Berhubungan Dengan Isteri
Berhubungan Dengan Isteri
Rasulullah bersabda, artinya : “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Lalu sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah kita mendapat pahala dengan menggauli isteri kita?.” Rasulullah menjawab (artinya) : “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, 143 kalian akan berpahala .”
Imam Nawawi rahimahullah berka ta: “Di dalam hadits ini ada dalil bahwasanya perkara yang mubah dapat menjadi ketaatan dengan niat yang benar. Jima’ (bersetubuh) bisa menjadi ibadah apabila ia niatkan untuk memenuhi hak istrinya, bergaul dengan cara yang baik yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla atau untuk menjaga dirinya dan istrinya agar tidak terjatuh kepada perbuatan yang haram, atau memikirkan (mengkhayal) hal yang haram, atau berkeinginan untuk itu, atau yang lainnya ” 144 .
Rasulullah besabda, artinya : ”Tidaklah sesorang berniat untuk melakukan shalat malam, lalu ia tertidur, kecuali akan dicatat (oleh Allah – pen) baginya pahala shalatnya (meskipun ia tidak shalat lail) dan tidurnya dicatat sebagai sedekah. 145 ”
Nabi besabda, artinya : “Barangsiapa mendatangi tempat tidur dalam keadaan berniat untuk bangun karena hendak melaksanakan shslat lail, tapi ternyata ia ketiduran sampai pagi,maka ditulis baginya pahala shalat yang telah ia niatkan dan tidurnya merupakan sedekah dari Allah untuk
dirinya.” 146
MusnadAhmad 4/230-231; Sunan At-Tirmidzi no. 2325; dan lainnya
HR. Bukhari dan lainnya
Syarah Shahih Muslim (VII/92) Shahih: Irwa` Al-Ghalil 2/204-205;Shahih Al-Jami' no. 5567; Shahih Sunan An-Nasa`i
146 1/387 Shahih: Irwa` Al-Ghalil no. 454; Shahih Sunan An-Nasa`i 1/386
Dari Abu Sa'id Al-Khudri , dia bercerita, “Sesungguhnya Rasulullah melihat ada seorang pria shalat sendirian. Maka beliau berkata, “Hendaklah ada seseorang yang bersedekah kepada orang ini,
(dengan cara) shalat bersamanya.” 147
Hal ini hukumnya tidak terlarang. Shalat kedua bagi orang ini (yang menemani)
teranggap shalat nafilah/sunnah. Dan bagi yang terlambat (yang ditemani) tetap terhitung sebagai shalat fardhu baginya.
Rasulullah bersabda, artinya : ”Setiap salah seorang di antara kamu memasuki pagi harinya, pada setiap ruas tulangnya ada peluang sedekah; setiap ucapan tasbih (subhanallah) adalah sedekah, setiap hamdalah (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan la ilaha illallah) adalah sedekah, setiap takbir (ucapan Allahu akbar) adalah sedekah, amar ma’ruf adalah sedekah, nahi munkar adalah sedekah, 148 semua itu cukup tergantikan dengan dua raka’at dhuha.”
Rasulullah bersabda, artinya : “Dahak yang ada dalam masjid yang Anda pendam ke dalam tanah, sesuatu (penghalang/bahaya) yang kalian
singkirkan dari jalanan, bernilai sedekah.” 149
Perlu dipahami bahwa masjid saat ini tidak lagi beralaskan tanah tetapi lantai. Maka yang kita lakukan adalah menghilangkannya, misalnya dengan mengepelnya atau yang lainnya. Dan ini masih bernilai sedekah, karena tujuannya adalah menghilangkan kotoran yang ada di dalam masjid.
Wallahu A’lam.
Shahih: Sunan Abu Dawud no. 574
HR.Muslim, hadits no. 720 Musnad Ahmad 5/354. Shahih Sunan Abu Dawud 3/984; Irwa` Al-Ghalil 2/213
Dosa, setiap kita pasti tak lepas darinya. Demikianlah sunnatullah bagi manusia sebagai hamba yang tidak pernah luput dari kekurangan. Namun, hendaknya kita tidak berkecil hati. Bukankah Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang menyediakan ampunan dan penghapusan kesalahan kepada hambaNya di setiap saat?
Meskipun demikian, kenyataan menyedihkan hari ini adalah para hamba yang hina dan lemah justru meremehkan dosa kepada Penciptanya. Mereka lupa bahwa dosa dan kemaksiatanya dapat mengundang murka Sang Maha Kuat .
Sebagai seor ang mu’min yang bersaudara di atas tali keimanan, patutlah kiranya bagi kita untuk saling mengingatkan agar segera menjauhi dosa
dan kemaksiatan, serta tidak meremehkannya.
Dahulu, Rasulullah telah mewanti – wanti kepada umatnya akan dosa yang dianggap remeh. Beliau menyebutnya sebagai muhqirat adz- dzunub. Tahukah Anda apa itu muhqirat adz-dzunub?
Imam Ahmad dalam Musnadnya menyebutkan satu riwayat dari hadits Sahal bin Sa'ad , ia berkata : Rasulullah bersabda, “Jauhilah oleh kalian muhqirat adz-dzunub. Sesungguhnya perumpamaan muhqirat adz-dzunub itu seperti suatu kaum yang singgah di satu lembah, lalu satu orang datang membawa satu dahan (kayu bakar) dan yang lainnya juga demikian sampai mereka mengumpulkan banyak kayu bakar yang bisa Imam Ahmad dalam Musnadnya menyebutkan satu riwayat dari hadits Sahal bin Sa'ad , ia berkata : Rasulullah bersabda, “Jauhilah oleh kalian muhqirat adz-dzunub. Sesungguhnya perumpamaan muhqirat adz-dzunub itu seperti suatu kaum yang singgah di satu lembah, lalu satu orang datang membawa satu dahan (kayu bakar) dan yang lainnya juga demikian sampai mereka mengumpulkan banyak kayu bakar yang bisa
Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah bersabda, artinya : “Jauhilah oleh kalian muhqirat adz-dzunub, karena ia akan berhimpun pada seseorang, sehingga akan membinasakannya 151 .”
