Dinamika Tata Pemerintahan Daerah Dalam

DINAMIKA

TATA PEMERINTAHAn DAERAH DALAM FORMULASI KEBIJAKAN

TATA RUANG KOTA TATA RUANG KOTA

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otoma- tis ber dasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]).

2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan cip- taan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. Pener- jemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinan- nya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komuni- kasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).

3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf

a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [3]).

4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana den- gan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pida- na denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [4]).

Daftar Isi iii

ANDI LUHUR PRIANTO

DINAMIKA

TATA PEMERINTAHAn DAERAH DALAM FORMULASI KEBIJAKAN

TATA RUANG KOTA TATA RUANG KOTA

Katalog dalam Terbitan (KDT) Andi Luhur Prianto

Dinamika Tata Pemerintahan Daerah Dalam Formulasi Kebijakan Tata Ruang /Andi Luhur Prianto.-- Yogya karta: Samudra Biru, 2017. x + 128 hlm. ; 16 x 24 cm. ISBN : 978-602-6295-37-8

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau mem perbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun juga tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan I, Agustus 2017 Penulis : Andi Luhur Prianto

Desain Sampul

: Roslani Husein

Layout

: Joko Riyanto

Dicetak oleh:

CV. Samudra Biru Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno B.15 RT 12/30 Banguntapan Bantul DI Yogyakarta Email/FB : psambiru@gmail.com website: www.cetakbuku.biz/www.samudrabiru.co.id Phone: 0813-2752-4748

Daftar Isi v

PENGANTAR REDAKSI

embangunan nasional yang bersifat etis-humanis dan partisipatif adalah salah satu ciri dari negara modern.

Dengan pembangunan model ini, kepentingan masyarakat dapat diakomodir dan tentunya berdampak pada kesejahteraan masya - rakat. Ini adalah ciri masyarakat modern yang lebih memen- tingkan kebutuhan masyarakat daripada kepentingan golongan tertentu saja. Selama 32 tahun kita pernah merasakan kehidupan yang pahit pada masa orde baru di mana kepentingan penguasa dan kroni-kroninya yang diutamakan dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Lahirnya masa reformasi pada 1998 membawa angin peru -

ba han yang positif. Perubahan ini setidaknya ditandai dengan adanya trend otonomi daerah. Pembangunan yang awal nya sentra listik, lambat laun berubah ke arah desentralistik. Para- digma penyelenggaraan pemerintahan pun telah bergeser, dari gover nment ke governance, di mana paradigma governance ini kemu dian menga khiri dominasi negara serta meniscayakan hadir nya aktor-aktor baru dalam penyelengaraan pemerintahan.

Pada konteks inilah cukup menarik mengkaji tentang bagai mana sebuah kebijakan publik diformulasikan. Hal ini khusus nya yang terjadi di Kota Makassar dalam kasus kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2015-2034. Buku ini mengulas tentang dinamika interaksi stakeholders dalam Pada konteks inilah cukup menarik mengkaji tentang bagai mana sebuah kebijakan publik diformulasikan. Hal ini khusus nya yang terjadi di Kota Makassar dalam kasus kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2015-2034. Buku ini mengulas tentang dinamika interaksi stakeholders dalam

formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar 2015-2034. Pada kenyataannya, tidak saja peme rintah terdapat banyak aktor dalam Proses Formulasi Kebijakan RTRW Kota Makassar 2015- 2034 tersebut. Hal ini menandakan ada partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan. Inilah yang disebut penulis sebagai model Advocacy Coalition Framework (ACF) dalam perumusan kebijakan publik.

Menurut temuan buku ini, dalam penyusunan RTRW banyak sekali dinamika yang terjadi. Mulai dari kelompok yang pro ter hadap rencana pemerintah tersebut, kontra hingga kelompok yang menjadi penengah dari kebijakan RTRW tersebut. Dari kelompok-kelompok tersebut diketahui bahwasanya ter- dapat banyak kepen tingan dari setiap kelompok. Kepentingan tersebut dikaitkan dengan ideologi atau keyakinan yang dianut oleh masing-masing.

Buku ini tentu saja memberikan kontribusi yang positif bagi para pemangku kebijakan untuk lebih bijak dalam menga- mbil keputus an. Masyarakat itu tidak hanya memiliki satu pandangan. Ada banyak pandangan yang perlu diakomodir. Untuk menyatukan pandangan yang berbeda tersebut, perlu upaya yang baik agar tidak muncul konflik horizontal yang merugikan pembangunan suatu daerah. Selamat membaca!

x Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota

Pendahuluan 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Zaman pemerintahan sentralistik orde baru tinggal catatan seja rah. Meski demikian, berlalunya sebuah rezim autoritarian bukan berarti pulihnya kembali luka-luka sejarah. Trauma historis yang ditinggalkan masih saja tetap mengusai jaringan memori kolektif masyarakat. Rezim otoriter dengan segala kebijakan sentra lis tiknya masih menorehkan ingatan yang saling bertabrakan dengan idea-idea demokrasi. Residu sentralisasi penyelenggaraan peme rintahan negara telah mengendap dan menjadi panacea yang meng uasai struktur kesadaran masyarakat.

Hal ini terjadi sebab (kurun) panjang waktu rezim pemba- ngunan orde baru diorientasikan pada pertumbuhan yang bersifat kuantitatif dan linier, hingga menegasikan aspek etis- humanis dari proses dinamika kolektif dalam masyarakat. Kon disi ini melahir kan kesenjangan pembangunan dalam berbagai dimensi. Fungsi penyelenggaraaan pemerintahan nega ra tidak berjalan ideal, sebab pemerintah pusat dapat secara efektif melakukan amputasi kewe nangan terhadap kekuasaan pemerintahan daerah dalam menggerakkan local resources.

Angin perubahan yang berhembus dalam nafas otonomi mem bawa harapan kesejukan. Desain otonomi daerah telah memberi ruang gerak yang lapang kepada institusi pemerintahan lokal dalam mengakselerasi pembangunan.

2 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota Paradigma penyelenggaraan pemerintahan pun telah bergeser,

dari government ke governance, dimana paradigma governance ini kemu dian mengakhiri dominasi negara serta meniscayakan hadirnya aktor-aktor baru dalam penye lengaraan pemerintahan. Aktor-aktor governace tersebut setidak nya terdiri dari unsur negara, swasta, dan masyarakat sipil (Muluk, 2010), serta ter- masuk juga aktor-aktor multi-nasional atau internasional dalam perspektif sound governance (Putra, 2009). Keterlibatan para aktor tersebut kemudian juga membawa dampak bahwa pemerintahan tidak lagi dijalankan dengan mengandalkan sanksi dan represi yang berdasar pada otoritas semata. Paradigma baru ini telah merubah mode interaksi negara, dari kekuasaan dan kontrol menjadi pertukaran informasi, komunikasi dan persuasi.

