KUMPULAN MATERI KULTUM CERAMAH DAN KHUTB

ABU MUJAHID

Inspirasi Iman Sepanjang Masa

Diterbitkan oleh :

Departemen Informasi dan Komunikasi DPD Wahdah Islamiyah Gowa Indonesia 92111

Anugerah lisan yang fasih terkadang membuat pemiliknya terbuai. Lisan terus menari hingga kehilangan arah kesana-kemari. Bencana lisan pun senantiasa mengancam bagi setiap mereka yang tidak mampu menjaganya agar tetap di atas rambu- rambu syariat ilahi.

Terkadang kita merasa begitu nyaman mengayunkannya. Hingga tak terasa membawa pemiliknya ke muara kebinasaannya. Padahal, menjaganya adalah keniscayaan untuk meraih jaminan Rasulullah  akan surgaNya.

Ghibah dan menggunjing adalah salah satu produknya. Seharusnya, setiap kita yang takut akan adzabNya dan meyakini bahwa Allah  adalah Maha Melihat dan Mendengar seluruh tindak-tanduk kita, mampu menjaga manajemen lisan, saat diam dan bicara.

Apalagi di zaman ini. Ketika berbagai media komunikasi, nyata dan maya, begitu luas dan mudah. Ruang untuk mengungkapkan rasa menjadi bebas tak terarah. Hingga, saudara seiman, kerabat, kaum muslimin dan bahkan para pemimpin, pun tak luput menjadi sasaran panah.

Pengertian ghibah dapat diketahui dengan memperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya. Hadits dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah  bersabda,

“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul- Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan

kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah menuduhnya

yang bukan-bukan (fitnah 1 ).”

Imam an-Nawawi rahimahullah mendefinisikan ghibah dengan berkata, ”Ghibah adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai orang lain, baik berkaitan dengan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, perawakan, akhlak, harta, anak, istri, pembantu, gaya, ekspresi rasa senang, rasa duka dan sebagainya yang berkaitan dengan dirinya, baik dengan kata-kata yang

gamblang, isyarat, maupun dengan isyarat.” 2

Aisyah radhiallahu anha berkata: “Aku menirukan gerakan seseorang di hadapan Nabi. Maka Nabi  berkata, “Aku tidak suka menirukan gerakan seseorang meski aku mendapatkan upah sekian dan sekian banyaknya.” 3

Di dalam Al Qur’anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang dan mencela perbuatan ghibah, sebagaimana firman-Nya,

“Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing (ghibah) kepada sebagian yang lainnya. Apakah kalian suka salah seorang diantara kalian memakan daging

2 HR. Muslim Jilid 4, hal. 2001, no. 2589. 3 Al-Adzkar, hal. 288 Hadits shahih, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269), lihat juga Shahihul

Jami’ (V/31) Jami’ (V/31)

Begitupula Rasulullah  melarang kita untuk mencemarkan kehormatan seorang muslim dengan ghibah. Di dalam Kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) terdapat riwayat hadits dari Abu Bakrah yang menceritakan bahwa Nabi  bersabda,

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan juga kehormatan kalian) semua itu adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian hari kalian ini (hari tanggal 10), pada bulan kalian ini (Dzulhijjah) dan di negeri kalian yang suci ini (Mina) .”

Kota Mina adalah sama hukumnya dengan kota Mekkah sebagai tanah suci.

Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadits dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata : Rasulullah  naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang ,

“Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan, 4

meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.”

Dalam hadits lainnya, Rasulullah  bersabda,

4 Hadits ini tercantum dalam Shahihul Musnad, 1/508

“Setiap muslim terhadap muslim lainnya diharamakan darahnya,

kehormatannya, dan juga hartanya 5 .”

Hadits di atas menjelaskan tentang eratnya hubungan persaudaraan dan kasih sayang sesama muslim. Bahwa setiap muslim diharamkan menumpahkan darah (membunuh) dan merampas harta saudaranya seiman. Demikian pula setiap muslim diharamkan melakukan perbuatan yang dapat menjatuhkan, meremehkan, atau pun merusak kehormatan saudaranya seiman.

Dari shahabat Anas bin Malik , bahwa Rasulullah  bersabda,

“Ketika aku mi’raj (naik di langit), aku melewati suatu kaum yang kuku- kukunya dari tembaga dalam keadaan mencakar wajah-wajah dan dada- dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat Jibril?” Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan 6 daging- daging manusia dan merusak kehormatannya.”

Dari shahabat Ibnu Umar , bahwa beliau  bersabda,

“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya. Barang siapa yang Allah mencari 7 aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya .”

6 HR. Muslim no. 2564 7 HR. Abu Dawud no. 4878 dan lainnya HR. At Tirmidzi dan lainnya

Dari shahabat Jabir bin Abdillah , beliau berkata, “Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah  mencium bau bangkai yang busuk. Lalu Rasulullah  berkata: ‘Apakah kalian tahu bau apa ini? (Ketahuilah) bau busuk ini berasal dari orang-

orang yang berbuat ghibah.” 8 Suatu hari Aisyah radhiyallahu’anha pernah berkata kepada Rasulullah 

tentang Shafiyyah radhiyallahu’anha bahwa dia adalah wanita yang pendek. Maka beliau  bersabda,

“Sungguh engkau telah berkata dengan suatu kalimat yang kalau 9 seandainya dicampur dengan air laut niscaya akan merubah air laut itu.” Asy Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata: “Dapat merubah rasa dan aroma air laut, disebabkan betapa busuk dan kotornya perbutan ghibah. Hal ini

menunjukkan suatu peringatan keras dari perbuatan tersebut.” 10

Sekedar menggambarkan bentuk tubuh seseorang saja sudah mendapat teguran keras dari Rasulullah , lalu bagaimana dengan menyebutkan sesuatu yang lebih keji dari itu?