Sungguh benarlah, ucapan sahabat yang mulia Anas bin Malik dahulu : “Kalian sekarang melakukan perbuatan dosa yang di mata kalian perbuatan itu lebih tipis daripada rambut (sangat remeh). Padahal dulu di masa Rasulullah kami menganggapnya termasuk perkara yang akan 152 membinasakan” . Itu beliau ucapkan dahulu di zaman beliau hidup. Bagaimana jika beliau hidup di zaman ini dan menyaksikan apa yang terjadi?
Telah kita maklumi bersama bahwa dosa kepada Allah terbagi menjadi dua :kabair (dosa - dosa besar) dan shaghair (dosa - dosa kecil).
Meskipun demikian, sebagian ulama tidak melihat adanya pembagian seperti ini. Mereka menganggap bahwa seluruh kemaksiatan dan penyelewangan dari jalan Allah adalah dosa besar karena merupakan keberanian dan kelancangan dihadapan Allah. Mereka mengatakan demikian karena melihat betapa besarnya hak Allah atas hamba-hamba- Nya.
Namun pendapat yang kedua ini lemah. Sebab Allah sendiri telah membagi dosa dalam dua bagian, sebagaimana dalam firmanNya, artinya : “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa- dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia
(surga)” (QS. An-Nisa’: 31).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, artinya : “Maukah kalian kuberitahukan dosa yang paling besar ?’ (pertanyaan ini diulang oleh beliau sampai tiga kali). Para shahabat menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah!’
(HR. Ahmad dan dishahihkan Albani di dalam kitab Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, 151 no. 389
HR. Ahmad dan lainnya. Lihat Silsilah ash-Shahihah, no. 389 HR. Bukhari
Maka, beliau bersabda, artinya : “Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua
orang tua,(kemudian beliau duduk yang sebelumnya bersandaran), kemudian beliau berkata : “hindarilah ucapan dusta”. Perawi berkata : Beliau mengulang-ngulangnya sampai kami berkata (di dalam
hati), ‘Semoga beliau diam.’ 153
Dalil - dalil di atas dapat menjelaskan kepada kita bahwa dosa itu ada yang besar dan ada pula yang kecil.
Banyak ulama yang menjelaskan mengenai batasan dan kriteria dosa besar. Namun di antara pendapat yang ada, pendapat yang paling bagus dan kami pilih dalam hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam Adz- Dzahabi rahimahullah di dalam mukaddimah kitabnya Al-Kabair, di mana beliau berkata :
“Pendapat yang lebih terarah yang tegak di atas dalil adalah bahwa barangsiapa yang melakukan sesuatu perbuatan dosa yang ada had-nya (hukuman khusus) di dunia karena dosanya itu, seperti pembunuhan, zina, pencurian, ataupun perbuatan lainnya yang mendapat janji adzab di akhirat kelak atau akan mendapat kemurkaan, atau ancaman, atau dilaknat pelakunya melalui lisan Muhammad , maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai dosa besar.
Sebagian ulama menambahkan, yaitu perbuatan yang Nabi meniadakan iman dari pelakunya, atau Nabi mengataan “bukan golongan kami” atau Nabi berlepas diri dari pelakunya.
Di antara contohnya, Nabi bersabda, “Orang yang melakukan namimah (adu domba) itu tidak akan masuk surga” 154 .
Nabi bersabda, artinya : “Barang siapa yang menghunuskan pedang 155 kepada kami, kaum muslimin, maka dia bukan golongan kami ” .
Nabi bersabda, artinya : “Siapa yang menipu kami maka dia bukan golongan kami 156 ” .
HR. Bukhari dan Muslim
HR Bukhari dan Muslim
HR. Bukhari dan Muslim HR Muslim
Contohnya juga, memakan harta anak yatim. Sebagaimana firman Allah , artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala- nyala (neraka)” (QS. An- Nisa’:10).
Dan contoh – contoh lainnya sesuai kriteria di atas, sebagaimana yang banyak terdapat dalam al- Qur’an dan hadits yang shahih.
Sehingga, jika Anda mendapatkan atau mendengarkan dalil berisi dosa sesuai kriteria tersebut, maka waspadalah! Sungguh ia adalah dosa besar di sisi Rabb kita .
Wahai saudaraku, ketika engkau hendak melakukan dosa, janganlah melihat kepada kecilnya dosa. Namun lihatlah, kepada siapa engkau berbuat dosa? Patutkah bagi seseorang yang diciptakan dan diberi oleh Allah nikmat yang lengkap dan cukup, lantas melanggar laranganNya?! Ingatlah bahwa Dia adalah Sang Pencipta, Penguasa alam semesta ini, Pemilik kerajaan langit dan bumi, Pemilik hari pembalasan dan sangat mampu melakukan apa saja kepada para hamba dan ciptaanNya!
Ketahuilah, sebuah dosa yang mungkin kita anggap kecil ternyata dapat berubah menjadi dosa besar, apabila :
Diriwayatkan bahwa sahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma mengatakan,
“Tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar (meminta ampun 157 pada Allah) dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus”.
HR. Baihaqi dalam Asy Syu’ab
Oleh karenanya, jika seorang hamba menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu akan kecil di sisi Allah. Sedangkan jika seorang hamba mengganggap kecil (remeh) suatu dosa, maka dosa itu akan dianggap besar di sisi Allah.
Ibnu Mas’ud mengatakan,
“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya seakan-akan ia duduk di sebuah gunung dan khawatir gunung tersebut akan menimpanya. Sedangkan seorang yang fajir (yang gemar maksiat), ia akan melihat dosanya seperti seekor lalat yang lewat begitu saja di hadapan batang hidungnya .”
Rasulullah bersabda, “Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr (muhajirin). Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya – padahal telah Allah tutupi- , ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang
membuka ‘aibnya yang telah Allah tutup “ 158 .
