Kritik Sastra pada Masa Orde Baru
3.5.2 Kritik Sastra pada Masa Orde Baru
Kegiatan kritik sastra Jawa pada masa Orde Baru perlu mendapat perhatian walaupun keadaan kritik seperti masa sebelumnya masih berlanjut sampai dengan tahun 1970- an. Dalam perjalanan waktu, kritik sastra dalam majalah makin meluas jangkauannya, tidak sekadar cerpen saja yang dikritik, tetapi juga guritan dan cerbung.
Kritik yang pertama muncul pada masa Orde Baru ditulis oleh Patrissiwi Djiwadi. Kritik itu membahas masalah keagungan (glory) dalam karya sastra. Dikatakannya bahwa pada masa ini cerpen lebih dominan daripada novel (cer- bung), isi cerita cerpen-cerpen itu cukup variatif, dan bahasanya komunikatif. Hanya saja, masalah teknik pence- ritaan masih lemah. Misalnya, alur cerita kurang rapi, akhir cerita membosankan, cerita berkisar pada hubungan cinta asmara sehingga cenderung menjadi cerita hiburan. Latar belakang sosial budaya tokoh pun belum diolah dengan baik sehingga tidak membentuk karakter tokoh yang utuh. Peristiwa sosial yang menjadi latar, misalnya revolusi kemerdekaan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial juga tidak digarap dengan baik. Dalam karya kritiknya itu Patrissiwi membandingkan masalah tersebut dengan sastra Indonesia yang menurutnya sangat berbeda dalam hal penggarapan latar sosial. Hal itu terlihat, misalnya, dalam karya-karya Pramoe- dya Ananta Toer, Mochtar Lubis, N.H. Dini, Marga T., dan Umar Kayam. Kesenjangan itu, menurutnya, karena sistem kritik dalam sastra Jawa belum berjalan sebagaimana mesti- nya. Kritikus sastra Jawa, pada umumnya, masih segan untuk Kritik yang pertama muncul pada masa Orde Baru ditulis oleh Patrissiwi Djiwadi. Kritik itu membahas masalah keagungan (glory) dalam karya sastra. Dikatakannya bahwa pada masa ini cerpen lebih dominan daripada novel (cer- bung), isi cerita cerpen-cerpen itu cukup variatif, dan bahasanya komunikatif. Hanya saja, masalah teknik pence- ritaan masih lemah. Misalnya, alur cerita kurang rapi, akhir cerita membosankan, cerita berkisar pada hubungan cinta asmara sehingga cenderung menjadi cerita hiburan. Latar belakang sosial budaya tokoh pun belum diolah dengan baik sehingga tidak membentuk karakter tokoh yang utuh. Peristiwa sosial yang menjadi latar, misalnya revolusi kemerdekaan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial juga tidak digarap dengan baik. Dalam karya kritiknya itu Patrissiwi membandingkan masalah tersebut dengan sastra Indonesia yang menurutnya sangat berbeda dalam hal penggarapan latar sosial. Hal itu terlihat, misalnya, dalam karya-karya Pramoe- dya Ananta Toer, Mochtar Lubis, N.H. Dini, Marga T., dan Umar Kayam. Kesenjangan itu, menurutnya, karena sistem kritik dalam sastra Jawa belum berjalan sebagaimana mesti- nya. Kritikus sastra Jawa, pada umumnya, masih segan untuk
Di samping itu, Patrissiwi juga menyoroti elemen- elemen di luar sastra. Dijelaskannya bahwa bagi pengarang kritik berfungsi sebagai pendukung dan pendorong kemajuan. Oleh karena itu, kritikus yang baik adalah kritikus yang berwawasan luas dan memahami konsep-konsep keindahan. Ditambahkan bahwa kritik sastra yang baik harus masuk ke jagat wawasan pengarang dan harus didukung oleh wawasan luas pengarangnya. Bila wawasan pengarang sempit, kritik yang multidimensional akan sulit diterima, terlebih jika kritik itu masih bergaya lama. Kritik itu tidak akan berfungsi semestinya karena acuan kritikus berbeda dengan konsep estetika sastra modern. Apabila kritikus berpegang pada visi sastra tradisional, pengarang sastra Jawa modern pasti akan disebut sebagai generasi pemberontak dan perusak tatanan yang mapan. Sebagai catatan akhir, Patrissiwi menyatakan bahwa pada awal masa Orde Baru sastra Jawa belum banyak bergeser dari masa Orde Lama sehingga tidak ada hal khusus yang perlu dicatat karena visi pengarang belum tampak.
Satu hal yang perlu dicermati dalam kritik Patrissiwi ialah bahwa di dalam jagat sastra Jawa pada awal masa Orde Baru muncul generasi baru pengarang Jawa yang ingin menyegarkan kesastraan Jawa.Kelompok baru itu menam- pakkan diri secara konkret sejak pertengahan tahun 1970-an melalui Grup Diskusi Sastra Blora pimpinan Ngalimu Anna Salim dan Sanggar Sasanamulya di Baluwerti, Sala, pimpinan Arswendo Atmowiloto. Dari grup-grup sastrawan itulah bangkit generasi muda pecinta sastra Jawa. Dengan demikian, tahun 1970-an tidak hanya menjadi titik waktu kebangkitan pengarang, tetapi juga kebangkitan pembaca kritis (kritikus) Satu hal yang perlu dicermati dalam kritik Patrissiwi ialah bahwa di dalam jagat sastra Jawa pada awal masa Orde Baru muncul generasi baru pengarang Jawa yang ingin menyegarkan kesastraan Jawa.Kelompok baru itu menam- pakkan diri secara konkret sejak pertengahan tahun 1970-an melalui Grup Diskusi Sastra Blora pimpinan Ngalimu Anna Salim dan Sanggar Sasanamulya di Baluwerti, Sala, pimpinan Arswendo Atmowiloto. Dari grup-grup sastrawan itulah bangkit generasi muda pecinta sastra Jawa. Dengan demikian, tahun 1970-an tidak hanya menjadi titik waktu kebangkitan pengarang, tetapi juga kebangkitan pembaca kritis (kritikus)
Perlu dipahami bahwa masalah perembesan gaya dari luar ke dalam sastra Jawa tidak perlu dirisaukan karena pada hakikatnya tidak ada kebudayaan yang murni, seperti dikatakan oleh Poerwadhie Atmodihardjo dalam kritiknya “Bumi lan Langit”. Peristiwa semacam itu terjadi juga pada sastra Indonesia, misalnya ketika Ramadhan K.H. terpen- garuh oleh gaya Cianjuran dan W.S. Rendra terpengaruh oleh lagu dolanan anak-anak. Di dalam kritik itu ia membantah Patrissiwi yang mengelompokkan dirinya ke dalam kelompok lama atau sebagai manusia perbatasan yang pantas mem- peroleh penghargaan. Sastra Jawa menjadi pingsan karena terlalu membelai-belai sastra lama dan membendung arus dinamika manusia modern. Golongan baru sepantasnya merasa malu karena belum dapat menampilkan karya sastra yang unggul. Kenyataan itu diperparah oleh golongan lama yang mengisolasi diri dari perkembangan dan kemajuan zaman. Menurut Poerwadhie, Patrissiwi menyebutkan bahwa pengarang Jawa yang termasuk pelopor golongan baru pada awal kemerdekaan hanyalah Rachmadi K. dan St. Iesma- niasita. Bagaimana kedudukan Any Asmara, Satim Kadar- jono, Sri Hadidjojo, Widi Widajat, dan Soebagijo I.N.? Kata Patrissiwi, para pengarang itu memang pandai menulis cerita, tetapi ceritanya belum menukik ke jagat kemanusiaan. Any Asmara yang sudah lama menulis pun belum menunjukkan Perlu dipahami bahwa masalah perembesan gaya dari luar ke dalam sastra Jawa tidak perlu dirisaukan karena pada hakikatnya tidak ada kebudayaan yang murni, seperti dikatakan oleh Poerwadhie Atmodihardjo dalam kritiknya “Bumi lan Langit”. Peristiwa semacam itu terjadi juga pada sastra Indonesia, misalnya ketika Ramadhan K.H. terpen- garuh oleh gaya Cianjuran dan W.S. Rendra terpengaruh oleh lagu dolanan anak-anak. Di dalam kritik itu ia membantah Patrissiwi yang mengelompokkan dirinya ke dalam kelompok lama atau sebagai manusia perbatasan yang pantas mem- peroleh penghargaan. Sastra Jawa menjadi pingsan karena terlalu membelai-belai sastra lama dan membendung arus dinamika manusia modern. Golongan baru sepantasnya merasa malu karena belum dapat menampilkan karya sastra yang unggul. Kenyataan itu diperparah oleh golongan lama yang mengisolasi diri dari perkembangan dan kemajuan zaman. Menurut Poerwadhie, Patrissiwi menyebutkan bahwa pengarang Jawa yang termasuk pelopor golongan baru pada awal kemerdekaan hanyalah Rachmadi K. dan St. Iesma- niasita. Bagaimana kedudukan Any Asmara, Satim Kadar- jono, Sri Hadidjojo, Widi Widajat, dan Soebagijo I.N.? Kata Patrissiwi, para pengarang itu memang pandai menulis cerita, tetapi ceritanya belum menukik ke jagat kemanusiaan. Any Asmara yang sudah lama menulis pun belum menunjukkan
