DINAMIKA INTERAKSI STAKEHOLDERS DALAM FORMULASI KEBIJAKAN RTRW KOTA MAKASSAR 2015-2034
BAB III DINAMIKA INTERAKSI STAKEHOLDERS DALAM FORMULASI KEBIJAKAN RTRW KOTA MAKASSAR 2015-2034
Kebijakan penataan ruang merupakan instrumen inter- vensi pemerintah terhadap ruang atau lahan sebagai sumber daya publik yang berdimensi politis, yuridis, teknis dan adminis tratif, dalam upaya mengarahkan pembangunan wila- yah secara berkelanjutan. Kebijakan tata ruang berwujud ren- cana makro untuk pengembangan aktivitas ruang atau kawasan dan perencanaan mikro berupa penentuan tapak detail dan teknik koefisien dasar bangunan. Posisi rencana tata ruang wilayah kota menjadi sangat penting untuk menghindari konflik pemanfaatan ruang yang sangat mungkin terjadi oleh faktor dinamika keruangan kota yang dinamis.
A. Konteks Historis Kebijakan RTRW Kota Makassar
Kota Makassar dalam perjalanan pembangunan wilayahnya telah lama memiliki rencana induk kota (master plan). Keberadaan master plan ini mulai disusun pada masa kepemimpinan Wali- kota H.M. Daeng Patompo. Pada awalnya, master plan tersebut dirintis sebagai instrumen arahan dalam menjalankan program pengembangan kota yang dinamakannya memakai “sistem mar tabak” atau “makin dibanting makin melebar”. Pada masa ini terjadi perluasan wilayah admnistratif kota akibat
peme karan, dari 21 Km 2 menjadi 175 Km 2 , -sejak saat ini pula Makassar berganti nama menjadi Ujung Pandang - suatu situasi
46 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota yang membuat HM. Daeng Patompo merasa perlu membenahi
orientasi pembangunan kota dengan mengedepankan kaidah planologis yang memadai.
Dengan dasar pengalaman dari kunjungan pada berbagai kota-kota besar di dunia untuk benchmarking, maka H.M. Daeng Patompo kemudian semakin mengintensifkan kegiatan seminar perkotaan dengan menghadirkan berbagai ahli untuk merencanakan penataan kota. Mr. Anderson, merupakan salah satu ahli perkotaan dari Amerika Serikat yang menjadi tamu, kemudian ditugaskan membuat rencana pengembangan wilayah dengan memobilisasi sumber daya untuk pembangunan “Kota
5 Dimensi” (Kota Dagang, Kota Budaya, Kota Industri, Kota Akademi, Kota Pariwisata). Setelah beberapa lama tinggal di Ujung Pandang, dengan mengamati peta udara dan meneliti semua literatur perkotaan peninggalan Belanda, maka akhirnya Mr. Anderson berhasil menyusun hasil studi perkotaan berupa out-line plan untuk pembuatan Rencana Induk Kota (RIK) Kotamadya Ujung Pandang. Ahli perkotaan ini kemudian mengkongkritkan dukungannya untuk pengembangan kota madya Ujung Pandang menjadi kota metropolitan.
Rumusan hasil studi ini kemudian ditindak lanjuti dengan bergabungnya Tim Unhas dan Tim ITB pada tahun 1967 dalam rangka meletakkan rencana dasar bagi terwujudnya master plan pembangunan kota. Bantuan lain juga datang dari Pangdam III untuk foto udara dengan skala yang lebih jelas serta bantuan teknis dari Menteri PUTL Ir. Sutami melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya. Hasil studi ahli perkotaan dari AS, rencana dasar dari Tim Unhas dan ITB serta bantuan dan bimbingan teknis dari Menteri PUTL dan PU Cipta Karya pada tahun 1972 menjadi proses penting yang mengantar lahirnya master plan pembangunan Kotamadya Ujung Pandang.
Untuk mendukung pelaksanaan masterplan tersebut secara hukum, maka lahirlah Perda No. 2 Tahun1971 Tentang
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 47
Perancanaan Fisik, Sosial, Ekonomi Kota Secara Terkoordinasi Serta Penyesuaian Berbagai Penggunaan Tanah (zoning). Perda tersebut memuat perencanaan secara lengkap dan menyeluruh berkaitan dengan tata ruang perkotaan. Selanjutnya Kotamadya Ujung Pandang di bagi kedalam 5 kawasan, masing-masing:
1. Kawasan kota lama sebagai kawasan perdagangan
2. Kawasan Panakukkang sebagai kawasan perkantoran dan pemukiman (Panakukkang Garden City)
3. Kawasan Biringkanaya Timur sebagai kawasan pendidikan
4. Kawasan Biringkanaya Utara sebagai kawasan industri
5. Kawasan Mariso (Selatan Kota) dan pulau-pulau disekitar Selat Makassar sebagai kawasan pariwisata.
Penetapan zonasi wilayah tersebut dilakukan dengan mengalihkan pembangunan ke wilayah/kawasan baru. Pem- bagian fungsi kawasan juga mentikberatkan keserasian pem ba- ngunan kota dengan wilayah pengaruh (hinterland) di sekitar- nya, demikian pula dalam rangka pengendalian program pembangunan sektoral dan daerah. Pada titik inilah tapak spasial untuk pembangunan kota mulai terbentuk.
Pelaksanaan program pembangunan kota dengan kaidah- kaidah planologis yang memadai, menjadikan Ujung Pan- dang dimasa era-bakti HM. Daeng Patompo mulai menjadi larger primate city (kota utama yang besar) di Kawasan Timur Indonesia. Persoalan menjadi lain ketika era-bakti HM. Daeng Patompo sebagai Walikota selama 13 tahun (1965-1978) telah berakhir, penerus pertama beliau adalah Walikota Abustam mulai mengutak-atik rencana struktur tata ruang kota yang diwariskan oleh HM. Daeng Patompo.
Pada masa kepemimpinan Walikota Abustam, “Kota 5 Dimensi” mulai digeser dengan menerapkan model pemba- ngunan lain yaitu pengembangan model tradisonal yang akan membentuk wajah kota yang menurut wajah Indonesia di Ujung Pandang dengan berpijak pada nilai-nilai luhur kebudayaan.
48 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota Secara anatomis, model ini menetapkan 3 lini atas bagian-bagian
kota, yaitu:
1. Bagian inti kota secara keseluruhan
2. Bagian kota lama dan pinggiran
3. Bagian kota baru Pembangunan metropolis dilakukan dibagian inti kota
sementara kawasan pinggiran dialternatifkan untuk pengem- bangan tradisional. Pembangunan modern dijauhkan dari kawasan pinggiran, terutama kawasan hasiil perluasan kota tahun 1971, sebab dianggap memerosotkan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Suatu pilihan kebijakan tata ruang yang mem- buka jalan untuk disparitas wilayah.
Pada kondisi semakin semrawutnya penataan kota dan tudingan bahwa Kotamadya Ujung Pandang tidak memiliki master plan , maka pada sekitar tahun 1983 (5 tahun setelah meninggalkan Balai Kota), H.M. Daeng Patompo kemudian mengajukan surat yang bernada “gugatan” kepada DPRD dan Pemerintah Kota yang bertujuan mengklarifikasi keberadaan master plan di masa kepemimpinannya. H.M. Daeng Patompo kemudian menggugat bahwa dengan tidak dimanfaatkannya master plan oleh walikota yang menggantikannya merupakan suatu tindakan “tindakan kriminal”.
Babak baru dalam episode kebijakan tata ruang Kota Ujung Pandang dimulai lagi pada tahun 1984, dengan dibuatnya Rencana Induk Kota (RIK) yang disusun berdasarkan Permendagri No. 4 Tahun 1980 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Pada tahun 1987 istilah RIK diganti dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RURTK) berdasarkan Permendagri No. 2 Tahun 1986 yang merupakan penyesuaian aturan sebelumnya dan RURTK ini kemudian disahkan menjadi Perda No. 2 Tahun 1987 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota tahun 2004. Dengan terbitnya UU. No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, maka RUTRK kemudian berganti nama menjadi RURTW Kabupaten/Kota.
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 49
Perda ini kemudian menjadi acuan pengembangn tata ruang pada masa kepemimpinan Walikota Jancy Raib, Suwahyo, Malik B. Masry, HB. Amiruddin Maula bahkan hingga kini oleh Walikota Ilham Arief Sirajuddin. Meskipun secara normatif menjadi acuan tetapi tingkat pelaksanaanya sebagai pedoman untuk aktivitas pembangunan ekonomi kota masih dipertanyakan. Kebijakan RURTW ini dianggap bersifat abstrak dan makro, sehingga pada masa kepemimpinan Walikota Malik B. Masry dibuatkan perencanaan turunan yang lebih detail, yaitu dengan keluarnya SK. No. 6223 Tahun 1997 Tentang Peruntukan Tanah Dan Penataan Bangunan Pada Masing-Masing Bagian Wilayah Kota (BWK) Di Daerah Tingkat II Ujung Pandang, tetapi belakangan aturan detail inipun dianggap oleh Walikota penerusnya, yaitu HB. Amiruddin Maula dan Ilham Arief Sirajuddin, membuat pemerintah dalam posisi dilematis, antara keinginan untuk mengedapankan aspek line use dengan tuntuan masyarakat yang cenderung pragmatis apalagi jika sebelumnya memang telah terjadi pelanggaran akibat toleransi yang bertumpu pada adanya praktek kolusi dengan oknum-oknum aparat.
RUTRW/RIK kota Makassar yang mempunyai dimensi waktu yang keberlakuan selama 20 tahun (1984-2004) telah mengalami tahap peninjauan atau review sebanyak 2 kali, yaitu pada tahun 1992 dan tahun 1998. Hasil review tahun 1992 menyimpulkan bahwa selama 5 tahun pertama operasionalisasi RUTRW (1987-1992) terjadi deviasi ±40 %, sehingga RUTRW masih dapat dilanjutkan. Hasil review II tahun 1998 menyimpulkan bahwa setlah 5 tahun kedua operasionalisasi dijumpai diviasi perencanaan dilapangan ±50 % sehingga dianggap perlu melakukan revisi.