Nabi bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya
sedikitpun” 159 .
Sehingga bagi seorang alim yang menjadi panutan lainnya, hendaknya ia : [1] meninggalkan dosa dan [2] menyembunyikan dosa jika ia terlanjur melakukannya.
HR. Bukhari dan Muslim HR.Muslim
Sebagaimana dosa seorang alim bisa berlipat-lipat jika ada yang mengikuti melakukan dosa tersebut, maka begitu pula dengan kebaikan yang ia lakukan. Jika kebaikan tersebut diikuti orang lain, maka pahala akan semakin berlipat untuknya.
Akhirnya, janganlah kita meremehkan dosa dan maksiat kepada Allah . Selalulahmerasa takut akan balasan dan adzab yang akan diturunkannya dengan sekejap mata. Kalaupun telah tergelincir ke dalamnya, segeralah bertaubat dan menutupinya dengan kebaikan, agar hati dapat bersih kembali dari titik-titik noda.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya jika seorang hamba berbuat kesalahan/dosa dititikkan pada hatinya satu titik hitam. Namun bila ia menarik diri/berhenti dari dosa tersebut, beristighfar dan bertaubat, dibersihkan hatinya dari titik hitam itu. Akan tetapi bila tidak bertaubat dan kembali berbuat dosa maka bertambah titik hitam tersebut, hingga mendominasi hatinya. Itulah ar-ran (tutupan) yang Allah sebutkan di dalam ayat : ‘Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu 160 mereka usahakan itu menut up hati mereka.’ (QS. Al-Muthaffifin : 14)”
Kita berlindung kepada Allah dari tertutupnya hati karena dosa dan maksiat. Wallahu a’lam.
HR. Ahmad dan Tirmidzi, dihasankan Syaikh Al-Albani rahimahullah
Ujian menyerang siapa saja tidak pandang bulu. Sebagaimana orang miskin diuji, orang kayapun demikian. Sebagaimana rakyat jelata hidup di atas ujian, para penguasa juga diuji. Bahkan bisa jadi ujian yang dirasakan oleh para penguasa dan orang-orang kaya lebih berat daripada ujian yang dirasakan oleh orang-orang miskin dan rakyat jelata. Begitu pula, sebagaimana seorang awam diuji, seorang ‘alim pun akan diuji. Masing- masing tidak lepas dari ujian kehidupan.
Intinya setiap yang bernyawa pasti diuji sebelum maut menjemputnya. Siapapun juga orangnya. Entah diuji dengan kesulitan atau diuji dengan kelapangan, kemudian ia akan dikembalikan kepada Allah untuk dimintai pertanggungjawaban terhadap sikap ia menghadapi ujian tersebut. Allah berfirman,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan" (QS. Al-Anbiyaa' : 35).
Memang dunia ini adalah medan ujian. Kehidupan ini ada medan perjuangan. Allah berfirman, “Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun" (QS. Al-Mulk : 1-2).
Jika saja orang kafir tidak selamat dari ujian kehidupan, maka apatah lagi seorang yang beriman kepada Allah , pasti akan menghadapi ujian. Allah berfirman,
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. Al-'Ankabuut : 2).
Ingatlah, besarnya ujian sekadar dengan tingkat keimanan. Semakin tinggi iman seseorang maka semakin tinggi kadar ujian yang akan ia hadapi. Nabi bersabda,
“Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian yang paling sholeh dan seterusnya. Seseorang diuji berdasarkan agamanya, jika agamanya kuat maka semakin keras ujiannya, dan jika agamanya lemah maka ia diuji berdasarkan agamanya. Dan ujian senantiasa menimpa seorang hamba hingga meninggalkan sang hamba berjalan di atas bumi tanpa ada sebuah dosapun" 161 .
Apa yang menimpa Anda hari ini, sungguh itupun telah menimpa orang – orang shalih dan beriman terdahulu. Sebut saja, Rasulullah ,para nabi, para sahabat Rasulullah , para ulama dan lainnya.
Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 143
Imam Asy- Syafii rahimahullah berkata, “Cobaan zaman banyak tidak habis- habisnya, dan kegembiraan zaman mendatangimu (sesekali) seperti sesekalinya hari raya ”.
Pertama : Yakinlah bahwa selain Andapun juga diuji. Ada yang diuji dengan kemiskinan. Ada yang diuji dengan harta, jabatan, dan kekuasaan. Ada
yang diuji dengan orangtua yang tidak mau taat. Ada yang diuji dengan pengkhiatan sahabat. Sungguh, terlalu banyak model ujian yang menimpa
manusia. Maka poisis Anda adalah sebagaimana manusia-manusia yang lain yang juga ditimpa musibah/ujian yang beraneka ragam.
Kedua : Sabarlah dengan ujian yang sedang Anda hadapi. Alhamdulillah Anda masih bisa memikulnya. Bisa jadi jika Anda diuji dengan ujian yang lain maka Anda tidak akan mampu menghadapinya. Yakinlah bahwa tidaklah Allah menguji kecuali dengan ujian yang mampu dihadapi oleh seorang hamba.
Allah berfirman-Nya, “… dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang
yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177).
Ibnul Qayyim rahimahullah, mengutarakan bahwa ayat yang seperti ini banyak terdapat dalam Al- Qur’an. Sehingga keberadaan sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah adalah benar-benar menjadi
barometer keimanan dan ketakwaan kepada Allah 162 .
Ketiga : Terkadang syaitan membisikkan kepada Anda bahwa ujian yang Anda hadapi sangatlah berat dan tidak mungkin untuk Anda pikul. Maka ingatlah bahwa saat ini masih terlalu banyak orang yang diuji dengan ujian yang jauh lebih berat dengan ujian yang sedang Anda hadapi.
Keempat : Bukankah ujian jika dihadapi dengan kesabaran maka akan menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat??
Kitab Madarijus Salikin 2/152
Selain Allah memberikan ganjaran yang lebih baik dari amalannya kepada orang yang sabar, Allah juga memberikan ampunan kepada mereka. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya , ”Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap ujian), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu peroleh ampun an dan pahala yang besar”. (QS. Hud: 11).