Pada masa awal Orde Baru (1970-an) terdapat bebe- rapa peristiwa penting yang perlu dicatat, yaitu bahwa kritik sastra tidak hanya ditulis dalam media massa berbahasa Jawa, tetapi juga dalam media massa berbahasa Indonesia (Sinar Harapan, Kompas, Suara Karya, Suara Merdeka, Surabaya Post, Kedaulatan Rakyat, dan sebagainya). Fakta itu menguatkan kenyataan tentang eksodusnya sejumlah penulis Jawa ke sastra Indonesia dalam penulisan esai dan kritik. Kritik sastra Jawa dalam media massa berbahasa Indonesia itu umumnya ditulis oleh pengarang Indonesia etnis Jawa, misalnya Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, dan Arswendo Atmowiloto. Pengarang seperti Umar Kayam dan Sapardi Djoko Damono dapat mengkritik sastra Jawa modern karena mereka memiliki rasa kejawaan dan memiliki kemampuan berolah sastra. Apalagi, Sapardi Djoko Damono dengan nama samaran Naning Saputra pada tahun 1960-an pernah terlibat secara langsung sebagai pengarang roman panglipur wuyung. Sementara itu, Arswendo Atmowiloto mampu menulis kritik sastra Jawa karena ia sebelumnya telah berkecimpung dalam penulisan sastra Jawa melalui "Sanggar Sasanamulya” binaannya di Baluwerti (Sala). Namun, karena Pada masa awal Orde Baru (1970-an) terdapat bebe- rapa peristiwa penting yang perlu dicatat, yaitu bahwa kritik sastra tidak hanya ditulis dalam media massa berbahasa Jawa, tetapi juga dalam media massa berbahasa Indonesia (Sinar Harapan, Kompas, Suara Karya, Suara Merdeka, Surabaya Post, Kedaulatan Rakyat, dan sebagainya). Fakta itu menguatkan kenyataan tentang eksodusnya sejumlah penulis Jawa ke sastra Indonesia dalam penulisan esai dan kritik. Kritik sastra Jawa dalam media massa berbahasa Indonesia itu umumnya ditulis oleh pengarang Indonesia etnis Jawa, misalnya Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, dan Arswendo Atmowiloto. Pengarang seperti Umar Kayam dan Sapardi Djoko Damono dapat mengkritik sastra Jawa modern karena mereka memiliki rasa kejawaan dan memiliki kemampuan berolah sastra. Apalagi, Sapardi Djoko Damono dengan nama samaran Naning Saputra pada tahun 1960-an pernah terlibat secara langsung sebagai pengarang roman panglipur wuyung. Sementara itu, Arswendo Atmowiloto mampu menulis kritik sastra Jawa karena ia sebelumnya telah berkecimpung dalam penulisan sastra Jawa melalui "Sanggar Sasanamulya” binaannya di Baluwerti (Sala). Namun, karena
Beberapa kritikus sastra Jawa, seperti Suripan Sadi Hutomo dan Suparto Brata, sering menulis kritik dalam bahasa Jawa dan Indonesia. Suripan Sadi Hutomo yang profesi pokoknya sebagai dosen itu memang menekuni dunia kritik. Selain dalam media berbahasa Jawa, tulisan-tulisan kritiknya banyak tersebar dalam berbagai media berbahasa Indonesia (Kompas, Sinar Harapan, dan Basis). Sementara itu, Suparto Brata--pengarang dwibahasawan, Jawa dan Indonesia--pada kesempatan tertentu juga menulis kritik sastra Jawa dalam Kompas, Sinar Harapan, dan Surabaya Post untuk tujuan pengembangan informasi. Beberapa kri- tikus dwibahasawan lainnya adalah Susatya Darnawi, Poer Adhie Prawoto, dan Suryanto Sastroatmodjo; dan mereka biasanya menulis dalam Kompas, Suara Merdeka, Jawa Post, Surabaya Post, dan Bernas.
Sejumlah kritikus yang hanya menulis dalam bahasa Jawa di antaranya adalah Muryalelana, Lesmanadewa Poerbakoesoema, Ngalimu Anna Salim, Poerwadhi Atmo- dihardjo, Moch. Nursyahid P., dan Esmiet. Pilihan bahasa itu bukan karena mereka tidak mampu berbahasa Indonesia, melainkan mereka memang memiliki tujuan tertentu untuk melestarikan tradisi bahasa dan sastra Jawa dan menyebar- luaskan informasi kepada masyarakat pemakai bahasa Jawa. Konsumen atau pembaca kritik sastra berbahasa Jawa itu pada umumnya terbatas pada mereka yang membaca atau berlangganan media massa berbahasa Jawa, misalnya Panje- bar Semangat, Jaya Baya, dan Mekar Sari.
Sebagaimana telah dikemukakan, kritik merupakan subelemen yang penting, baik untuk pengembangan sistem Sebagaimana telah dikemukakan, kritik merupakan subelemen yang penting, baik untuk pengembangan sistem
Kritik sastra Jawa modern yang bersifat umum banyak ditulis orang, di antaranya oleh St. Iesmaniasita, Susilomurti, Sunarno Sisworahardjo, Lis Djajawikarso, Wuryo Tamtama, Susatyo Darnawi, Satim K., Moch. Nuryahid P., R.M. Anggajali, J.F.X. Hoery, R.S. Subali- dinata, dan Suripan Sadi Hutomo. Di antara mereka, kritikus yang paling produktif adalah Suripan Sadi Hutomo, seorang guru besar sastra Jawa yang sekaligus penyair (penggurit). Profesinya sebagai dosen bahasa dan sastra Jawa sangat menunjang kegiatannya sebagai penulis sekaligus kritikus yang tangguh. Ia tidak hanya menulis kritik secara individual di media massa atau di seminar-seminar, tetapi juga memberikan kritik khusus bagi rubrik asuhannya (“Gupita Sari” dalam Mekar Sari dan “Taman Guritan” dalam Panje- bar Semangat).
Kendati cenderung bersifat umum, tidak berarti tidak ada karya kritik sastra Jawa yang menggarap aspek-aspek khusus. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya kritik itu bersifat umum, tetapi di dalamnya ada aspek tertentu yang lebih dominan dibicarakan. Karya-karya kritik yang secara domi- nan membahas elemen-elemen pendukung internal karya sastra, di antaranya ditulis oleh Tera, Muryalelana, Suripan Sadi Hutomo, J.F.X. Hoery, M. Tayib Muryanto, Ngalimu Anna Salim, Per Adhie Prawoto, dan Suwarno Pragolapati. Di antara mereka, yang secara dominan menyoroti puisi adalah Prijono, Sumohadi Marsis, Moch. Nursyahid P., Suripan Sadi Hutomo, Ngalimu Anna Salim, Aryo Balitar (Tamsir A.S.), dan Poer Adhie Prawoto. Bagi mereka, mengomentari atau menanggapi puisi dianggap paling mudah karena kritikus dapat berhadapan langsung dan dapat membaca puisi itu dengan cepat (selesai). Kecen-derungan itu dimungkinkan karena bentuk puisi umumnya pendek.