Pada lingkungan eksternal, konteks dinamika global pun ter jadi reorientasi konsep tentang pembangunan. Konsepsi baru tentang pembangunan lebih menekankan pada aspek demo krati- sasi, suistainability, kemandirian lokal (self relience), dan mekanis- me partisipatif telah menjadi kesadaran global. Akses publik dan aktor-aktor pembangunan pada ruang kebijakan, yang meliputi tahap formulasi, implementasi, hingga tahap evaluasi harus tersedia dan dilakukan dengan memenuhi prinsip-prinsip good governance (Tikson, 2002).

Spirit partisipasi dalam pembangunan mendorong warga negara (citizens) kini menuntut penjelmaan praktek akuntabilitas, transparansi, openess, kepastian hukum, dan jaminan kesetaraan dalam setiap tahapan kebijakan publik. civil society organization (CSO) bahkan telah mengintrodusir model citizens law-suit dan class-action atas kegagalan prosedural dan operasional sebuah produk kebijakan. Hal ini tentu meniscayakan hadirnya kapasitas dan kapabilitas responsif yang optimal pada instansi pemerintah, di setiap level kepemimpinan.

Dalam konteks pembangunan perkotaan, yang menjadi oto ritas otonom pemerintah kota, aktualisasi konsep good urban

Pendahuluan 3

governance atau good urban management atas sebuah kebijakan publik mendapat ujian ketika diperhadapkan pada besaran aspek kewenangan yang dimiliki dalam kerangka otonomi daerah. Hal ini dituntut kemampuan memediasi dan menerjemahkan ragam aspirasi masyarakat kota yang berwawasan holistik dengan visi yang jauh kedepan (forward thinking).

Agenda-agenda besar pembangunan kota hanya dapat ter- wujud di bawah kepemimpinan yang kuat dan visioner. Kepala daerah dituntut untuk mampu memainkan peran sebagai pemim- pin atas upaya pencapaian visi dan misi organisasi perkotaan secara efisien, efektif dan equity. Pembangunan perkotaan pun harus dimaknai sebagai sebuah proses yang inklusif dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan. Suatu tantangan besar di tengah dinamika kependudukan yang menuntut kebutuhan ruang dan akomodasi pertumbuhan ekonom (formal dan infor mal) demi pergerakan dan akumulasi kapital secara dinamis. Dengan demikian aktivitas pembangunan perkotaan secara agre gat diharapkan mampu meningkatkan dan memeratakan taraf kesejah teraan masyarakat serta menjamin terlaksananya mekanisme pem bangunan yang berkelanjutan.

Kebijakan penataan ruang merupakan salah satu produk kebijakan yang sangat strategis dalam pembangunan perkotaan. Tata ruang merupakan instrumen sosial, ekonomi, dan politik untuk pengembangan wilayah, demi peningkatan dan peme- rataan kesejah teraan masyarakat. Kebijakan tata ruang perkotaan me rupa kan instrumen intervensi pemerintah terhadap ruang/ lahan sebagai sumberdaya publik yang sangat terbatas jumlahnya. Secara normatif, Undang Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemeritahan Daerah, sebagaimana yang diatur pada Pasal 14 ayat 1 (b) yaitu perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota serta Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 11 ayat 2, yaitu pemerintah daerah kota

4 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota mempunyai wewenang dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah

kota yang meliputi perencanaan tata ruang wilayah kota, pemanfaatan ruang wilayah kota dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota . Berdasarkan aturan tersebut, maka kewenangan pemerintahan daerah dalam penyusunan penyusunan rencana tata ruang wila- yah kota terasa sangat bernuansa desentralistik.

Secara teknis, tata cara penyusunan kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW) kota telah diatur pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 17/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota menjabarkan proses dan prosedur penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) kota. Untuk menjamin keterlibatan masyarakat dalam penyusunan RTRW, maka diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Ketentuan ini menjelaskan bentuk keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Berdasarkan ketentuan yang ada, maka upaya mengaktualisasikan model advocacy planning dalam penyu sunan RTRW menjadi sangat prospektif.

Meskipun pengaturan tentang jaminan keterlibatan para pihak dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW), tetapi fakta menujukkan bahwa produk rencana tata ruang lebih merupakan karya para konsultan pembangunan yang kemudian disahkan oleh pemerintah menjadi peraturan daerah (Setiawan, 2005). Persepsi semacam ini tidak terlepas dari tradisi perencanaan yang sangat deterministik. Suatu model perencanaan yang fokus pemanfaatan metode-metode rasional untuk melakukan proses perencanaan, dari identifikasi persoalan, perumusan tujuan, dan memilih alternatif terbaik untuk mencapai tujuan. Meskipun dasar nya adalah rasionalitas dan obyektifitas, dalam prakteknya tradisi perencanaan ini, khususnya yang menonjol yakni, rational comprehensive planning, banyak dikritik sebagai model ‘elitis.’

Pendahuluan 5

Hal ini disebabkan karena planning process menjadi sangat kaku dan rumit, yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah mempelajari ilmu perencanaan secara khusus dan formal. Tradisi ini juga dikritik karena kegiatan perencanaan sekedar sebagai upaya “justifikasi” terhadap suatu keputusan politis tertentu (Setiawan, 2005).

Gagasan dan praktek perencanaan kemudian berkembang dan mulai hirau dengan aspek-aspek sosial politik yang dinamis dan sarat konflik. Dengan kata lain, penataan ruang telah dimaknai sebagai suatu proses dan permainan politik, dalam pengertian bahwa ia tidak lepas dari hubungan-hubungan kekuasaan. Kon sepsi ini menunjukkan bahwa perencanaan adalah suatu proses negosiasi atau pembentukan kesepakatan antara banyak aktor dan institusi yang terlibat dalam pengembangan suatu kawasan atau kota. Dari sinilah muncul istilah stakeholders, yang merujuk pada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu pena- taan ruang. Dengan kata lain penataan ruang adalah proses negosiasi dan pembentukan kesepakatan antar stakeholders. Pembentukan kesepakatan ini terutama diperlukan agar setiap proses pemanfaatan sumber daya alam (misalnya ruang) dapat dilakukan secara lebih fair, tidak saja mempertimbangkan aspek efisiensi melainkan juga aspek equity (Setiawan, 2005).