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata : “Rasulullah bersabda, artinya : “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan Allah telah menghapus dengan musibah itu dosanya. Meskipun
musibah itu adalah duri yang menusuk dirinya.” 163
Kelima : Bahkan bisa jadi Allah menghendaki Anda untuk meraih sebuah tempat yang tinggi di surga yang tidak mungkin Anda peroleh dengan hanya sekedar amalan-amalan shalih Anda. Amalan shalih Anda tidak cukup untuk menaikan Anda ke tempat tinggi tersebut. Anda tidak akan mampu untuk sampai ke tempat tinggi tersebut kecuali dengan menjalani ujian-ujian yang tidak henti-hentinya untuk mengangkat derajat Anda.
Allah berfirman, “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka
disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya” (QS. Al-Furqaan: 75).
Keenam : Ingatlah, dengan ujian terkadang kita baru sadar bahwasanya kita ini sangatlah lemah dan selalu butuh kepada Allah Yang Maha Kuasa.Terkadang kita baru mengenal yang namanya khusyu' dalam shalat. Kita baru bisa merasakan kerendahan yang disertai deraian air mata. Kita baru bisa merasakan nikmatnya ibadah. Kita baru merasakan ketinggian tawakkal kepada Allah . Tatkala ujian datang, tatkala musibah menerpa.
Ketujuh : Ingatlah, dengan ujian atau musibah yang menimpa kita terkadang menghilangkan sifat ujub pada diri kita. Karena tatkala kita rajin beribadah dan selalu mendapatkan kenikmatan terkadang timbul ujub dalam diri kita dengan merasa bahwa diri kita hebat dan selalu beruntung. Jangan sampai kita salah persepsi dengan menganggap tanda kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah tidak ditimpanya sang hamba dengan musibah. Bahkan perkaranya justru sebaliknya. Nabi bersabda,
HR. Al-Bukhari no. 3405 dan Muslim 140-141/1062
“Jika Allah mencintai sebuah kaum maka Allah akan menguji mereka” 164
Kedelapan : Berprasangka baiklah kepada Allah , yakinlah bahwa dibalik ujian dan musibah yang menimpamu ada kebaikan dan hikmah. Justru jika ujian tersebut tidak datang dan jika musibah tersebut tidak menimpamu bisa jadi kondisi yang datang kemudian adalah lebih buruk. Allah berfirman, “Dan boleh jadi kalian membeci sesuatu padahal ia amat baik bagi kalian”(QS. Al-Baqarah : 216).
Kesembilan : Bahkan bisa jadi musibah atau ujian yang kita benci tersebut bahkan mendatangkan banyak kebaikan. Allah berfirman, “Maka mungkin kalian membenci sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS. An-Nisaa : 19).
Kesepuluh : Ingatlah, bahwasanya hidup di dunia tidak ada istrirahat total. Kegembiraaan total, kecuali di akhirat kelak. Selama Anda masih hidup di dunia maka siap-siaplah dengan ujian yang menghadang. Bersabarlah, tegarlah, demi meraih ketentaraman dan kebahagiaan abadi kelak di surga. Seorang awam biasa berkata, “Kalau mau hidup di dunia harus siap diuji, kalau tidak mau diuji, ya, jangan hidup di dunia!”.Mungkin benar juga apa kata mereka.
Akhirnya, banyaknya ujian yang menimpa orang-orang besar, justru memperkuat rasa tawakal dan kerelaan mereka kepada keputusan Allah . Di situlah tampak kadar kekuatan iman seseorang bukan hanya dalam
saja. Hasan al- Bashri rahimahullah berkata : “Pada saat manusia sama-sama sehat, mereka sejajar dalam iman, namun tatkala bencana menimpa, tersingkaplah siapa yang benar-benar kokoh iman- Nya.” Wallahu a’lam.
raka’at-raka’at
pendek
Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 146
Saat ini banyak orang yang mengeluhkan masalah penghasilan atau rezeki, entah karena merasa kurang banyak atau karena kurang berkah. Ditambah lagi dengan berbagai problem kehidupan dan tuntutannya. Sehingga tak jarang di antara mereka ada yang mengambil jalan pintas dengan menempuh segala cara yang penting keinginan tercapai.Bermunculanlah para koruptor, pencuri, pencopet, perampok, pelaku suap dan sogok, penipuan bahkan pembunuhan, pemutusan silaturrahim dan meninggalkan ibadah kepada Allah untuk mendapatkan secuil uang atau alasan kebutuhan hidup.
Inilah fenomena “hilangnya kunci rezeki” di mata mereka. Mereka lupa bahwa Allah telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya sebab-sebab yang dapat mendatangkan rezeki dengan penjelasan yang amat gamblang. Dia telah menunjukkan kunci – kunci dari pintu rezeki tersebut. Dia pula menjanjikan keluasan rezeki yang tidak disangka-sangka kepada siapa saja yang menempuhnya.
Pada kesempatan kali ini kami akan menyampaikan beberapa hal yang dapat ditempuh agar rezeki halal dari Sang Pemberi dapat diraih, pintu rezeki dari atas langit terbuka, tentu dengan penuh harap dan keyakinan, hanya Dialah yang mencurahkan rezeki kepada hamba – hamba yang Ia kehendaki.
Takwa merupakan salah satu sebab yang dapat mendatangkan rezeki dan menjadikannya
Allah berfirman, artinya : "Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
terus
bertambah.
baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka- sangkanya” (QS. At-Thalaq : 2-3).
Imam Ibnu Katsir الله همحر berkata tentang firman Allah di atas, "Yaitu barang siapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala yang diperintahkan dan menjauhi apa saja yang Dia larang maka Allah akan memberikan jalan keluar dalam setiap urusannya, dan Dia akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari jalan yang tidak pernah terlintas sama sekali sebelumnya."