Sementara itu, jenis kritik yang membahas masalah kepengarangan, di antaranya, ditulis oleh Tj. M., Murya- lelana, Aryo Balitar, dan Sari S.T. atau Tamsir A.S.Masalah penerbit dan penerbitan dibahas dalam karya-karya Imam Supardi, Soebagijo I.N., dan Lis Djojowisastro. Masalah pembaca sastra Jawa, termasuk pembaca kritis, terlihat dibahas dalam karya-karya Ngalimu Anna Salim, Suripan Sadi Hutomo, Moch. Nursyahid P., Murjolelono, dan Lis Djojowisastro. Namun, dapat diamati bahwa dari ketiga kelompok tersebut, yang paling dominan adalah kritik tentang pengarang, kemudian disusul kritik tentang penerbit. Masalah pembaca, pengayom, dan masalah kritik itu sendiri kurang mendapat perhatian dari para kritikus Jawa.
Seperti diketahui bahwa kualitas dan atau objektivitas sebuah kritik amat dipengaruhi oleh latar belakang kritikus, terutama latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan profe- sionalitasnya. Latar belakang pendidikan dan profesi kritikus sastra Jawa modern pada masa Orde Baru cukup bervariasi karena sebenarnya, seperti halnya profesi pengarang, menjadi kritikus bukanlah pekerjaan utama yang menjanjikan karena profesi itu juga tidak dapat diharapkan menjadi penopang hidup. Oleh sebab itu, sebagai kritikus sastra Jawa tidak lebih sebagai pekerjaan sambilan karena para kritikus sastra Jawa berprofesi pokok sebagai guru, wartawan, pegawai-nonguru, dan sebagainya. Namun, yang paling dominan adalah guru. Hal itu dimungkinkan karena guru relatif memiliki kemam- puan dan pengetahuan yang lebih dalam hal bahasa Jawa. Dengan berbekal penguasaan bahasa dan sastra itulah guru mampu menjadi penulis sekaligus kritikus. Para kritikus (dan pengarang) yang berprofesi sebagai guru, antara lain, Poer Adhie Prawoto, Muryolelono (Doyosantoso), Lis Djojowi- sastro (St. Iesmaniasita), Ngalimu Anna Salim, Susilomurti (sebelum menjadi wartawan), Esmiet, dan Tamsir A.S.
Sementara itu, para kritikus yang berprofesi sebagai wartawan, di antaranya, Susilomurti, Moch. Nursyahid P., Ragil Suwarno Pragolapati, Suryanto Sastroaatmodjo, Sarworo Suprapto, Soebagijo I.N., Tajib Muryanto, dan J.F.X. Hoery. Profesi ini berhubungan dengan tradisi baca dan tulis (terutama tentang sastra Jawa), dan fakta itulah yang memotivasi mereka untuk menulis karya-karya kritik. Data menunjukkan, jumlah kritikus yang berprofesi sebagai dosen bahasa dan sastra Jawa di perguruan tinggi sangat sedikit. Di antara mereka, misalnya, Suripan Sadi Hutomo, Tamsir As. (Arya Balitar), Susatyo Darnawi, Setya Yuwono Sudikan,
Kelik Eswe (Sugeng Wiyadi), dan R.S. Subalidinata. Sementara itu, beberapa kritikus lainnya, misalnya Sumohadi Marsis dan Tera, tidak diketahui profesinya. Mungkin sekali mereka adalah wiraswastawan, bahkan mungkin guru atau wartawan.
Selanjutnya, dalam paparan berikut, secara berurutan akan dibahas kondisi kritik sastra Jawa pada masa Orde Baru, baik yang membahas elemen mikro (puisi dan prosa) maupun elemen makro (pengarang, penerbit, dan pembaca) sastra. Khusus mengenai kritik drama tidak dibicarakan secara khusus karena kenyataan membuktikan bahwa dalam khazanah sastra Jawa modern sastra (naskah) drama belum memperlihatkan perkembangan yang berarti sehingga kritik drama pun tidak berkembang.
a. Kritik terhadap Puisi
Pada awal tahun 1970-an, muncul artikel berjudul "Trejenge Geguritan Anyar" (Panjebar Semangat, 24 Juli 1971) tulisan Moch. Nursyahid P. Artikel tersebut mempertanyakan konsep bentuk dan visi puisi Jawa modern (guritan). Hal yang hampir sama, yaitu mempertanyakan konsep puisi Jawa modern, juga muncul dalam tulisan Suripan Sadi Hutomo berjudul "Kepriye Wujude Puisi Gagrag Anyar" (Panjebar Semangat, 24 Januari 1972). Sementara itu, kritik terhadap puisi terjemahan ditulis oleh Suripan Sadi Hutomo dengan judul "Guritan Jarwan" (Jaya Baya, 16 Desember 1973). Dalam kritik itu Suripan Sadi Hutomo mengemukakan beberapa aspek pokok, yaitu bahwa seorang penerjemah (1) sebaiknya seorang penyair, (2) harus selektif terhadap puisi yang akan diterjemahkan, dan (3) Pada awal tahun 1970-an, muncul artikel berjudul "Trejenge Geguritan Anyar" (Panjebar Semangat, 24 Juli 1971) tulisan Moch. Nursyahid P. Artikel tersebut mempertanyakan konsep bentuk dan visi puisi Jawa modern (guritan). Hal yang hampir sama, yaitu mempertanyakan konsep puisi Jawa modern, juga muncul dalam tulisan Suripan Sadi Hutomo berjudul "Kepriye Wujude Puisi Gagrag Anyar" (Panjebar Semangat, 24 Januari 1972). Sementara itu, kritik terhadap puisi terjemahan ditulis oleh Suripan Sadi Hutomo dengan judul "Guritan Jarwan" (Jaya Baya, 16 Desember 1973). Dalam kritik itu Suripan Sadi Hutomo mengemukakan beberapa aspek pokok, yaitu bahwa seorang penerjemah (1) sebaiknya seorang penyair, (2) harus selektif terhadap puisi yang akan diterjemahkan, dan (3)
Pada umumnya, puisi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa diambil dari puisi luar negeri atau puisi Indonesia, tetapi sebagai puisi induk yang akan diter- jemahkan, puisi asing itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, puisi berjudul "Nyanyian Malam Nelayan Andalusia" karya F. Garcia Lorca (terjemahan Taslim Ali) diterjemahkan oleh Herdian Suhardjono menjadi "Kidung Wengi saka Andalusia". Terjemahan lainnya--dalam artikel yang sama—yang ditulis oleh Suripan Sadi Hutomo adalah puisi Chairil Anwar berjudul "Derai-Derai Cemara" menjadi "Cemara Kemrasak" (Jaya Baya, 7 Maret 1966). Menurut Suripan Sadi Hutomo, melihat puisi terjemahan harus sampai kepada penilaian apakah puisi hasil terjemahan itu pantas disebut sebagai terjemahan atau hanya sekedar salinan.
Kritik terhadap guritan pendek dilakukan oleh Nga- limu Anna Salim dalam tulisan berjudul "Guritan Cendhak kang Mumpuni" (Jaya Baya, 23 Juni 1974) dan tulisan Suripan Sadi Hutomo berjudul "Epigram ing Kasu-sastran Jawa Anyar" (Jaya Baya, 26 Januari 1975) (Widati, 1999:96). Ngalimu Anna Salim mengawali pembahasannya tentang puisi atau guritan pendek, yaitu jenis puisi lirik yang ditulis dalam jumlah larik yang minim. Dikatakannya bahwa puisi pendek mempunyai nilai yang baik jika mampu menge- mukakan pikiran yang utuh melalui pilihan kata dan bunyi yang tepat. Jadi, kesempurnaan puisi terletak pada kesem- purnaan pengalaman dan pikiran, bukan pada panjang atau pendeknya. Guritan pendek yang cukup baik, menurutnya, tampak pada guritan berjudul "Blora" karya Suripan Sadi
Hutomo (Jaya Baya, 3 Maret 1974), "Crita Lawas" karya Jayus Pete (Jaya Baya, 3 Maret 1974), "Mripat" karya Moch. Nursyahid P. (Darma Nyata, November 1972), dan "Temanten" karya Anjrah Lelana Brata (1971).
Kritik tentang puisi pendek tersebut kemudian ditang- gapi oleh Suripan Sadi Hutomo sendiri dalam artikel berjudul “Epigram ing Kasusastran Jawa Anyar” (Jaya Baya, 26 Januari 1975). Dalam artikel itu Suripan menunjukkan bahwa kritik puisi cenderung bersifat objektif karena di dalamnya pasti disertai penilaian tentang kelebihan dan kekurangannya. Ia juga menyatakan bahwa puisi atau guritan pendek sesung- guhnya bukan ragam asli, melainkan diambil dari Jepang yang disebut haiku. Di samping itu, guritan pendek juga dapat dikaitkan dengan puisi Jawa tradisional atau ungkapan pendek, misalnya peribahasa, bebasan, atau parikan.