Berdasarkan review tahun 1998 maka pada Tahun Anggaran 1999/2000 pemerintah kota memprioritaskan revisi RUTRW Kota Makassar dengan dimensi waktu selama 10 tahun (1999/2000 – 2009/2010). Meskipun telah direvisi namun hasil
50 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota rancangan revisi ini tidak disahkan kedalam Perda sehingga
status hukumnya tidak jelas, terlebih lagi materi revisi juga tidak jelas atau berwujud peta-peta spasial yang sulit dijabarkan secara operasional dilapangan. Dengan tidak disahkan revisi Perda No.
2 tahun 1987, maka arahan pemanfaatan ruang praktis hanya berdasarkan pada SK Walikotamadya No. 6223 Tahun 1997 yang merupakan perencanaan turunan RUTRW sebelumnya.
Perubahan yang lahir dari peristiwa reformasi politik membawa dampak pada kontelasi pembangunan kota. Sebagai wujud desentralisasi pemerintahan daerah dalam mengatur local resources yang tersedia, maka kewenangan penataan ruang perkotaan telah dilimpahkan kepada otoritas pemerintah kota, berdasarkan prinsip-prinsip good urban governance. Segala norma dan aturan hukum yang bertentangan dengan semangat otonomi daerah tidak lagi menjadi acuan dalam formulasi kebijakan publik.
Berkaitan dengan hal tersebut, penyusunan kembali ren- cana tata ruang Kota Makassar juga dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk mensinergikan kembali semua arahan-arahan perencanaan kota ke dalam satu sinegisitas baru yang disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2005- 2015. Secara garis besar rencana tata ruang tersebut tetap akan menjadikan rujukan perencanaan diatasnya seperti Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan 1999-2014, dan Rencana Tata Ruang Metropolitan Mamminasata sebagai referensi dalam penyusunan rencana tata ruang, dimana kemudian ide dasar dari perencanaan tersebut akan menjadi ide awal bagi perencanaan tata ruang Kota Makassar.
Perencanaan tata ruang Kota Makassar secara filosofi akan dikembangkan menurut dasar perencanaan tata ruang yang sebenarnya dengan konsentrasi perencanaannya akan mengacu pada pencapaian visi Kota Makassar, yaitu bagaimana
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 51
menjadikan Kota Makassar tumbuh dan berkembang sebagai “Kota Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya dan Jasa”.
Adapun latar belakang dilakukannya penyusunan rencana tata ruang ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
• Dari sejumlah produk tata ruang yang telah dibuat selama
ini, hanya produk RUTRK tahun 1984 yang memiliki legali sasi hukum yang sah yang di”Perda”kan pada tahun 1987. Untuk itu, selama belum ada peraturan daerah yang merevisi Perda tersebut sejauh itu pula RUTRK 1984 tetap menjadi bahan rujukan perencanaan yang sah. Sebagai- mana terlihat dari arahan penggunaan lahan tahun 1984 dan tingkat realisasinya pada tahun 1989.
• Secara Produk, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar
yang terakhir adalah RUTR Kota Makassar tahun 2001. Dari hasil evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa telah terjadi deviasi diatas 60% dari kondisi Das Sein dan Das Sollen .
• Bertambah beratnya masalah-masalah kota yang semakin
kronis dan tidak terkendali diantaranya: • Pertumbuhan dan Perkembangan Ruko & Rukan yang
tumbuh semakin agresif; • Pertumbuhan Kawasan Kumuh • Kemacetan Lalu Lintas • Intensitas “gejolak sosial” (social turbulance) yang cukup
tinggi di Makassar dengan “sensitifitas” masyarakat yang sangat “reaktif” adalah suatu gejala nyata tentang kondisi ruang kota yang semakin tidak manusiawi.
• Adanya pengembangan kota-kota baru baik yang terencana
(Tanjung Bunga & Panakukang Mas) maupun yang tum- buh secara alamiah (Daya, Tamalanrea & Manggala) akan merubah pola dan struktur pemanfaatan ruang Kota Makassar.
• Kondisi baru Makassar yang sudah menembus atmosfir
52 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota
“metropolitan” ditandai dengan kepadatan penduduk sudah diatas 1 (satu) juta jiwa menciptakan “komunitas metropolitan” yang menuntut kebutuhan ruang kota dengan dimensi global.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar Tahun 2005 – 2015 merupakan produk ”baru” dari rencana tata ruang Kota Makassar. Menjadi sesuatu yang ”baru” karena didalamnya berisi uraian-uraian perencanaan yang mengkoreksi dan merevisi hasil produk RUTRK Makassar tahun 2001 yang memiliki tingkat deviasi lebih dari 60 persen dari keadaan di lapangan.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar Tahun 2005 –2015 kemudian dilegalisasi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) No. 6 tahun 2006 Tentang RTRW Kota Makassar, dengan mengedepankan arti dan nilai-nilai ”esensial” dari nilai- nilai keunikan dan keunggulan lokal dalam nilai perencanaannya. Dalam Perda No. 6 tahun 2006 Tentang RTRW Kota Makassar 2005-2015 ini, kebijakan pengembangan penataan ruang Kota diarahkan untuk :
1. Memantapkan fungsi Kota Makassar sebagai Kota Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya dan Jasa berskala Nasional dan Internasional;
2. Memprioritaskan arah pengembangan kota ke arah koridor Timur, Selatan, Utara, dan membatasi pengembangan ke arah Barat agar tercapai keseimbangan ekosistem;
3. Melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup di dalam penataan ruang dengan mengoptimalkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
4. Mengembangkan sistem prasarana dan sarana kota yang berintegrasi dengan sistem regional, nasional dan inter- nasional;
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 53
Arahan kebijakan penataan ruang di Kota Makassar pasca diterbitkannya Perda No. 6 Tahun 2006 tentang RTRW Kota Makassar Tahun 2005–2015, mengalami persoalan dengan lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Persoalan itu terlihat pada pertentangan isi (content) Perda No.
6 Tahun 2006 dengan UU No. 26 tahun 2007 pada 2 (dua) hal, yakni satu, pada dimensi waktu rencana, yang menurut UU No. 26 tahun 2007 berjangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan kedua, ketentuan penyediaan ruang terbuka hijau yang minimal berjumlah 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, dengan proporsi minimal 20 (dua puluh) persen ruang terbuka hijau publik.
Pada titik inilah maka revisi atau perubahan kebijakan RTRW Kota Makassar Tahun 2005-2015 merupakan keniscayaan. Langkah untuk mengadaptasi ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pun di mulai, seperti penjelasan dari informan :
“berdasarkan ketentuan UU (UU. No. 26/2007) maka sejak tahun 2009, pemerintah Kota Makassar memulai melakukan langkah untuk perubahan Perda RTRW. Duku ngan anggaran dan masukan stakeholders menjadi penyemangat di masa-masa awal peninjauan ulang (review) Perda RTRW (Perda No. 6 tahun 2006)”
(Hasil Wawancara, MT, Kepala Bidang Fisik & Prasarana BAPPEDA Kota Makassar, 11 Nov. 2012)
Berdasarkan informasi tersebut, maka komitmen pemerintah kota untuk mengadaptasi ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang cukup tinggi. Kondisi tersebut membawa dampak bahwa sejak tahun 2009, arahan perencanaan tata ruang kota Makassar berada pada situasi transisi. Dalam ketiadaan pedoman yang menjadi arahan pemanfaatan ruang kota, justru pembangunan pusat-pusat perekonomian kota berlangsung pesat.
54 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota
B. Proses Formulasi Kebijakan RTRW Kota Makassar
Formulasi kebijakan publik merupakan tahapan strategis dalam rangkaian siklus kebijakan publik. Pada tahapan ini sebuah kebijakan dibuat untuk disahkan dan dijadikan produk kebijakan publik yang mengikat. Proses formulasi kebijakan adalah arena diskursus beragam kelompok, baik kelompok pemerintah, kelom pok yang tergabung dalam partai politik, kelompok bisnis profesional maupun kepentingan kelompok masyarakat sipil. Sebagai arena pertarungan kepentingan kelompok, sudah selayaknya kepentingan seluruh pemangku kepentingan terlibat dapat diakomodasikan agar produk kebijakan yang dihasilkan dapat berwajah humanis dan minus resistensi publik.
Formulasi kebijakan publik sebagai medium pembentukan hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan, di era demokratisasi sekarang ini tidak lagi menjadi monopoli aktor pemerintah, tetapi niscaya melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan. Dalam suatu ruang publik deliberatif, setiap pihak dapat secara bebas untuk menentukan sikap, apakah berpihak pada koalisi pro atau koalisi kontra dalam setiap diskursus kebijakan, dengan ekspresi yang otentik dan system beliefs masing-masing. Dengan demikian, proses formulasi kebijakan dimaknai sebagai proses diskursif di antara stakeholders dengan kepentingannya masing-masing yang kemudian hasil kesepakatan dari proses dialogis itulah yang menentukan isi dari kebijakan.
Pada tataran praktis, pelibatan masyarakat (civic engagement) dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun kelompok atau perwakilan. Dalam kondisi sosial-politik saat ini, dipandang bahwa proses pelibatan masyarakat secara individual masih sangat lemah dan kurang efektif. Hal ini disebabkan karena kekuasaan pemerintah dan swasta yang masih cukup dominan, sehingga upaya-upaya pelibatan dalam bentuk kolektif atau perwakilan dipandang lebih kuat dan menjanjikan. Tak
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 55
terkecuali di dibidang penataan ruang yang tingkat kompleksitas stakeholders demikian heterogen dan difracted.
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang meru pa kan pengganti dari UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang membawa perspektif baru dalam aktivitas penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Terbitnya UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dilatarbelakangi oleh perubahan paradigma pemerintahan dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah pasca keberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun demikian, keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) belum sepenuhnya menjadi rujukan dalam pembangunan.
Penyelenggaraan penataan ruang pada dasarnya bersifat lintas sektor, sehingga perlu adanya koordinasi dan sinkronisasi berbagai program pembangunan. Untuk melaksanakan upaya koordinasi dan sinkronisasi tersebut, dibentuk suatu forum koordinasi di bidang penataan ruang yang beranggotakan kementerian/lembaga yang terkait penataan ruang. Di tingkat daerah dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang mengacu kepada Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan ruang yang diterbit kan pada tanggal 26 April 2007 mengamanatkan agar setiap kabupaten/kota di Indonesia menyusun atau menye- suaikan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota selambat-lambatnya dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun. Makna menyesuaikan disini adalah menyesuaikan dengan amanat dan muatan yang terdapat dalam UU No.