Termasuk sebab yang mendatangkan rezeki adalah istighfar dan taubat, sebagaimana
firman Allah yang mengisahkan tentang Nabi Nuh Alaihissalam , artinya : “Maka aku katakan kepada mereka : "Mohonlah ampun (istighfar) kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah
Maha Pengampun" niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai." (QS. Nuh : 10-12).
Ada seseorang yang mengadukan kekeringan kepada al-Hasan al- Bashri الله همحر, maka beliau berkata, "Beristighfarlah kepada Allah", lalu ada orang lain yang mengadukan kefakirannya, dan beliau menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah". Ada lagi yang mengatakan, "Mohonlah kepada Allah agar memberikan kepadaku anak!" Maka beliau menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah". Kemudian ada yang mengeluhkan kebunnya yang kering kerontang, beliau pun juga menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah."
Maka orang-orang pun bertanya, "Banyak orang berdatangan mengadukan berbagai persoalan, namun anda memerintahkan mereka semua agar beristighfar." Beliau lalu menjawab, "Aku mengatakan itu bukan dari diriku, sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam surat Nuh (seperti tersebut diatas).
Istighfar yang dimaksudkan adalah istighfar dengan hati dan lisan lalu berhenti dari segala dosa, karena orang yang beristighfar dengan lisannnya saja sementara dosa-dosa masih terus dia kerjakan dan hati masih senantiasa menyukainya maka ini merupakan istighfar yang dusta. Istighfar Istighfar yang dimaksudkan adalah istighfar dengan hati dan lisan lalu berhenti dari segala dosa, karena orang yang beristighfar dengan lisannnya saja sementara dosa-dosa masih terus dia kerjakan dan hati masih senantiasa menyukainya maka ini merupakan istighfar yang dusta. Istighfar
Allah berfirman, artinya : "Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (QS. ath-Thalaq : 3).
Nabi telah bersabda, artinya : "Seandainya kalian mau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya maka pasti Allah akan memberikan rezeki kepadamu sebagaimana burung yang diberi rezeki, pagi-pagi dia dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang" 165 .
Hakikat tawakkal adalah sebagaimana yang di sampaikan oleh Imam Ibnu Rajab الله همحر, yaitu menyandarkan hati dengan sebenarnya kepada
Allah Azza wa Jalla di dalam mencari kebaikan (mashlahat) dan menghindari madharat (bahaya) dalam seluruh urusan dunia dan akhirat, menyerahkan seluruh urusan hanya kepada Allah serta merealisasikan keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi dan menahan, tidak ada yang mendatangkan madharat dan manfaat selain Dia.
Dari Abu Hurairah berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda,artinya : "Siapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah menyambung silaturrahim." 166 .
Dari Abu Hurairah , Nabi bersabda, artinya : "Ketahuilah orang yang ada hubungan nasab denganmu yang engkau harus menyambung
hubungan kekerabatan dengannya. Karena sesungguhnya silaturrahim menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta dan 167 memperpanjang umur ” .
HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani
HR. Bukhari HR. Ahmad, dishahihkan al-Albani
Allah berfirman, artinya : "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik- baiknya." (QS. Saba’ : 39).
Ibnu Katsir الله همحر berkata, "Yaitu apapun yang kau infakkan di dalam hal yang diperintahkan kepadamu atau yang diperbolehkan, maka Dia (Allah) akan memberikan ganti kepadamu di dunia dan memberikan pahala dan balasan di akhirat kelak."
Dalam sebuah hadits
Rasulullah bersabda, Allah berfirman, artinya :"Wahai Anak Adam, berinfaklah maka Aku akan berinfak kepadamu." 168 .
qudsi
Berdasarkan pada hadits Nabi dari Ibnu Mas’ud dia berkata, Rasulullah bersabda, artinya : "Ikutilah haji dengan umrah karena sesungguhnya keduanya akan menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana pandai besi menghilangkan karat dari besi, emas atau perak, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga." (HR. at-Tirmidzi dan an- Nasai, dishahihkan al-Albani).
Maksudnya adalah, jika kita berhaji maka ikuti haji tersebut dengan umrah, dan jika kita melakukan umrah maka ikuti atau sambung umrah tersebut dengan melakukan ibadah haji.
Nabi telah menjelaskan bahwa Allah akan memberikan rezeki dan pertolongan kepada hamba-Nya dengan sebab ihsan (berbuat baik) kepada orang-orang lemah, beliau bersabda, artinya : "Tidaklah kalian semua diberi pertolongan dan diberikan rezeki melainkan karena orang-orang lemah di antara kalian" 169 .
HR. Muslim HR. Bukhari
“Dhu’afa” (orang - orang lemah) klasifikasinya bermacam-macam, ada fuqara’, yatim, miskin, orang sakit, orang asing, wanita yang terlantar, hamba sahaya dan lain sebagainya.
Diriwayatkan dari Abu
dari Nabi bersabda, "Allah berfirman, artinya : "Wahai Anak Adam Bersungguh-sungguhlah engkau beribadah kepada Ku, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kecukupan dan Aku menanggung kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukan itu maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan dan Aku tidak menanggung kefakiranmu."
Hurairah ,
Tekun beribadah bukan berarti siang malam duduk di dalam masjid serta tidak bekerja, namun yang dimaksudkan adalah menghadirkan hati dan raga dalam beribadah, tunduk dan khusyu" hanya kepada Allah , merasa sedang menghadap Pencipta dan Penguasanya, yakin sepenuhnya bahwa dirinya sedang bermunajat, mengadu kepada Dzat Yang menguasai Langit dan Bumi.
Allah berfirman , artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba- hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui .” (QS. An Nuur: 32).
Di antara tafsiran Surat An Nur ayat 32 di atas adalah : Jika kalian itu miskin maka Allah yang akan mencukupi rizki kalian. Boleh jadi Allah mencukupinya dengan memberi sifat qona’ah (selalu merasa cukup) dan boleh jadi pula Allah mengumpulkan dua rizki sekaligus (Lihat An Nukat wal ‘Uyun). Jika miskin saja, Allah akan cukupi rizkinya, bagaimana lagi jika yang bujang sudah berkecukupan dan kaya?