Selain membahas puisi-puisi secara umum, Suripan Sadi Hutomo juga membahas puisi-puisi karya individual, misalnya tampak dalam tulisannya "Nyemak Guritan Ardian Syamsudin" (Jaya Baya, 15 September 1974) dan "Nyemak Guritan Ardian Syamsudin" (Jaya Baya, 23 Februari 1975). Menurut Hutomo, guritan karya Ardian Syamsudin mene- kankan kuatnya warna lokal, seperti terlihat dalam "Pelabuhan Buleleng", "Baluwerti, Sala", "Kebonsari, Ma- diun", dan "Gilimanuk". Guritan Ardian Syamsudin, kata Hutomo, sangat impresif dan terjebak pada nama-nama tempat. Nama tempat yang menunjukkan kedaerahan itu, sebenarnya, tidak sekadar kekaguman pada alam, tetapi memiliki makna yang lain karena selain menggambarkan warna lokal puisi-puisi Ardian Syamsudin juga membangun imaji lain. Di antara sekian puisi karya Ardian, menurut
Hutomo, puisi berjudul "Ing Telenging Wengi" dan "Pangramu" dianggap lebih baik daripada yang lain.
Dalam tanggapannya terhadap puisi karya Poer Adhie Prawoto, Suripan Sadi Hutomo tampak objektif seperti ketika menanggapi karya Ardian Syamsudin. Suripan Sadi Hutomo mengomentari guritan Poer Adhie Prawoto sebagai berkesan panjang-panjang, misalnya, "Menyang Endi Ta Sliramu" (Jaya Baya, 17 November 1974) dan "Wis Sepi Kuthaku" (Jaya Baya, 8 Desember 1974). Akan tetapi, Poer Adhie Prawoto tidak hanya menulis guritan panjang. Ia juga menulis guritan pendek, misalnya "Cathetan", "Apa?", dan "Winadi" (Djaka Lodang, 4 November 1972). Namun, Suripan Sadi Hutomo menyatakan bahwa guritan pendek karya Poer Adhie Prawoto tidak mendekati haiku karena tidak menunjukkan imaji-imaji, tetapi cenderung sebagai tuturan pendek saja. Lebih lanjut Suripan Sadi Hutomo mengatakan bahwa karya Poer Adhie Prawoto hanya sebagai "gurit latihan" karena kurang pendalaman. Namun, Suripan Sadi Hutomo tetap memberikan pembelaan bahwa guritan Poer Adhie Prawoto sebagai guritan individual yang benar-benar hanya ditujukan kepada diri sendiri. Sementara itu, karya kritik Suripan lainnya berjudul "Nyemak Guritan-Guritan Panjebar Se- mangat Taun 1975" (Panjebar Semangat, 27 Maret 1976) yang menyoroti karya W. Santosa (5 buah), Imam Soe- wahyoe (3 buah), A. Nugroho (2 buah), Soedjiono (2 buah), dan Tony Ismojo (2 buah). Menurutnya, guritan dalam Panjebar Semangat tahun 1975 itu banyak menggarap masa- lah cinta. Beberapa guritan lain yang juga dikritik oleh Suripan adalah karya J. F.X. Hoery, Ariesta Widya, dan Harinto (Atnirah).
Seperti diketahui bahwa di dalam khazanah puisi Jawa telah terjadi perkembangan, misalnya bentuk puisi balada, epigram, atau tipografi. Hal ini agaknya juga menjadi perhatian beberapa kritikus pada tahun 1980-an, misalnya tampak dalam kritik Muchit Ilham dan Piek Ardiyanto. Tentang balada, Muchit Ilham menanggapi karya Poer Adhie Prawoto berjudul “Juwariyah Kembang Planyahan” (Mekar Sari, 15 Des. 1982). Moechith Ilham mengatakan bahwa puisi balada itu menggunakan gaya realis-naturalis. Namun, gaya tersebut dianggapnya belum memasyarakat karena ekspre- sinya belum terbuka (bebas) dan masih kelihatan malu-malu. Dalam tulisan lainnya berjudul “Epigram ing Sastra Jawa Modern" (Mekar Sari, 1 April 1982), Moechith Ilham menya- takan bahwa yang disebut epigram adalah guritan pendek, misalnya, yang dimuat dalam rubrik “Gupita Sari” di Mekar Sari. Menurutnya, kebaikan suatu guritan tidak terletak pada panjang dan pendeknya, tetapi pada kekuatan pengung- kapannya. Guritan yang panjang, seperti halnya “Balada Juwariyah Kembang Palanyah”, kadang-kadang justru menimbulkan kebosanan pada pembacanya.
Kritik yang menarik dilakukan oleh Piek Ardijanto Soeprijadi ketika membahas beberapa puisi yang ditulis oleh dua orang yang berbeda. Tulisan pertama berjudul “Langen Asmara ing Samodraning Pangentha-Entha” untuk meng- kritik guritan karya Sri Emyani. Guritan yang ditulis oleh Emyani dikatakan sebagai guritan yang liris, romantis, dan mengandung derita batin. Dalam tulisan lainnya, Piek Ardijanto mengkritik guritan karya Turio Ragilputra. Dalam tulisan berjudul “Sedhela Ngudhar Guritan Ambal” (Mekar Sari, 2 Juni 1995) itu Piek Ardijanto mengatakan bahwa guritan yang ditulis oleh Turio Ragilputra itu cenderung Kritik yang menarik dilakukan oleh Piek Ardijanto Soeprijadi ketika membahas beberapa puisi yang ditulis oleh dua orang yang berbeda. Tulisan pertama berjudul “Langen Asmara ing Samodraning Pangentha-Entha” untuk meng- kritik guritan karya Sri Emyani. Guritan yang ditulis oleh Emyani dikatakan sebagai guritan yang liris, romantis, dan mengandung derita batin. Dalam tulisan lainnya, Piek Ardijanto mengkritik guritan karya Turio Ragilputra. Dalam tulisan berjudul “Sedhela Ngudhar Guritan Ambal” (Mekar Sari, 2 Juni 1995) itu Piek Ardijanto mengatakan bahwa guritan yang ditulis oleh Turio Ragilputra itu cenderung
b. Kritik terhadap Prosa
Seperti halnya kritik puisi, kritik prosa pada masa Orde Baru cukup banyak pula. Kritik prosa agaknya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu (1) kritik yang membahas aspek-aspek eksklusif dalam sastra atau berbagai kondisi sastra Jawa, (2) kritik yang membahas karya-karya individual, dan (3) kritik yang membahas tema sastra Jawa. Kritik yang masuk ke dalam kelompok pertama, misalnya, karya Tera berjudul "Nyinau Durjana Any Asmara" (Panjebar Semangat, 44 September 1966), "Mrihatinake Nasibe Wacan Jawa" (Panjebar Semangat, 15 Januari 1971), dan "Roman Panglipur Wuyung" (Panjebar Semangat, 9 April 1972). Kelompok kedua diwakili oleh karya Muryalelana berjudul "Mecaki Karyane R.T. Jasawidagda" (Panjebar Semangat, 15 Januari 1969) dan karya-karya Suripan Sadi Hutomo berjudul "Ngrembug Novel Kembang Kanthil" (Djaka Lodang, Juli/Agustus 1972), "Nyemak Crita Cekak lan Novel Karangane Loe Min Noe Asal saka Pasuruan..." (Jaya Baya,
15 Desember 1974), "Nyemak Crita Landhung Nalika Langite Obah" (Jaya Baya, 22 Januari 1975), dan "Nyemak Crita Sedulur Lanang Karyane Yunani" (Jaya Baya, 11 Mei 1975). Kelompok ketiga juga diwakili karya-karya Suripan Sadi Hutomo dalam media berbahasa Jawa dan Indonesia, yaitu "Napas Kristen dalam Prosa Jawa Modern" (Sinar
Harapan, 7 Januari 1971), "Napas Islam dalam Sastra Jawa Modern" (Minggu Pagi, Desember 1973), dan "Riyaya: Ayo Padha Apura-Ingapura: Crita Riyayan ing Kasusastran Jawa" (Jaya Baya, 20 Oktober 1974).