Hasil penelitian Suciati (2006) menunjukkan bahwa kebija- kan penyusunan rencana tata ruang pada prakteknya ternyata masih sangat berbeda dengan normatifnya. Peran stakeholders masih didominasi oleh pihak pemerintah, sedang peran aktor swasta dan aktor masyarakat relatif kecil. Karena adanya ketidaksesuaian proses partisipasi tersebut mengakibatkan rencana tata ruang belum sepenuhnya digunakan sebagai acu- an pembangunan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat. Sementara Lisdiyono (2008) menemukan bahwa pergeseran kebija kan hukum tata ruang dalam regulasi daerah lebih meres- pon kepentingan kekuatan pasar atau pemilik modal. Perubahan

6 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota rencana tata ruang didominasi kepentingan aktor ekonomi yang

dukung oleh aktor politik.

0 Kota Makassar yang terletak antara 119’28’19 0 -119 32’31’

0 Bujur Timur dan 05 0 51’81’-05 514’6’49 Lintang Selatan merupakan kawasan di jazirah selatan Pantai Barat Pulau Sulawesi. Secara

geografis letak strategis ini membawa keuntungan geo-ekonomi, di mana Makassar menjadi sentrum pembangunan untuk Kawa- san Timur Indonesia. Hal inilah yang mengakibatkan perubahan morfologi kota berlangsung pesat dari waktu ke waktu. Perkem- bangan yang dinamis ini mengantarkan pada kondisi kota yang positif maupun negatif, terutama pada lingkungan dan manusia (penghuninya). Dengan demikian, ada bagian kota yang tumbuh dengan baik sesuai rencana, sebaliknya ada pula yang mengalami penyimpangan fungsi sehingga menimbulkan kepadatan, kemacetan kekumuhan dan rawan bencana.

Sejak tahun 1984 Kota Makassar telah memiliki RIK (Ren- cana Induk Kota) sebagai arahan aktivitas pembangunan. Istilah ini RIK kemudian diganti menjadi RUTRK dan disahkan melalui Perda No. 02 Tahun 1987, tetapi berdasarkan UU No. 24/1992 Tentang Penataan Ruang, istilah RUTRK diganti menjadi RUTRW (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah). RUTRW Kota Makassar yang memiliki dimensi waktu selama 20 tahun (1984-2004), telah mengalami review sebanyak dua kali yaitu pada tahun 1992 dan 1998. Hasil review pertama dari 5 tahun operasionalisasi RUTRW ini terjadi deviasi kurang dari 50% sehingga keberadaannya masih dapat dilanjutkan, sementara hasil review kedua pada tahun 1997/1998 dijumpai deviasi perencanaan di lapangan sebesar + 50% sehingga perlu diadakan revisi. Berdasarkan hal tersebut maka tahun 1999/2000 diadakan revisi RUTRW Kota Makassar untuk dimensi waktu selama 10 tahun (1999/2000- 2009/2010). Meski telah direvisi namun hasil rancangan revisi ini tidak pernah disah kan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) sehingga tidak berkekuatan hukum. Materi revisi juga

Pendahuluan 7

hanya dalam skala yang makro atau berwujud peta-peta spasial yang sulit dijabarkan secara operasional dilapangan.

Pengaturan tentang ruang dan lahan secara teknis diatasi dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Walikota No. 6223 tahun 1997 Tentang Peruntukan Tanah Dan Penataan Bangunan Pada Masing-Masing Bagian Wilayah Kota (BWK) Di Daerah Tingkat

II Ujung Pandang. Dalam situasi transisi kebijakan dan ketiadaan arahan, justru pembangunan kota berlangsung semakin pesat dan tidak terkendali. Arahan kebijakan penataan ruang di Kota Makassar akhirnya mengalami kejelasan dengan dilegalisasinya Perda No. 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar Tahun 2005-2015, meskipun kemudian isi (content) Perda tersebut bertentangan dengan UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Pertentangan itu setidaknya terjadi pada dua aspek, yaitu : pertama, dimensi waktu rencana, Perda No. 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar untuk kurun waktu 2005-2015 atau hanya berdimensi waktu selama 10 tahun, sementara menurut UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang masa berlaku RTRW Kota berjangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan kedua, dimensi pengaturan ruang terbuka hijau (RTH), Perda No.

6 Tahun 2006 tentang RTRW Kota Makassar 2005-2015 tidak secara eksplisit mengatur tentang persentase luasan ruang terbuka hijau (RTH), sementara UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang menuntut ketentuan penye diaan ruang terbuka hijau yang minimal berjumlah 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, dengan proporsi minimal 20 (dua puluh) persen ruang terbuka hijau (RTH) publik dan minimal 10 (sepuluh) persen ruang terbuka hijau (RTH) privat.

Pada situasi inilah kemudian pemerintah kota Makassar kembali menginisiasi revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW). Sesuai amanat UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang pasal 78 ayat 4 (c), penyesuaian RTRW kabupaten/kota paling

8 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini

diberlakukan. Fakta di lapangan menujukkan bahwa proses formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar sudah dimulai sejak tahun 2010 dan belum juga disahkan sampai hari. Kondisi ini tidak terlepas dari tarik menarik kepentingan koalisi aktor kebijakan yang saling mempengaruhi dalam seluruh tahapan formulasi (Tribun Timur, Jumat 30 November 2012).

Pada situasi ini, relasi antar aktor kemudian membentuk kerangka koalisi. Aktor konsultan perencana, Staf Ahli Pemerin- tah Kota dan BAPPEDA (eksekutif) yang di dukung oleh aktor organisasi swasta seperti Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dengan mengandalkan technocratic approach membangun koa- lisi dan mendominasi proses formulasi kemudian disisi yang lain koalisi aktor organisasi masyarakat sipil seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Forum Studi Energi dan Ling- kungan (FOSIL), dan aktor dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) kota (legislatif) bertindak sebagai oposisi yang senantiasa mengkritisi rancangan kebijakan yang dibuat olah koalisi aktor pemerintah kota dan konsultan. Peran aktor dari asosiasi profesi seperti Ikatan Ahli Perencana (IAP) dan aktor perguruan tinggi lebih bertindak penengah yang memediasi kepentingan antara koalisi aktor tersebut. Posisi broker juga diperankan oleh aktor organisasi masyarakat sipil seperti Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia, yang mendorong kedua belah pihak (koalisi eksekutif dan assosiasi swasta serta koalisi legislatif dan organisasi masyarakat sipil) untuk menghindari deadlock dan tidak melakukan pembangkangan pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 (Harian Cakrawala, 10 Desember 2012).

