Akad dan Produk Bank Syariah (1)
Konsep dan Praktek di Beberapa Negara
Ascarya BANK INDONESIA
Agustus 2006
Pengantar
Sistem Perbankan di Indonesia diatur dalam UU No.7 Tahun 1992 (diubah dengan UU No.10 Tahun 1998) tentang Perbankan bahwa perbankan di Indonesia terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. Kedua jenis bank tersebut melaksanakan kegiatan konvensional atau syariah. Hal ini berarti bahwa Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system), yaitu ketika bank konvensional dan bank syariah beroperasi berdampingan. Semenjak itu, bank syariah mulai tumbuh pesat di Indonesia dalam bentuk bank umum syariah (full fledged Islamic bank), unit usaha syariah (bank konvensional yang membuka cabang syariah), dan office channeling (gerai syariah di kantor bank konvensional).
Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah. Dalam menjalankan usahanya bank syariah menggunakan pola bagi hasil yang merupakan landasan utama dalam segala operasinya, baik dalam produk pendanaan, pembiayaan maupun dalam produk lainnya. Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan produk bank konvensional karena adanya pelarangan riba, gharar, dan maysir. Oleh karena itu, produk-produk pendanaan dan pembiayaan pada bank syariah harus menghindari unsur-unsur yang dilarang tersebut.
Tulisan dalam buku ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat luas yang berminat memahami berbagai hal yang terkait dengan akad dan produk bank syariah dalam bahasa yang diusahakan sedapat mungkin mudah dipahami oleh masyarakat luas. Tulisan ini juga dimaksudkan agar dapat digunakan sebagai referensi bagi pembaca yang bermaksud memperdalam pemahaman tentang bank syariah.
Tidak lupa, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah ikut serta terlibat dan membantu dalam penyusunan tulisan ini, khususnya kepada rekan-rekan di Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan dan Direktorat Perbankan Syariah, serta semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan buku ini, mulai dari tahap penyusunan outline, penulisan draf, diskusi, penulisan akhir, dan pencetakannya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca terbuka selebar-lebarnya dan akan penulis terima dengan senang hati untuk penyempurnaan di masa yang akan datang. Akhirnya, penulis mengharapkan agar karya kecil ini bermanfaat dan menambah khasanah bagi pengetahuan masyarakat luas.
Jakarta, Agustus 2006
Penulis
Daftar Isi
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
v
Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Konsep Dasar Keuangan Islam
2.1 Konsep Ekonomi Islam 4
2.2 Konsep Zakat, Riba, dan Maysir 7
2.2.1 Implementasi Zakat 7
2.2.2 Pelarangan Riba 11
2.2.3 Pelarangan Maysir 17
2.3 Konsep Uang dalam Islam
2.3.1 Pengertian Uang 20
2.3.2 Bentuk Uang
2.3.3 Uang dalam Sistem Ekonomi Islam 23
2.4 Sistem Bagi Hasil vs Sistem Bunga 24
2.5 Konsep Keuntungan dalam Islam
2.6 Konsep Dasar Bank Syariah
2.6.1 Konsep Operasi
2.6.2 Konsep Akad
Bab 3 Akad Bank Syariah . . . . . . .
3.1 Akad Pola Titipan 38
3.1.1 Titipan Wadi’ah yad Amanah
3.1.2 Titipan Wadi’ah yad Dhmanah
3.2 Akad Pola Pinjaman
Pinjaman Qardh
3.3 Akad Pola Bagi Hasil
3.4 Akad Pola Jual Beli
3.5 Akad Pola Sewa 96
3.5.1 Ijarah
3.6 Akad Pola Lainnya 101
Bab 4 Produk Bank Syariah . . . . . .. . . . . . .
4.1 Produk Pendanaan
4.1.1 Pendanaan dengan Prinsip Wadi’ah 110
4.1.2 Pendanaan dengan Prinsip Qardh 113
4.1.3 Pendanaan dengan Prinsip Mudharabah 113
4.1.4 Pendanaan dengan Prinsip Ijarah 116
4.2 Produk Pembiayaan
4.2.1 Pembiayaan Modal Kerja 120
4.2.2 Pembiayaan Investasi
4.2.3 Pembiayaan Aneka Barang, Perumahan dan Properti 122
4.3 Produk Jasa Perbankan 124
Bab 5 Akad dan Produk Bank Syariah di Sudan . . . . . .. . . . . . .