Kritik tentang "Berbagai Kondisi Umum Prosa Jawa" diawali dengan pembahasan roman panglipur wuyung oleh Tera. Dalam kritik itu Tera menyatakan bahwa jenis fiksi panglipur wuyung meledak pada tahun 1960-an dengan puncaknya pada tahun 1965—1967. Dikatakan pula bahwa roman panglipur wuyung muncul pertama kali di Sala lewat penerbitan Poernama. Kiai Asnawi Hadisiswojo dengan nama samaran Kiai X adalah perintisnya, dengan menerbitkan majalah Poernama yang banyak mempublikasikan cerita- cerita detektif dan hiburan romantis. Namun, majalah itu mati ketika Jepang datang. Pada tahun 1954, terbitlah Pustaka Roman, yang agaknya mengikuti pendahulunya, yaitu me- muat cerita-cerita percintaan dan detektif. Kondisi masya- rakat yang kurang baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, demikian kata Tera, menyebabkan masyarakat haus bacaan sehingga yang paling tepat diterbitkan adalah buku- buku tipis yang habis sekali dibaca. Keadaan demikian agaknya diterima oleh penerbit dan pengarang sastra Jawa. Oleh karena itu, pada tahun 1960-an lahir dan merebak roman-roman picisan. Dengan kata lain, karya sastra Jawa tahun 1960-an banyak didominasi oleh cerita panglipur wuyung. Barulah pada tahun 1967 penerbitan semacam itu surut dan selanjutnya hilang karena karya-karya yang terbit dianggap porno dan kemudian disita oleh pihak kepolisian.
Pada awal tahun 1980-an, muncul kritik cerpen, di antaranya karya Tamsir A.S. berjudul “Televisine S. Prana” (Jaya Baya, 28 Agustus l981) dan ”Nyemak Crita Cekak:
Rampoge Suparto Brata” (Jaya Baya, 31 Januari l982). Dalam dua buah kritik itu terlihat jelas—seperti tampak pada judulnya--bahwa kritikus mengulas keberhasilan dan keku- rangan cerpen karya Prana dan Suparto Brata. Dikatakannya bahwa Prana adalah seorang penulis baru, sedangkan Suparto Brata adalah penulis yang sudah mapan. Pengambilan karya dua orang pengarang yang berbeda itu mampu menggugah perhatian pembaca terhadap karya yang baik dan karya yang masih perlu diperbaiki lagi. Sementara itu, dalam tulisan berjudul “Cerita Detektif karya Suparto Brata” (dalam buku Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern suntingan Poer Adhie Prawoto), Ratna Indriani mengatakan bahwa Suparto Brata telah berhasil mengadaptasi genre (cerita detektif) Barat dan mengalihkannya ke dalam sastra Jawa modern. Beberapa kejanggalan dalam karya Suparto Brata dianggap wajar karena alam, situasi, dan pola berpikir Barat tidak sama dengan pola berpikir (orang) Timur.
Karya-karya kritik cerpen muncul secara rutin dalam rubrik “Kritik Cerkak” majalah Mekar Sari pada ahkir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an. Pada waktu itu redaksi bekerja sama dengan Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta untuk mengkritik cerpen yang dimuat dalam majalah itu, dengan menghadirkan Sri Widati dan Ratna Indriani, dua orang peneliti Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta. Namun, kegiatan tersebut hanya berjalan selama dua tahun (1989-- 1991) karena beberapa hal. Kerja sama semacam ini, pada waktu sebelumnya, juga pernah dilakukan oleh Balai Penelitian Bahasa dengan majalah Djaka Lodang.
Dalam makalah berjudul “Romantisme sebagai Unsur Pokok dalam Jatidiri Novel Jawa” yang disampaikan dalam Sarasehan Jatidiri Sastra Daerah di Bojonegoro (2--4
Desember l984), George Quinn melontarkan kritik dengan menyatakan bahwa hampir semua novel berbahasa Jawa turut serta dalam wacana romantisme dengan menonjolkan “pah- lawan romantik”. Ceritanya berkisar pada masalah cinta berahi, dunia ideal, pertarungan antara baik dan jahat, dan semuanya berakhir dengan penyelesaian mutlak yang mengu- kuhkan sifat romantik yang ada dalam novel-novel itu. Sementara itu, dalam tulisannya “Rasialisme dalam Sastra Jawa Modern” (dalam buku Wawasan Sastra Jawa Modern), Sarworo Suprapto mempermasalah rasialisme dalam sastra Jawa. Ia menegaskan bahwa sastra Jawa Modern tidak alergi terhadap rasialisme. Buktinya novel Tunggak-Tunggak Jati karya Esmiet dengan baik menggarap masalah itu. Gejala itu menunjukkan bahwa sastra Jawa Modern tidak berdiri di menara gading, tetapi memiliki keterlibatan sosial yang cukup intensif.
Kritik atas novel Jawa berukuran saku ditampilkan oleh Keliek Eswe lewat tulisannya berjudul “Novel Jawa Saku: Sebuah Kritik” (dalam buku Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern). Dalam tulisan itu Keliek Eswe menyimpulkan bahwa sastra Jawa ukuran saku tetap memiliki kaidah estetika sendiri yang berbeda dengan kaidah sosio-budaya masyarakat Jawa yang sudah terjadi. Namun, ia tetap yakin bahwa jika diamati secara cermat, ada pula novel Jawa saku yang berkualitas baik. Persoalannya ialah bahwa sampai dengan kurun waktu kritik tersebut ditulis belum ada yang melakukan penelitian ke arah penyeleksian karya yang baik dan yang buruk untuk novel Jawa saku. Pelarangan dan pembeslahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian bersifat generalisasi dan tidak mempergunakan ukuran estetika yang Kritik atas novel Jawa berukuran saku ditampilkan oleh Keliek Eswe lewat tulisannya berjudul “Novel Jawa Saku: Sebuah Kritik” (dalam buku Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern). Dalam tulisan itu Keliek Eswe menyimpulkan bahwa sastra Jawa ukuran saku tetap memiliki kaidah estetika sendiri yang berbeda dengan kaidah sosio-budaya masyarakat Jawa yang sudah terjadi. Namun, ia tetap yakin bahwa jika diamati secara cermat, ada pula novel Jawa saku yang berkualitas baik. Persoalannya ialah bahwa sampai dengan kurun waktu kritik tersebut ditulis belum ada yang melakukan penelitian ke arah penyeleksian karya yang baik dan yang buruk untuk novel Jawa saku. Pelarangan dan pembeslahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian bersifat generalisasi dan tidak mempergunakan ukuran estetika yang
Demikian beberapa kritik tentang prosa Jawa modern. Sementara itu, kritik tentang drama Jawa sangat jarang muncul. Sejauh ini, hanya ditemukan tulisan Sutadi Wirya- atmaja berjudul “Tema-Tema Drama Jawa” yang disam- paikan dalam Sarasehan Drama Berbahasa Jawa, tanggal 2-
24 Januari l981, di Sala. Dalam makalah itu Sutadi menga- takan bahwa tema drama itu sebetulnya dapat berkembang luas. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa para penulis drama berbahasa Jawa kurang intens menggali tema-tema yang lebih luas. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh penulis drama Jawa belum mempunyai kedewasaan kreatif. Namun, kekurangan yang terdapat pada drama Jawa itu menurutnya tidak mengurangi peranan positifnya dalam khazanah perkembangan sastra Jawa modern pada umumnya bersama- sama dengan genre-genre sastra lainnya.