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Rencana tata ruang diamanatkan untuk disusun secara hierarkis dari tingkat nasional (RTRWN), provinsi dan kabupaten/kota. Dalam proses formulasi kebijakan RTRW Kabupaten/Kota maka secara
56 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota normatif arah dan tatanan dalam penyusunan teknis rencana
telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 17/ PRT/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No./47/2012 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Dan Kabupaten/ Kota. Kedua produk hukum menjadi basis legal bagi pemerintah, swasta dan masyarakat dalam kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Dengan demikian tahapan-tahapan formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar 2015-2034 sebagai berikut:
1. Tahap Perumusan Masalah
Masalah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dapat diolah menjadi suatu produk kebijakan publik. Isu kebijakan lahir dari respon atas dinamika lingkungan yang mengalami akselerasi perubahan. Secara faktual dan normatif kondisi penataan ruang Kota Makassar yang mengalami percepatan perubahan meniscayakan perlunya review (peninjauan kembali) terhadap kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang telah disusun sebelumnya.
Masalah primer yang mendasari peninjauan Perda No. 6 Tahun 2006 Tentang RTRW Kota Makassar 2005-2015 adalah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan kadaluarsanya Undang-Undang No. 24 tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Isu lain yang mendasari peninjauan ulang kebijakan RTRW ini menyangkut masalah arahan pembangunan kota, kepastian investasi, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta penyesuain terhadap ketentuan hukum yang lebih tinggi kedudukannya. Jika dilihat dari isu yang mendasari penyusunan kebijakan RTRW baru ini lebih bersifat top-down dan juga belum terlihat adanya tuntutan atau isu yang muncul dari masyarakat.
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 57
Jajaran stake-holders yang memberikan informasi dalam merespon isu kebijakan RTRW antara lain yaitu pernyataan dari pihak pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang telah lebih dahulu “berhasil” mengadaptasi perintah UU No. 26/2007 Tentang Penataan Ruang sebagai berikut :
“Pemerintah kota (Makassar) harus segera mengubah RTRW nya berdasarkan ketentuan pusat (UU No. 26/2007), disamping juga menyesuaikan dengan konstelasi pembangunan kawasan Metropolitan Mamminasata dan ketentuan Perda (No.09/2009) Tentang RTRW Sulawesi Selatan 2009-2029”
(Hasil Wawancara, JMR, Kepala Bidang Tata Bangunan & Lingkungan Dinas Tata Ruang & Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan, 11 Juli 2012)
Sementara itu informasi yang yang diperoleh dari unsur swasta (privat) yang selama ini terkait dengan aktivitas pemanfaatan ruang, maka terkait masalah kebijakan RTRW sebagai berikut :
“RTRW mesti segera dipacu Pemkot agar pembangunan Kota Makassar semakin jelas sehingga iklim investasi yang kondusif bisa tercipta. Apalagi RTRW berkaitan dengan jalannya perekonomian kota. Sehingga jika tidak ada ketegasan Pemkot dalam hal ini, sudah pasti akan mempengaruhi minat pengusaha untuk mengembangkan
ataupun memulai berinvestasi di Kota Makassar” (Hasil Wawancara, AMA, Ketua KADIN Kota Makassar,
13 Juli 2012) Isu kebijakan yang terkait dengan kepastian investasi yang
lahir dari unsur swasta tentu berbeda dengan respon unsur non government organization (NGO) bidang advokasi lingkungan terkait isu kebijakan RTRW ini :
“WALHI melihat kebijakan RTRW di Kota Makasar, banyak hal yang perlu diperhatikan terkait dengan, pertama,
58 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota bagai mana ruang itu diperuntukkan untuk bagaimana
seluruh makhluk hidup didalamnya bisa hidup termasuk utamanya masyarakat kecil yang ada. kedua terkait dengan zona hijau, selama ini pemerintah Kota memberikan informasi yang tidak jelas dan tidak mendasar pada fakta yang ada,
Kalau dikatakan bahwa ruang hijau itu sudah melebihi 30% tapi pandangan kami di WALHI apakah itu ruang terbuka hijau publik dan privat tidak sampai 30% dari luas wilayah kota Makassar. Justru ruang hijau yang ada dikonversi misalkan untuk pelebaran jalan, beberapa wilayah-wilayah yang mendukung sitsem ekologi di perkotaan seperti
resapan air menjadi pemukiman dan rumah toko.” (Hasil Wawancara, ZLY, Direktur Eksekutif Daerah
WALHI Sulsel, 24 Juli 2012) Pendapat yang hampir sama juga di sampaikan oleh
informan dari NGO bidang lingkungan lainnya, yakni : “proses revisi RTRW Kota Makassar menjadi momentum
untuk melembagakan konsep kota hijau (green city), yang selama ini sering diumbar pemerintah kota. Dan salah satu variabel kota hijau adalah tersedianya ruang terbuka hijau (RTH) yang memadai.
(Komentar ANL, Aktivis Forum Studi Energi & Lingkungan (FOSIL) http://makassar.tribunnews.com/mobile/index. php/2012/11/10/aktivis-lingku ngan-sebut-makassar-
gagal-jadi-green-city, 10 November 2012) Dari beragam tuntutan stake-holders penataan ruang
menge nai masalah kebijakan penyusunan kembali RTRW Kota Makassar, maka respons yang diambil pemerintah Kota sebagai berikut :
“sebagai komitmen untuk merespon tuntutan perundang- unda ngan, maka sejak Tahun Anggaran 2009 Pemerintah Kota (Makassar) telah megalokasikan anggaran dalam
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 59 rangka penyusunan Revisi Perda No. 6 Tahun 2006
terkait RTRW Kota Makassar 2005-2015. Setelah tersedia anggaran maka tentu kami melakukan langkah-langkah dan bekerja untuk menyusun RTRW baru itu. Termasuk pembentukan Tim Teknis Penyusunan Rencana Tata Ruang Wialayah, yang melibatkan Dinas/Instansi terkait dan bekerjasama dengan Tim Ahli Pemerintah Kota dan Konsultan Perencana”
(Hasil Wawancara, MMT, Kepala Bidang Fisik & Prasarana BAPPEDA Kota Makassar, 11 November 2012)
Berdasarkan informasi yang diperoleh nampak bahwa isu kebijakan penyusunan RTRW Kota Makassar di tanggapi beragam oleh jajaran pemangku kepentingan pembangunan kota. Masing-masing pihak menanggapi isu sesuai dengan keyakinan dasar (basic beliefs) kelompok mereka akan hadirnya kebijakan RTRW yang sesuai espektasi kelompok masing-masing.
2. Tahapan Penyusunan Agenda
Pada tahapan penyusuna agenda kebijakan, BAPPEDA Makassar kemudian membentuk tim teknis untuk memfor- mulasikan arahan perubahan dan menyiapkan term of reference (TOR) sebagai panduan bagi pihak Konsultan Perencana. Ideal- nya kelembagaan yang berperan dominan dalam tahapan ini adalah Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang yang dipimpin langsung Wakil Walikota dalam rangka memudahkan koordinasi lintas sektor, yang sangat dibutuhkan dalam proses penyusunan kebijakan ini.
Tidak optimalnya fungsi kelembagaan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) dalam mengawal kebijakan penataan ruang menjadi problem tersendiri bagi jajaran peme- rintah kota sehingga peran-peran monitoring dan evaluasi rencana lebih banyak diambil alih oleh instansi BAPPEDA yang dibantu oleh Tim Ahli Pemerintah Kota Makassar, yang terdiri dari kalangan akademisi, konsultan profesional, dan unsur
60 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Setelah terbentuk Tim Teknis, maka langkah yang di tempuh dalam rangka penyusunan kebijakan ini seperti dijelaskan informan berikut ini :
“Setelah kita sayembarakan dan kemudian terpilih konsultan pemenang, maka kerja-kerja penyusunan sudah menjadi kontrak kerja pihak mereka (Konsultan Perencana). Termasuk penyusunan Laporan pendahuluan, dari hasil Survey lapangan dan instansional. Laporan (Pendahuluan) ini kemudian mendapat masukan dari Tim Teknis BAPPEDA dan Tim Ahli Pemkot (Pemerintah Kota)”
(Hasil Wawancara, IHA, Sekretaris BAPPEDA Kota Makassar, 08 Agustus 2012)
Hasil Laporan yang telah disusun oleh pihak Konsultan juga di menjadi bahan sosialisasi bagi pemerintah kota melaui berbagai forum pertemuan, seminar maupun melaui publikasi di media massa. Pada tahap ini pula di laksanakan penjaringan aspirasi masyarakat (Jaring Asmara) tahap Pertama. Menurut informasi dari tim Teknis BAPPEDA
“Laporan Pendahuluan di bahas dan terus disempuranakan melaui forum-forum penjaringan aspirasi masyarakat (Jaring Asmara) sekalugus juga berkoordinasi dengan pemprov (Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan). Tujuannya adalah untuk menentukan arah pengembangan wilayah dan identifikasi berbagai potensi dan masalah pembangunan. Hasilnya adalah Kompilasi dan Analisa Data (Laporan Antara) oleh konsultan perencana setelah melaksanakan survei sekunder dan primer serta setelah memperoleh masukan pada saat Penjaringan Aspirasi Masyarakat”
((Hasil Wawancara, IHA, Sekretaris BAPPEDA Kota Makassar, 08 Agustus 2012)
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 61
Pembahasan Laporan Kompilasi dan Analisa Data (Laporan Antara) oleh Tim Teknis, Tim Ahli bersama pihak konsultan dan dinas teknis tingkat provinsi. Selanjutnya diadakan revisi terhadap Laporan Kompilasi dan Analisa Data (Laporan Antara) oleh pihak konsultan setelah mendapatkan masukan/saran dari Tim Teknis dan Tim Ahli Pemerintah Kota.
