) FPBS IKIP Yogyakarta menerbitkan kumpulan cerita pendek

Mutiara Sagegem suntingan Suwardi Endraswara (1993); Panitia Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) menerbitkan kumpulan guritan dan cerita pendek Antologi Guritan dan Crita Cekak (1981), Rembulan ing Ngayogyakarta (1992), Cakra Manggilingan (1993), Pangilon (1994), Pesta Emas Sastra Jawa (1995), Pisungsung (1997); Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) menerbitkan antologi guritan dan cerita pendek Pemilihan Lurah (1996); dan Balai Bahasa Yogyakarta menerbitkan antologi guritan dan macapat Rembuyung (1997).

Surakarta yang pernah memegang rekor terbanyak penerbitan tahun 1960-an dengan 31 penerbit, pada tahun 1981--1997 hanya mempunyai jumlah penerbit sastra Jawa modern yang amat minim. Misalnya, penerbit Jagalabilawa yang menerbitkan roman sejarah Manggalayuda Gunturgeni (Any Asmara, 1982) dan Pandhawa Karya yang menerbitkan novelet (roman picisan) Ni Luh Lestari Putri Bali (Any Asmara, 1983).

Dalam kurun waktu 1981--1997, penerbit di Jakarta yang memproduksi karya sastra Jawa modern, antara lain, Balai Pustaka dan Keluarga Jurusan Bahasa Jawa (KJBJ) Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Balai Pustaka--yang pernah diberi hak istimewa untuk menerbitkan buku “Proyek Paket Buku” (sejak tahun 1976)--mengadakan peningkatan apresiasi sastra bagi karyawan (1981), membentuk Dewan Pertimbangan Perbukuan Nasional (31 Oktober 1986) dengan tugas (1) memberikan pertimbangan dan pendapat tentang masalah perbukuan, (2) memperoleh naskah yang bermutu, (3) mengadakan temu sastra/budaya, dan (4) menyusun rencana kerja perbukuan Balai Pustaka, serta statusnya--sejak

28 Desember 1985--ditingkatkan dari perusahaan negara

(PN) menjadi perusahaan umum (Perum) sehingga ber- dampak pada perubahan orientasi manajemen untuk meningkatkan kinerja sejak akhir September 1994 (Harahap, 1997 : 59--111). Dalam kurun waktu 1981--1997 Balai Pustaka hanya dapat menerbitkan sekitar 11 judul karya sastra Jawa modern. Karya sastra yang diterbitkan itu adalah novel Trajumas dan Kridhaning Ngaurip (Imam Sardjono, 1986), Dokter Wulandari (Yunani, 1987), dan Krikil-krikil Pesisir (Tamsir A.S., 1988), roman sejarah Nyi Ageng Serang (S. Sastroatmodjo, 1982), Prabu Suryakantha-Dewi Anang- garaga (saduran L. Mardiwarsita, 1987), dan Putri Messalina (saduran Soebagijo I.N., 1989), kumpulan guritan Warisan Geguritan Macapat (Suwardi, 1983), Guritan: Antologi Puisi Jawa Modern (1940--1980) dan Angin Sumilir himpunan Saripan Sadi Hutomo (1985 dan 1988), kumpulan cerita pendek Usada kang Pungkasan (Sukardo Hadisukarno, 1987), dan cerita anak-anak Mitos Rakyat Cirebon (Manto D.G., 1986). Sementara itu, Keluarga Jurusan Sastra Jawa FS UI menerbitkan kumpulan guritan Cuwilan Urip Jro Tembung (1996).

Berdasarkan uraian tersebut, selama 17 tahun (1981— 1997) terdapat (kira-kira) 18 penerbit yang memproduksi sekitar 58 judul buku karya sastra Jawa modern. Rinciannya adalah 7 penerbit di Surabaya memproduksi 24 judul, 3 penerbit di Semarang memproduksi 4 judul, 7 penerbit di Yogyakarta memproduksi 17 judul, 2 penerbit di Surakarta memproduksi 2 judul, dan 2 penerbit di Jakarta memproduksi

11 judul. Sementara itu, di dalam kehidupan modern yang serba canggih pada tahun 1980-an masih ada karya sastra Jawa yang diterbitkan dalam bentuk stensilan. Penerbitan itu, 11 judul. Sementara itu, di dalam kehidupan modern yang serba canggih pada tahun 1980-an masih ada karya sastra Jawa yang diterbitkan dalam bentuk stensilan. Penerbitan itu,