5.2 Gambaran Umum Perbankan Syariah di Sudan
5.2.1 Strategi Pengembangan Perbankan Syariah Sudan 128
5.2.2 Karakteristik Perbankan Syariah Sudan 131
5.3 Akad Bank Syariah di Sudan 134
5.4 Akad-akad Khas Bank Syariah di Sudan
5.4.1 Akad Murabahah Sederhana 136
5.4.2 Akad Tawarruq
5.5 Produk Bank Syariah di Sudan 139
5.5.1 Pendanaan 139
5.5.2 Pembiayaan 140
5.5.3 Jasa Perbankan
5.5.4 Instrumen Keuangan Syariah 144
Bab 6 Akad dan Produk Bank Syariah di Pakistan . . . . . .. . . . . . .
6.1 Gambaran Umum Perbankan Syariah di Pakistan
6.1.1 Strategi Pengembangan Perbankan Syariah Pakistan 146
6.1.2 Karakteristik Perbankan Syariah Pakistan 148
6.2 Akad Bank Syariah di Pakistan 153
6.3 Akad-akad Khas Bank Syariah di Pakistan
6.3.2 Akad Ijarah Muntahiya Bi Tamlik 156
6.4 Standardisasi Akad
6.4.1 Pembiayaan Murabahah 157
6.4.2 Pembiayaan Musawamah 160
6.4.3 Pembiayaan Ijarah 160
6.4.4 Pembiayaan Salam 162
6.4.5 Pembiayaan Musyarakah 164
6.4.6 Pembiayaan Mudharabah 166
6.4.7 Pembiayaan Istishna
6.5 Produk Bank Syariah di Pakistan 169
6.5.1 Pendanaan 169
6.5.2 Pembiayaan 170
6.5.3 Jasa Perbankan
6.5.4 Instrumen Keuangan Syariah 173
Bab 7 Akad dan Produk Bank Syariah di Malaysia . . . . . .. . . . . . .
7.1 Gambaran Umum Perbankan Syariah di Malaysia
7.1.1 Strategi Pengembangan Perbankan Syariah Malaysia 174
7.1.2 Karakteristik Perbankan Syariah Malaysia 177
7.2 Akad Bank Syariah di Malaysia 180
7.3 Akad-akad Khas Bank Syariah di Malaysia
7.3.1 Akad Bai’ al-Inah 181
7.3.2 Akad Bai’ al-Dayn 184
7.3.3 Akad Bai’ Bithaman Ajil 185
7.3.3 Akad Musyarakah Mutanaqisah 188
7.4 Produk Bank Syariah di Malaysia 189
7.4.1 Pendanaan 190
7.4.2 Pembiayaan 190
7.4.3 Jasa Perbankan
7.4.4 Instrumen Keuangan Syariah 195
Bab 8 Akad dan Produk Bank Syariah di Indonesia . . . . . .. . . . . . .