Laporan Kompilasi dan Analisa Data (Laporan Antara) Setelah mendapat persetujuan dari Tim teknis, Tim Ahli maupun Dinas teknis tingkat proviinsi, maka tahapan selanjutnya adalah dengan kembali melakukan penjaringan aspirasi masyarakat hingga kemudian melahirkan Draft Rencana oleh pihak konsultan. Draft rencana inilah yang kemudian disosialisasikan kepada publik melalui berbagai macam pertemuan langsung dan media massa. Seperti dipaparkan oleh informan :
“draft rencana sebenarnya sudah menjadi bahan yang hampir jadi, prosesnya pun telah melalui pelibatan stakeholders stra tegis. Inilah yang kemudian kita publish di media sambil melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan Kementerian PU, BAKOSURTANAL,maupun dengan BKTRN BAPPENAS. Memang butuh waktu yang relatif lama mengingat panjangnya jenjang hierarki yang harus dilalalui”
(Hasil Wawancara, MMT, Kepala Bidang Fisik & Prasarana BAPPEDA Kota Makassar, 11 Nov. 2012)
Tentang efektivitas pola sosialisasi rancangan (draft) rencana kebijakan yang telah melibatkan para pemangku kepentingan kemudian dibantah oleh perwakilan NGO bidang lingkungan, seperti penjelasan berikut ini:
”Informasi soal RTRW ini hanya kami dapatkan dari media, jadi kita tidak dlibatkan secara langsung. Penting juga ada forum-forum terkait dengan bagaimana menjawab persoalan penataan ruang melibatkan pelaku langsungnya, misalnya melibatkan pedagang kaki lma jadi bisa memahami secara objektif apa yang menjadi persoalan
62 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota dan kebutuhan masayrakat yang ada. Selama ini sosialisasi
yang dilakukan pemerintah kota yang berkolaborasi dengan konsultan swasta lebih bersifat formalitas belaka. Sangat jauh dari semangat advokasi kepentingan masayarakat kecil, yang juga sangat berkepentingan besar terhadap ruang-ruang ekonomi yang ada. Jadi bagaimana ruang yang ada bisa mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat diperkotaan pada semua lapisan.
(Hasil Wawancara, ZLY, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulsel, 24 Juli 2012)
Jika ditelisik dengan seksama pendekatan yang diguna- kan dalam proses formulasi rencana kebijakan RTRW ini, cenderung pada pendekatan teknokratik yang bersifat top- down . Begitu dominannya peran Konsultan Perencana dan Tim Teknis serta Tim ahli Pemerintah Kota mengakibatkan proses-proses penjaringan aspirasi masyarakat (jaring asmara) lebih bersifat mobilisasi formal dan belum sampai pada situasi pelibatan masyarakat sipil (civic engagement) secara utuh, dalam memperkuat praktek advocacy planning dengan model bottom-up belum hadir dalam aktivitas formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar 2015-2034.
3. Tahap Pemilihan Alternatif
Tahap akhir dari proses perencanaan tata ruang wilayah kota adalah pemilihan alternatif, sebagai pengejawantahan dari tujuan dan perkiraan kebutuhan pengembangan maupun akomodasi beragam aspirasi dari input (masukan) input para pemangku kepentingan selama proses penyusunan berlangsung. Dengan demikian rencana akhir ini akan menjadi pedoman bagi pencapaian tujuan pengembangan yang telah diformulasikan. Momentum ini menjadi tahapan dimana persetujuan substansi kebijakan telah menjadi titik kesepakatan para pihak, sebelum dilanjutkan pada proses politik pengesahan (legalisasi) di DPRD.
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 63
Upaya yang dilakukan untuk mendapat persetujuan terkait substansi materi kebijakan bukanlah proses yang singkat, melainkan telah melampaui fase-fase krusial yang penuh kontestasi gagasan dan kepentingan dari para pihak. Tidak jarang proses ini melalui momentum konflik dan benturan kepentingan sektoral, oleh karena begitu panjangnya prosedur yang harus dilalui, sehingga terjadi keterlambatan proses pengesahan sebagaimana yang dimanatkan UU No. 2006 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Kondisi untuk sampai penetapan substansi ini di deskripsikan oleh Walikota Makassar sebagai berikut :
“keterlambatan pembahasan ranperda RTRW yang sudah melam paui batas waktu sebelumnya juga disebabkan oleh banyak nya proses yang harus dilalui. Antara lain proses konsul tasi dan penyesuaian dengan RTRW Maminasata. Kemudian pem bahasan di pihak DPRD Sulsel untuk penyesuaian dengan RTRW provinsi dan kesesuaian materi teknis. Setelah itu dilakukan penandatangan kesesuaian lahan dan batas wilayah dengan kabupaten berbatasan, seperti Maros, Gowa dan Takalar. RTRW ini telah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur dan telah dilakukan perbaikan sesuai arahan tim BKTRN Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Sekarang masih dalam proses pemetaan di Bakosurtanal
Hanya saja pembahasannya mengalami keterlambatan aki bat minim nya tim Bakosurtanal, dan pada pada wak- tu ber samaan juga melayani pemetaan RTRW kabu paten/ kota di seluruh Indonesia. dari 471 kabupaten/Kota di Indonesia yang harus merevisi RTRW-nya”
(Komentar IAS, Walikota Makassar, http://bahasa. makas sarkota.go.id/index.php/pembangunan/709-rtrw- makassar-mandek-di-bakonsultanal , 07 Oktober 2011)
Secara normatif, UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang mensyaratkan bahwa batas waktu maksimal pembahaasan
64 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota RTRW Kabupaten Kota, yakni maksimal 3 (tiga) tahun. Untuk
kondisi Kota Makassar, proses penyusunan RTRW telah di mulai sejak tahun 2009 yang hingga tahun 2013 ini belum tuntas sampai pada persetujuan dan pengesahan DPRD Kota Makassar.
4. Tahap Penetapan & Pengesahan Kebijakan
Langkah awal dari proses penetapan dan pengesahan RTRW Kota Makassar 2010-20130 dimulai dengan mempresentasikan konsep akhir Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) oleh Tim Penyusun dihadapan DPRD Kota Makassar untuk dibahas sebagai rancangan Perda pada umumnya.
a. Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah Oleh Ekse kutif kepada DPRD Kota Makassar
Setelah melalui tahapan berbagai tahapan teknis penyu- sunan, maka draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) (awal- nya untuk Tahun 2005-2025) kemudian diserahkan oleh Pihak Eksekutif, dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Makassar sebagai leading sector perencanaan, kepada pihak legislatif atau DPRD Kota Makassar.
Penyerahan draft pertama ini dilakukan pada tanggal 23 September 2010, tanpa dilengkapi dengan Naskah Akademik, yang dapat memberikan penjelasan mengenai pokok-pokok pikiran dan materi berdasarkan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari pembentukan Ranperda RTRW tersebut. Setelah diserahkan, maka kemudian muncul reaksi dari beberapa legislator terkait dengan Ranperda usulan eksekutif tersebut. Beberapa anggota DPR mempersoalkan content (isi) Ranperda yang memiliki banyak kekurangan. Seperti pendapat dari salah seorang anggota DPRD berikut ini :
“Dalam usulan awal Ranperda RTRW itu, tidak terdapat detail pembagian wilayah dan zona yang dilengkapi dengan peta. Tidak ada yang menyinggung soal perbaikan aksesibilitas penyandang cacat, luasan RTRH, aset daerah ”
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 65 (Hasil Wawancara, MJR, Anggota Bamus DPRD Kota
Makassar. 03 Februari, 2013) Hal yang hampir sama juga disampaikan oleh salah anggota
DPRD yang lain, yakni “usulan awal ini masih “mentah” (belum matang), artinya yang diusulkan sebenarnya tidak banyak perbedaannya
dengan RTRW lama (Perda No.6 tahun 2006). Seperti copy paste saja. Secara administrasi berkas-berkas persetujuan juga belum lengkap. Makanya kembalikan untuk di perbaiki”
(Hasil Wawancara, IRW, Anggota Baleg DPRD Kota Makassar, 03 Februari 2013)
Terjadinya respon penolakan anggota DPRD Kota Makassar untuk melanjutkan pembahasan dan dikembalikannya usulan Ranperda kepada pihak eksekutif (pemerintah kota) menjadi episode awal dari kontestasi gagasan dan kepentingan dari pihak legislatif dan eksektif dalan proses formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar 2005-2025. Meski dianggap memiliki banyak kekurangan, pembahasan lanjutan terhadap materi Ranperda tetap dilanjutkan. Secara prosedural, tahapan pembahasan dilanjtkan untuk penyampaian Ranperda kepada alat kelengkapan Badan Legislatif (Baleg) untuk pengkajian yang lebih mendalam, holistik dan konfrehensif.
b. Penyampaian Ranperda oleh Pimpinan DPRD kepada Badan Legislasi
Upaya perbaikan dan sinkronisasi kebijakan yang lakukan Pemerintah Kota, sebagaimana usulan DPRD Kota Makassar, pun banyak menghadapi kendala antara lain bersumber dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terkait ketentuan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tidak detail memuat luasan proporsi minimal 30 persen RTH darli luas wilayah yang ada, yang terdiri RTH Publik sebesar 20 persen dan RTH Privat sebesar 10 persen.
66 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota Hal inilah yang kemudian menyulut dinamika persetujuan
sinkronisasi Perda No. 9 Tahun 2009 Tentang RTRW Provinsi Sulawesi Selatan 2009-2029.
Pola relasi konflik antara Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terkait pemanfaatan ruang juga semakin ekstensif pada program-program eksisting pada kedua institusi. Seperti pada aktivitas pemanfaatan ruang dimana program Pemerintah Kota Makassar ini juga “berta- brakan” atau bertentangan dengan program pemerintah pro- vinsi Sulawesi Selatan. Misalnya pada program revitalisasi Fort Rotterdam. Pemerintah Kota Makassar tidak memiliki kesamaan visi pengembanagan dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Pihak Pemerintah Provinsi berkeinginan agar kawasan di depan Fort Rotterdam bisa steril (zero activity) hingga ke garis pantai, sementara pihak Pemerintah Kota Makassar ingin mempertahankan dan mengembangkan aktivitas di kawasan pantai. Hal inilah yang memicu proses penimbunan laut (reklamasi) terus berjalan atas izin pemerintah kota.