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, hal yang seharusnya dilakukan seseorang yang mendengar seorang muslim dipergunjingkan, maka hendaklah dia mencegah dan menghentikan pembicaraan itu. Andaikan orang yang menggunjing itu tidak mau berhenti setelah diingatkan dengan kata-kata, maka hendaklah diingatkan dengan tangan. Seandainya orang yang mendengar ghibah tadi tidak mampu mengingatkan dengan tangan maupun dengan lisan, maka hendaklah dia meninggalkan tempat itu. Apabila dia mendengar gurunya, orang yang berjasa kepada dirinya atau orang yang memiliki kelebihan dan keshalihan dipergunjingkan maka hendaknya ada perhatian lebih terhadap apa yang 11 telah dijelaskan di atas.

Allah  berfirman,

9 HR. Ahmad 3/351 10 HR. Abu Dawud 4875 dan lainnya

11 Lihat Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin 3/25 Al-Adzkar, hal 294

“Dan orang-orang yang beriman itu bila mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya, dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, semoga kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil .” (QS. Al- Qashash: 55). Telah datang riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah dan Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata bahwa Rasulullah  bersabda,

“Barang siapa yang tidak membela saudaranya sesama muslim pada saat kehormatan dan harga dirinya dilecehkan, maka Allah pasti tidak akan 12 membelanya pada saat pertolongan Allah sangat diharapkan .”

Dari shahabat Abu Dzar , bahwa Rasulullah  bersabda,

“Barang siapa yang mencegah terbukanya aib saudaranya niscaya Allah 13 akan mencegah wajahnya dari api neraka pada hari kiamat nanti.”

Demikianlah semestinya, ia tidak ridha melihat saudaranya terjatuh dalam kemaksiatan yaitu berbuat ghibah. Semestinya ia menasehatinya, bukan justru ikut larut dalam perbuatan tersebut. Kalau sekiranya ia tidak mampu menasehati atau mencegahnya dengan cara yang baik, maka hendaknya ia pergi dan menghindar darinya

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu

12 Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/271 No.4884), Lihat juga 13 Shahih Jami’ush Shaghir (V/160) HR. At Tirmidzi no. 1931 dan lainnya 12 Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/271 No.4884), Lihat juga 13 Shahih Jami’ush Shaghir (V/160) HR. At Tirmidzi no. 1931 dan lainnya

1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”

2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya.

3. Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati- hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”

4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.

5. Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.

6. Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al- A’raj (yang pincang), Al- Ashamm (yang tuli), Al- A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk 15 memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama .

15 Syarah Nawawi fi Shahih Muslim, XVI/142 dan Al-Adzkar, hal. 292 lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah

Setiap keluarga muslim pasti mendambakan ketenteraman dan ketenangan dalam rumah yang mereka huni. Setiap kita ingin agar rumah kita sebagaimana ungkapan ”rumahku adalah surgaku”. Bukan karena rumah itu mewah, namun karena semua merasa tentram ketika masuk dan berada di dalamnya.

Lalu, bagaimana menjadikan rumah kita ibarat surga bagi penghuninya? Di antara faktor yang sangat penting adalah menjauhkan dan membentengi rumah dari setan. Mengapa? Ya, karena setan merupakan musuh anak Adam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh .” (QS. Fathir: 6).

Di antara perkara yang bisa kita lakukan untuk membentengi rumah kita dari setan adalah :

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Dianjurkan seseorang mengucapkan bismillah dan banyak berzikir kepada Allah  serta mengucapkan salam, sama saja apakah dalam rumah itu ada manusia atau tidak, berdasarkan firman Allah ,

”Apabila kalian masuk ke rumah-rumah maka ucapkanlah salam (kepada penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri-diri kalian sendiri, ”Apabila kalian masuk ke rumah-rumah maka ucapkanlah salam (kepada penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri-diri kalian sendiri,

Ahli tafsir berbeda pendapat tentang rumah yang dimaksudkan dalam ayat di atas. 17

Ibnul ‘Arabi rahimahullahu menetapkan bahwa pendapat yang menyatakan rumah secara umum merupakan pendapat yang shahih, karena tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususan. Kalau rumah itu adalah rumah orang lain, maka ia ucapkan salam dan meminta izin kepada tuan rumah sebelum masuk ke dalamnya. Bila rumah itu kosong ia ucapkan, “As-salamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin” (Semoga

keselamatan untuk kami dan untuk para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih). Demikian kata Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Namun bila dalam rumah itu ada keluarganya, anak-anaknya dan pembantunya, ia uca pkan “Assalamu ‘alaikum.”

Ketika memberikan penjelasan terhadap surah Al-Kahfi ayat 39, Ibnul ‘Arabi rahimahullahu menyatakan dianjurkannya berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bila salah seorang dari kita masuk rumah atau masjid dengan mengucapkan: “Masya Allah la quwwata illa billah.” Asyhab berkata, “Al-Imam Malik rahimahullahu mengatakan, ‘Sepantasnya setiap 18 orang yang masuk ke rumahnya mengucapkan zikir ini’.”

Abu Umamah Al-Bahili , membawakan hadits dari Rasulullah ,

“Ada tiga golongan yang mereka seluruhnya berada dalam jaminan Allah , (di antaranya) seseorang masuk ke rumahnya dengan mengucapkan 19 salam maka ia berada dalam jaminan Allah  .”