Di kalangan pers berbahasa Jawa, sejak tahun 1980 terbit beberapa tabloid dan majalah. Sebelum Pagagan hadir (April 1992), pada tanggal 15 Februari 1980 di Yogyakarta terbit tabloid Kandha Raharja, mingguan koran masuk desa (KMD) di bawah naungan grup perusahaan “Kedaulatan Rakyat”, tempat bernaungnya majalah Mekar Sari. Pada tahun berikutnya (Januari 1981), terbit majalah Pustaka Candra di Semarang yang dikelola oleh Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Tengah. Setelah tabloid Parikesit berhenti tahun 1987, pada tahun 1988 di Surakarta terbit majalah Mbangun Tuwuh--yang lebih banyak menam- pilkan ulasan dan kutipan karya-karya klasik--yang dikelola oleh Paguyuban Tridarma M.N. Di kota yang sama terbit Di kalangan pers berbahasa Jawa, sejak tahun 1980 terbit beberapa tabloid dan majalah. Sebelum Pagagan hadir (April 1992), pada tanggal 15 Februari 1980 di Yogyakarta terbit tabloid Kandha Raharja, mingguan koran masuk desa (KMD) di bawah naungan grup perusahaan “Kedaulatan Rakyat”, tempat bernaungnya majalah Mekar Sari. Pada tahun berikutnya (Januari 1981), terbit majalah Pustaka Candra di Semarang yang dikelola oleh Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Tengah. Setelah tabloid Parikesit berhenti tahun 1987, pada tahun 1988 di Surakarta terbit majalah Mbangun Tuwuh--yang lebih banyak menam- pilkan ulasan dan kutipan karya-karya klasik--yang dikelola oleh Paguyuban Tridarma M.N. Di kota yang sama terbit

Gambaran keberlangsungan hidup tabloid Panakawan dan majalah Prasasti yang tidak lama bertahan menunjukkan bahwa kegigihan para pengelola media massa cetak ber- bahasa jawa selalu menghadapi tantangan berat sehingga tidak mampu mempertahankan usahanya. Hal serupa juga terjadi setelah krisis ekonomi dan moneter menimpa negara dan bangsa Indonesia sejak Juli 1997. Beberapa bulan setelah krisis itu terjadi, tabloid Kandha Raharja dan Jawa Anyar gulung tikar, sedangkan majalah Penjebar Semangat, Jaya Baya, Mekar Sari, Djaka Lodang, dan Praba tetap bertahan dengan cara “mengencangkan ikat pinggang”. Di samping ada yang mengurangi jumlah halaman, tiras majalah-majalah itu juga mengalami penurunan cukup fantastis akibat banyak pelanggan mengundurkan diri. Tiras Penjebar Semangat turun menjadi 25.000 eksemplar setiap terbit, Jaya Baya Gambaran keberlangsungan hidup tabloid Panakawan dan majalah Prasasti yang tidak lama bertahan menunjukkan bahwa kegigihan para pengelola media massa cetak ber- bahasa jawa selalu menghadapi tantangan berat sehingga tidak mampu mempertahankan usahanya. Hal serupa juga terjadi setelah krisis ekonomi dan moneter menimpa negara dan bangsa Indonesia sejak Juli 1997. Beberapa bulan setelah krisis itu terjadi, tabloid Kandha Raharja dan Jawa Anyar gulung tikar, sedangkan majalah Penjebar Semangat, Jaya Baya, Mekar Sari, Djaka Lodang, dan Praba tetap bertahan dengan cara “mengencangkan ikat pinggang”. Di samping ada yang mengurangi jumlah halaman, tiras majalah-majalah itu juga mengalami penurunan cukup fantastis akibat banyak pelanggan mengundurkan diri. Tiras Penjebar Semangat turun menjadi 25.000 eksemplar setiap terbit, Jaya Baya