Perubahan setting dan konstelasi politik lokal juga terus menyulut relasi konflik antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota. Perubahan situasi itu di picu oleh “migrasi politik” Walikota Makassar dari Partai Golkar ke Partai Demokrat. Kondisi ini kemudian membawa dampak pada bagiaman posisi politik Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar, sebagai pemilik kekuatan dominan di DPRD Kota Makassar, terkait dengan proses pembahasan Ranperda RTRW Kota Makassar. Khusus pada kelembagaan Badan Legislasi (Baleg) yang dipimpin oleh salah seorang anggota Fraksi Partai Golkar dan di dukung oleh anggota Fraksi koalisi “pemerintahan lokal”, dimana respon penolakan terhadap usulan Ranperda RTRW menjadi semakin meluas. Situasi ini yang kemudian membuat terjadinya political deadlock dan membuat arah penyelesaian perbaikan usulan tidak dapat dilakukan dengan secepat mungkin.
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 67
c. Pengkajian Rancangan Peraturan Daerah oleh Badan Legislasi (Baleg)
Setelah sempat dikembalikan kepada Tim Penyusun dari pihak Eksekutif, maka pada tanggal 11 Juni 2012 hasil perbaikan itu kemudian di tindak lanjuti oleh pembahasan di Badan Legisilasi. Meskipun pihak eksekutif telah menambahkan (lagi) poin-poin kekurangan materi draft sebelumnya, tetapi perbaikan itu tidaklah cukup memuaskan kalangan legislator. Respon dari anggota DPRD terkait perubahan kedua terhadap usulan eksekutif kembali di tanggapi “dingin”, seperti penjelasan berikut ini :
Salah satu alasan pengembalian draft tersebut karena Pemerintah Kota Makassar belum memberikan penjelasan tentang berbagai hal, termasuk kawasan pendidikan yang terintegrasi dengan kawasan bisnis.
(Komentar ANW, Ketua Badan Legislatif DPRD Kota Makassar,,
http://rakyatsulsel.com/dewan-makassar-
kembalikan-draft-ranperda-rtrw.html, 18 Juni 2012)
Meski Ranperda RTRW kembali mengalami perubahan berdasarkan tuntutan anggota DPRD, namun kelanjutan pem- bahasannya pun tidak segera berjalan lancar. BAPPEDA Kota Makassar selaku penanggung jawab institusional eksekutif pun merasa heran dengan situasi pembahasan yang nan tak kunjung menemukan titik kompromi. Seperti yang disamapaikan oleh Kepala BAPPEDA berikut ini :
“Lagi-lagi ranperda RTRW terhambat.Tidak ada kabarnya setelah kami serahkan ke DPRD Juni 2012. Padahal RTRW itu mempermudah pengambilan keputusan terkait kebijakan publik. Kami sudah perbaiki dan serahkan lagi ke DPRD Juni 2012, seluruh persyaratan mulai dari rekomendasi Pemkab Maros, Gowa,Takalar, dan Kemendagri sudah dilengkapi.Tetapi hingga kini belum juga ada informasi dari DPRD apakah ditindaklanjuti atau ditolak,”
68 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota (Komentar, IBS, Kepala BAPPEDA Kota Makassar,
http://bahasa.makassarkota.go.id/index.php/ pembangunan/935-pemkot-tagih-pengesahan-perda- rtrw-, 03 Oktober 2012)
Menaggapi keluhan tersebut, respon yang diberikan oleh ketua Baleg DPRD Kota Makassar seperti berikut ini
“Masih menunggu kajian staf ahli badan legislasi, terhambat karena baru tiga bulan lalu kami terima.Kami juga harus hati-hati karena ini menyangkut Kota Makassar
30 tahun kedepan” (Komentar ANW, Ketua Badan Legislatif DPRD Kota
Makassar,http://bahasa.makassarkota.go.id/index.php/ pembangunan/935-pemkot-tagih-pengesahan-perda- rtrw- 03 Oktober 2012)
Perubahan yang terus dilakukan terhadap content rancangan kebijakan RTRW pun semakin menarik perhatian publik. Tidak kurang dari perwakilan kelompok organisasi masyarakat sipil, asosiasi profesi dan asoiasi usaha (swasta) turut prihatin dengan situasi yang terjadi dengan “konflik” antara Pemerintah Kota Makassar dan DPRD Kota Makassar terkait pemabahasan Ranperda RTRW ini.
Seperti peryataan yang lontarkan oleh salah satu NGO/ LSM Advokasi berikut ini :
“terkatung-katungnya penetapan revisi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar merupakan sikap pembangkangan kepada Undang-Undang (UU) Penataan Ruang. DPRD Makassar dalam hal ini badan legislasi (Baleg) serta pemerintah kota dalam hal ini bidang hukum, tata ruang wilayah dinas pekerjaan umum (PU) dan dinas terkait lainnya yang terlibat menyusun ranperda tersebut, dinilanya lambat dalam membuat draf perumusan beberapa item atau persyaratan yang harus dipenuhi terkait kebijakan didalam penetapan revisi Ranperda
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 69 RTRW tersebut”
(Hasil Wawancara, ANR, Direktur KOPEL Indonesia, 10 Desember 2012)
Pendapat yang hampir serupa juga disampaikan oleh unsur asosiasi profesi perencana, seperti berikut ini :
“Kebutuhan RTRW baru sudah sangat mendesak bagi Kota Makassar. Aktivitas pembangunan yang semakin intensif tidak bisa lagi dikendalikan hanya dengan peraturan (RTRW) lama. Kami berharap antara Pemkot (Pemerintah Kota) dan DPRD dapat segera menemukan titik kesepakatan.
Hal yang mendesak seperti pengaturan kawasan hijau, karena Perda RTH juga tetap berpedoman pada RTRW”
(Hasil Wawancara, SMJ, Ketua Ikatan Ahli Perencana (IAP) Sulsel, 12 Desember 2013).
Sementara kalangan dunia usaha sudah semakin pesismis terkait dengan ketiadaan arahan pembangunan ruang di kota Makassar ini. Seperti disampaikan pada penjelasan berikut ini:
“RTRW berkaitan dengan jalannya perekonomian kota sehing ga jika tidak ada ketegasan pemkot (pemerintah kota), sudah pasti akan memengaruhi minat pengusaha untuk mengembangkan ataupun memulai berinvestasi di Makassar. RTRW Kota Makassar mendesak dirampungkan untuk menciptakan kepastian hukum tata ruang bagi para pengusaha, bila menginginkan perekonomian Makassar semakin meningkat di tahun ini dan tahun-tahun mendatang. Pengesahan revisi RTRW yang berlarut-larut tertunda akan berdampak besar pada investasi maupun perekonomian”
(Hasil Wawancara, AMA, Ketua KADIN Kota Makassar, 03 Desember 2012)
70 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota Tampilnya suara-suara di luar perdebatan legislasi juga
menjadi penanda bahwa ruang diskursus publik menjadi pilihan ketika arena kekuasaan politik formal tidak mampu diakses secara terbuka. Ketidakhadiran aktor-aktor non negara serta akses publik yang terbatas dalam arena formulasi kebijakan berdampak pada semakin tingginya tensi konflik kepentingan antara Pemerintah Kota vis-a-vis DPRD Kota. Metodologi pembahasan Ranperda RTRW ini juga tidak luput dari sorotan NGO Advokasi Lingkungan seperti penjelasan berikut ini :
“kalau melihat metodologi pembahasannya (Ranperda RTRW), sebenarnya sangat politis sekaligus elitis. Sebenar- nya banyak hal yang perlu Termasuk keberpihakan pembangunan kota yang selalu menguntungkan para pemilik modal (pemburu rente). Sayangnya hal-hal seperti problem keberpihakan tentu tidak lagi dibahas dan pasti tidak dapat diakomodasi dalam draft rancangan yang sangat teknis. Itu belum termasuk content (isi) rancangan kebijakannya, yang kita anggap banyak bertentangan dengan Undang-Undang”
(Hasil Wawancara, ZLY, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulsel, 10 Oktober 2012)
Pembahasan Ranperda RTRW yang memakan waktu cukup lama serta anggaran yang tidak sedikit akhirnya di sepakati untuk dilanjutkan pada tahapan pembahasan selanjutnya. Tahapan dimana kendali agenda-agenda pembahasan Ranperda bersifat lintas fraksi dan semakin intensif.
d. Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah oleh Pimpinan DPRD kepada Badan Musyawarah
Tahapan proses formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar 2015-2034 selanjutnya berada di posisi pembahasan Badan Musyawarah. Alat kelengkapan DPRD ini memiliki beberapa fungsi yang diatur dalam Tata Tertib, antara lain menetapkan agenda DPRD untuk 1 (satu) tahun sidang atau satu jangka
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 71
waktu penyelesaian Rancangan Peraturan daerah, menetapkan jadwal acara rapat DPRD, hingga pada merokemendasikan pembentukan Panitia Khusus (Pansus).
Pertentangan antara eksekutif (Pemerintah Kota) dengan DPRD Kota Makassar tidak berhenti pada tahapan ini. Kontestasi gagasan dan kepentingan terkait dengan materi Ranperda RTRW terus berlanjut hingga kemudian Badan Musyawarah (Bamus) gagal menyusun jadwal untuk mengagendakan paripurna Pengesahan Ranperda RTRW ini. Bahkan terjadi kesepakatan untuk mengintesifkan pembahasan melalui pembentukan Panitia Khusus (Pansus) sambil menunggu penetapan agenda dari Badan Musyawarah. Tentang situasi ini pimpinan Badan Legislatif berkomentar :
“konsep RTRW tersebut telah dirampungkan, sehingga sesuai dengan mekanisme kerja yang berlaku di DPRD, harusnya segera ditindaklanjuti oleh Badan Musyawarah (Bamus) untuk menjadwalkan semua tahapan demi tahapan dalam rangka merealisasikan induk dari semua ranperda tersebut
Jadi, penyempurnaan revisi RTRW tersebut kini berada di tangan Bamus untuk menjadwalkan agenda selanjutnya. Tugas kami sudah selesai, kini giliran Bamus untuk melanjutkan realisasi RTRW ini
jadwal tersebut adalah penetapan anggota pansus dari semua fraksi untuk diparipurnakan, studi banding pansus jika memang diperlukan, kajian akademis, dan penetapan akhir di paripurna”
(Komentar ANW, Ketua Badan Legislatif Kota Makas- sar,http://cakrawalaberita.com/metro-makassar/ ranperda-rtrw-tertunda-lagi, 11 Februari 2013)
Mengenai lambannya pembahasan di badan Musyarawarah di jelaskan pimpinan Badan Musyawarah berikut ini:
72 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota “Kita (DPRD) bukan bermaksud untuk menunda-
nunda penetapan RTRW tersebut, Namun, karena ada pertimbangan bahwa faktor kepentingan masyarakat harus dikedepankan. Alasannya bahwa masih ada kejanggalan dalam konsep RTRW ini, karena sudah ada zona-zona bagi pihak pemilik modal (investor) diberikan peluang berinvestasi.