8.1 Gambaran Umum Perbankan Syariah di Indonesia
8.1.1 Strategi Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia 197
8.1.2 Karakteristik Perbankan Syariah Indonesia 198
8.2 Akad Bank Syariah di Indonesia 202
8.3 Akad-akad Khas Bank Syariah di Indonesia
8.3.1 Akad Mudharabah wal Murabahah 204
8.3.2 Akad Musyarakah wal Murabahah 206
8.4 Praktek Akad Pendanaan dan Pembiayaan 207
8.4.1 Pola Bagi Hasil dengan Revenue Sharing 208
8.4.2 Praktek Pembiayaan Musyarakah 211
8.4.4 Praktek Pembiayaan Murabahah 215
8.4.5 Praktek Pembiayaan Ijarah 217
8.4.6 Praktek Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bi Tamlik
8.4.7 Praktek Pembiayaan Salam dan Salam Paralel 219
8.4.8 Praktek Pembiayaan Istishna dan Istishna Paralel
8.5 Standardisasi Akad
8.5.1 Tabungan Mudharabah 223
8.5.2 Deposito Mudharabah 225
8.5.3 Pembiayaan Mudharabah 226
8.5.4 Pembiayaan Musyarakah 229
8.5.5 Pembiayaan Murabahah 231
8.5.6 Pembiayaan Ijarah 233
8.5.7 Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bi Tamlik 234
8.5.8 Pembiayaan Salam dan Salam Paralel 235
8.5.9 Pembiayaan Istishna dan Istishna Paralel 236
8.6 Produk Bank Syariah di Indonesia
8.6.3 Jasa Perbankan
8.6.4 Instrumen Keuangan Syariah 240
Bab 9 Penutup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Daftar Gambar
Gambar 1. Kebutuhan, Keinginan, dan Faktor Produksi 5
Gambar 2. Bendungan
Gambar 3. Aliran Investasi yang Terbendung 16
Gambar 4. Aliran Investasi dalam Sistem Islam dan Konvensional
Gambar 5. Uang Dinar dan Dirham 22 Gambar 6. Corak Ekonomi Konvensional 23
Gambar 7. Implikasi Bunga pada Perekonomian
Gambar 8. Implikasi Bagi Hasil pada Perekonomian
Gambar 9. Teori Keuntungan Dalam Islam 26
Gambar 10. Bagan Evaluasi Akad 27 Gambar 11. Operasi Bank Syariah 28
Gambar 12. Mudharabah Dua Tingkat di Perbankan Syariah
Gambar 13. Alur Operasi Bank Syariah 30
Gambar 14. Perbedaan Operasi Bank Syariah dan Bank Konvensional
Gambar 15. Akad yang Digunakan Bank Syariah Dalam Struktur Perniagaan (Al-Bai’) 34 Gambar 16. Jenis AkadTransaksi Bank Syariah
Gambar 17. Akad dan Produk Bank Syariah
Gambar 18. Jenis-jenis Akad Bank Syariah 38
Gambar 19. Skema Titipan Wadi’ah Yad Amanah
Gambar 21. Mencampur Dana Simpanan dengan Modal
Gambar 22. Skema Simpanan Qardh
Gambar 23. Skema Pinjaman Qardh Qardhul Hasan
Gambar 24. Bagan Proses Musyarakah
Gambar 25. Bagan Proses Mudharabah
Gambar 26. Mudharabah Ganda di Perbankan Syariah
Gambar 27. Faktor Penentu Nisbah Bagi Hasil
Gambar 28. Adverse Selection dalam Mudharabah
Gambar 29. Pembagian Keuntungan Dalam Mudharabah Bilateral 66 Gambar 30. Pembagian Kerugian Dalam Mudharabah Bilateral 66 Gambar 31. Skema Pembiayaan Mudharabah Multilateral 67 Gambar 32. Pembagian Keuntungan Dalam Mudharabah Multilateral 68 Gambar 33. Pembagian Kerugian Dalam Mudharabah Multilateral 69 Gambar 34. Skema Pembiayaan Mudharabah Bertingkat 70 Gambar 35. Pembagian Keuntungan Dalam Mudharabah Bertingkat 71 Gambar 36. Pembagian Kerugian Dalam Mudharabah Bertingkat 71
Gambar 37. Skema Transaksi Jual Beli 76
Gambar 38. Bagan Murabahah Sederhana 79 Gambar 39. Bagan Proses Pembiayaan Murabahah
Gambar 40. Skema Salam
Gambar 41. Bagan Proses Pembiayaan Salam Paralel 92 Gambar 42. Skema Istishna