Telah dikemukakan bahwa kehadiran media massa cetak berbahasa Jawa sebagai saluran publikasi sastra Jawa menyebabkan sastra Jawa diwarnai oleh sastra majalah dan sastra koran atau sastra magersari. Sastra magersari itu sudah ada sejak awal terbitnya media massa cetak berbahasa Jawa. Sejak tahun 1945 sampai dengan 1997, misalnya, setidak- tidaknya ada 30 media massa cetak berbahasa Jawa yang menampilkan karya sastra Jawa modern. Dari jumlah itu, sampai dengan 1997 hanya tinggal 7 majalah yang masih bertahan hidup, yaitu Penjebar Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodang, Mekar Sari, Pustaka Candra, Mbangun Tuwuh, dan Pagagan, sedangkan Praba lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Di samping beberapa majalah berbahasa Jawa, ada sejumlah media massa cetak berbahasa Indonesia dan berbahasa asing yang ikut berperan menampilkan karya sastra Jawa modern. Pada tahun 1980-an, misalnya, sejumlah media massa cetak berbahasa Indonesia dan berbahasa asing yang ikut berperan serta itu adalah Birawa, Kedaulatan Rakyat, Surabaya Post, Widyaparwa, dan La Revue; sedangkan sebelum tahun 1980-an adalah Andika dan Gelora Berdikari.

Meskipun media massa cetak berbahasa Jawa seba- gian besar tidak berumur panjang, jumlah karya sastra Jawa modern yang pernah ditampilkan jauh lebih banyak daripada jumlah karya sastra Jawa modern yang dicetak dalam bentuk buku. Sebagai contoh, sampai dengan tahun 1980-an, cerita pendek dan cerita bersambung karya Any Asmara yang Meskipun media massa cetak berbahasa Jawa seba- gian besar tidak berumur panjang, jumlah karya sastra Jawa modern yang pernah ditampilkan jauh lebih banyak daripada jumlah karya sastra Jawa modern yang dicetak dalam bentuk buku. Sebagai contoh, sampai dengan tahun 1980-an, cerita pendek dan cerita bersambung karya Any Asmara yang

Penerbitan karya sastra Jawa modern, baik yang berbentuk buku maupun yang masih berbentuk sastra magersari, berkaitan erat dengan pengarang sebagai produsen atau pencipta dan pembaca sebagai konsumen. Dalam upaya memperoleh karya sastra Jawa modern, ada beberapa cara dan kiat yang dapat ditempuh oleh penerbit untuk menyeleksi karangan yang masuk. Penerbit Balai Pustaka, misalnya, telah lama mempunyai jaringan untuk memperoleh karangan dan mempunyai tim redaksi yang tangguh untuk menyeleksi karangan yang masuk. Sastrawan Jawa Hardjawiraga dan Senggono, misalnya, ditarik untuk bergabung di lembaga Penerbitan karya sastra Jawa modern, baik yang berbentuk buku maupun yang masih berbentuk sastra magersari, berkaitan erat dengan pengarang sebagai produsen atau pencipta dan pembaca sebagai konsumen. Dalam upaya memperoleh karya sastra Jawa modern, ada beberapa cara dan kiat yang dapat ditempuh oleh penerbit untuk menyeleksi karangan yang masuk. Penerbit Balai Pustaka, misalnya, telah lama mempunyai jaringan untuk memperoleh karangan dan mempunyai tim redaksi yang tangguh untuk menyeleksi karangan yang masuk. Sastrawan Jawa Hardjawiraga dan Senggono, misalnya, ditarik untuk bergabung di lembaga

Penerbit lain yang mempunyai jaringan untuk mem- peroleh karya sastra Jawa modern yang berkualitas adalah Pustaka Jaya dan Lembaga Studi Jawa (LSJ). Melalui pembaca canggih (pemerhati, peneliti, kritikus) yang ditugasi, Pustaka Jaya dapat menerbitkan novel Tanpa Daksa (Sudhar- ma K.D., 1976) dan Tunggak-tunggak Jati (Esmiet, 1976) serta cerita (prosa) tradisional Babad Tanah Jawa jilid I dan

II (Sugiarta Sriwibawa, 1976). Pada halaman terakhir kedua novel itu, antara lain, dinyatakan bahwa roman Jawi gagrag enggal punika sampun angsal kawigatosan saha pangalem- bana dening kalangan pers basa Jawi 'roman Jawa mutakhir ini telah mendapatkan perhatian dan penghargaan dari kalangan pers bahasa Jawa'. Sementara itu, Lembaga Studi Jawa di Yogyakarta dapat menerbitkan novel Astirin Mbalela (Peni, 1995) yang sebelumnya merupakan cerita bersambung dalam Djaka Lodang edisi 1993, dan kumpulan guritan Siter Gadhing (Djaimin K., 1996) yang sebelumnya dimuat di berbagai media massa cetak tahun 1987—1995. Pada tahun 1997, Siter Gadhing mendapatkan hadiah Rancage.