“RTRW ini dibuat harus berasaskan keadilan tanpa ada diskriminasi dalam pengendalian dan penataan ruang pembangunan nanti. Jadi Kalau konsep ranperda ini belum berpihak kepada masyarakat, kami tidak mau serta merta langsung mengambil kesimpulan untuk agenda paripurna dan lain sebagainya, apalagi pemberitaan yang selama ini beredar, bahwa ada kecenderungan konsep RTRW ini lebih berpihak kepada pemilik modal besar”
(Komentar BSA, Ketua Badan Musyawarah DPRD Kota Makassar, http://cakrawalaberita.com/metro-makassar/ ranperda-rtrw-tertunda-lagi, 11 Februari 2013)
Pada sisi lain hambatan untuk pembentukan Panitia Khusus (Pansus) datang dari kondisi sosial politik eksternal, terkait dengan momentum Pemilihan Gubernur dan Wakil gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, juga turut memberi andil terhadap kinerja legislasi anggota DPRD secara keseluruhan. Konstelasi politik kepartaian di tingkat provinsi telah mempengaruhi pembentukan konfigurasi dukungan pada isu-isu dan praktek pemihakan di lembaga legislatif kota.
Mengenai dampak pilihan politik pada Pemilihan Gubernur & Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013, terkait perkembangan aktivitas pembahasan Ranperda RTRW dijelaskan :
“penetapan RTRW terhambat dikarenakan sejumlah Fraksi belum menyetor nama keanggotaannya di Panitia Khusus (Pansus, sisa menunggu nama-nama calon anggota pansus RTRW dari tiap Fraksi. membahas jadwal penetapan Perda
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 73 tersebut. memaklumi kondisi sekarang, dimana beberapa
anggota dewan mengikuti partainya berkampanye di Pilgub
Kalau tidak salah masih ada tiga Fraksi yang belum mengusulkan nama anggotanya. Kita memang memaklumi kondisi sekarang ini, dimana anggota dewan yang juga politisi ikut bersama partainya menjagokan calonnya di Pilgub. Insya Allah setelah Pilgub kami akan bentuk tim pansus”
(Komentar BSA, Ketua Badan Musyawarah DPRD Kota Makassar, http://www.beritakotamakassar.com/index. php/
metro-makassar/2455-rtrw-terkendala-di-pansus. html, 23 Januari 2013)
Pengaruh kondisi eksternal diakui turut berperan dalam perjalanan pembahasan Ranperda RTRW ini. Dinamika politik lokal sepanjang akhir tahun 2012 hingga di awal tahun 2013 membuat secara umum fokus kinerja legislasi di DPRD Kota Makassar menjadi berkurang. Para politisi partai lebih dominan mengutamakan kepentingan partai politik mereka daripada mempercepat pengesahan Ranperda RTRW, yang berfungsi sebagai payung hukum Ranperda-Ranperda lainnya.
Setelah kontestasi Pemilihan Gubernur & Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013, langkah pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Ranperda RTRW Kota Makassar 2015- 2034 sudah dilakukan. Rapat-Rapat Panitia Khusus ini mulai mengagendakan pertemuan-pertemuan intensif dengan jajaran instansi sektoral. pada saat yang sama, melalui tenaga ahli masing- masing fraksi, mulai meneliti secara mendalam content materi kebijakan. Proses ini pun kemudian tidak berjalan secara normal sebab mulai “terganggu” dengan keriuhan momen Pemilihan Walikota & Wakil Walikota Makassar 2013. Suatu situasi yang kemudian (kembali) membawa dampak pada ketegangan relasi Pemerintah Kota dengan DPRD Kota Makassar.
74 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota Persoalan pembahasan Panitia Khusus menjadi semakin
kompleks setelah terbit pengaturan tentang zonasi wilayah pesisir untuk pembangunan kawasan pesisir Barat Kota makassar, yang juga di atur dalam Ranperda RTRW ini, kemudian dianggap bertentangan substansi Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Di satu sisi substansi Ranperda RTRW ini disinyalir dapat melegalisasi aktivitas reklamasi pesisir , suatu hal yang dianggap bertentangan dengan ketentuan Perpres No. 122/2012 ini.
Kondisi silang sengkarut antara dinamika perundang- undangan di aras nasional dan konstelasi dukungan partai politik menjelang momen Pemilihan Walikota & Wakil Walikota Makassar 2013 diaras lokal, yang berdampak pada “kesibukan ekstra” pemerintah kota dan DPRD kota, membuat harapan publik akan hadirnya suatu arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai pedoman spasial dalam aktivitas pembangunan kota, menjadi semakin tidak menentu. Perjalanan pembahasan Ranperda RTRW pun belum beranjak dari situasi deadlock (buntu).
Sampai saat ini, proses pengesahan Ranperda RTRW Kota Makassar 2015-2034 masih dalam tanggung jawab Panitia Khusus (Pansus), sebagaimana penyataan anggota Pansus berikut ini :
“sudah tahap bedah isi bersama akademisi, pakar tata ruang , hukum dan pesisir. Sejauh ini banyak catatan. Terutama gagasan Reklamasi yang menjadi tema utama penyusunan RTRW ini”
(Hasil Wawancara, IRW, Anggota Pansus Ranperda RTRW, 31 Mei 2013)
Sementara penjelasan lain juga di peroleh dari anggota Panitia Khusus (Pansus) yang lain :
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 75 “sekarang ini tenaga ahli kita (masing-masing fraksi) masih
terus mengkaji keberadaan Ranperda (RTRW) ini. Namun situasi sekarang menjadi lain dan sangat bernuansa politis. Dan itu sah, karena lembaga ini (DPRD) adalah lembaga politik”
(Hasil Wawancara, BBT, Anggota Pansus Ranperda RTRW, 07 Juni 2013).
Melihat semakin alotnya pembahasan menuju pada penge- sahan Ranperda RTRW ini, maka sebenarnya relasi konflik yang terpelihara semakin memperkuat tesis tentang kebenaran konfigurasi koalisi diantara aktor pemerintah kota dengan barisan pendukungnya (pro) dan DPRD Kota bersama kelompok suporternya (kontra), sementara unsur NGO/LSM Advokasi dan asosiasi profesi perencana tampil menjadi penengah (policy brokers) dari proses formulasi kebijakan ini.
C. Pengaruh Kondisi Internal dan Eksternal
Proses-proses aktivitas manajemen kebijakan publik tidak- lah berlangsung di ruang yang hampa. Sangat besar pengaruh variabel lingkungan (policy environment) dalam aksentuasi atas lahirnya suatu produk kebijakan publik. Pada ranah praktis, pengaruh lingkungan eksternal dan internal dapat dianalisa baik oleh terhadap perilaku aktor institusional maupun perilaku aktor individual dalam delivery suatu kebijakan. Hal ini disebabkan
teru tama karena pengaruh demokratisasi eksternal dan desen- tra lisasi internal dari kekuasaan pemerintah dan swasta yang masih cukup dominan, sehingga upaya-upaya konsolidasi inter- nal, khususnya dalam proses formulasi kebijakan, tidak selalu menyelesaikan semua masalah.
Dalam konteks pengesahan Ranperda RTRW Kota Makas- sar 2015-2034 terdapat beberapa variabel internal dan eksternal yang turut berperan penting dan menjadi pemicu dinamika relasional yang berujung situasi deadlock (buntu) atas perjalanan
76 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota proses formulasi kebijakan ini.
1. Kondisi Internal
Kondisi internal merupakan penggambaran atas kondisi- kondisi dasar yang diciptakan suatu institusi, yang memung- kinkan suatu sistem dan sumberdaya organisasi dapat bekerja dengan baik, dalam rangka pencapaian tujuan. Dinamika yang terjadi dalam interaksi pemerintah kota dan DPRD kota serta masing-masing koalisi pendukungnya setidaknya dipengaruhi oleh latar belakang kondisi-kondisi internal institusi yang mengakibatkan penggerakan sistem dan sumber daya yang ada. Beberapa kondisi yang bersifat internal dan dianggap memiliki pengaruh terhadap intensitas konflik gagasan dan kepentingan dalam formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar 2015-2034, antara lain :
a. Kuasa Teknokrat dalam Perencanaan Partisipatif
Salah satu pilar good governance yang essensial untuk dicapai dalam aktivitas perencanaan adalah partisipasi. Tuntutan agar masyarakat menjadi subyek yang aktif dalam perencanaan (planning by, not planning for) dan mitra atau partner pemerintah dalam penataan ruang merupakan hak yang dilindungi oleh Undang-undang. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 65 ayat 1 disebutkan bahwa penyelenggaraan penata an ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. Salah satunya adalah partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang (psl 65 ayat 2 huruf a).
Proses perencanaan tata ruang berbasis partisipasi tersebut harus dapat didesain sedemikian rupa agar dapat menjamin akses publik pada arena pengambilan keputusan sebagai wujud demokratisasi perencanaan. Pendekatan partisipatif diharapkan menjadi metode yang membuat penerimaan produk rencana tata ruang bisa semakin besar sehingga benar-benar akan menjadi pedoman bagi semua stakeholders dalam memanfaatkan ruang.