Dari ayat di atas, I bnu Mas’ud berkata, “Carilah kaya (hidup berkecukupan) dengan menikah ”. Lihatlah pemahaman cemerlang dari seorang Ibnu Mas’ud karena yakin akan janji Allah .
Dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Anas bin Malik bahwasanya ia berkata: "Dahulu ada dua orang saudara pada masa Rasulullah . Salah seorang daripadanya mendatangi Nabi dan (saudaranya) yang lain bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Nabi , maka beliau bersabda : “Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia."
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi menjelaskan kepada orang yang mengadu kepadanya karena kesibukan saudaranya dalam menuntut ilmu agama, sehingga membiarkannya sendirian mencari penghidupan (bekerja), bahwa ia tidak semestinya mengungkit-ungkit nafkahnya kepada saudaranya, dengan anggapan bahwa rezeki itu datang karena dia bekerja. Padahal ia tidak tahu bahwasanya Allah membukakan pintu rezeki untuknya karena sebab nafkah yang ia berikan kepada suadaranya yang menuntut ilmu agama secara sepenuhnya.
Dan masih banyak lagi pintu-pintu rezeki yang lain, seperti : hijrah, jihad, bersyukur, serta istiqamah, yang tidak dapat di sampaikan secara lebih rinci dalam lembar yang terbatas ini. Semoga Allah memberikan taufiq dan bimbingan kepada kita semua. Amin.
Wallahu a’lam.
Setiap kita pasti menginginkan kiranya Allah menganugerahkan anak – anak yang shalih. Anak – anak yang bertakwa, mampu berbakti kepada rabbnya, rasulnya, agama dan orangtua.
Namun, sudahkah kita berupaya maksimal untuk itu? Sudahkah kita membentuk keshalihan dalam pribadi sebagai orangtua atau calon orangtua (bagi yang belum dan akan menjadi orangtua)? Tahukah kita bahwa harapan dan cita - cita besar itu sangat ditentukan oleh keadaan dan kualitas kita sebagai orangtua ? Alangkah ironi, ketika kita berharap anak menjadi shalih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa.
Dalam beberapa ayat dalam al- Qur’an dan sunnah nabawiyyah, ternyata keshalihan dan kebaikan orangtua memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan dan kebaikan anak – anak mereka, di dunia bahkan di akhirat. Demikian pula amal buruk dan dosa-dosa besar yang dilakukan oleh kedua orang tua memiliki dampak negatif terhadap pendidikan anak.
Mengapa demikian? Pertama, ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insya Allah itupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!
Kedua, karena keberkahan amal-amal shalih tersebut dan pahala yang Allah limpahkan kepada pelakunya. Demikian pula akibat buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan jelek dan balasan dari Allah serta hukumanNya yang ditimpakan kepada pelakunya. Bisa jadi bentuk balasan dan pahala Allah atau hukuman dan azabnya menimpa anak-anak.
Untuk yang pertama dalam bentuk Allah memperbaiki anak-anak itu, menjaga dan melindungi mereka, melapangkan rizki dan keselamatan kepada mereka, sedangkan yang kedua atau dalam bentuk penyimpangan dan pembelotan anak-anak itu dari jalan kebenaran, turunnya bencana, wabah dan penyakit, atau berbagai macam problematika hidup yang menimpa mereka.
Dalam sebuah kisah,
Musa dan Khidhir ‘alaihimassalam melewati sebuah negeri, keduanya meminta makanan dan memohon jamuan sebagaimana layaknya seorang tamu kepada penduduk negeri tersebut, akan tetapi mereka semua menolaknya, lalu keduanya menemukan sebuah rumah yang hampir roboh tiangnya, lalu Khidhir ‘alaihissalam menegakkannya
ketika
Nabi
setelah itu Nabi Musa alaihissalam berkata, “... Jika engkau mau, niscaya engkau mengambil upah untuk itu.. ” (QS. al-Kahfi : 77).
kembali,
Dan jawaban Khidhir kepada Musa adalah, “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya" (QS. al-Kahfi: 82).
Dalam menafsirkan firman Allah “dan kedua orang tuanya adalah orang shalih ”, Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Ayat di atas menjadi dalil bahwa keshalihan seseorang berpengaruh kepada anak cucunya di dunia dan akhirat berkat ketaatan dan syafaatnya kepada mereka, maka mereka terangkat derajatnya di surga agar kedua orang tuanya senang dan berbahagia sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur`ân dan as-
Sunnah” 170 .
Tafsîr Ibnu Katsir, 5/ 141
Allah telah memerintahkan kepada kedua orang tua yang khawatir terhadap masa depan anak-anaknya agar selalu bertakwa, beramal shalih, beramar ma’ruf nahi mungkar dan berbagai macam amal ketaatan lainnya, sehingga dengan amalan-amalan itu Allah akan menjaga anak cucunya. Allah berfirman, artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang- orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar ” (QS. an-Nisaa : 9).
Syaikh Siddiq Hasan Khan rahimahullah berkata : “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat anak cucu seorang mukmin, meskipun amalan mereka di bawahnya, agar orang tuanya tenang dan bahagia, dengan syarat mereka dalam keadaan beriman dan telah berumur baligh bukan masih kecil.Meskipun anak-anak yang belum baligh tetap dipertemukan dengan 171 orang tua mereka” .
Dari Said bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas , berkata : “Allah Azza wa Jalla mengangkat derajat anak cucu seorang mukmin setara dengannya, meskipun amal perbuatan anak cucunya di bawahnya, agar kedua orang tuanya tenang dan bahagia.
Allah berfirman, artinya : “Dan orang-orang yang beriman dan yang anak keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, akan Kami pertemukan anak keturunan mereka itu dengan mereka dan Kami tidak mengurangi pahala amalan mereka sedikit pun. Setiap orang terikat dengan apa yang diusahakannya ” (QS. Ath-Thur: 21).