Proses formulasi kebijakan yang alot dan telah membentuk pola konfigurasi koalisi antar aktor dan menjadi menarik jika ditinjau dari perspektif advocacy coalition framework (ACF). Keha- diran koalisi kebijakan pada tahap formulasi kebijakan memberi kontribusi terhadap perubahan tujuan dengan kemun culan aktor-aktor yang sarat dengan nilai-nilai dan kepentingan. Model

Pendahuluan 9

ini telah banyak digunakan dalam melihat proses formulasi kebijakan lingkungan seperti yang terjadi pada pertentangan koalisi pro dan kontra kebijakan dalam kasus perlindungan Danau Tahoe Basin di Nevada Amerika Serikat (Weible & Sabatier, 2007) dan menganalisis peran dan kepentingan stake- holders dalam kebijakan perlindungan laut di California Selatan Amerika Serikat (Weible, 2006) serta interaksi multi aktor dalam kebijakan pelepasan secara terbatas kapas transgenik di Sulawesi Selatan (Manurung, 2005).

Pendekatan advocacy coalition yang digunakan dalam buku ini membantu menjelaskan pembelajaran yang terjadi sebagai akibat interaksi aktor dan sistem nilai dalam koalisi kebijakan. Jejaring kebijakan yang terjadi di antara aktor pemerintah, swasta dan masya rakat dan pembelajaran dapat menjadi kontrol bagi label kepentingan publik (Suwitri, 2011). Melihat fenomena tersebut, maka kajian ini bermaksud mendeskripsikan, menga- nalisis dan menginterpretasi koalisi aktor, interaksinya serta sistem nilai dan pembelajaran yang terjadi dalam formulasi kebijakan sebagai suatu subsistem kebijakan Rencana Tata ruang wilayah kota (RTRW) Kota Makassar 2015-2034.

Kerangka koalisi advokasi sering digunakan untuk men- jelas kan perilaku stakeholders dan hasil kebijakan dalam konflik politik yang intens dalam jangka waktu tertentu. Koalisi advokasi dapat muncul pada semua level kebijakan, baik tingkat nasional, subnasional dan lokal. konfigurasi kebijakan dalam suatu subsistem kebijakan dapat dipelajari melalui koalisi dari aktor- aktor jejaring kebijakan. Hal ini disebabkan subsistem kebijakan merupakan jejaring kebijakan yang terdiri dari sejumlah koalisi-koalisi advokasi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan keyakinan dan sumberdaya yang mereka miliki.

Berdasarkan perspektif kerangka kerja koalisi advokasi kebijakan, banyak pertanyaan muncul sehingga penting dijawab dalam buku ini. Pertama, bagaimana bentuk dinamika interaksi

10 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota stakeholders dalam formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar

2015-2034. Kedua , bagaimana Konfigurasi Koalisi Advokasi Aktor dalam Proses Formulasi Kebijakan RTRW Kota Makassar 2015- 2034. Ketiga, bagaimana Pola Pembelajaran Kebijakan Dalam Proses Formulasi Kebijakan RTRW Kota Makassar 2015-2034

B. Mengapa Buku Ini Ditulis?

Penulisan buku ini pada dasarnya ditujukan untuk men- jawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Dengan kata lain, buku ini ditulis untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menginter- pretasi konfi gu rasi koalisi aktor, interaksinya serta sistem nilai dan perubahan tujuan yang terjadi dalam formulasi kebijakan sebagai suatu subsistem kebijakan RTRW Kota Makassar.

Ringkasnya, tujuan penulisan buku ini adalah sebagai berikut: Pertama, untuk menganalisis bentuk dinamika interaksi stakeholders dalam formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar 2015-2034. Kedua , untuk menganalisis konfigurasi Koalisi Advo- kasi Aktor Dalam Proses Formulasi Kebijakan RTRW Kota Makassar 2015-2034. Terakhir, untuk menjelaskan pola pem- belajaran kebijakan dalam proses formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar 2015-2034.

Penulisan buku ini juga dilatarbelakangi agar buku ini mem berikan kontribusi positif baik secara akademis maupun prak tis. Secara akademis diharapkan mampu memberikan kontri busi positif bagi pengembangan studi formulasi kebijakan publik tentang peranan koalisi kebijakan terhadap pembelajaran kebija kan dengan pendekatan advocacy coalition dalam disiplin Ilmu Adminsitrasi Publik. Sedangkan secara praktis, diharapkan buku ini dapat menjadi bahan pertimbangan (referensi) bagi para aktor kebijakan tetap mengedepankan kepentingan masyarakat dalam pengembangan dan keberlajutan proses formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar.

Pendahuluan 11

C. Metode Kajian

Kajian tentang koalisi aktor dalam formulasi kebijakan tata ruang perkotaan ini dilaksanakan melalui pendekatan kualitatif. Adapun kajian buku ini bersifat studi kasus (case study) dengan tipe deskriptif, yaitu untuk memberikan gambaran secara menyeluruh (comprehensive). Dalam kajian ini sangat penting untuk memahami pengaruh maupun beliefs para aktor dalam koalisi dalam kegiatan formulasi, sehingga salah satunya dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan, yang merupa kan salah satu karakteristik dan teknik pengumpulan data dari pendekatan kualitatif.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bungin (2003) bahwa penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah menga mati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Salah satu kelebihan kajian kuali tatif adalah karena ia bisa digunakan untuk menjelaskan detail suatu fenomena yang sulit dijelaskan jika menggunakan pendekatan kuantitatif. metode pengumpulan data akan lebih banyak diadakan dengan instrumen indepth interview dengan key informan yang terpilih. Prosedur yang terpenting adalah bagai- mana menentukan informan kunci (key informan) yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian.

Sebagai kajian studi kasus, buku ini fokus pada beberapa institusi yang terkait secara langsung dengan aktivitas formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar 2015-2034 Di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.