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 77
Partisipasi dapat dilihat dari berbagai perspektif, antara lain perspektif sosial, politik, dan kewargaan. Partisipasi merupakan keikutsertaan dalam proses formulasi dan pengesahan kebijakan pemerintah yang dilakukan secara legal oleh warga perorangan atau kelompok warga yang secara langsung atau tidak langsung ditujukan untuk mempengaruhi pilihan pejabat pemerintah dan/atau tindakan mereka. Selama ini pendekatan birokratis- administratif cenderung mendominasi kebijakan dan praktik pembangunan di daerah. Pendekatan ini bersifat kaku dan terjebak dalam rutinitas sehingga gagal menjawab persoalan. Pendekatan partisipatif, yang mengandung dimensi deliberasi dan engagement, penting dikedepankan agar kebijakan, perencanaan benar-benar efektif menyelesaikan persoalan publik.
Pendekatan teknokrasi dalam perencanaan tidak sesuai lagi spirit zaman. Teknokrasi (kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada ilmu atau keahlian) selama ini mengandung beberapa masalah. Dalam perencanaan teknokratis, yang diutamakan adalah pertimbangan teknis dan keilmuan dari pemerintah dalam membangun fondasi argumentatif strategi pembangunan. Model ini biasanya berafiliasi dengan pola top- down , di mana pemerintah berwenang mengatur masyarakat dan pemerintahan di bawahnya dengan pertimbangan dari pemerintah itu sendiri.
Di masa lalu, kombinasi kekuasaan yang otokratis dan tekno kratis sangat menonjol selalu mengabaikan dimensi parti- si pasi masyarakat. Kekuasaan yang otokratis dengan cepat dan mudah memerintahkan kepada para ahli untuk menyusun master plan berbagai proyek besar, tanpa harus memperhatikan dampak sosial. Tidak perlu pula ada pembicaraan dengan masyarakat yang bakal terkena risiko pembangunan. Ada banyak pengalaman menunjukkan bahwa proyek-proyek tekno- kratis cenderung menimbulkan konflik dan gugatan masya-
78 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota rakat, sebagaimana terjadi pada kasus pembangunan Waduk
Kedungombo. Dalam konteks penyusunan Ranperda RTRW Kota Makas- sar 2015-2034 pendekatan teknokrasi kembali di lakukan oleh Tim Penyusun Eksekutif. Pola penyusunan draft (rancangan) rencana dilakukan dengan memanfaatkan kompetensi Konsultan Perencana yang dibantu oleh kuasa para ahli (pakar) yang selama ini memiliki akses terhadap kekuasaan. Kolaborasi antara Tim Teknis yang di pimpin BAPPEDA, Tim Ahli Pemerintah Kota dan Konsultan Perencana Profesional menjadi pihak yang paling dominan dalam upaya penyusunan rencana.
Praktek perencanaan yang meniscayakan hadirnya parti- sipasi masyarakat di reduksi dalam bentuk forum-forum semi- nar formal yang untuk sosialisasi draft (rancangan) rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Menurut informan dari BAPPEDA Kota Makassar:
“Kalau pendekatan perencanaan yang dipakai sebenarnya lebih mengacu pada pedoman yang ada pada Permen PU (No. 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota) tahapan-tahapannya. Tahapannya : survei - analisis-rencana (setelah diajukan oleh konsultan) meliputi; pembuatan draft, laporan
pendahuluan, laporan antara hingga laporan final”. (Hasil Wawancara, MMT, Kepala Bidang Fisik & Prasarana
BAPPEDA Kota Makassar, 11 November 2012) Dengan keberadaan pedoman penyusunan rencana tata
ruang dalam bentuk Peraturan Menteri PU No. 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, maka tahapan-tahapan dan model pendekatan yang diguna kan hanya merupakan penjabaran dari peraturan ter- sebut. Ketika disampaikan tentang pendekatan (perencanaan) lain, maka tanggapan informan:
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 79 “Kalau pendekatan atau model advocacy planning saya kira
belum bisa (diterapkan), kendalanya akan memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Bayangkan kalau semua aspirasi dari seluruh wilayah harus ditampung hingga ke tahapan detail dan teknis sementara wawasan, pengalaman dan tingkat pendidikan masyarakat masih terbatas”
(Hasil Wawancara, MMT, Kepala Bidang Fisik & Prasarana BAPPEDA Kota Makassar, 11 Nov. 2012)
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pen de katan teknokrasi yang melalui prosedur konvensional masih menjadi pilihan di era demokratisasi sekarang ini. Kola- borasi kekuasaan dan keahlian yang masing-masing diwakili oleh institusi BAPPEDA bersama jajaran staf ahli dan Konsul- tan Perencana menjadi kelompok otoritas kompeten dalam menyusun draft rencana. Terlihat betul bahwa kuasa keahlian (teknis) yang dimiliki konsultan masih alat kuasa yang mengarahkan proses penyusunan rencana. Pendekatan advocacy planning, dengan berbagai model praktis partispatifnya, layak untuk dikedepankan sebab aspirasi lokalitas mendapat ruang untuk diwadahi.
b. Rendahnya Kapasitas Legislasi DPRD Kota Makassar
Berakhirnya sentralisme kekuasaan menjadi “berkah” se- kaligus tantangan bagi daerah. Di satu sisi, memungkinkan munculnya prakarsa, aspirasi, serta inisiatif pemerintah dan masyarakat daerah untuk mengelola dan kemajemukan daerah- nya masing-masing. Di sisi lain, implementasi otonomi sering- kali memunculkan beragam masalah. Terbitnya perda-perda “bermasalah”, tuntutan pemekaran wilayah yang tak terkendali, atau menguatnya fanatisme daerah adalah sejumlah kasus yang mengemuka akhir-akhir ini. Kuat sekali kesan bahwa daerah seakan “kebablasan” dalam memaknai kewenangan yang dimilikinya.
80 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota Tentu meletakkan generalisasi di sini juga tidak tepat,
sebab di banyak tempat, otonomi terlaksana secara wajar. Itulah sebabnya pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana kesiapan daerah untuk memaknai otonomi. Di titik inilah kapasitas unsur pemerintahan daerah, termasuk DPRD menjadi vital. Mengingat fungsi DPRD sebagai pengetok palu terakhir dalam pembuatan peraturan daerah. Lembaga ini punya peran besar dalam menentukan kearah otonomi dilaksanakan di daerahnya.
Peran dan fungsi DPRD sangat penting dalam mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan publik yang partisipatif, demo- kratis, dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Dengan demikian, anggota DPRD kota dituntut memiliki kapasitas yang kuat dalam memahami isu-isu demokratisasi, kemampuan teknik legislasi, budgeting, politik lokal, dan pemasaran politik.
Terkait dengan “kegagalan” pengesahan terhadap Ran- perda RTRW Kota Makassar 2015-2034 pada tahun 2012, maka kapasitas legislasi DPRD Kota Makassar layak di eksplorasi lebih jauh. Bagaimana sebenarnya kinerja institusi DPRD ini dalam menghasilkan produk Perarutan Daerah yang menjadi salah satu fungsi pokoknya. Menurut infromasi dari Ketua Badan Legislatif DPRD Kota Makassar :
“dari sembilan ranperda yang belum dibahas, tiga di antaranya dari eksekutif. Sedangkan sisanya merupkan inisiatif dewan, seperti Ranperda tentang RTH, Pengen- dalian Menara Telekomunikasi, perlindungan cagar budaya, kawasan bebas asap rokok, perlindungan pemanfaatan asset, dan pengendalian minuman beralkohol. Sementara, regulasi dari Pemerintah Kota Makassar yakni RTRW, penyertaan modal pasar tradisional, dan penyandang disabilitas”
(Komentar, ANW, Ketua Badan Legislasi DPRD Kota Makassar,http://makassar.radiosmartfm.com/
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 81 jurnal-makassar/3560-produk-legislasi-daerah-prolegda-
di-kota-makassar-sepanjang-2012-masih-lemah.html, 03 Januari 2013)
Berdasarkan penjelasan Ketua Badan Legislatif tersebut, maka terlihat secara jelas begitu memprihatinkan kapasitas anggota DPRD untuk memproduk sebuah Peraturan Daerah, bahkan termasuk bagi Ranperda yang menjadi inisiatifnya sendiri. Secara umum, prosedur-prosedur untuk sampai pada tahap pengesahan Perda yang begitu kompleks dan membutuhkan dukungan politik yang memadai menjadi problem internal tersendiri yang melekat pada institusi DPRD Kabupaten/Kota. Untuk itu “perjalanan nasib” Ranperda RTRW Kota Makassar ini bisa dipastikan tidak akan berjakan mulus dan segera tuntas sebagaimana Ranperda usulan pihak eksekutif lainnya.
2. Kondisi Eksternal
Perlu menjadi kesadaran bersama bahwa pembangunan kota ataupun tata ruang secara luas tidak lepas dari persoalan politik. Dengan kata lain, penataan ruang itu sendiri merupakan satu proses dan permainan politik, dalam pengertian bahwa ia tidak lepas dari hubungan-hubungan kekuasaan yang terjadi disekitarnya. Dengan konsep ini, dapat kita pahami bahwa peren canaan adalah suatu proses negosiasi atau pembentukan kesepakatan antara multi (banyak) aktor yang terlibat dalam pengembangan suatu kawasan atau kota.
Proses pembentukan hukum (termasuk Peraturan Daerah) dalam prateknya seringkali ditentukan situasi dan struktur kekuasaan politik yang berlaku di tengah masyarakat. Selalu ada suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Institusi politik lokal secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan. Untuk itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.
82 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota Kekuatan- kekuatan politik lokal dapat dilihat dari dua sisi
yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan formal pemerintahan daerah, seperti Gubernur, Bupati, Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.
Dalam konteks ini, proses pembentukan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar tidak terlepas dari pengaruh kontestasi kekuatan-kekuatan politik termasuk momentum perubahan ketentuan sektoral yang mempengaruhi konstelasi ketententuan umum rencana.
a. Kontestasi Pemilihan Gubernur & Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013
Momentum Pemilihan Gubernur & Wakil Gubernur (Selan- jut nya di sebut Pilgub), merupakan arena yang paling nyata jeja- ring partai poltik untuk merebut kekuasaan politik lokal. Pada situasi ini polarisasi dukungan politik di level Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi akan di respons seluruh kelembagaan pada struktur partai untuk bekerja demi kemenangan sang kandidat yang di usung partai yang bersangkutan. Arena Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) menjadi ruang pertaruhan loyalitas, dedikasi, dan soliditas kader partai politik yang harus “di bayar” dalam bentuk pengorbanan waktu, biaya dan materi. Kader-kader partai politik akan di tugaskan untuk fokus memenangkan kandidat yang di usung oleh masing-masing partai politik.