Cara yang dilakukan penerbit “Dua-A” dan Ariyati untuk memperoleh karangan berbeda dengan cara yang Cara yang dilakukan penerbit “Dua-A” dan Ariyati untuk memperoleh karangan berbeda dengan cara yang

Berkenaan dengan duduknya beberapa pengarang dalam jajaran redaksi dan lembaga penerbitan, karangan dapat diperoleh dari mereka. Misalnya, novel Sri Kuning karangan Hardjawiraga dan Kembang Kanthil karangan Senggono (kedua pengarangnya bekerja di Balai Pustaka), diterbitkan di Balai Pustaka tahun 1963. Sejumlah cerita pendek karangan Soebagijo I.N. (pemimpin redaksi) serta karangan Any Asmara dan Poerwadhie Atmodihardjo (kedu- anya anggota redaksi) dimuat dalam majalah Pustaka Roman dan Crita Cekak yang dipimpinnya. Hal serupa juga terjadi pada novel Dokter Wulandari karangan Yunani, salah seorang anggota redaksi majalah Jaya Baya, yang mula-mula merupakan cerita bersambung dalam majalah tersebut edisi 2 Oktober 1983—22 Januari 1984. Novel itu kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1986. Sementara itu, novel Timbreng karangan Satim Kadaryono (pemimpin redaksi Jaya Baya) mula-mula merupakan cerita bersambung dalam majalah Jaya Baya tahun 1963. Pada tahun 1994, novel Berkenaan dengan duduknya beberapa pengarang dalam jajaran redaksi dan lembaga penerbitan, karangan dapat diperoleh dari mereka. Misalnya, novel Sri Kuning karangan Hardjawiraga dan Kembang Kanthil karangan Senggono (kedua pengarangnya bekerja di Balai Pustaka), diterbitkan di Balai Pustaka tahun 1963. Sejumlah cerita pendek karangan Soebagijo I.N. (pemimpin redaksi) serta karangan Any Asmara dan Poerwadhie Atmodihardjo (kedu- anya anggota redaksi) dimuat dalam majalah Pustaka Roman dan Crita Cekak yang dipimpinnya. Hal serupa juga terjadi pada novel Dokter Wulandari karangan Yunani, salah seorang anggota redaksi majalah Jaya Baya, yang mula-mula merupakan cerita bersambung dalam majalah tersebut edisi 2 Oktober 1983—22 Januari 1984. Novel itu kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1986. Sementara itu, novel Timbreng karangan Satim Kadaryono (pemimpin redaksi Jaya Baya) mula-mula merupakan cerita bersambung dalam majalah Jaya Baya tahun 1963. Pada tahun 1994, novel

Cara lain yang dilakukan oleh penerbit untuk mem- peroleh karangan yang layak terbit dan layak jual adalah melalui hubungan kemitraan. Misalnya, hubungan yang baik antara penerbit Bina Ilmu dan pengarang Tamsir A.S. membuahkan hasil dengan diterbitkannya novel Ombak Sandyakalaning , Pacar Gadhing, dan Wong Wadon Dinarsih tahun 1991. Demikian pula, karangan Tiwiek S.A. mengalir ke majalah Djaka Lodang berkat eratnya hubungan Kusfandi (Penanggung Jawab Djaka Lodang) dengan Tiwiek S.A. Sementara itu, tiga karya Ardhini Pangastuti yang berupa kumpulan guritan Kidung Jaman (1987), kumpulan cerita pendek Nalika Srengenge durung Angslup (1997), dan novel Lintang (1997) dapat diterbitkan Yayasan Adhigama karena Banuarli Ambardi (sang suami) bekerja sebagai ilustrator di yayasan tersebut.

Pemerolehan karangan dapat pula dilakukan oleh penerbit dengan cara meminta kepada pengarang. Misalnya, untuk mengisi majalah Pagagan, tim redaksi meminta kepada anggota Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) karena majalah tersebut merupakan wadah kreativitas bagi mereka. Penerbit biasa pula meminta kepada para pengarang berbakat untuk memperoleh karangan yang berkualitas. Misalnya, novel Titi karangan Soedharma K.D. diterbitkan oleh Proyek

Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Tengah (1978). Hal serupa dilakukan pula oleh tim redaksi suatu majalah, misalnya Mekar Sari meminta karangan berbentuk esai kepada beberapa penulis di Balai Bahasa Yogyakarta. Sementara itu, ada hal yang menarik ketika sedang maraknya roman picisan tahun 1960-an. Menurut pengakuan M. Tahar (18 Juni 2000), mantan ketua Organisasi Pengarang Sastra Jawa Komisariat DIY, ada kesepakatan antara penerbit dan pengarang bahwa besarnya royalti untuk pengarang kala itu 10%--15% dari hasil penjualan 3.000 eksemplar buku yang diterbitkan.