Dalam firman-Nya ini Allah mengabarkan tentang keutamaan-Nya, kedermawananNya, anugerahNya, kelembutanNya terhadap makhluk- makhlukNya serta kebaikanNya, bahwa orang-orang yang beriman apabila anak keturunan mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka Allah akan mempertemukan anak keturunan itu dengan ayah mereka yang shalih, walaupun amalan anak keturunan itu tidak bisa menyamai amalan ayah mereka, untuk menyenangkan hati ayah mereka dengan adanya anak keturunan itu di sisinya. Maka Allah menghimpun mereka dalam bentuk yang paling baik, dengan mengangkat derajat orang yang kurang sempurna
Lihat Tafsîr Fathul-Bayan, Siddiq Hasan Khan, 6/434 Lihat Tafsîr Fathul-Bayan, Siddiq Hasan Khan, 6/434
Ibnu Syahin meriwayatkan, bahwasanya Haritsah bin Nu`man datang kepada Nabi namun ia sedang berbicara dengan seseorang hingga ia duduk tidak mengucapkan salam, maka Jibril Alaihissallam berkata : “Ketahuilah bila orang ini mengucapkan salam, maka aku akan menjawabnya?” Nabi berkata kepada Jibril: “Kamu kenal dengan orang ini ?” Jibril Alaihissallam menjawab: “Ya, ia termasuk delapan puluh orang yang sabar pada waktu perang Hunain yang telah dijamin rizki oleh Allah bersama anak-
anak mereka nanti di surga” 173 .
Diriwayatkan dari sebagian salaf bahwa dia berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, sungguh aku akan menambah shalat (sunnah) yang aku lakukan untuk kebaikanmu.” Sebagian ulama berkata, “Maknanya adalah aku akan memperbanyak melakukan shalat dan memperbanyak berdo’a untukmu di dalam shalat tersebut.”
Oleh karena itu wahai para orangtua (dan juga calon orangtua), bertaqwalah kepada Allah .
Bersihkanlah makanan, minuman, dan pakaian kalian wahai para orang tua, Anda mengangkat kedua tangan kepada Allah, berdoa kepadaNya dengan tangan dan jiwa yang bersih lagi suci, sehingga Allah mengabulkan permohonan kalian demi anak- anak kalian, “... Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. ” (QS. al-Maidah : 27).
Wahai para ayah! Layakkah Anda mengangkat kedua tangan kepada Allah ,sedangkan kedua tangan itu berlumuran darah orang-orang yang tidak bersalah, kotor karena memukul, melakukan kezhaliman dan menipu manusia? Pantaskah bagi Anda berdo’a kepada Allah demi kebaikan anak-anak dengan mengangkat kedua tangan seperti itu?!
Pantaskah Anda memohon kepada Rabb Anda dengan mulut-mulut yang kotor dengan memakan harta-harta yang haram, kebohongan, namimah, ghibah, merusak kehormatan orang lain, dan mencaci maki bahkan penuh dengan kesyirikan atau menuduh seorang wanita yang terjaga lagi tidak tahu-menahu dengan perbuatan keji?
Tafsir Ibnu Katsir, 7/332 HR. Thabrani dalam al-Kaba`ir 3/227/(3225), dan lainnya
Apakah Anda meyakini bahwa doa yang Anda panjatkan akan terkabul sedangkan makanan Anda haram, pakaian Anda haram dan Anda pun tumbuh dari sesuatu yang haram?! Merupakan kewajiban atas kalian para orang tua untuk menumbuhkan ketakwaan kepada Allah dan banyak melakukan kebaikan sehingga Allah menerima segala permohonan yang kalian panjatkan untuk anak-anak kalian.
Rasulullah bersabda, artinya : “Seseorang melakukan perjalanan, rambutnya acak-acakan, badannya penuh dengan debu, dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdo’a, ‘Ya Rabb! Ya Rabb!’ Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia tumbuh dengan barang yang haram, maka bagaimana mungkin 174 permohonannya dikabulkan ” .
Ketahuilah, jika kedua orang tua membaca al-Qur-an, khususnya surat al- Baqarah dan al- Mu’awwidzatain an-Naas dan al-Falaq dan yang semisalnya, maka para Malaikat akan turun kepadanya untuk mendengarkan al-Qur-an, sedangkan setan akan lari, dan tidak diragukan bahwa turunnya para Malaikat disertai dengan turunnya ketenangan dan rahmat, semua ini tentu saja memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap
keselamatan anak-anak. Sebaliknya jika para orang tua meninggalkan al-Qur-an dan lalai dengan tidak berdzikir kepada Allah, maka syaitan akan turun dan menyerang rumah-rumah yang kosong dari dzikir kepada Allah.
kebaikan
dan
Setan akan menyerang rumah-rumah yang penuh dengan suara musik yang berisik, alat-alat musik yang tidak berguna dan gambar-gambar yang diharamkan. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak-anak. Kondisi tersebut akan mendorong mereka untuk melakukan kemaksiatan dan mengajak mereka untuk berbuat kerusakan. Maka jangan remehkan dampak keshalihan diri terhadap keshalihan anak.
Akhirnya, kita memohon kiranya Allah senantiasa memberikan taufiqNya kepada kita sekalian sehingga mampu mewujudkan keshalihan dan ketaqwaan, demi cita – cita anugerah anak yang shalih.
HR. Muslim
Semoga Allah kelak mengumpulkan kita di surgaNya bersama para nabi, para syuhada, orang – orang shalih dan keluarga yang kita sayangi. Seb agaimana doa para malaikat yang memikul ‘Arsy dan para malaikat yang di sekeliling ‘Arsy bagi orang-orang yang beriman, “Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka,
dan keturunan mereka semua.Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “ (QS. Al-Mu’min/Ghafir : 8).
dan istri-istri
mereka,
Wallahu a’lam.
Anugerah lisan yang fasih terkadang membuat pemiliknya terbuai. Lisan terus menari hingga kehilangan arah. Bencana lisan pun senantiasa mengancam, utamanya bagi setiap kita yang tidak mampu menjaganya agar tetap di atas rambu- rambu syariat.