Penulis sekaligus sebagai peneliti terlibat secara langsung dalam mengumpulakan data primer dan maupun skunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan aktor negara dan non negara yang terkait formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar. Sedangkan data sekunder untuk memperkuat data yang diperoleh dari analisis interaksionis,

12 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota maka diadakan penelusuran dokumen-dokumen institusional

BAPPEDA Kota Makassar. Kajian buku ini menggunakan teknik analisis data kuali- tatif. Model analisis dengan menggunakan penelitian kualitatif didesain sedemikian rupa sehingga dapat mengungkap per- soalan penting yang terkait dengan fokus masalah yang telah ditetapkan (Bungin, 2003). Di samping itu analisis kualitatif dilakukan berdasarkan gejala yang dijelaskan dan dibidik sebagai bagian dari state of the art kajian ini. Dalam pembahasan ini berbagai data yang ada adalah data-data yang berkaitan dengan perilaku koalisi aktor dalam formulasi kebijakan RTRW, seperti naskah akademik dan laporan-laporan perencanaan serta progress report penyusunan RTRW Kota Makassar tahun 2010 - 2030.

Teknik analisis data yang digunakan dalam buku ini adalah analisis dengan menggunakan model interaktif (interactive model), seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992:16). Dalam model interaktif terdapat 4 komponen analisis utama yaitu komponen pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), sajian data (data display) serta penarikan kesimpulan (drawing). Selanjutnya analisis dilakukan dengan memadukan cara interaktif terhadap keempat komponen utama tersebut.

Pada tahapan pengumpulan data, maka intearksi aktor negara dan non negara yang diamati dalam formulasi kebija- kan RTRW. Langkah ini melahirkan data dan deskripsi data terhadap tiga level analisis implementasi. Data yang dikumpul- kan demikian banyak meliputi seluruh elemen yang dapat menunjukkan pada kategorisasi pada tiga elemen interaksi yang dianalisis sehingga diperlukan untuk direduksi. Pada anali- sis selanjutnya direduksi sesuai dengan kepentingan untuk menjelaskan perspektif interaksi sebagai bagian dari upaya untuk menjawab tujuan kajian ini.

Pendahuluan 13

Selanjutnya proses analisis data pada tahapan reduksi telah menempatkan berbagai data yang relevan untuk dianalisis lebih lanjut. koalisi aktor dalam formulasi kebijakan RTRW dengan menggunakan metode reduksi telah mendapatkan tiga area analisis interaksi dengan kategorisasi yang telah dirumus kan pada bagian pengumpulan data yang ada. Proses ini kemudian melahirkan bentuk pola dominasi dengan mencoba mendefenisikan secara lebih tegas aspek perilaku yang dikembangkan pada tahapan pengum pulan data sebelumnya. Proses ini berlanjut hingga proses penam pakan data yang dapat menjelaskan dua karakteristik perilaku.

Berdasarkan tampilan data yang telah dirumuskan pada masing-masing kategorinya itu, maka analisis selanjutnya adalah disimpulkan dengan menarik berbagai perspektif yang ada pada masing-masing kategori yang dikembangkan pada tahapan se- belum nya. Proses ini dilakukan secara terus-menerus mulai dari awal pengum pulan data hingga melahirkan kategorisasi pada aspek perilaku aktor. Kategorisasi inilah yang dijadikan analisis dan pembahasan untuk menemukan proposisi sebagai bagian akhir dari seluruh rangkaian proses kajian buku ini.[]

14 14 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota

Konsep Formulasi Kebijakan Publik... 15

BAB II KONSEP FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK BIDANG PENATAAN RUANG

A. Partisipasi dalam Formulasi Kebijakan Publik

Secara etimologis, pada Cassels New Latin Dictionary meng- ar tikan kebijaksanaan dari kata “sapientia ” yang diambil dari Bahasa Yunani “sophia ” sama dengan sapientia, dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dalam kata “wisdom ” atau “good-sense”. Nama lain dari kebijakan adalah “prudentia” (Latin) dan “prudence (Inggris) atau “wise”, tetapi dalam kata sifat “sapiens, prudens dan sapere ” (kata kerja), ditemukan istilah yang sangat mengesankan yaitu wise, sensible dan judious. Atau terjemahan dari kata “sapere ” (Latin) ke dalam Bahasa Inggris adalah to taste, to have flavour yang artinya cita rasa, penuh pertimbangan, pertimbangan demi pertimbangan, hingga yang terakhirlah landasan pengambilan keputusan. Oleh sebab itu kebijaksanaan (wisdom) dan kebijakan (policy) harus dibedakan (Nugroho, 2011).

Sumber lain, Dunn (1995), mengatakan bahwa kata policy berasal dari Bahasa Inggris abad pertengahan, yaitu policie yang berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah publik atau adminis trasi pemerintahan. Keputusan dari pertimbangan nalu- ri dan nurani juga dipengaruhi oleh kekuasaan. Pada masa per- kem bangan berikutnya hasil pemilihan dan penyaringan inilah yang terumuskan sebaagai kebijakan publik (Wibawa, 2011, Nugroho, 2011).

16 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota Kebijakan publik dalam arti menyangkut permasalahan

yang bertalian dengan rakyat, pemerintahan dan wilayah, menu rut Mustopadidjaja (2002) pada esensinya adalah suatu nilai, suatu fenomena nilai, suatu pilihan yang sarat nilai; diputus kan melalui penilaian yang didasarkan pada nilai- nilai tertentu; dilaksanakan untuk mencapai nilai-nilai tertentu dan semua itu berlangsung dalam sistem kelembagaan yang dalan dirinya terkandung nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai dalam kebijakan publik merupakan nilai-nilai publik; nilai-nilai yang bertalian dengan kepentingan masyarakat luas, berupa norma, etika, hukum, aturan, ketentuan ataupun kebijakan baik dalam unsur tujuan maupun instrumen pencapaiaannya, yang pada hakikinya berorientasi kepada kepentingan masyarakat luas. Nilai-nilai tersebut dapat berperan sebagai nilai-nilai dasar, nilai- nilai instrumental ataupun nilai-nilai praksis; berperan penting sebagai guiding values and principles ataupun sebagai referensi bagi penetapan paradigm, models, goals, and objectives tertentu.

Dalam domain ilmu sosial, realitas kebijakan publik sebagai sebuah fenomena pemerintahan yang berdimensi politik, hukum, administrasi, ekonomi dan lain-lain, kemudian dipahami sebagai sebuah fenomena yang berjalan liear atau siklis dan tunduk pada tahapan-tahapan yang telah ditentukan sebelumnya. Tahapan- tahapan tersebut menjadi fase proses kebijakan yang rigid dan tidak adaptif dalam merespons dinamika sosio-politik yang terjadi dalam masyarakat.