Karangan dapat pula dijaring dengan cara memasang iklan atau pengumuman, seperti yang dilakukan oleh majalah Medan Bahasa, Cendrawasih, Pustaka Candra, dan Prasasti. Dalam majalah itu dipasang pengumuman bahwa redaksi menerima sumbangan karangan dan akan memberikan imbalan bagi karangan yang dimuat.

Sebaliknya, ada beberapa penerbit dan redaksi yang bersikap pasif sehingga pemerolehan karangan hanya dila- kukan dengan cara menunggu kiriman dari pengarang. Sikap demikian, antara lain, dilakukan oleh Yayasan Pustaka Nusatama. Hal itu dilakukan karena penerbitan karya sastra Jawa modern tidak termasuk program prioritas akibat seret- nya daya jual. Pemerolehan karangan dengan cara menunggu juga dilakukan oleh kalangan pers karena tanpa ada permintaan pun banyak naskah yang masuk.

Cara lain untuk mendapatkan karangan adalah dengan mengadakan sayembara mengarang. Cara itu, antara lain, dilakukan oleh Pusat Kebudayaan Jawa Tengah dan Panitia Festival Kesenian Yogyakarta. Jika tersedia dana, karangan Cara lain untuk mendapatkan karangan adalah dengan mengadakan sayembara mengarang. Cara itu, antara lain, dilakukan oleh Pusat Kebudayaan Jawa Tengah dan Panitia Festival Kesenian Yogyakarta. Jika tersedia dana, karangan

Telah dikemukakan bahwa penerbitan karya sastra Jawa modern erat hubungannya dengan pembaca sebagai konsumen. Untuk menarik minat pembaca, ada beberapa kiat yang dilakukan oleh penerbit. Kiat yang dilakukan oleh Balai Pustaka setiap tahun, misalnya, berupa penyebaran katalog dan leaflet dalam jumlah besar ke berbagai toko buku, agen, dan perpustakaan, serta pematokan harga buku yang relatif lebih murah daripada harga buku yang diterbitkan oleh penerbit lain. Pada tahun 1985, misalnya, Balai Pustaka menyebarkan dua macam katalog yang diberi judul Daftar Buku Bacaan Umum dan Ilmu Pengetahuan 1985 (berukuran

9 cm x 21 cm, tebal 44 halaman) dan Daftar Buku Pelajaran 1995 berbentuk leaflet (berukuran 54 cm x 21 cm). Selain memuat daftar buku dan harganya, kedua selebaran itu juga mencantumkan nama dan alamat toko buku (sebagai agen) di

23 provinsi (kecuali Bengkulu, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara). Daya tarik lain bagi pembaca dapat pula berupa gambar sampul dan judul buku. Gambar sampul (depan) buku-buku cerita biasanya dibuat lebih menarik. Gambar buku-buku terbitan Balai Pustaka, misalnya, tetap memper- tahankan nilai estetis dan didaktisnya.

Gambar sampul tersebut berbeda dengan gambar sampul buku yang berbau roman picisan terbitan penerbit swasta. Kebanyakan roman-roman picisan menampilkan gambar wanita dengan berbagai pose, dari yang sederhana sampai yang “mendebarkan”, dan tidak jarang pewarnaannya sangat mencolok. Misalnya, gambar sampul roman picisan Cobaning Katresnan (Nial S.B.,1966), Tatiek Indriani Putri

Sala (Any Asmara, 1972), dan Ni Luh Lestari Putri Bali (Any Asmara, 1983), serta novel Lintang (Ardhini Pangas- tuti, 1997).