20 Makna jaminan Allah  adalah berada dalam penjagaan Allah .

17 Al-Adzkar, hal. 25 18 Al- Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/209

19 Ahkamul Qur’an, 3/1240 20 HR. Abu Dawud no. 2494 Al-Adzkar, hal. 26

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah  bersabda,

”Apabila seseorang masuk ke rumahnya lalu ia berzikir kepada Allah saat masuknya dan ketika hendak menyantap makanannya, berkatalah setan,

“Tidak ada tempat bermalam bagi kalian dan tidak ada makan malam.” Bila ia masuk rumah dalam keadaan tidak berzikir kepada Allah ketika

masuknya, berkatalah setan, “Kalian mendapatkan tempat bermalam.” Bila ia tidak berzikir kepada Allah ketika makannya, berkatalah setan,

“Kalian mendapatkan tempat bermalam sekaligus makan malam.” 21

Berzikir kepada Allah  akan mengusir setan dari rumah kita sehingga setan tidak dapat menyertai kita saat makan dan tidur. Sementara, lalai dari zikrullah akan memberikan kesempatan emas bagi setan karena ia mendapati tempat menginap plus makan malamnya. Tentunya setan ini tidak sendirian. Bersamanya ada kawan-kawannya, gerombolan setan, karena setan mengucapkan ucapan demikian kepada teman-teman, 22 pembantu-pembantu, dan sahabatnya.

Al- Qur’anul Karim akan mengharumkan rumah seorang muslim dan akan mengusir para setan. Abu Musa Al- Asy’ari  mengabarkan dari Nabi ,

22 HR. Muslim Al-Minhaj, 11/191

artinya : “Permisalan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah atrujah, baunya harum dan rasanya enak. Permisalan seorang mukmin yang tidak membaca Al- Qur’an seperti buah kurma, tidak ada baunya namun rasanya manis. Adapun orang munafik yang membaca Al- Qur’an permisalannya seperti buah raihanah, baunya wangi tapi rasanya pahit. Sementara orang munafik yang tidak membaca Al-

23 Qur’an seperti buah hanzhalah, tidak ada baunya, rasanya pun pahit.”

Membaca Al- Qur’an di rumah dengan penuh kekhusyukan menjadikan para malaikat akan mendekat. Seperti kejadian yang pernah dialami seorang sahabat Rasulullah  yang bernama Usaid ibnu Hudhair .

Suatu malam Usaid tengah membaca Al- Qur’an di tempat pengeringan kurma miliknya. Tiba-tiba kudanya melompat. Ia membaca lagi, kudanya melompat lagi. Ia terus melanjutkan bacaannya dan kudanya juga melompat. Usaid berkata, “Aku pun khawatir bila sampai kuda itu menginjak Yahya (putra Usaid) hingga aku bangkit menuju kuda tersebut. Ternyata aku dapati di atas kepalaku ada semacam naungan. Di dalamnya seperti lentera-lentera yang terus naik ke udara sampai aku tidak melihatnya lagi (hilang dari pandanganku). Di pagi harinya aku menemui Rasulullah  .” Usaid kemudian menceritakan apa yang dialaminya, setelahnya Rasulullah  menjelaskan,

23 HR. Al-Bukhari no. 5020 dan Muslim no. 1857

“Itu adalah para malaikat yang mendengarkan bacaanmu. Seandainya engkau terus membaca Al- Qur’an niscaya di pagi harinya manusia akan

dapat melihat naungan tersebut, tidak tertutup dari mereka 24 .“

Bila engkau merasa di rumahmu demikian banyak masalah, tampak banyak penyimpangan dan anggota-anggotanya saling berselisih, maka ketahuilah setan hadir di rumahmu, maka bersungguh-sungguhlah mengusirnya. Bagaimanakah cara mengusirnya? Rasulullah  memberikan jawabannya :

“Sesungguhnya segala sesuatu ada puncaknya (punuknya) dan puncak dari Al- Qur’an adalah surah Al-Baqarah. Sungguh setan bila mendengar dibacakannya surah Al-Baqarah, ia akan keluar dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-

Baqarah tersebut.” 25

Abu Hurairah mengabarkan dari Rasulullah , beliau bersabda,

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surah Al-

Baqarah.” 26

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan bahwa Nabi  bersabda,

25 HR. Muslim no. 1895 26 HR. Al-Hakim, dihasankan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 588 HR. Muslim no. 1821

“Jadikanlah bagian dari shalat kalian di rumah-rumah kalian, dan jangan 27 kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan .”

Dalam syariat disebutkan pelarangan shalat di kuburan. Karenanya, Rasulullah  melarang kita menjadikan rumah kita seperti kuburan, dengan tidak pernah dilakukan ibadah di dalamnya. Beliau menghasung kita agar memberi bagian shalat sunnah untuk dikerjakan di dalam rumah.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Rasulullah  memberikan hasungan untuk mengerjakan shalat nafilah (sunnah) di rumah, karena hal itu lebih ringan dan lebih jauh dari riya, lebih menjaga dari perkara yang dapat membatalkannya. Juga dengan mengerjakan shalat nafilah di rumah akan memberi keberkahan bagi rumah tersebut. Akan turun rahmah di dalamnya, demikian pula para malaikat. Sementara setan akan lari dari 28 rumah tersebut.”

Dalam hadits yang lain Rasulullah  memerintahkan,

“Seharusnya bagi kalian untuk mengerjakan shalat di rumah-rumah kalian karena sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya terkecuali shalat

wajib 29 .”

Sebuah hadits dari sahabat yang mulia, Abu Malik Al- Asy’ari , mengingatkan kita bahwa nyanyian, musik berikut alatnya bukanlah perkara yang terpuji, namun lebih dekat kepada azab. Abu Malik berkata: Rasulullah  bersabda,

28 HR. Al-Bukhari no. 432 dan Muslim no. 1817 29 Al-Minhaj, 6/309 HR. Al-Bukhari no. 731 dan Muslim no. 1822

َيرِقَفْلا ِنِْ َ ي - ْمِ يِتْأَي ، ْمَُلَ ٍةَحِراَ ِ ْمِ ْيَلَع ُحوُرَ ي ٍمَلَع ِ ْنَج َلَِإ ٌماَوْ قَأ َ يِرَخ ُخَ َْيََو ، َمَلَ ْلا ُعَضَيَو ُهللَّا ُمُ ُ تِّيَ بُيَ ف . اًدَغ اَنْ يَلِإ ْعِجْرا اوُلوُقَ يَ ف ٍةَجاَِلُ ِةَماَيِقْلا ِمْوَ ي َلَِإ َريِزاَنَخَو ًةَدَرِق

“Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Ada sekelompok orang yang tinggal di lereng puncak gunung. Setiap sore seorang penggembala membawa (memasukkan) hewan ternak mereka ke kandangnya. Ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu kebutuhannya, berkatalah

mereka kepada si fakir, ‘Besok sajalah kamu kemari!’ Maka di malam harinya, Al lah Subhanahu wa Ta’ala azab mereka dengan ditimpakannya gunung tersebut kepada mereka atau diguncang dengan sekuat-kuatnya.

