Karakteristik Perbankan Syariah Indonesia
8.1.2 Karakteristik Perbankan Syariah Indonesia
Karakteristik perbankan syariah di Indonesia dapat dilihat melalui beberapa hal, yaitu:
1) sistem keuangan dan perbankan yang dianut; 2) aliran pemikiran atau madzhab dan pandangan yang dianut oleh negara atau mayoritas muslimnya; 3) kedudukan bank syariah dalam undang-undang; dan 4) pendekatan pengembangan perbankan syariah dan produknya yang dipilih.
a. Sistem Keuangan dan Perbankan
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis. Mulai tahun 1992, dengan dikeluarkannya undang-undang perbankan No. 7 Tahun 1992, Indonesia mulai memperkenalkan sistem keuangan dan perbankan ganda karena bank boleh beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Bank syariah pertama berdiri pada tahun itu juga. Di samping itu, asuransi syariah atau Takaful mulai muncul pada tahun 1994.
Penerapan sistem keuangan dan perbankan ganda mulai lebih terarah semenjak dikeluarkannya undang-undang perbankan yang baru No. 10 Tahun 1998. Semenjak itu, bermunculan lembaga-lembaga keuangan syariah yang beroperasi berdampingan dengan lembaga keuangan konvensional. Seperti halnya di Malaysia, lembaga keuangan syariah di Indonesia tumbuh menjadi lembaga keuangan alternatif bagi masyarakat yang menginginkan pelayanan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip Syariah, sekaligus menjadi pesaing langsung lembaga keuangan konvensional dalam produk dan jasa yang ditawarkan.
b. Aliran Pemikiran
Mayoritas penduduk Muslim Indonesia menganut madzhab (school of thought) Syafi’i, seperti yang dianut oleh Muslim dan pemerintah Malaysia. Namun demikian, ulama Indonesia mengaplikasikan prinsip Syariah dalam dunia perbankan dengan hati-hati dan cenderung memiliki pendapat yang sama dengan ulama Timur Tengah. Oleh karena itu, akad-akad yang digunakan dalam transaksi perbankan syariah merupakan akad-akad yang sudah mendapat kesepakatan dari sebagian besar ulama (jumhur ulama). Dengan prinsip kehatian-hatian ini, akad-akad yang masih menimbulkan kontroversi tidak digunakan dalam praktek.
Dalam hal hutang, ulama Indonesia berpendapat sama dengan pendapat ulama Timur Tengah bahwa hutang sama dengan uang (debt = money), bukan harta benda (debt ≠ property). Dengan demikian, hutang tidak dapat diperjualbelikan dengan harga berapa pun, kecuali dengan harga yang sama. Dalam hal ini ulama Indonesia sependapat dengan ulama Sudan bahwa akad Bai’ Al-Inah (sale and buyback) dan Bai’ Al-Dayn (jual beli hutang dengan diskon) tidak sesuai dengan prinsip Syariah sehingga tidak boleh digunakan dalam transaksi.
c. Kedudukan Bank Syariah dalam Undang-undang
Bank syariah di Indonesia, baik yang berbentuk bank umum syariah atau BUS (full fledged Islamic bank), unit usaha syariah atau UUS (full branch Islamic bank), maupun bank perkreditan rakyat syariah atau BPRS, berada di bawah undang-undang perbankan (UU No.10 Tahun 1998). Operasi perbankan dengan prinsip Syariah sepenuhnya diakomodasi oleh undang-undang. Bank syariah di Indonesia dapat melakukan transaksi berdasar titipan, pinjaman, bagi hasil, jual beli, sewa, dan prinsip lain yang dibolehkan Syariah. Dengan demikian, bank syariah di Indonesia merupakan bank universal yang dapat berusaha sebagai consumer banking, investment banking, Bank syariah di Indonesia, baik yang berbentuk bank umum syariah atau BUS (full fledged Islamic bank), unit usaha syariah atau UUS (full branch Islamic bank), maupun bank perkreditan rakyat syariah atau BPRS, berada di bawah undang-undang perbankan (UU No.10 Tahun 1998). Operasi perbankan dengan prinsip Syariah sepenuhnya diakomodasi oleh undang-undang. Bank syariah di Indonesia dapat melakukan transaksi berdasar titipan, pinjaman, bagi hasil, jual beli, sewa, dan prinsip lain yang dibolehkan Syariah. Dengan demikian, bank syariah di Indonesia merupakan bank universal yang dapat berusaha sebagai consumer banking, investment banking,
Perbedaan operasi antara BUS dan UUS hampir tidak ada, kecuali dalam hal kebebasan kebijakan manajemen. BUS merupakan badan usaha sendiri yang memiliki independensi kebijakan sehingga memiliki otonomi dalam memilih strategi bisnis dan pengembangannya. Sementara itu, UUS merupakan bagian dari bank konvensional induknya sehingga kurang memiliki kebebasan dalam menentukan kebijakan manajemen.
d. Kedudukan Dewan Syariah
Otoritas syariah tertinggi di Indonesia berada pada Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI), yang merupakan lembaga independen dalam mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan semua masalah Syariah agama Islam, baik masalah ibadah maupun muamalah, termasuk masalah ekonomi, keuangan, dan perbankan.