Tahapan-tahapan kebijakan dibatasi pada aspek formulasi, implementasi, dan evaluasi, serta tidak dianggap sebagai sebuah pentahapan yang kaku tetapi lebih sebagai sebuah pembagian konseptual dalam proses sebuah kebijakan. Formulasi kebijakan adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan (Putra, 2001). Formulasi atau perumusan kebijakan merupakan pembangunan dan sintesis alternatif- alternatif pemecahan masalah, pada dasarnya merupakan

Konsep Formulasi Kebijakan Publik... 17

aktivitas konseptual dan teoritis (Dunn, 1995: 58). Masalah dan masalah kebijakan harus dibedakan. Masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai atau keinginan yang belum terpuaskan yang dapat diidentifikasi dan dapat dicapai melalui tindakan kebijaksanaan (Dunn, 1995: 64). Masalah kebijakan terdiri dari masalah rutin dan biasa (well structured problem), masalah cam- puran yang gampang-gampang susah (moderately structured problem ), dan masalah krusial atau benang kusut (illstructured problem ), yang lahir dari issue publik/strategis (primer), issue sekunder dan issue minior (Nugroho, 2011).

Masalah kebijakan lahir dari issue publik. Isu publik (kebijakan) dan isu biasa (privat) harus dibedakan, isu kebijakan adalah ketidaksepakatan atau konflik para pelaku kebijakan mengenai arah dan tindakan pemerintah, baik yang aktual maupun yang potensial (Dunn, 1995). Tidak semua issue menjadi agenda sistemik dan tidak semua agenda sistemik masuk kedalam agenda pemerintah. Issue kebijakan yang masuk ke dalam agenda sistemik yaitu (1.) issue yang menarik perhatian luas masyarakat atau menimbulkan kesadaran masyarakat, (2.) pendapat luar dari masyarakat (publik) bahwa harus ada tindakan kebijakan untuk mengatasi masalah yang ada, dan (3.) persepsi bahwa penyelesaian masalah merupakan tanggung jawab dan kewajiban sah dari pemerintah; sedangkan problem publik yang dapat masuk kedalam government agenda yaitu (1.) decision maker s menaruh perhatian serius atas suatu problem publik tersebut, (2.) begitu banyak problem publik sehingga decision makers harus memilih dan menentukan prioritas untuk diberi perhatian dan (3.) problem tersebut kemudian menjadi isu kebijakan (policy issues) (Nigroho, 2011).

Untuk lebih jauh memahami bagaimana masalah tersebut dirumuskan dalam sebuah produk kebijakan, maka dikenal beberapa pendekatan (Putra, 2001), yaitu :

◊ Pendekatan Kekuasaan (power approachhes to policy making)

18 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota Pendekatan ini memahami formulasi kebijakan sebagai

sebuah pengambilan keputusan, sebuah proses yang sangat ditentukan olek faktor kekuasaan. Sumber-sum ber kekuasaan berada pada kelas sosial, birokrasi, pendidi- kan, professionalisme, kekuatan modal dan sebagainya. Pendekatan ini sendiri memiki varian-varian dengan beberapa fokus seperti elitism, pluralism, Marxism, coorpo- ratism, professinalism, dan technocracy. Formulasi kebijakan sesungguhnya dipahami sebagai proses tawar menawar politik dari mereka yang mampu mengakses ruang pem- buatan kebijakan publik tersebut.

◊ Pendekatan Rasionalitas (rationality and policy making) Pendekatan rasionalitas pada pembuatan kebijakan publik sesungguhnya bertumpu pada dua hal, yaitu rasionalitas ekonomis dan rasionalitas birokratis. Rasionalitas ekonomis berpijak pada pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk ekonomis, oleh karena itu kebijakan sebagai instrumen negara harus didahului oleh pembacaan atas perhitungan-perhitungan dampak ekonomis bila kebijakan itu diterapkan, sedangkan rasionalitas birokratis bertumpu pada efisiensi dan efektifitas kinerja birokrasi, seperti spesialisasi, hierarki, impersonal dan sebagainya.

◊ Pendekatan Pilihan Publik (public choise approach) Proses pembuatan kebijakan dalam paradigma ini akan

akan bertumpu pada mekanisme pasar dan otonomi publik. Para perumus kebijakan akan kekurangan kekuatan untuk transformasi sosial dari produk yang diciptakannya, sebab semua produk kebijakan dari lembaga negara harus presisi dari kehendak publik secara umum.

◊ Proses Personalitas, Kognisi, dan Informasi Formulasi kebijakan dalam pendekatan ini lebih banyak dilihat dari sisi psikologis dan ilmu informasi. Informasi dan preferensi yang dari berbagai sumber di lingkungannya

Konsep Formulasi Kebijakan Publik... 19

harus menjadi input sehingga sehingga kebujakan yang lahir akan mendapat legitimasi politik yang memadai. Pendekatan terakhir inilah yang menekankan aktualitas

partisipasi dalam proses formulasi kebijakan. Partisipasi menjadi kata kunci dalam memaksimalkan legitimasi dan meminimalkan resistensi publik atas sebuah produk kebijakan. Mekanisme pembentukan partisipasi sendiri terdiri atas beberapa tahap kegiatan (Tikson, 2002), yaitu : (1.) pemberdayaan stakeholders, (2.) kolaborasi, (3.) membuat keputusan bersama, (4.) evaluasi bersama, (5.) konsultatif, dan (6.) pembagian informasi. Selanjutnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel No. II.1.