Sementara yang selamat dari mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala ubah 30 menjadi kera-kera dan babi- babi hingga hari kiamat.”

Bila sekiranya di rumah kita ada lonceng-lonceng yang digantung serupa dengan naqus/lonceng gereja dalam hal suara ataupun model/bentuknya, walaupun tujuan kita hanya sebagai hiasan, maka singkirkanlah. Karena Nabi  bersabda dalam hadits yang disampaikan Abu Hurairah ,

“Lonceng itu adalah seruling setan.”

Masih dari Abu Hurairah , ia memberitakan sabda Rasulullah ,

31 HR. Al-Bukhari no. 5590 HR. Muslim no. 5514

“Para malaikat tidak akan menyertai perkumpulan/rombongan yang di dalamnya ada anjing atau lonceng (yang biasa dikalungkan di leher hewan,

pen.).” 32

Para malaikat adalah tentara Ar-Rahman. Mereka selalu berada dalam permusuhan dengan tentara setan. Maka, bila di suatu tempat tidak ada tentara Ar-Rahman, siapa gerangan yang menguasai tempat tersebut? Tentu para tentara setan.

Gambar dan patung yang dimaksudkan di sini adalah yang berupa/berbentuk makhluk bernyawa (hewan dan manusia). Gambar dan patung seperti ini harus disingkirkan dari rumah, terkecuali boneka untuk

mainan anak perempuan, demikian kata Al-Qadhi rahimahullahu. 33 Namun boneka ini tidak boleh dalam bentuk yang detail, sebagaimana jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu 34 ketika ditanya tentang masalah ini.

Abu Hurairah  berkata dari Rasulullah ,

“Para malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada

patung-patung atau gambar-gambar 35 .”

Abu Thalhah  menyampaikan sabda Rasul yang mulia ,

33 HR. Muslim no. 5512 34 Al-Minhaj, 14/308 35 lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh, no. 329, 2/227-278 HR. Muslim no. 51

“Para malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada 36 anjing dan gambar.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan,

Jibril berjanji kepada Rasulullah  untuk mendatangi beliau di suatu waktu. Maka tibalah waktu tersebut namun ternyata Jibril tak kunjung datang menemui beliau. Ketika itu di tangan beliau ada sebuah tongkat, beliau melemparkan tongkat tersebut dari tangan beliau seraya berkata, “Allah dan para utusannya tidak akan menyelisihi janjinya.” Beliau lalu menoleh dan ternyata di bawah tempat tidur ada seekor anjing kecil. Beliau berkata, “Ya Aisyah, kapan anjing itu masuk ke sini?” “Saya tidak tahu,” jawab Aisyah. Beliau lalu menyuruh anjing itu dikeluarkan. Setelah itu datang Jibril. Rasulullah 

berkata, “Engkau berjanji kepadaku untuk datang di waktu tadi, aku pun duduk menantimu namun ternyata engkau tidak kunjung datang.” Jibril memberi alasan, “Anjing yang tadi berada dalam rumahmu mencegahku untuk masuk karena sungguh kami tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan tidak pula 37 masuk ke rumah yang ada gambar.”

Dengan demikian, haram bagi seorang muslim memelihara anjing tanpa ada kebutuhan, terkecuali anjing untuk berburu, anjing penjaga kebun, atau penjaga hewan ternak/peliharaan, sebagaimana pengecualian yang disebutkan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang akan datang penyebutannya.

Barangsiapa memelihara anjing tanpa kebutuhan maka ia terkena ancaman hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut ini. Rasulullah  bersabda,

“Siapa yang memelihara anjing kecuali anjing penjaga ternak atau anjing berburu berkurang dua qirath pahala amalannya

setiap hari.” 38

37 HR. Al-Bukhari no. 3225 dan Muslim no. 5481 38 HR. Muslim no. 5478 HR. Al-Bukhari no. 5482 dan Muslim no. 3999

Dunia ini fana. Manusia hidup di dunia sekejap saja. Toh, kehidupan dunia yang hanya sementara ini nyatanya telah menjebak banyak manusia, tenggelam mencari kesenangan yang seolah tidak ada habisnya. Setelah terpenuhi satu keinginan, akan muncul keinginan yang lain, begitu seterusnya. Hingga akhirnya, kehidupan akhirat yang kekal abadi pun kemudian terlupakan. Segala cara akan ditempuh demi menggapai keinginan akan kesenangan atas segala hal yang bersifat duniawi, tidak peduli lagi baik-buruk, halal-haram, dosa dan neraka. Yang penting dapat hidup senang bergelimang harta dan memiliki kedudukan dan tahta. Apalagi saat ini, ketika harga terus melonjak naik, sementara lapangan pekerjaan makin susah, “Jangankan mencari yang halal, mencari yang haram saja susah, “ demikian kebanyakan orang sering mengeluh.

Seandainya manusia mengetahui betapa kehidupan akhirat itulah sebenar- benar kehidupan, kehidupan yang tidak ada lagi kematian, tentu mereka akan mengambil apa-apa yang ada dalam kehidupan dunia ini sedikit saja dan seperlunya. Sayangnya, kesadaran akan hal ini tidak dimiliki semua orang. Hingga mereka menjadi sedemikian rakus. Ibaratnya, seluruh isi dunia ini pun masih kurang untuk memuaskan keserakahannya.