Pada titik ini, maka fokus pekerjaan dan tugas anggota DPRD akan terganggu oleh padatnya tugas-tugas kepartaian. Dampaknya kemudian adalah agenda-agenda institusional DPRD akan menjadi terbengkalai. Proses-proses pembahasan
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 83
Ranperda akan membutuhkan waktu semakin panjang sebab situasi quorum persidangan akan sulit untuk tercapai. Peta kekuatan politik di DPRD juga telah terpengaruh oleh situasi pemihakan partai politik terhadap masing-masing kandidat. Kompromi di antara partai politik berbeda kandidat juga menjadi semakin sulit.
Hal inilah yang kemudian dialami dalam tahap pembahasan Ranperda RTRW Kota Makassar. Fokus anggota legislatif untuk mengurus agenda-agenda kepartaian dan menegasi agenda- agenda institusional yang dimanahkan oleh rakyat, telah menjadi hal yang lumrah dalam perilaku anggota DPRD Kota Makassar. Tentang situasi ini, salah satu unsur pimpinan menjelaskan :
Kita memang memaklumi kondisi sekarang ini, dimana anggota dewan yang juga politisi ikut bersama partainya menjagokan calonnya di Pilgub. Insya Allah setelah Pilgub kami akan bentuk Tim Pansus”
(Komentar BSA, Ketua Badan Musyawarah DPRD Kota Makassar, http://www.beritakotamakassar.com/index. php/ metro-makassar/2455-rtrw-terkendala-di-pansus. html, 23 Januari 2013)
Penjelasan ini tentu tidak dapat dibenarkan dari sisi etika publik. Perliaku anggota DPRD yang di lebih mengutamakan tugas partai politik tentu merugikan seluruh stakeholders tata ruang, yang telah lama menanti hadirnya suatu arahan baru untuk pembangunan kota. Pembahasan Ranperda RTRW akan menjadi semakin terbengkalai akibat rendah komitmen partai politik untuk mengirim anggota Fraksi pada pembentukan Panitia Khusus (Pansus).
b. Terbitnya Perpres No. 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan PulauPulau Kecil
Pada situasi pembahasan Ranperda RTRW pasca Pil- gub 2013, terdapat konstelasi baru yang bersifat eksternal dan kemudian turut mempengaruhi kinerja Panitia Khusus
84 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota (Ranperda) RTRW Kota Makassar. Akibat terlalu panjangnya
waktu pembahasan, maka peraturan-peraturan yang secara hierarkis memiliki kedudukan hukum lebih tinggi kemudian lahir. Perarturan tersebut adalah Perpres No. 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, dalam terdapat ketentuan zonasi wilayah untuk melarang aktivitas reklamasi pada pemanfaatan ruang pesisir. Sementara pada content (isi) Ranperda RTRW yang dibahas, cenderung membolehkan tindakan reklamasi pada pembangunan wilayah pesisir yang di orientasikan menjadi pusat bisnis berskala global.
Kontestasi gagasan dan kepentingan antara Pemerintah Kota dan DPRD Kota kemudian berlanjut pada situasi pem- bahasan Ranperda RTRW, khususnya dalam konteks rencana pemanfaatan ruang pesisir. Pembahasan di Panitia Khusus pun kembali mengalami kebuntuan sebab “benturan” kepentingan pihak eksekutif kemudian direspon secara berbeda oleh pihak legislatif. Pihak legislatif merasa membutuhkan waktu untuk menadalami problem pemanfaatan wilayah pesisir.
Situasi ini dijelaskan oleh salah seorang anggota Pansus Ranperda RTRW sebagai berikut :
“kita ingin bedah secara mendalam, Terutama gagasan Reklamasi yang menjadi tema utama penyusunan RTRW ini. Kita tidak ingin Perda RTRW ini nantinya hanya akan melegalkan tindakan penimbunan laut (reklamasi), yang tentu juga bertentangan dengan aturan (Perpres No. 122 Tahun 2012)
(Hasil Wawancara, BBT, Anggota Pansus Ranperda RTRW, 07 Juni 2013).
Kehadiran pasal-pasal pada Ranperda RTRW yang memung- kinkan legalisasi aktivitas reklamasi dalam pembangunan wila yah pesisir menjadi perhatian tersendiri dalam konflik kepentingan eksekutif dan legislatif. Pihak legislatif merasa perlu mendalami persoalan ini secara seksama, sebab pada situasi
Dinamika Interaksi Stakeholders dalam... 85
yang lain secara eksisting sudah terjadi aktivitas pengkavlingan dan penimbunan wilayah laut (reklamasi) pesisir Kota makassar secara intensif oleh kalangan pemburu rente (investor besar), yang telah memperoleh izin dari pihak pemerintah kota.
D. Posisi dan Peran Stakeholders dalam Proses Formulasi Kebijakan RTRW
Istilah peran kerap diucapkan banyak orang. Sering kita mendengar kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka seseorang yang diberi (atau mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh status tersebut. Dengan demikian dalam sebuah peran di situ melekat hak dan kewajiban, ada goal (harapan) yang ingin dicapai baik oleh pelaku maupun yang memberikan peran dan ada standart (aturan) yang harus diikuti para pihak (stakeholder).
Kondisi pemangku kepentingan mempunyai pengaruh yang besar dalam keberhasilan formulasi kebijakan. Pemangku kepentingan merupakan representasi kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan kebijakan. Keberhasilan kebajikan adalah tercapainya tujuan kebijakan dari sudut pandang pemangku kepentingan terkait yang secara tradisional diukur dari indikator kesepakatan pihak terkait. Ada suatu kecenderungan yang alamiah dari kelompok pemangku kepentingan untuk mencoba mempengaruhi kondisinya dalam keberhasilan formulasi kebijakan. Pengaruh kondisi atau keadaan pemangku kepentingan dalam mencapai keberhasilan kebijakan dapat dilihat dari posisi dan peran yang dimainkan oleh pemangku kepentingan (stakeholders).
Dinamika formulasi yang diwarnai oleh relasi konflik gagasan dan kepentingan dari masing-masing stakeholders, sebenar nya tidak terlepas dari model dan pendekatan peren- canaan yang digunakan pihak pemerintah kota dalam menyusun
86 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota rencana. Model teknokrasi yang berpadu dengan pola top-
down telah memarginalkan kelompok-kelompok non negara, yang selama ini menjadi pihak yang rentan dengan dampak pemanfaatan ruang yang tidak manusiawi. Pihak eksekutif yang memiliki otoritas dan di dukung oleh jajaran experts merasa menjadi pihak yang paling absah dalam menentukan arah pemanfaatan ruang kota. Pada sisi yang lain, debat panjang yang kemudian berujung dead-lock (kebuntuan) terus dipertontonkan kepada publik dalam relasi eksekutif-legislatif, semakin menarik perhatian kelompok-kelompok kepentingan untuk bereaksi merespons isu-isu pembanguan kota.
Pemetaan posisi dan peran stakeholders dalam proses formulasi kebijakan dimaksudkan untuk melihat kedudukan aktor yang terlibat terkait dengan karakteristik stakeholders sebagai aliansi (pro), oposisi (kontra), kepentingan, kekuasaan dan kepemimpinan dalam seluruh tahapan-tahapan formulasi kebijakan Ranperda RTRW Kota Makassar 2015-2034. Pemetaan ini akan menjelaskan bagaimana peran kelompok aktor dominan dan kelompok aktor yang marginal serta isu-isu yang senantiasa mengadvokasi institusi masing-masing aktor.
Tabel No. IV.1
Posisi & Peran Stakeholders Dalam Formulasi Kebijakan RTRW Kota Makassar 2010-2030 2015-2034
Stakeholders BAPPEDA
DPRD Kota Dan Tahap
Staf Ahli
Kota Formulasi
IAP Sulsel Makassar Tahapan
Pemkot
Perencana
Tarkim Prov. Sulsel
pihak yang
n masukan
percepatan
n isu tentang
t ide green
kejelasan
Masalah
menginisia kepada Tim
Revsis
kebutuhan
city, yang
aturan tata
RTH Publik
sering
ruang untuk
yang jauh
terkait arah
amanat UU
dari kondisi
n oleh
a Interaksi Stakeholders dalam...
membentu
rencana
h Kota
k Tim Teknis
untuk pembahas an lanjutan
an Revisi
n masukan
“pesanan”
nsi tahap
pihak yang
opini di media
Agenda
tentang dengan
RTRW yang
kendalan mengaloka
pemenuhan sikan
RTH Publik anggaran
sesuai UU
an Kota
Menawarkan nasi
Menyelesa Mensinkron
Terus
alternatif dengan
ikan studi
isasikan
beropini
pemenuhan para pihak
kebutuhan yang
n draft
RTRWP,
komitmen
RTH Publik
Stakeholders
- pihak yang
n masukan
percepatan
n isu tentang
t ide green
kejelasan
menginisia kepada Tim
Revsis
kebutuhan
city, yang
aturan tata
RTH Publik
sering
ruang untuk
yang jauh
terkait arah
amanat UU
dari kondisi
n oleh
h Kota
k Tim Teknis
untuk pembahas an lanjutan Melanjutk
Membuat - an Revisi
opini di media RTRW
n masukan
“pesanan”
nsi tahap
pihak yang
tentang dengan
RTRW yang
kendalan mengaloka
pemenuhan sikan
RTH Publik anggaran
sesuai UU
an Kota
Menyelesa Mensinkron
ikan studi
para pihak
olitik Formulasi K
RTH Publik Terkait
yang
n draft
an Draft RTRW
Mendorong Memegang
ebijak
Penetapan
n usulan
an bahan
percepatan kunci
Kebijakan
ke DPRD
Perda RTRW penetapan &
an T
untuk di
untuk pengesahan bahas
pedoman kebijakan,
ata Ruang K
lahirnya Perda membangun sekealigus
yang sangat
RTH relasi konflik memperba
untuk di
dengan pihak iki draft yg
bahas di
eksekutif dikembali
kan oleh
nan pesisir
DPRD
Sumber : Hasil Analisis
Konfigurasi Koalisi Advokasi dalam ... 89