c. Kritik terhadap Pengarang
Pada masa awal Orde Baru, kritik sastra Jawa yang memfokuskan pembicaraan pada pengarang dan kepenga- rangan relatif sedikit. Kritik pengarang itu umumnya berbicara tentang dengan latar belakang, profesi, dan pan- dangan hidup pengarang dalam kaitannya dengan karya yang dihasilkan. Tampak bahwa artikel-artikel kritik itu ditulis untuk mengenang seseorang yang sudah meninggal atau mengenai tokoh-tokoh terkenal. Misalnya, artikel (1) "In Memorium Prof. Dr. Prijono" (Panjebar Semangat, 25 Maret 1969) oleh Tj. M., (2) “Pribadhi lan Kreative K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV Seklebatan" (Panjebar Semangat, 5 Desember 1969) oleh Muryalelana, (3) "Karkono Parto- Pada masa awal Orde Baru, kritik sastra Jawa yang memfokuskan pembicaraan pada pengarang dan kepenga- rangan relatif sedikit. Kritik pengarang itu umumnya berbicara tentang dengan latar belakang, profesi, dan pan- dangan hidup pengarang dalam kaitannya dengan karya yang dihasilkan. Tampak bahwa artikel-artikel kritik itu ditulis untuk mengenang seseorang yang sudah meninggal atau mengenai tokoh-tokoh terkenal. Misalnya, artikel (1) "In Memorium Prof. Dr. Prijono" (Panjebar Semangat, 25 Maret 1969) oleh Tj. M., (2) “Pribadhi lan Kreative K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV Seklebatan" (Panjebar Semangat, 5 Desember 1969) oleh Muryalelana, (3) "Karkono Parto-
Kritik yang benar-benar telah membicarakan aspek kepengarangan, antara lain, terlihat jelas dalam artikel Aryo Balitar berjudul “Nanggapi Tulisan Bab: Intoyo, Bapak Soneta Jawa” (Jaya Baya, 5 Januari 1975) untuk menanggapi tulisan Suripan Sadi Hutomo yang berjudul “R. Intoyo, Bapak Soneta Anyar" (Jaya Baya, 24 November 1974). Di samping itu, terdapat pula kritik tentang sikap pengarang, misalnya dalam artikel Moch Nursyahid P. berjudul "In Memorium M.T. Suphardi ..." (Jaya Baya, 4 April 1976). Adapun artikel "Sanadyan Luwe Aku Tetep Nulis Basa Jawa" (Darma Nyata, Agustus--September 1974) membi- carakan sikap pengarang Jawa yang tidak pernah berhenti semangatnya meskipun keadaan sosial ekonomi rumah tangganya kurang baik. Moch. Nursyahid P. tetap setia pada Kritik yang benar-benar telah membicarakan aspek kepengarangan, antara lain, terlihat jelas dalam artikel Aryo Balitar berjudul “Nanggapi Tulisan Bab: Intoyo, Bapak Soneta Jawa” (Jaya Baya, 5 Januari 1975) untuk menanggapi tulisan Suripan Sadi Hutomo yang berjudul “R. Intoyo, Bapak Soneta Anyar" (Jaya Baya, 24 November 1974). Di samping itu, terdapat pula kritik tentang sikap pengarang, misalnya dalam artikel Moch Nursyahid P. berjudul "In Memorium M.T. Suphardi ..." (Jaya Baya, 4 April 1976). Adapun artikel "Sanadyan Luwe Aku Tetep Nulis Basa Jawa" (Darma Nyata, Agustus--September 1974) membi- carakan sikap pengarang Jawa yang tidak pernah berhenti semangatnya meskipun keadaan sosial ekonomi rumah tangganya kurang baik. Moch. Nursyahid P. tetap setia pada
Kritik terhadap pengarang muncul cukup banyak sejak tahun 1980-an. Dalam tulisan berjudul “Para Wanita Cengkar” (Mekar Sari, 15 Februari l984) Andrik Purwasita membahas kelangkaan pengarang wanita. Padahal, sebenar- nya lahan penampungan tulisan pengarang wanita di bebe- rapa media massa berbahasa Jawa selalu terbuka. Namun, agaknya pihak wanita sendiri yang belum tertarik pada profesi kepengarangan. Menurutnya, para wanita lebih senang bertindak sebagai penikmat karya sastra; sebagai hiburan di kala senggangnya. Fenomena yang menarik lagi ialah bahwa jika diadakan pertemuan atau sarasehan sastra Jawa, pengarang wanita yang hadir sangat minim, misalnya, St. Iesmaniasita, Widhy Pratiwi, Titah Rahayu, Yunani, Sita T. Sita, E.S. Listyarini, Sri Setya Rahayu, dan T.S. Argarini. Sejumlah wanita yang telah disebutkan itu tidak semuanya produktif, dan hanya satu atau dua karya yang pernah mereka hasilkan.
Kritik pengarang wanita dilakukan pula oleh Suripan Sadi Hutomo dalam tulisan berjudul “Pengarang Wanita dalam Sastra Jawa” (dalam Sosiologi Sastra Jawa). Menurut Suripan, jumlah pengarang wanita dalam sastra Jawa cukup banyak, misalnya Niniek I.N., Ny. Suhartin, Asri Marwati, Joniek, Suharsini Wisnu, Siti Sjamsiah, Napsiah Sastro- siswojo, T.S. Argarini, Totilawati, Sri Arianti Sastrohotomo, Yunani, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Ny. Nugroho, Iskasiah Sumarto, Astuti Wulandari S.P., Titah Rahayu, Sita T. Sita, Dorothea Rosa Herliany, Siti Nuriyah, Ny. Hendrarti Sunarto, Eny Kusdarliyah, Novi Asmarantaka, Susiati Martodiwiryo, Kritik pengarang wanita dilakukan pula oleh Suripan Sadi Hutomo dalam tulisan berjudul “Pengarang Wanita dalam Sastra Jawa” (dalam Sosiologi Sastra Jawa). Menurut Suripan, jumlah pengarang wanita dalam sastra Jawa cukup banyak, misalnya Niniek I.N., Ny. Suhartin, Asri Marwati, Joniek, Suharsini Wisnu, Siti Sjamsiah, Napsiah Sastro- siswojo, T.S. Argarini, Totilawati, Sri Arianti Sastrohotomo, Yunani, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Ny. Nugroho, Iskasiah Sumarto, Astuti Wulandari S.P., Titah Rahayu, Sita T. Sita, Dorothea Rosa Herliany, Siti Nuriyah, Ny. Hendrarti Sunarto, Eny Kusdarliyah, Novi Asmarantaka, Susiati Martodiwiryo,
Pembahasan atau kritik terhadap Iesmaniasita ditulis beberapa kali oleh Dojosantoso, satu di antaranya berjudul “St. Iesmaniasita: Pengarang Wanita Pertama dalam Sastra Jawa Modern” (Prawoto, 1993:67). Dalam kritik tersebut Dojosantoso mengatakan bahwa sejak zaman dulu sampai dengan kerajaan Surakarta dan Yogyakarta belum ditemukan hasil karya yang diciptakan oleh pengarang wanita. Oleh karena itu, St. Iesmaniasita atau Sulistyo Utami Djojo- wisastro merupakan pengarang wanita yang meretas jalan bagi kaumnya dalam mengayunkan langkah mengembangkan kesastraan Jawa Modern. Karya-karya sastra yang ditulis oleh St. Iesmaniasita tidak terlalu sulit dipahami karena isinya sudah dipandu oleh judul cerita. Kritik terhadap St. Iesmaniasita dilakukan pula oleh Suripan Sadi Hutomo dalam tulisan berseri yang dimuat Panjebar Semangat, 20 Agustus l983--3 September l983, berjudul “Pengarang Iesmaniasita: Napas lan Lageyane ing Karya-Karyane”.
Sementara itu, kritik terhadap pengarang dilakukan pula oleh Suparto Brata (Prawoto, 1993:93--101) dalam tulisan berbahasa Indonesia berjudul “Roman Detektif Berbahasa Jawa”. Dalam tulisan itu Suparto Brata menje- laskan bahwa dirinya adalah pengarang sastra Jawa pertama yang menulis roman detektif. Ketika pertama kali menulis Sementara itu, kritik terhadap pengarang dilakukan pula oleh Suparto Brata (Prawoto, 1993:93--101) dalam tulisan berbahasa Indonesia berjudul “Roman Detektif Berbahasa Jawa”. Dalam tulisan itu Suparto Brata menje- laskan bahwa dirinya adalah pengarang sastra Jawa pertama yang menulis roman detektif. Ketika pertama kali menulis
Masalah yang berkaitan erat dengan pengarang adalah masalah organisasi pengarang. N. Sakdani, dalam tulisan berjudul "Membenahi Organisasi Pengarang Sastra Jawa" yang disampaikan dalam Sarasehan Sastra Jawa oleh Pusat Kebudayaan Jawa Tengah pada tanggal 12—15 Februari 1980, dan Suripan Sadi Hutomo, dalam tulisan berjudul “Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ)”, “Grup Diskusi Sastra Blora” dan “Sanggar Sastra Triwida” yang dikum- pulkan dalam buku Poblematik Sastra Jawa (1988), membahas masalah organisasi pengarang dalam kehidupan sastra Jawa modern. Suripan Sadi Hutomo pernah pula membahas masalah eksistensi pengarang Tionghoa dalam sastra Jawa. Dalam sebuah tulisan berjudul "Sastra Jawa Tionghoa” ia mengungkapkan bahwa masyarakat pembaca belum atau kurang tahu tentang sastra Jawa Tionghoa dan pengarangnya. Ia juga menjelaskan bahwa dalam sastra Jawa pernah muncul pengarang Tionghoa, misalnya, Loem Min Noe, Tjak Iem, Max Moe, Tan Poet, Tjiam Tjia Oo, Tio An Swie, dan Kho Ping Hoo.