Terkadang kita merasa begitu nyaman mengayunkannya. Hingga tak terasa membawa pemiliknya ke muara kebinasaan. Padahal, menjaganya adalah keniscayaan untuk meraih jaminan Rasulullah akan surgaNya.
Membuka aib dan kekurangan orang lain adalah salah satu produk dari permainan lisan yang tidak terarah. Seharusnya, setiap kita yang takut akan adzabNya dan meyakini bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala Maha Melihat dan Mendengar seluruh tindak-tanduk kita, mampu menjaga manajemen lisan, saat diam dan bicara.
Edisi kali ini akan membahas bagaimana manajemen lisan terhadap aib dan kekurangan orang lain dalam tinjauan syariat Islam. Selamat membaca.
Sungguh, perilaku mengungkap aib dan kekurangan orang lain, lahir dari prasangka – prasangka yang tidak berdasar. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah melarang untuk banyak berprasangka, sebagaimana firmanNya,
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus) dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang ” *QS. Al- Hujuraat : 12].
Larangan yang ada dalam ayat di atas juga dikatakan oleh Nabi , sebagaimana hadits dari Abu Hurairah , dari Nabi , beliau bersabda, “Berhati-hatilah kalian terhadap prasangka (buruk), karena prasangka (buruk) itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian saling mencari-cari kejelekan (tahassus), saling memata-matai (tajassus), saling hasad, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian, wahai hamba-hamba Allah, orang-orang yang bersaudara 175 ” .
Mencari- cari aib seorang muslim tanpa alasan yang syar’iy adalah ciri-ciri orang munafik. Dari Ibnu ‘Umar , ia berkata, Rasulullah naik di atas
mimbar lalu menyeru dengan suara yang kencang dan bersabda, “Wahai sekalian orang yang telah berislam dengan lisannya namun belum masuk keimanan dalam hatinya. Janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, jangan mencelanya, dan jangan mencari-cari aib mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim, niscaya Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah cari-cari aibnya, niscaya akan disingkap aibnya itu meskipun di rumahnya sendiri ”. Naafi’ berkata : Pada suatu hari Ibnu ‘Umar memandang Ka’bah, lalu berkata : “Alangkah agung engkau dan alangkah
HR. Bukhari HR. Bukhari
Perkataan beliau ,“siapa saja yang telah beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya ” menunjukkan siapa saja yang
mengghibah dan mencari-cari aib saudaranya yang muslim, maka imannya itu kurang, terjangkit sebagian virus nifak dan iman belum masuk ke dalam hatinya sebagaimana orang-orang munafik.
Selain itu, salah satu ciri-ciri orang munafik adalah melampaui batas ketika berselisih, sebagaimana riwayat :
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhuma, dari Nabi bersada, “Ada empat hal yang bila ada pada diri seseorang maka dia adalah seorang munafiq - atau - barangsiapa yang memiliki empat tabiat tersebut, maka ia mempunyai tabiat munafik, hingga ia meninggalkannya. Yaitu : jika berbicara dusta, jika berjanji ingkar, jika membuat kesepakatan mengkhianati, dan jika berselisih (bertengkar) maka dia berbuat fajir 177 ” .
Makna sabda beliau , “Jika berselisih (bertengkar) maka dia berbuat fajir’ ; yaitu bila ia berselisih dengan orang lain, maka ia akan melakukan segala jalan yang tidak disyari’atkan, termasuk melakukan tipu daya dan berbagai perkataan bathil lainnya kepada/tentang lawannya.
Ini dalam perselisihan, lantas bagaimana jika mencari-cari aib itu menjadi kebiasaan kita dalam setiap pembicaraan ? Tidakkah kita takut Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan menyingkap aib-aib kita di mata dan telinga manusia? Bahkan di hari kiamat kelak ? Wallahul Musta’an.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
HR. Tirmidzi; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy, 2/391, 177 Maktabah Al- Ma’aarif, Cet. 1/1420 H HR. Bukhari
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab
yang pedih di dunia dan di akhir” [QS. An-Nuur : 19].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Bagi siapa saja yang mendengar sesuatu dari perkataan yang buruk, lalu dengan pikirannya tergambar sesuatu yang akan diucapkannya; maka janganlah ia bergegas memperbanyak dan
menyiarkannya” 178 .
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata , “Maksudnya adalah menyebarkan perbuatan keji seorang mukmin yang berusaha menutupi aib yang ada pada dirinya tersebut, atau menuduh seorang mukmin dengan
satu kekejian yang ia berlepas diri darinya (tidak melakukannya)” 179 .
Diriwayatkan dari ‘Aliy bin Abi Thalib radhiallahu anhu, ia berkata : “Orang yang mengatakan kekejian dan orang yang menyebarkannya; dalam dosa 180 adalah sama” .
Nabi bersabda, “Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang- orang terang-terangan melakukan dosa. Dan sesungguhnya diantara terang-terangan (melakukan dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata : 'Wahai Fulan, semalam aku telah
melakukan ini dan itu’, padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah
ditutupi oleh Rabbnya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah 181 ” .
Bahkan, perintah menutupi kesalahan ini bukan hanya untuk menutupi kesalahan orang lain, tapi juga menutupi kesalahan diri sendiri.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud , ia berkata : Seorang laki-laki datang menemui Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menggauli seorang wanita di pelosok Madinah dan aku telah melakukan segala sesuatu kecuali jima’. Maka, aku datang menyerahkan
Tafsir Ibni Katsir, 6/29 180 Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hadits no. 36; tahqiq : Dr. Maahir Yasin Al-Fakhl
HR. Bukhari dalamAl-Adabul-Mufrad no. 234 HR. Bukhari
Rasulullah tidak mengingkari apa yang dikatakan ‘Umar bin Al- Khaththaab agar orang tersebut menutupi kesalahannya sehingga tidak meneruskan perkaranya.