Sementara itu, untuk menarik perhatian pembaca, terutama pembaca pria, judul karya sastra juga sering meng- gunakan nama wanita atau merujuk pada wanita. Misalnya, Sri Kuning (Hardjawiraga, 1953), Kembang Kanthil (Seng- gono, 1957), Dhawet Ayu (Widi Widajat, 1956), dan Dokter Wulandari (Yunani, 1986). Oleh sebab itu, tidak aneh jika judul karangan kadang-kadang diubah oleh penerbit atau redaktur, misalnya Randha Teles ‘Janda Basah’ (janda kaya raya) karya Esmiet (1965). Karya itu aslinya berjudul Kesaput ing Ampak-ampak ‘Tertutup Halimun’ yang cukup estetis. Dengan judul baru itu secara emplisit seolah pembaca digiring untuk menafsirkan secara erotis atau pornografis. Hal yang sama menimpa karangan Suparto Brata, Kaum Republik . Ketika dimuat bersambung dalam Panyebar Semangat tahun 1958, judul itu diubah menjadi Jiwa Republik (Brata, 1981:31). Ketika diterbitkan oleh Ariyati (1967) judul karya itu berubah menjadi Lara Lapane Kaum Republik . Bahkan, kadang-kadang pengubahan terjadi pada teks cerita seperti yang menimpa karya Suparto Brata. Pengubahan itu berpengaruh pada nilai sastranya sehingga menimbulkan kegusaran pengarangnya (Brata, 1981:38). Pengubahan terjadi pula sesuai dengan kewenangan redaktur sehingga redaktur melakukan penyempurnaan untuk meme- nuhi selera pembaca. Hal itu, antara lain, dilakukan oleh Satim Kadaryono selaku redaktur Panyebar Semangat. Ia tidak hanya mengubah, tetapi juga merampungkan cerita Candhikala karangan Basuki Rachmat ketika dimuat dalam majalah tersebut (Brata, 1981: 41).

Daya tarik karya sastra bagi pembaca dapat pula berupa iklan. Sehubungan dengan itu, dalam roman picisan sering dimuat iklan tentang buku yang sudah terbit dan yang akan terbit, misalnya dalam Udan Barat Salah Mangsa (Hardjana H.P., 1966) terbitan Maria dan Rajapati kang Nyalawadi (Asmara Hadi, 1966) terbitan Marfiah. Iklan dapat pula berupa imbauan seperti yang terdapat dalam lima novel seri Puspus terbitan Sinar Wijaya (1993). Bahkan, dalam lima novel seri Puspus juga dipajang sambutan Menteri Pene- rangan, Harmoko, sebagai daya dorong dan daya tarik (kepada pengarang, penerbit, dan pembaca) bagi publik sastra Jawa. Di samping itu, kadang-kadang dalam novel terdapat pemberitahuan bahwa karya tersebut diterbitkan untuk bahan penunjang pengajaran bahasa dan sastra Jawa. Hal ini, misalnya, dinyatakan dalam novel Timbreng (S. Kadarjono, 1994) terbitan Yayasan “Djojo Bojo”.

Ada lagi sarana lain yang dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi pembaca, yakni dengan menampilkan nama samaran wanita. Banyak pengarang sastra Jawa berjenis kelamin pria menggunakan nama samaran wanita. Hal itu dilakukan tidak lain untuk menarik minat pembaca. Misalnya, Achmad Ngubaini Ranusastra Asmara menggunakan nama samaran Any Asmara, Suparto Brata menggunakan nama samaran Peni dan Aryati, Tamsir A.S. menggunakan nama samaran Tantri Angsoka; Suwignya Adi menggunakan nama samaran Tiwiek S.A.; dan Sapardi Djoko Damono meng- gunakan nama samaran Naning Saputra.

Penyebarluasan karya-karya sastra Jawa modern dapat dilakukan oleh penulisnya sendiri, seperti yang dilakukan oleh Surjanto Sastroatmodjo dan Diah Hadaning. Surjanto Sastroatmodjo menyebarluaskan karyanya dalam jumlah Penyebarluasan karya-karya sastra Jawa modern dapat dilakukan oleh penulisnya sendiri, seperti yang dilakukan oleh Surjanto Sastroatmodjo dan Diah Hadaning. Surjanto Sastroatmodjo menyebarluaskan karyanya dalam jumlah

Media radio dan media pentas dapat juga dijadikan sebagai sarana untuk membangkitkan minat baca sastra Jawa modern. RRI Nusantara II Yogyakarta, misalnya, menam- pilkan Pak Katna, dan Radio Reca Buntung Yogyakarta menampilkan Abbas C.H. dalam acara “pembacaan buku sastra Jawa”. Karena acara pembacaan buku itu demikian menarik, beberapa di antara pendengar kemudian mencari buku atau teks itu untuk dibaca. Sementara itu, pentas baca puisi dan atau cerita pendek Jawa dapat pula menarik perhatian penonton sehingga di antara mereka ada yang kemudian menjadi penggemar. Pentas semacam itu biasa dilakukan oleh Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dalam pertemuan rutin sekaligus sebagai sarana pembinaan kepe- ngarangan bagi para anggota sanggar.