Mekanisme Partisipasi

◊ Pengorganisasian masyarakat (community organizing) ◊ pengembangan kapasitas (capacity Mekanisme

buiding)

1. Pemberdayaan ◊ penguatan keuangan dan status Stakeholder

hukum ◊ manajemen yang mandiri ◊ dukungan untuk prakarsa spontan

dan baru ◊ pembentukan komite bersama dengan perwakilan stakeholder ◊ pembentukan gugus kerja

Mekanisme

2. ◊ kerjasama dengan kelompok Kolaborasi

sasaran ◊ tanggung jawab stakeholder untuk

implementasi

20 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota

◊ teknik dan prosedur perencanaan

partisipatif ◊ lokakarya untuk mendiskusikan

Mekanisme posisi, peranan dan prioritas 3. Pembuatan ◊ lokakarya/pertemuan untuk Keputusan Bersama

memecahkan konflik, ciptakan persetujuan dan kepemilikan

◊ review atas dokumen-dokumen Mekanisme Evaluasi ◊ evaluasi partisipatif

4. Bersama

◊ evaluasi stakeholder lokal ◊ pertemuan konsultatif

Mekanisme

5. ◊ kunjungan lapang dan wawancara Konsultatif (untuk berbagai tahapan proyek)

◊ penerjemahan dan pembagian bahan-bahan informasi

Mekanisme ◊ seminar untuk mendiskusikan 6. Penyebaran

informasi

Informasi ◊ presentasi data/informasi ◊ pertemuan dengan masyarakat

(Sumber : Tikson, 2002: 15)

B. Kebijakan Publik Sebagai Proses Advokasi

Selama ini teori-teori Kebijakan publik yang diajarkan di wilayah akademis dan menjadi acuan kerja para pejabat peme rintahan didominasi oleh prespektif state-centric yaitu, pendekatan yang melihat kebijakan publik dari kacamata pengu- asa (pemerintahan yang bekerja atas nama negara). Pen dekatan ini berasumsi bahwa apa yang ingin dicapai pemerintah telah sesuai dengan kehendak rakyatnya. Oleh karena itu, proses kebijakan berlangsung hanya satu arah yakni, dari pemerintah ke masyarakat, sedang masyarakat tetap tidak memiliki tempat dalam penyelenggaraan kebijakan publik (Manurung, 2005).

Konsep Formulasi Kebijakan Publik... 21

Pendekatan yang state-centric tidak lagi relevan dalam studi perubahan kebijakan dewasa ini. Kondisi politik dalam negeri yang telah mengalami perubahan ke arah demokratisasi memberikan ruang yang kondusif bagi publik untuk ikut aktif terlibat dalam proses kebijakan. Seperti yang dikatakan Jenknis- Smith, bahwa konteks politik di mana analisis kebijakan itu dilakukan akan sangat mempengaruhi hasil analisis kebijakan tersebut (Manurung, 2005). Pada konteks politik demokrasi, dimana di dalamnya terbuka luas ruang debat publik, maka akan kondusif bagi berbagai pihak untuk menganalisis kebijakan publik meskipun membawa hasil yang berbeda dengan yang dilakukan pihak pemerintah.

Memahami proses kebijakan hanya sekedar pentahapan kebijakan yang kaku dan linear dipandang sepenuhnya tidak mampu menjawab dinamika politik yang sebenarnya terjadi dilapangan. Realitas politik yang terjadi tidak mungkin berjalan sedemikian kaku mengikuti serangkaian fese manajerial dan penyusunan agenda, formulasi kebijakan, implementasi sampai dengan evaluasi kebijakan. Sebab bisa saja sebuah perubahan kebijakan terjadi tanpa harus melalui tahapan yang rigid dan kaku seperti itu (Putra, 2001, Manurung, 2005).

Untuk mengembangkan argumentasi, kerangka koalisi advo kasi (advocacy coalition framework) bisa menjadi alat analisis. Kerangka ini diharapkan dapat membantu menjelaskan proses perubahan kebijakan yang melibatkan interaksi banyak aktor dari institusi yang berbeda-beda. Masing-masing pihak berusaha berusaha mempengaruhi keputusan pemerintah dalam suatu wilayah kebijakan dengan membentuk koalisi semua pihak yang pro ataupun sesama pihak yang kontra. Perlu dipahami bahwa upaya advokasi berlangsung di sepanjang proses kebijakan, tidak hanya berhenti ketika sebuah kebijakan itu diputuskan karena pihak yang merasa dirugikan dengan adanya kebijakan itu selalu berusaha untuk merubahnya.

22 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota

1. Advokasi Kebijakan : Sebuah Kerangka Konseptual

Advokasi, seperti halnya media atau cara lainnya yang diguna kan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu, sejaun ini masih sering disalahpahami sebagai usaha-usaha makar kalangan anti kemapangan untuk merongrong pemerintahan yang sedang berkuasa. Defenisi yang lebih netral dari advokasi ditawarkan oleh fakih yang menjelaskan advokasi lebih kepada suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan kebijakan publik secara bertahap-maju dan semakin membaik (gradual and incremental change ). Lebih lanjut, advokasi haruslah dipahami bukan sebagai tindakan revolusi, tetapi lebih merupakan suatu usaha perubahan sosial melalui semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku.

Upaya untuk mengubah kebijakan ini dilakukan dengan mengembangkan aliansi dalam suatu “lingkaran inti” yang nanti- nya akan merumuskan berbagai strategi yang perlu ditempuh dalam rangka mengubah kebijakan publik. Pada prakteknya, upaya ini dilakukan dengan menggalang kemampuan “otot” dan kemampuan “otak”, serta kombinasi dari keduanya. Pendaya- gunaan kemampuan otot meliputi pengembangan basis-basis gerakan untuk melansir serangkaian tekanan (dalam bentuk unjuk rasa, mogok, boikot, pembangkangan sosial, aksi massa dan sebagainya). Pada sisi yang lain, advokasi juga memerlukan pendayagunaan otak dalam bentuk penyajian konsep-konsep tandingan, misalnya, yang membekali keterlibatan para aktivis dalam berpartisipasi merumuskan ulang kebijakan-kebijakan publik yang dikehendaki. Lebih lengkapnya bisa dilihat pada skema berikut.

Konsep Formulasi Kebijakan Publik... 23

Gambar No. II.1

Bagan Arus Advokasi Terpadu

lakukan pemantauan /evaluasi

diskusi,seminar,dll

- legal drafting - Counter draft

Anal isis

ajukan

Data/info

Konsep

- Judical review

tanding

- class-action lakukakan - Legal standing

(untuk melahirkan Data/info

kumpul kemas issu pembekalan

semenarik

mungkin

Jusriprudensi) Kajian kebijakan

KEBIJAKAN PUBLIK:

Strategi Pelaksanaan - negosissi - Isi/ naskah

kebijakan - mediasi

- tata-laksana - kolaboras - budaya

BENTUK PILIH ISSU

LINGKAR STRATEGI INTI

Tetapkan

(alies)

Sikap& nalar

- kampanye

Galang sekutu

pengaruhi

- Siaran/pernyataan

(aliance)

pendapat

- Jejak pendapat

pengorganisiran masyarakat

- unjuk rasa pendidikan politik

Banngun basis

Gerakan lancarkan tekanan - mogok, boikot pelatihan - pembangkang sosial - aksi massa

teknis

siapkan satuan/barisan pendukung (dana, logistik, informasi, akses)

Sumber : Topatimasang (Dalam Manurung 2005)

Pada masa pemerintahan otoriter, di mana kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam proses kebijakan hampir- hampir tidak tersedia, seringkali kehadiran advokasi kebijakan dikonseptualisasikan dalam suasana permusuhan kepada peme rintah. Namun ketika peluang untuk berpartisipasi telah terbuka lebar, maka warisan setting permusuhan kirannya tidak relevan. Selain, itu advokasi kebijakan yang dihadirkan dalam setting permusuhan tidak mampu menghasilkan dampak yang permanen. Artinya, kalaupun dalam kasus kebijakan yang

24 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota diadvo kasi policy maker menunjukkan respon yang akomodatif,

tidak ada jaminan bahwa di tempat lain hal yang sama bisa berlaku. Tidak ada jaminan di masa mendatang tuntutan yang setara akan dipenuhi oleh policy maker.