Tugas DSN – MUI di bidang keuangan dan perbankan pada prinsipnya tidak berbeda dengan tugas NSAC Malaysia yang merupakan satu-satunya badan otoritas yang memberikan saran kepada institusi terkait (Bank Indonesia, Departemen Keuangan, atau Bapepam) berkaitan dengan operasi perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya, mengkoordinasi isu-isu Syariah tentang keuangan dan perbankan syariah, dan menganalisis dan mengevaluasi aspek-aspek Syariah dari skim atau produk baru yang diajukan oleh institusi perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya.
Keberadaan DSN – MUI di luar struktur bank sentral membuat otoritas fatwa ini independen, lebih kredibel, dan diakui secara nasional dalam mengeluarkan keputusan dan fatwa yang berkaitan dengan masalah-masalah Syariah yang dihadapi oleh perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya. Namun demikian, karena baragamnya urusan yang ditangani oleh DSN – MUI dan tidak adanya spesialisasi khusus di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan syariah, tanggapan DSN – MUI terhadap masalah yang dihadapi oleh lembaga keuangan syariah menjadi kurang responsif dan terlambat memenuhi kebutuhan pasar.
e. Strategi Pengembangan Perbankan Syariah dan Produknya
Dalam hal strategi pengembangan perbankan syariah dan produk-produknya,
Indonesia memilih pendekatan yang bertahap dan berkesinambungan (gradual and sustainable) yang sesuai Syariah (comply to Sharia principles) dan tidak mengadopsi akad-akad yang kontroversial. Pendekatan yang bertahap dan berkesinambungan memungkinkan perkembangan yang sesuai dengan keadaan dan kesiapan pelaku tanpa dipaksakan serta membentuk sistem yang kokoh dan tidak rapuh. Sementara itu, pendekatan yang berhati-hati yang sesuai dengan prinsip Syariah menjamin produk-produk yang ditawarkan terjamin kemurnian Syariah-nya dan dapat diterima masyarakat luas dan dunia internasional.
Dengan strategi pengembangan yang dipilih, perbankan syariah di Indonesia telah tumbuh menjadi salah satu sistem perbankan syariah dalam dual financial system yang paling sesuai dengan ketentuan Syariah. Selain itu, pengembangan perbankan syariah memiliki dampak positif terhadap pengembangan sektor lain dengan prinsip Syariah.
Setelah bank syariah pertama berdiri pada tahun 1992, asuransi syariah atau Takaful mulai muncul pada tahun 1994 dengan berdirinya Asuransi Takaful Keluarga yang bergerak di bidang asuransi jiwa dan disusul dengan berdirinya Asuransi Takaful Umum pada tahun 1995 yang bergerak di bidang asuransi kerugian. Setelah itu, Unit Syariah mulai bermunculan sejak tahun 2001 dengan berdirinya Unit Syariah Asuransi Great Eastern. Dengan berkembangnya asuransi syariah muncul kemudian reasuransi syariah pada tahun 2004 dengan berdirinya Reindo Divisi Syariah.
Bank syariah mulai tumbuh pesat semenjak bermunculannya unit usaha syariah (UUS) dengan berdirinya UUS Bank IFI pada tahun 1999. Dengan semakin banyaknya bank syariah tidak dapat dihindari adanya kebutuhan pasar uang antarbank syariah. Oleh karena itu, pada tahun 2000 didirikanlah pasar uang antarbank syariah (PUAS) dengan instrumen utamanya sertifikat investasi mudharabah antarbank (SIMA).
Pada tahun 2000 juga muncul Jakarta Islamic Index (JII) yang merupakan pengelompokan saham-saham 30 emiten yang dipandang paling mendekati kriteria syariah. Seleksi yang dilakukan terhadap saham-saham yang dimasukkan dalam kelompok JII meliputi seleksi yang bersifat normatif dan finansial. Sementara itu, pasar modal syariah baru berdiri pada 14 Maret 2003. Obligasi dan reksadana syariah juga tumbuh dengan pesat.
Dukungan dari aspek hukum dan perundang-undangan menjadikan pertumbuhan lembaga keuangan syariah semakin pesat karena telah memiliki landasan dan kepastian hukum yang jelas. Di samping itu, sektor keuangan syariah lain juga berkembang, seperti lembaga pembiayaan syariah.
Perkembangan tidak terbatas pada sektor keuangan syariah, tetapi juga pada sektor riil berbasis syariah, voluntary sector (zakat, infaq, sadaqah, dan waqaf), dan sektor pendidikan dari tingkat pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Perkembangan SD, SMP, dan SMA Islam terpadu telah meluas hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di kota-kota besar dan daerah yang mayoritas berpenduduk muslim. Di tingkat perguruan tinggi bahkan sudah ada universitas yang menawarkan program doktoral bertaraf internasional dengan staf pengajar bertaraf internasional yang datang dari berbagai negara.
Perkembangan sistem yang berbasis Syariah di bidang ekonomi, pendidikan, dan lainnya di Indonesia terus bergulir seperti bola salju yang semakin lama semakin besar dan berdampak ke semua bidang kehidupan. Secara skematis hal ini dapat dibaca pada gambar 71.
Obligasi
Asuransi
Sektor Riil
Syariah
Syariah
Berbasis Syariah
Reksadana
Syariah
Bank Syariah
Kurikulum Pendidikan
Pasar Modal
(SMP,SMA,PT)
Syariah
Perusahaan
Aspek Hukum
Voluntary
Pembiayaan
Perundang-
Sector
Syariah
Undangan
(ZISWaf)
Gambar 71. Dampak Pengembangan Perbankan Syariah Terhadap Sektor Lain