Kita tentu berlindung kepada Allah  dari sifat rakus dan selalu merasa kurang ini, sehingga tidak terjerumus melakukan tindakan-tindakan yang dilarang karena memperturutkan hasrat duniawi.

Padahal, jika kita ingin merenung, sesungguhnya antara harta dan ketenangan hati, adalah dua hal yang berbeda, yang tak ada hubungannya. Banyak orang berlimpah harta tapi tak mampu merasakan kebahagiaan dan ketenangan. Ia mampu menyewa hotel dan membeli tempat tidur yang mewah, namun tak bisa membeli rasa nyenyak. Sementara di saat Padahal, jika kita ingin merenung, sesungguhnya antara harta dan ketenangan hati, adalah dua hal yang berbeda, yang tak ada hubungannya. Banyak orang berlimpah harta tapi tak mampu merasakan kebahagiaan dan ketenangan. Ia mampu menyewa hotel dan membeli tempat tidur yang mewah, namun tak bisa membeli rasa nyenyak. Sementara di saat

Itulah keadaan kita dan itu nyata. Sedikit yang mau bersyukur. Telah banyak diberi nikmat malah dikata masih sedikit dan kurang. Padahal sebaik-baik hamba adalah yang mau bersyukur baik ketika diberi sedikit atau pun banyak. Namun yang sedikit saja jarang kita mau syukuri, apalagi yang banyak.

Allah Ta’ala berfirman, artinya : “Sangat sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mau bersyukur.” (QS. Saba’: 13).

Syaikh Abu Bakr Al Jazairi berkata, “Ini adalah pengkabaran yang sesuai kenyataan. Sungguh Maha Benar Allah. Sungguh yang benar-benar mensyukuri nikmat Allah amatlah sedikit di setiap waktu dan tempat. Kebanyakan berada dalam hati yang lalai, di sisi lain karena begitu jahil terhadap Rabbnya.”

Merupakan sunnatullah bahwasanya Allah Ta’ala telah menentukan ujian dan cobaan bagi para hambaNya. Mereka akan diuji dengan berbagai macam ujian, baik dengan sesuatu yang disenangi oleh jiwa berupa kemudahan dalam hidup atau kelapangan rizki, dan juga akan diuji dengan perkara yang tidak mereka sukai, berupa kemiskinan, kesulitan, musibah atau yang lainnya.

Allah Ta’ala berfirman, artinya : “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami- lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)

Abdullah ibnu ‘Abbas  mengatakan, “Maksudnya, Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, serta

petunjuk dan kesesatan. 39

39 Lihat Tafsir ath-Thabari, IX/26, no. 24588

Inilah sunnatullah yang berlaku pada para hambaNya. Oleh karena itulah, kita melihat manusia ini berbeda kondisi kehidupannya. Ada yang hidup dengan harta yang melimpah, fasilitas dan kedudukan. Ada juga yang ditakdirkan hidup sederhana lagi pas-pasan. Bahkan ada juga yang hidup fakir miskin dan tidak punya apa-apa.

Segala nikmat yang Allah  berikan kepada kita adalah ujian bagi kita, apakah kita akan menjadi hamba-Nya yang bersyukur ataukah menjadi orang yang kufur. Sungguh benar apa yang diucapkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis

salam tatkala mendapatkan nikmat, beliau mengatakan : “Ini termasuk karunia dari Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha

Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40).

Syukur adalah akhlaq yang mulia, yang muncul karena kecintaan dan keridha’an yang besar terhadap Sang Pemberi Nikmat. Syukur tidak akan mungkin bisa terwujud jika tidak diawali dengan keridha’an. Seseorang yang diberikan nikmat oleh Allah  walaupun sedikit, tidak mungkin akan bersyukur kalau tidak ada keri dha’an. Orang yang mendapatkan penghasilan yang sedikit, hasil panen yang minim atau pendapatan yang pas- pasan, tidak akan bisa bersyukur jika tidak ada keridha’an. Demikian pula orang yang diberi kelancaran rizki dan harta yang melimpah, akan terus merasa kurang dan tidak akan bersyukur jika tidak diiringi keridha ’an. Syukur itu, sebenarnya tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan “alhamdulillah”. Namun hendaknya seorang hamba bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamahrahimahullah , “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati,

lisan dan anggota badan. 40

Ibnu Qayyim rahimahullah melengkapi hakikat syukur tersebut dengan menjelaskan bahwa syukur kepada Allah itu adalah tampaknya bekas nikmat Allah  pada lisan sang hamba dalam bentuk pujian dan

40 Lihat Minhajul Qasidin, hal. 305 40 Lihat Minhajul Qasidin, hal. 305

Makanya, Saudaraku :

1. Tidaklah seorang hamba dianggap bersyukur kepada Allah  ketika ia masih saja bermaksiat dan tidak patuh terhadap berbagai perintah dan laranganNya;

2. Tidaklah seorang hamba dianggap bersyukur kepada Allah  ketika ia masih menjadikan cinta kepada makhluk di atas cinta kepadaNya;

3. Tidaklah seorang hamba dianggap bersyukur kepada Allah  ketika ia masih merasa bahwa nikmat-nikmat yang telah ia rasakan dan nikmati adalah hasil usaha dan jerih payahnya sendiri. Sementara, keyakinan bahwa nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah dan bukan dari selain-Nya adalah wajib dan mutlak. Allah  berfirman, artinya : “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah- lah (datangnya)…”(QS. An-Nahl: 53). Meskipun bisa jadi, kita mendapatkan nikmat itu melalui teman, aktivitas jual beli, bekerja atau yang lainnya, semuanya itu adalah hanyalah perantara untuk mendapatkan nikmat. Orang yang menisbatkan bahwa nikmat yang ia peroleh berasal dari Allah Ta’ala, ia adalah hamba yang bersyukur. Selain mengakui dan meyakini bahwa nikmat-nikmat itu berasal dari Allah Ta’ala hendaklah ia mencintai nikmat-nikmat yang ia peroleh;