Dalam kerangka pikir seperti itu, advokasi kebijakan bukan menjadi bagian integral dari proses policy making. Ia lebih bersifat

ad hoc dan sporadis. Dengan kata lain, advokasi masih jauh dari idealitas sebagai pilar penyelenggara kebijakan publik yang parsitipatif, kebijakan publik yang dikelola berbasis kehandalan civil society . Sejauh ini para aktivis advokasi kebijakan tetap saja sama naifnya dengan jajaran birokrasi pemerintah, yang mengandaikan ketika suatu keputusan kebijakan ditetapkan, pemerintah akan komit dalam mewujudkan aspirasi tersebut. Kalau dibahasakan secara politis, para aktivis kebijakan tetap saja bersedia masuk dalam perangkap kerangka kebijakan yang state-centric , dimana diasumsikan bahwa kedaulatan dalam penyelenggaraan kebijakan ada pada tangan pejabat (Manurung, 2005).

Sehubungan dengan kecendrungan tersebut, perlu kiranya kita sadari bahwa proses kebijakan pada dasarnya adalah proses interaksi antara negara-masyarakat. Ini berarti bahwa advokasi kebijakan bisa berlangsung di setiap fase kebijakan, bukan hanya pada formulasi kebijakan belaka (lihat skema 1,2). Bidikan advokasi kebijakan tidak cukup hanya pada level penyusunan agenda dan formulasi kebijakan semata, melainkan harus keseluruhan proses kebijakan. Lebih dari itu, proses kebijakan pada dasarnya bukan sekedar proses penuntasan tahap-tahap yang digambarkan dalam skema tersebut, melainkan juga proses interaksi di sepanjang proses tersebut. Dengan corak seperti itulah proses kebijakan publik yang partisipatif diwujudkan.

Dalam prakteknya, kesuksesan sebuah advokasi sangat ditentukan oleh kemampuannya menggalang sinergi antara tekanan masa yang berada di “luar” lingkaran pembuat kebija-

Konsep Formulasi Kebijakan Publik... 25

kan dengan dukungan pihak di dalam pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa advokasi sebenarnya terjadi dalam ranah lintas batas dikotomis antara pemerintah dan masyarakat. Advo- kasi cenderung menciptakan pengembangan koalisi di antara antara pihak-pihak yang sepaham. Dengan demikian, proses advokasi kebijakan bisa disederhanakan sebagai kompetisi antara dua atau lebih koalisi, antara pihak yang pro gagasan tertentu dengan pihak yang kontra.

Gambar No. II.2

Interaksi Pemerintah-Masyarakat Dalam Fase-Fase kebijakan

Advokasi Kebijakan Oleh Manajemen Kebijakan Oleh Masyarakat Pemerintah Agenda

Agenda Advokasi

Agenda setting

pemerintah

Formulasi dan

Statemen Tuntutan dan

Formulasi

legitimasi

Kebijakan Strategi advokasi

tujuan &

program

Partisipasi dalam

Tindakan kebijakan

Implementasi

Implementasi Kebijakan

Kebijakan

Refleksi Evaluasi tdh

imlementasi,

Kinerja dan dampak

kinerja dan

kebijakan

dampak

dan program

Keputusan tentang masa

depan kebijakan dan program

Sumber: Santoso (dalam Manurung, 2005)

26 Politik Formulasi Kebijakan Tata Ruang Kota

2. Model Perubahan Kebijakan Publik dalam Kerangka Advocacy Coalition Framework (ACF)

Usaha untuk memahami sebbuah kebujakan dan dinamika atau proses yang terjadi di dalam dan di antara institusi-institusi yang terlibat, tidak dimungkinkan tanpa mempergunakan sesua- tu “kerangka teoritis” berupa teori, paradigma, atau kerangka konseptual sebagai panduan memahami berlangsungnya bar- ganing process yang merupakan jantung hati dari policy process itu sendiri. Kacamata teoritis inilah yang dipakai untuk mem beda- kan serangkaian variabel-variabel potensial yang menunjukkan adanya hubungan kausalitas serta mengabaikan secara elegan variabel lain yang tidak relevan.

Model perubahan kebijakan yang ditawarkan oleh Saba- tier dan Jenkins-Smith dalam Policy Change and Learning an Advocacy Coalition Approach , merupakan fungsi dari interaksi tiga sub proses. Pertama, interaksi dari koalisi advokasi yang saling berkompetisi di dalam Policy Subsystem, yaitu aktor dari berbagai organisasi publik atau privat yang aktif terlibat dalam masalah atau isu kebijakan. Advokasi koalisi ini terdiri dari berbagai institusi publik ataupun privat yang berada dalam semua level pemerintahan baik itu di tingkat lokal/ daerah maupun di tingkat pusat. Mereka saling membagi serangkaian kepercayaan dasar (basic belief). Kepercayaan dasar ini meliputi tujuan kebijakan, presepsi mengenai kualitas dan sebagainya. Kedua , rangkaian proses tersebut merujuk pada perubahan ekster nal pada subsistem, yaitu kondisi sosial ekonomi, koalisi sistem pemerintahan dalam lingkup yang luas, serta output dari subsistem lain yang memberikan peluang dan hambatan pada koalisi yang saling berkompetisi. Ketiga, rangkaian proses tersebut melibatkan dampak dari “parameter-parameter sistem yang stabil” seperti struktur sosial dan aturan konstitusi dalam konteks kendala dan sumberdaya yang dimiliki oleh aktor yang berada dalam subsistem (Manurung, 2005).

Konsep Formulasi Kebijakan Publik... 27