Nama-nama tersebut, menurut Suripan, memang ada yang benar-benar nama orang Tionghoa dan ada pula yang merupakan nama samaran orang Jawa. Lepas dari nama samaran atau bukan ternyata sastra Jawa Tionghoa dan pengarang Tionghoa pernah eksis dalam khazanah sastra Jawa. Dalam sastra Jawa, katanya, pemakaian nama samaran merupakan hal yang tidak asing lagi. Penyamaran itu dilaku- Nama-nama tersebut, menurut Suripan, memang ada yang benar-benar nama orang Tionghoa dan ada pula yang merupakan nama samaran orang Jawa. Lepas dari nama samaran atau bukan ternyata sastra Jawa Tionghoa dan pengarang Tionghoa pernah eksis dalam khazanah sastra Jawa. Dalam sastra Jawa, katanya, pemakaian nama samaran merupakan hal yang tidak asing lagi. Penyamaran itu dilaku-
Kritik lain yang masih mempersoalkan pengarang ditulis oleh Sunarno Sisworahardjo dengan judul “Memetri Basa lan Carita Jawa” (Mekar Sari, 15 April 1988). Tulisan tersebut mengkritik Esmiet yang menulis cerita “Dewi Sinta Ilang saka Hotel Internasional” (Mekar Sari, 15 April 1988). Namun, tampak bahwa kritik yang dilakukan oleh Sunarno Sisworahardjo terlalu lugu dan tidak dapat memahami ulah Esmiet yang sedang bermain-main dalam dunia sastra. Demikian antara lain kritik terhadap pengarang. Fakta membuktikan bahwa kritik terhadap pengarang telah menunjukkan variasi yang menarik.
d. Kritik terhadap Penerbit
Kritik atau ulasan mengenai penerbit dan penye- barluasan karya sastra juga relatif tidak banyak. Beberapa tulisan yang ditemukan antara lain (1) "Nasibe Koran/ Majalah Daerah" (Panyebar Semangat, 25 Januari 1968) karya Imam Supardi, (2) "Ngungak Jagad Wartawan Jawa" (Jaya Baya, 13 Oktober 1974), (3) "Nlusuri Dagblad Swara
Oemoem" (Jaya Baya, 6 April 1975), dan (4) "Wis 30 Taun Mardika Pers Basa Daerah Isih Diperlokke Apa Ora"? (Jaya Baya, 17 Agustus 1975) karya Soebagijo I.N. Kecuali itu, masih ada sebuah artikel lagi tentang penerbitan yang berjudul "Sastra lan Sastrawan" karya Lis Djojowisastro.
Artikel "Ngungak Jagad Wartawan Jawa" dan "Nlusuri Dagblad Swara Oemoem" berisi dukungan terhadap perkembangan sastra Jawa modern. Dua artikel lainnya berbicara tentang masalah pers sesudah kemerdekaan. Artikel "Nasibe Koran/ Majalah Daerah" membahas masalah subsidi pemerintah kepada penerbit. Jelasnya, pers daerah perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah karena kekurangan modal dan kurang kompetitif. Hal itu perlu dilakukan karena pers daerah berguna untuk menyebar- luaskan informasi dari pemerintah kepada masyarakat yang kurang menguasai bahasa Indonesia. Dengan bantuan pers daerah, program-program pemerintah diharapkan akan dapat dimengerti oleh masyarakat sekaligus didukung pelaksa- naannya.
Dalam artikel "Wis 30 Taun Mardika Pers Basa Daerah isih Diperlokake Apa Ora?" dijelaskan tentang sebagian anggota masyarakat di daerah yang bergaul mesra dengan bahasa daerah. Sebagian dari mereka tidak menguasai bahasa Indonesia sehingga memerlukan penerbitan berbahasa daerah. Penerbitan berbahasa daerah itu secara politis dapat mendukung kebijakan pemerintah selain untuk melestarikan budaya daerah. Jika pemerintah mengabaikan penerbitan berbahasa daerah, hal itu tentulah akan merugikan peme- rintah sendiri. Kecuali itu, dikritik pula keadaan pers masa kini yang kurang memperhatikan kualitasnya.
Penerbit pemerintah, Balai Pustaka, sangat kecil porsi penerbitannya atas karya sastra Jawa. Padahal, konon, di meja redaksi naskah bertumpuk. Jumlah eksemplar terbitan Balai Pustaka juga terbatas dan kemungkinan cetak ulang sangat kecil karena pemasarannya tidak lancar. Sementara itu, penerbit di Yogyakarta yang dipimpin oleh Drs. Kusmanto cukup idealis menerbitkan karya sastra Jawa. Namun, idealisme itu pupus juga ketika sang tokoh (Drs. Kusmanto) meninggal dunia. Pusat Studi Kebudayaan Jawa di Yogyakarta juga berambisi menerbitkan buku-buku budaya Jawa, termasuk karya sastra. Niat yang mulia itu akhirnya juga tidak dapat berjalan secara baik karena faktor wawasan bisnis yang kurang menguntungkan.
Kenyataan menunjukkan bahwa kelangkaan penerbit sastra Jawa menjadi kendala perkembangan sastra Jawa. Meskipun pengarang aktif menulis, tetapi kalau tidak ada yang menerbitkan tentulah karya pengarang itu tidak akan sampai ke pembaca. Mata rantai antara pengarang, penerbit, dan pembaca merupakan mata rantai yang harus terbina dengan baik sehingga dapat mencapai sasaran secara tepat. Kelangkaan dan kerelaan penerbit sastra Jawa itu telah dikritik oleh Triman Laksono dalam tulisannya “Tanggapan Kanca kanggo Puji Sutrisno: Ngenteni Tumuruning Wahyu Sastrajendra” (Mekar Sari, 8 September 1995). Salah satu harapan Triman Laksono adalah agar ada penerbit yang dengan rela hati menerbitkan sastra Jawa. Sementara itu, dalam tulisannya “Sastra lan Basa Jawa Kapiji dening Kasusastran Indonesia” (Mekar Sari, 1--15 Januari l985), Esmiet mengatakan hal yang hampir sama. Menurutnya, kurang berkembangnya sastra Jawa disebabkan oleh (1) kurang penerbit, (2) kurang kritikus, (3) pengarang yang Kenyataan menunjukkan bahwa kelangkaan penerbit sastra Jawa menjadi kendala perkembangan sastra Jawa. Meskipun pengarang aktif menulis, tetapi kalau tidak ada yang menerbitkan tentulah karya pengarang itu tidak akan sampai ke pembaca. Mata rantai antara pengarang, penerbit, dan pembaca merupakan mata rantai yang harus terbina dengan baik sehingga dapat mencapai sasaran secara tepat. Kelangkaan dan kerelaan penerbit sastra Jawa itu telah dikritik oleh Triman Laksono dalam tulisannya “Tanggapan Kanca kanggo Puji Sutrisno: Ngenteni Tumuruning Wahyu Sastrajendra” (Mekar Sari, 8 September 1995). Salah satu harapan Triman Laksono adalah agar ada penerbit yang dengan rela hati menerbitkan sastra Jawa. Sementara itu, dalam tulisannya “Sastra lan Basa Jawa Kapiji dening Kasusastran Indonesia” (Mekar Sari, 1--15 Januari l985), Esmiet mengatakan hal yang hampir sama. Menurutnya, kurang berkembangnya sastra Jawa disebabkan oleh (1) kurang penerbit, (2) kurang kritikus, (3) pengarang yang
e. Kritik terhadap Pembaca
Di samping kritik-kritik yang telah diutarakan, ada pula beberapa artikel kritik yang menyoroti pembaca, misalnya Piyagam Kasusastran (Jaya Baya, 26 Mei 1974) dan "Babare Sayembara Cercek Fantastis" (Jaya Baya, 3 Juni 1974) karya Handayaningroem. Artikel "Piyagam Kasusas- tran" membicarakan pemberian piagam terhadap sastra-wan berprestasi. Artikel tersebut mengemukakan dua hal, yaitu ucapan terima kasih pengarang atas pemberian piagam kepada sastrawan yang dianggap berhasil dan pandangan lebih jauh ke depan atas pemberian piagam itu. Tanggapan pertama jelas sebagai ungkapan terima kasih kepada pemberi piagam dan mengimbau lembaga-lembaga lain agar berbuat hal yang sama. Tanggapan kedua menjelaskan bahwa pem- berian piagam itu dapat diartikan menjadi ukuran kualitas sehingga dapat ikut mendorong kemajuan karya sastra. Akan tetapi, sayangnya, yang mendapat piagam itu hanyalah karya sastra yang berbentuk buku. Karya sastra lainnya yang termuat dalam media massa belum tersentuh oleh penilaian. Oleh karena itu, saran penulis (kritikus), langkah penilaian itu harus diperluas dalam upaya pengembangan sastra dan sekaligus juga pengembangan penerbit. Demikianlah, antara lain, beberapa kritik yang memfokuskan pada pembaca atau masyarakat penikmat sastra Jawa pada umumnya.