4. Tidaklah seorang hamba dianggap bersyukur kepada Allah  ketika ia masih kikir untuk selalu menyanjung dan memuji namaNya dalam lisannya.

senantiasa mengucapkan kalimat thayyibbah sebagai bentuk pujian terhadap Allah Ta’ala. Hamba ya ng bersyukur kepada Allah Ta’ala ialah hamba yang bersyukur dengan lisannya. Allah  sangat senang apabila dipuji oleh hamba-Nya. Allah  cinta kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa memuji Allah Ta’ala. “Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut- nyebutnya (dengan bersyukur)”.(QS. Adh-Dhuha:

Lisannya

hendaknya

41 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Tahdzib Madarij al-Salikin oleh Abdul Mun`im al`Izzî, hal. 348

11). Seorang hamba yang setelah makan mengucapkan rasa syukurnya dengan berdoa, maka ia telah bersyukur. Sebagaimana sabda Rasulullah , “Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghairi haulin minnii wa laa quwwah” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang

telah lalu.” 42 Terdapat pula dalam hadits riwayat Anas bin Malik ฀, Nabi  bersabda, artinya : “Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka

kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum” 43 . Bahkan, ketika tertimpa musibah atau

melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka sebaiknya tetaplah kita memuji Allah . Dari Aisyah radhiallahu anha, kebiasaan Rasulullah  jika menyaksikan hal-hal yang beliau sukai adalah mengucapkan “Alhamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmus shalihat”. Sedangkan jika beliau  menyaksikan hal-hal yang tidak menyenangkan beliau mengucapkan

“Alhamdulillah ‘ala kulli hal.” 44

5. Dan, tidaklah seorang hamba dianggap bersyukur kepada Allah ketika ia dengan tenang dan nyaman, menggunakan berbagai karunia dan nikmat Allah  kepadanya untuk bermaksit dan melanggar aturan- aturanNya.Wallahul- musta’an. Sesungguhnya orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala akan menggunakan nikmat Allah untuk beramal shalih, tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Ia gunakan matanya untuk melihat hal yang baik, lisannya tidak untuk berkata kecuali yang baik, dan anggota badannya ia gunakan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.

Allah  berfirman, artinya : “Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur .” (QS. Al-Baqarah: 152)

Pada ayat tersebut Allah  memerintahkannya secara khusus. Allah  berfirman yang artinya, “Maka bersyukurlah kepada-Ku.” Setelah perintah bersyukur, Allah juga berfirman : “Dan janganlah kalian kufur”. Yang dimaksud dengan kata ‘kufur’ di sini adalah yang menjadi lawan dari

43 HR. Tirmidzi. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan 44 HR. Muslim HR Ibnu Majah. Syaikh Al-Albani menilai hadits ini hasan 43 HR. Tirmidzi. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan 44 HR. Muslim HR Ibnu Majah. Syaikh Al-Albani menilai hadits ini hasan

bawahnya.” 45

Olehnya, marilah kita menjadi orang-orang yang senantiasa bersyukur kepadaNya. Janganlah hidup ini kita penuhi dengan keluh kesah yang tidak berkesudahan. Yakinlah, segala nikmat dan ujian adalah pilihan terbaik Allah  untuk hambaNya. Syukuri apa yang ada. Masih banyak orang- orang yang lebih susah dari kita. Semoga Allah  memberikan kita kekuatan untuk selalu bersyukur kepadaNya. Wallahu a’lam .

45 Lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 74

“Mencuci mata” sudah menjadi kebiasaan banyak orang utamanya di kalangan para muda.Nongkrong di pinggir jalan, menikmati pemandangan alam yang indah dan penuh pesona adalah hal biasa. Apalagi, di zaman yang serba canggih seperti sekarang, zaman gadgetdan smartphone, begitu memanjakan kita untuk mengakses dunia maya yang penuh dengan warna, tak terkecuali “alam indah” untuk “mencuci mata”. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah alam apakah yang sedemikian indahnya sehingga menjadikan orang-orang atau para muda begitu tertarik dan kerasan untuk nongkrong dan memantau gadget hingga berjam-jam? Ternyata alam tersebut adalah wanita, sumber fitnah bagi lelaki sejak zaman dahulu. “Saya melihat karena kekaguman terhadap ciptaan Allah, Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”, seloroh mereka.

Benarkah pernyataan ini? Ini jelas adalah tipu daya dan racun syaitan yang telah merasuk dalam jiwa. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, kami akan mencoba memaparkan beberapa perkara yang berkaitan dengan hukum pandangan. Semoga Allah  memberikan taufiq-Nya.

Allah  berfirman, artinya : “Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, “Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci bagi

mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”, dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, “Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka…..Hingga firman Allah  di akhir ayat : “Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman semoga kalian beruntung” (QS. An-Nuur 30-31).

Ayat yang agung di atas mungkin sering terlewati begitu saja saat lisan kita bergerak membaca kitabullah. Tidak hanya sekali atau dua kali. Namun karena diri kita kosong dari penghayatan atau barangkali tidak paham dengan maknanya, akhirnya kita pun belum mengamalkannya. Alhasil, pandangan mata kita tidak terjaga. Kita pun membiarkannya liar memandang apa saja yang dia inginkan tanpa ada rasa segan dan takut kepada Sang Penguasa langit, bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Wallahul- musta’an.

Berkata Syaikh Utsaimin rahimahullah , “Ayat ini merupakan dalil akan wajibnya bertaubat karena tidak menundukan pandangan dan tidak menjaga kemaluan. Menundukkan pandangan yaitu dengan menahan pandangan dan tidak mengumbarnya. Karena tidak menundukkan pandangan dan tidak menjaga kemaluan merupakan sebab kebinasaan dan sebab kecelakaan dan timbulnya fitnah. Nabi  telah bersabda,

”Tidak pernah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya terhadap kaum

pria daripada finah para wanita 46 ” .