Gambar 43. Bagan Proses Pembiayaan Istishna Paralel 95
Gambar 44. Skema Transaksi Pola Sewa 97
Gambar 45. Skema Pembiayaan Ijarah
Gambar 46. Bentuk Alih Kepemilikan IMBT
Gambar 47. Bagan Proses Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik 101 Gambar 48. Bagan Proses Wakalah 102 Gambar 49. Bagan Proses Kafalah 103 Gambar 50. Jenis-Jenis Kafalah
Gambar 51. Bagan Proses Hawalah 105 Gambar 52. Bagan Proses Rahn 106 Gambar 53. Skema Sharf 107 Gambar 54. Akad dan Produk Bank Syariah
Gambar 55. Bentuk Produk Pendanaan 110
Gambar 56. Bagan Proses Sukuk Al-Ijarah 118 Gambar 57. Tahapan Perkembangan PerbankanKeuangan Syariah di Sudan
Gambar 58. Bagan Murabahah Sederhana 136 Gambar 59. Bagan Pembiayaan Tawarruq 138 Gambar 60. Tahapan Perkembangan PerbankanKeuangan Syariah di Pakistan
Gambar 61. Bagan Musyarakah Menurun 155 Gambar 62. Bagan Proses Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bi Tamlik 156
Gambar 63. Tahapan Perkembangan PerbankanKeuangan Syariah di Malaysia
Gambar 64. Bagan Proses Bai’ al-Inah 182 Gambar 65. Ketentuan Syariah Bai’ al-Inah 183 Gambar 66. Ketentuan Syariah Bai’ al-Dayn
Gambar 67. Bagan Proses Bai’ Bithaman Ajil atau Credit Murabahah 186 Gambar 68. Ketentuan Syariah Bai’ Bithaman Ajil 188
Gambar 70. Tahapan Perkembangan PerbankanKeuangan Syariah di Indonesia
Gambar 71. Dampak Pengembangan Perbankan Syariah Terhadap Sektor Lain
Gambar 72. Skema Pendanaan Mudharabah wal Murabahah 205 Gambar 73. Skema Pembiayaan Mudharabah wal Murabahah 206 Gambar 74. Skema Pembiayaan Musyarakah wal Murabahah 207 Gambar 75. Skema Tansaksi Mudharabah dan Musyarakah 208
Daftar Tabel
Tabel 1. Perbedaan Ekonomi Konvensional dan Islam
Tabel 2. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Tabel 3. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Tabel 4. Berbagai Bentuk Syirkah dan Pandangan Ulama
Tabel 5. Persyaratan Minimum Akad Musyarakah Menurut Fiqih
Tabel 6. Persyaratan Minimum Akad Mudharabah Menurut Fiqih
Tabel 7. Perbedaan Mudharabah dan Musharakah
Tabel 8. Persyaratan Minimum Akad Murabahah Menurut Fiqih 85
Tabel 9. Perbedaan Ijarah dan Leasing 97
Tabel 10. Prinsip Produk Pendanaan 109
Tabel 11. Perbandingan Tabungan Wadi’ah dan Mudharabah 114
Tabel 12. Produk-produk Pembiayaan 119 Tabel 13. Produk-produk Jasa Perbankan 125
Tabel 14. Penyaluran Dana Berdasar Mode Pembiayaan
Tabel 15. Akad-Akad Bank Syariah di Sudan
Tabel 16. Pendapat Ulama tentang Tawarruq 138
Tabel 17. Pendanaan 140 Tabel 18. Pembiayaan 140 Tabel 19. Jasa Produk 143 Tabel 20. Jasa Operasional 143 Tabel 21. Jasa Investasi
Tabel 22. Instrumen Keuangan Syariah 145
Tabel 23. Akad-Akad Bank Syariah di Pakistan
Tabel 24. Pendanaan 169 Tabel 25. Pembiayaan 170 Tabel 26. Jasa Produk 171 Tabel 27. Jasa Operasional 172 Tabel 28. Jasa Investasi
Tabel 29. Instrumen Keuangan Syariah 173
Tabel 30. Akad-Akad Bank Syariah di Malaysia
Tabel 31. Pendapat Madzhab tentang Bai’ al-Inah 183
Tabel 32. Pendanaan 190 Tabel 33. Pembiayaan 191 Tabel 34. Pembiayaan Perdagangan 193 Tabel 35. Jasa Perbankan 194 Tabel 36. Jasa Kartu 194 Tabel 37. Instrumen Keuangan Syariah 195
Tabel 38. Akad-Akad Bank Syariah di Indonesia