Dapat dikatakan bahwa pada dua dekade belakangan keadaan kritik sastra Jawa modern menunjukkan perkem- bangan. Selain muncul kritik sastra modern, muncul pula kritik sastra lama yang umumnya ditulis oleh generasi tua.
Beberapa kritik sastra Jawa lama itu, misalnya, “Ki Padmasoesastra Kurang Apa? Gawe Crita Keplenyok” karya Sunarno Sisworaharjo (Mekar Sari, 15 Januari l982), “Serat- Serat Jawi ingkang Dados Waosan” karya R.M. Sayid (Mekar Sari, 15 Maret l985), ”Raden Panji Natarata Pujangga kang Sedane Memelas” karya S. Mulyosudirjo (Mekar Sari,
15 April 1985), “Serat Tripama Mbeber Kandeling Rasa Kabangsan” karya Sarworo Suprapto (Mekar Sari, 15 Mei l985), “Jleg Tumiba” karya Sunarno Sisworaharjo (Mekar Sari 15 Agustus l986), “Pujangga Ranggawarsita lan Sandining Dwi Astha” karya Poer Adhie Prawoto (Mekar Sari, 20 April 1995) dan “Cara Makarti ing Sastra Jawa Klasik” karya Dhanu Priyo Prabowa (Mekar Sari, 25 Agustus l995). Sementara itu, meskipun ada beberapa generasi muda menulis kritik sastra lama, sebagian besar dari mereka umum- nya menggarap karya-karya sastra Jawa modern. Karya-karya kritik mereka umumnya dimuat di berbagai media massa berbahasa Jawa (Djaka Lodang, Mekar Sari, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Pustaka Candra, dan Pagagan), di samping ada yang telah diantologikan dalam bentuk buku.
Mengenai gaya pengucapan, karya-karya kritik sastra Jawa modern yang terbit di media massa, baik di Surabaya, Yogyakarta, Sala, maupun Semarang, cenderung bersifat populer sesuai dengan sasaran media massa itu yang memang mengarah kepada pembaca umum. Namun, justru melalui kritik populer itulah pembaca dengan mudah dapat membaca dan menikmati tanpa dibatasi oleh tingkat sosial, pendidikan, kelompok umur, laki-laki, atau perempuan.
Untuk sekadar mengetahui betapa murahnya harga atau honorarium sebuah karya sastra Jawa tersebut adalah membandingkan harga pada masa itu dengan masa sekarang
(tahun 2000). Harga beras pada tahun 1950-an adalah Rp7,50,00 sedangkan harga beras pada masa sekarang sekitar Rp2.000,00. Dengan demikian, honor sebuah cerpen pada tahun 1950-an kalau dikurskan dengan harga sekarang sekitar Rp10.000,00 hingga Rp12.500,00 dan hadiah lomba penulisan cerbung hanya sekitar Rp266.000,00.
Nama Triwida diusulkan oleh Susiati Martowiryo. Nama itu merupakan gabungan dari kata tri ‘tiga’ dan wida ‘wewangian (bau harum)’. Jadi, triwida berarti tiga we- wangian, yaitu wangi bahasa, wangi sastra, dan wangi makna atau isi yang dikandungnya (Tamsir A.S., 1986). Arti inilah yang kemudian menjadi semboyan para pengarang yang tergabung dalam sanggar untuk menghasilkan karya-karya yang bermutu.
Tentu saja, para pengarang anggota SSJY juga aktif menulis di berbagai media massa seperti Mekar Sari, Djaka Lodang, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Jawa Anyar, dan majalah intern Pagagan. Bahkan, beberapa pengarang telah berhasil menerbitkan buku, di antaranya Sega Rames (1992) Suwardi Endraswara, Kubur Ngemut Wewadi (1993) A.Y. Suharyono, Kembang Alang-Alang (1993) Margareth Widhy Pratiwi, Ratu (1995) Krishna Mihardja, Siter Gadhing (1996) Djaimin K., dan sebagainya. Sementara itu, dalam rangka FKY, mereka juga menerbitkan Antologi Geguritan lan Cerkak (1991), Rembulan Padhang ing Ngayogyakarta (1992), Cakra Manggilingan (1993), Pangilon (1994), dan Pesta Emas Sastra Jawa (1995).
Pembaca yang diuraikan dalam bagian ini adalah pembaca awam, bukan pembaca canggih (kritikus); dalam arti bahwa dalam membaca karya sastra mereka tidak berbekal pengetahuan mengenai sastra seperti halnya kritikus.
Tentang pembaca canggih (kritikus) diuraikan di bagian lain (lihat subbab 3.5).
Konsep hidup dalam budaya Jawa adalah hormat kepada orang tua atau orang yang dituakan. Termasuk di dalam kelompok kedua itu adalah orang tua, orang asing, orang berbangsa atau bermartabat, yang secara geneologis lebih tua. Seperti halnya majalah Crita Cekak, majalah Pustaka Roman juga dikelola oleh Soebagijo I.N. Menurut Senggono, berkaitan dengan keterbatasan tempat, naskah sastra modern kadang-kadang masih dipotong oleh redaktur majalah.
Adapun artikel-artikel dalam Jaya Baya dapat dipilah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama artikel berat, misalnya berita dalam dan luar negeri, kebatinan, dan uraian wirid. Kelompok kedua artikel sedang, misalnya widya (pengetahuan) umum, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Kelompok ketiga artikel ringan, misalnya cerita wayang, cerpen, feuilleton (cerbung), roman sacuwil ‘pendek’, dan lelucon.
Polemik itu belum terjadi akibat dari sikap orang Jawa yang penuh semu ‘tanda-tanda’ dan segan menghujat seseorang secara beramai-ramai. Sebenarnya, kebangkitan generasi baru itu telah dirintis sejak berdirinya OPSJ tahun 1966.
Bahasa yang dipakai terasa lincah dan menarik generasinya, tetapi oleh golongan lama sering dikatakan melanggar konvensi. Kelompok ini mengatakan bahwa bahasa yang dipakai oleh kelompok baru kurang baik karena patah-patah. Rembesan dialek juga mewarnai karya kelom- pok baru, seperti yang ditawarkan oleh St. Iesmaniasita yang dianggap membawa dialek Jawa Timur dan Rachmadi K.
yang juga dikatakan membawa dialek Jawa Tengah bagian Selatan.
Pemuatan kritik sastra Jawa ke dalam media massa berbahasa Indonesia dinilai sangat positif karena melalui kritik itu sastra Jawa dapat dimengerti oleh etnis lain yang tidak mengerti bahasa Jawa atau oleh orang Jawa yang sudah tidak akrab lagi dengan bahasa Jawa.
Hal ini berbeda dengan kecenderungan pembaca umum (awam); pada umumnya pembaca awam lebih menyukai jenis prosa daripada puisi karena bahasa puisi relatif lebih sulit dipahami. Dari kelompok ini ada beberapa yang juga menulis kritik mikro-sastra, seperti Susilomurti, Suripan Sadi Hutomo, Lis Djojowisastro, dan Moch. Nur- syahid P