Begitu juga sabda beliau ,

“Dan sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa bani Israil adalah 47 fitnah wanita” .

Maka wajib atas kita untuk saling menasehati untuk bertaubat dan hendaknya saling memperhatikan antara satu dengan yang lainnya apakah seseorang di antara kita telah bertaubat ataukah masih senantiasa tenggelam dalam dosa-dosanya, karena Allah mengarahkan perintah untuk 48 bertaubat kepada kita semua.”

Rasulullah  pernah berkata kepada Ali  ,

47 HR. Bukhari 48 HR. Muslim Lihat Syarah Riyadhus Shalihin

“Wahai Ali janganlah engkau mengikuti pandangan (pertama yang tidak sengaja) dengan pandangan (berikutnya), karena bagi engkau pandangan yang pertama dan tidak boleh bagimu pandangan yang terakhir

(pandangan yang kedua) 49 ” .

Salah seorang sahabat beliau , bernama Jarir bin Abdillah , pernah berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah  tentang pandangan yang

tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau 50  memerintahan aku untuk memalingkan pandanganku” .

Diceritakan juga dari Ibnu Abbas , bahwasanya “Rasulullah  pernah membonceng Al- Fadl, lalu datang seorang wanita dari Khats’am. Al-Fadl memandang kepada wanita tersebut –dalam riwayat yang lain, kecantikan wanita itu menjadikan Al-Fadl kagum- dan wanita itu juga memandang kepada Al-Fadl, maka Nabipun memalingkan wajah Al-Fadl ke arah lain (sehingga tidak memandang wanita

tersebut)…” 51 .

Berdasarkan dalil al- Qur’an dan beberapa hadits di atas, jelaslah bahwa perintah menjaga pandangan adalah wajib dan memandang wajah seorang wanita (yang bukan mahram) hukumnya haram. Hal ini nampak dari perintah Nabi  kepada para sahabatnya Ali dan Jarir radhiyallahu anhuma. Begitu pula Nabi  memalingkan wajah Al-Fadl sehingga tidak lagi

memandang wajah wanita tersebut 52 .

Keutaman Menjaga Pandangan

Menjaga pandangan mata dari memandang hal-hal yang diharamkan oleh Allah  adalah akhlak yang mulia. Rasulullah  menjamin surga bagi orang-orang yang mampu menjaga pandangannya. Beliau  bersabda,

50 HR. Abu Dawud. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani 51 HR. Muslim

52 Lihat Adhwaa’ul Bayan, Tafsir Surat 24/31 HR. Bukhari

“Berilah jaminan padaku enam perkara, maka aku jamin bagi kalian surga. Jika salah seorang kalian berkata maka janganlah berdusta, dan jika diberi

amanah janganlah berkhianat, dan jika dia berjanji janganlah menyelisihinya, dan tundukkanlah pandangan kalian, cegahlah tangan-

tangan kalian (dari menyakiti orang lain), dan jagalah kemaluan kalian 53 ” .

Berkata Imam Mujahid rahimahullah , “Menundukkan pandangan dari hal- hal yang diharamkan oleh Allah menimbulkan kecintaan kepada Allah” 54 .

Menjaga pandangan, memang sulit. Apalagi di zaman ini. Hal-hal yang diharamkan untuk dipandang hampir ada di setiap tempat, di pasar, di rumah sakit, bahkan di tempat-tempat ibadah. Bahkan, di dalam rumah sekalipun, di tempat yang relatif aman dari dunia luar, juga tak luput dari ancaman gambar-gambar tersebut. Hadirnya televisi, gadget, smatphone, internet dan lainnya di dalam rumah adalah di antara jalur- jalurnya. Wallahul Musta’an.

Betapa tidak, ketika para wanita tampil dengan menghiasi tubuhnya, syaitan pun datang dengan keahliannya menjadikannya semakin indah dipandang mata. Sementara secara asal, wanita memang adalah aurat yang harus tersembunyi kecuali bagi orang-orang yang berhak. Rasulullah  bersabda,

“Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syaitan memandangnya” 55 .

54 HR. Thabrani. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani 55 Lihat Majmu’ Al-Fatawa 15/396 HR. Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani

Berkata Al-Mubarakfuri , “(Maksudnya) Yaitu syaitan menghiasi wanita pada pandangan para lelaki” 56 . Tetapi, ketika kita mampu menjaga

pandangan di saat sulit, di situlah ganjaran pahalanya begitu besar. Rasulullah  bersabda, ”Beribadah pada zaman yang sulit (terjadi

fitnah) bagaikan berhijrah kepada- 57 Ku” .

Di antara penyebab terjangkitinya sebagian orang dengan penyakit ini, bahkan menimpa para penuntut ilmu, adalah karena sebagian mereka telah terperangkap bisikan dan rayuan syaitan bahwasanya memandang wanita tidaklah mengapa jika tidak diiringi syahwat. Atau bisikan lainnya bahwasanya hal ini adalah dosa dan tidak mengapa menyepelekannya. Padahal ada sebuah kaidah penting dalam agama yang telah kita ketahui bersama yaitu “Tidak lagi disebut dosa kecil jika (perbuatan maksiat itu) dilakukan terus menerus ”. Berkata Syaikh Abu Muhammad bin Abdissalam tentang definisi “terus menerus”, “Yaitu dosa kecil itu ia lakukan berulang- ulang sehingga ia merasakan sedikitnya kepeduliannya dengan agamanya, yaitu ia merasakan bahwa ia telah melakukan dosa besar dengan dosa-

dosa kecil tersebut” 58 .

Perintah Allah  secara khusus untuk bertaubat dari tidak menjaga pandangan mata menunjukan bahwa hal ini bukanlah perkara yang sepele. Pandangan mata merupakan awal dari berbagai macam malapetaka. Barangsiapa yang semakin banyak memandang wanita yang bukan mahramnya maka semakin dalam kecintaannya kepadanya hingga akhirnya akan mengantarkannya kepada jurang kebinasaannya,

Wal ‘iyadzu billah 59 .

Yang sangat menyedihkan, masih saja ada di antara kita yang merasa dirinya aman dari fitnah dengan terus mengumbar pandangannya. Hal ini tidak lain kecuali karena dia telah terbiasa, sehingga kemaksiatan tersebut terasa ringan di matanya. Dan ini merupakan ciri-ciri orang munafik. Berkata Abdullah bin Mas’ud , “Seorang mu’min memandang dosa- dosanya seperti gunung yang ia berada di bawah gunung tersebut, dia takut (sewaktu-waktu) gunung tersebut jatuh menimpanya. Adapun

57 Lihat Tuhfatul Ahwadzi 4/2835 58 HR. Muslim 59 Lihat Al-Minhaj 2/87 Lihat Adhwaul Bayan, tafsir surat 24/31 57 Lihat Tuhfatul Ahwadzi 4/2835 58 HR. Muslim 59 Lihat Al-Minhaj 2/87 Lihat Adhwaul Bayan, tafsir surat 24/31

Parahnya, mengumbar pandangan kepada yang tidak halal, merupakan salah satu bagian zina yang diharamkan. Rasulullah  pernah bersabda,

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal 61

tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakannya” .

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kebanyakannya maksiat itu masuk kepada seorang hamba melalui empat pintu, yang keempat pintu tersebut adalah kilasan pandangan, betikan di benak hati, ucapan dan tindakan. Adapun pandangan maka dia adalah pembimbing (penunjuk jalan) bagi syahwat dan utusan syahwat. Menjaga pandangan merupakan dasar untuk menjaga kemaluan, barangsiapa yang mengumbar pandangannya maka dia telah mengantarkan dirinya terjebak dalam tempat-tempat kebinasaan. Pandangan merupakan sumber munculnya kebanyakan malapetaka yang menimpa manusia, karena pandangan melahirkan betikan hati kemudian berlanjut

menimbulkan pemikiran (perenungan/lamunan) lalu pemikiran menimbulkan syahwat kemudian syahwat melahirkan keinginan kemudian menguat kehendak tersebut hingga menjadi ‘azam/tekad (keinginan yang sangat kuat) lalu timbullah tindakan –dan pasti terjadi tindakan tersebut- yang tidak sesuatupun yang mampu mencegahnya. Oleh karena itu dikatakan “kesabaran untuk menundukan pandangan lebih mudah daripada kesabaran menahan kepedihan yang akan timbul kelak akibat tidak menjaga pan dangan”.

betikan di

61 Shahihul Bukhari no. 6308 HR. Bukhari dan Muslim

Beberapa kiat yang dapat diupayakan untuk menjaga pandangan dari hal- hal yang diharamkan oleh Allah  :

Selalu mengingat bahwa Allah  senantiasa mengawasi perbuatan kita, tatkala kita sendiri atau pun dalam ramai. Juga termasuk pengawasan oleh para malaikatNya yang senantiasa mengawasi dan mencatat seluruh perbuatan kita. Ingatlah selalu bahwa mata kita kelak akan menjadi saksi atas perbuatannya pada hari kiamat. Begitu pula, bumi yang kita pijak tatkala kita mengumbar pandangan, juga akan menjadi saksi.

Berupaya bersungguh-sungguh untuk membiasakan diri menjaga pandangan. Dan barang siapa yang berusaha untuk bersabar maka Allah  akan menjadikannya orang yang sabar. Jika jiwa telah terbiasa menundukkan pandangan maka kelak akan menjadi mudah bagi kita. Walaupun pada mulanya memang terasa sangat sulit, namun berusahalah!

Menjauhi tempat-tempat yang rawan timbulnya fitnah pandangan. Demikian juga, hati-hati mendekati hal-hal yang merupakan sarana mengumbar aurat wanita hanya karena alasan untuk mengikuti berita dan mengikuti perkembangan informasi dunia.

Banyak membasahi lisan dengan dzikir kepada Allah , karena dzikir merupakan benteng dari gangguan syaitan. Biasakanlah dengan membaca dzikir pagi dan petang demikian juga dengan dzikir-dzikir yang lain, terlebih lagi di kala fitnah aurat wanita berada di hadapannya hingga kita bisa menolak gangguan syaitan.

Jika belum menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya dalam pernikahan terlalu banyak manfaat untuk membantu engkau menundukkan pandangan. Jika telah menikah dan beristri, ingatlah bahwa menjaga pandangan dari hal yang diharamkan menjadi sebab baginya untuk menemukan kenikmatan pada apa yang telah dihalalkan Allah  baginya.

Ingatlah, pengorbanan kita dengan menahan mata dari memandang hal- hal yang menawan namun diharamkan, akan diganti oleh Allah  dengan yang lebih baik, bisa jadi berupa pahala yang besar di dunia atau bidadari surga yang kecantikannya tak terbayangkan. Rasulullah  bersabda,

“Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah 62 kecuali Allah akan menggantikan bagi engkau yang lebih baik darinya” .

Hendaknya kita selalu mengingat nikmat pandangan mata sebagai nikmat yang luar biasa. Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah , “Sesungguhnya matamu adalah suatu nikmat yang Allah anugrahkan kepadamu, maka janganlah engkau bermaksiat kepada Allah dengan karunia ini. Gunakanlah karunia ini dengan menundukkannya dari hal-hal yang diharamkan, niscaya engkau akan beruntung. Waspadalah! Jangan sampai hukuman Allah (karena engkau tidak menjaga pandangan) menghilangkan karuniaNya tersebut. Waktumu untuk berjihad dalam menundukkan pandanganmu terfokus pada sesaat saja. Jika engkau mampu melakukannya (menjaga pandanganmu di waktu yang sesaat tersebut) maka engkau akan meraih kebaikan yang berlipat ganda dan engkau selamat dari keburukan yang 63 berkepanjangan” .

63 Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Lihat Dzammul Hawa hal.78