Tabel 39. Bagi Hasil untuk Profit and Loss Sharing dan Revenue Sharing 209 Tabel 40. Perbandingan Karakteristik Pokok Pembiayaan Musyarakah dalam Literatur
Tabel 41. Kendala Penerapan Pembiayaan Musyarakah dan Alternatif Solusi
212
Tabel 42. Perbandingan Karakteristik Pokok Pembiayaan Mudharabah dalam Literatur
Klasik dan Praktek di Indonesia 213
Tabel 43. Kendala Penerapan Pembiayaan Mudharabah dan Alternatif Solusi
214
Tabel 44. Perbandingan Karakteristik Pokok Pembiayaan Murabahah dalam Literatur
Klasik dan Praktek di Indonesia 215
Tabel 45. Kendala Penerapan Pembiayaan Murabahah dan Alternatif Solusi
216
Tabel 46. Ringkasan Tahapan Akad Ijarah Menurut SOP Bank Syariah
218
Tabel 47. Ringkasan Tahapan Akad IMBT Menurut SOP Bank Syariah
219
Tabel 48. Ringkasan Tahapan Akad Salam dan Salam Paralel Menurut SOP Bank Syariah
220
Tabel 49. Ringkasan Tahapan Akad Istishna dan Istishna Paralel Menurut SOP Bank
Syariah
221
Tabel 50. Tahapan Pembiayaan Ijarah
233
Tabel 51. Tahapan Pembiayaan IMBT
234
Tabel 52. Tahapan Pembiayaan Salam dan Salam Paralel 235 Tabel 53. Tahapan Pembiayaan Iatishna dan Istishna Paralel 236
Tabel 54. Pendanaan 237 Tabel 55. Pembiayaan 238 Tabel 56. Jasa Produk 239 Tabel 57. Jasa Operasional 240 Tabel 58. Jasa Investasi
240
Tabel 59. Instrumen Keuangan Syariah 241
Daftar Grafik
11
Grafik 1. Implikasi Zakat dalam Perekonomian
17
Grafik 2. Hubungan Tingkat Bunga dan Investasi
BAB 1 Pendahuluan
Dunia ekonomi dalam Islam adalah dunia bisnis atau investasi. Hal ini bisa dicermati mulai dari tanda-tanda eksplisit untuk melakukan investasi (ajakan bisnis dalam Al Qur’an dan Sunnah) hingga tanda-tanda implisit untuk menciptakan sistem yang mendukung iklim investasi (adanya sistem zakat sebagai alat disinsentif atas penumpukan harta, larangan riba untuk mendorong optimalisasi investasi, serta larangan maysir atau judi dan spekulasi untuk mendorong produktivitas atas setiap investasi). Dalam prakteknya, investasi yang dilakukan baik oleh perorangan, kelompok, maupun institusi dapat menggunakan pola nonbagi hasil (ketika investasi dilakukan dengan tidak bekerja sama dengan pihak lain) maupun pola bagi hasil (ketika investasi dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak lain).
Sesuai labelnya, bank syariah adalah institusi keuangan yang berbasis syariah Islam. Hal ini berarti bahwa secara makro bank syariah adalah institusi keuangan yang memposisikan dirinya sebagai pemain aktif dalam mendukung dan memainkan kegiatan investasi di masyarakat sekitarnya. Di satu sisi (sisi pasiva atau liability) bank syariah adalah lembaga keuangan yang mendorong dan mengajak masyarakat untuk ikut aktif berinvestasi melalui berbagai produknya, sedangkan di sisi lain (sisi aktiva atau aset) bank syariah aktif untuk melakukan investasi di masyarakat. Dalam kacamata mikro, bank syariah adalah institusi keuangan yang menjamin seluruh aktivitas investasi yang menyertainya telah sesuai dengan Syariah.
Secara umum bank syariah dapat didefinisikan sebagai bank dengan pola bagi hasil yang merupakan landasan utama dalam segala operasinya, baik dalam produk pendanaan, pembiayaan, maupun dalam produk lainnya. Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan produk bank konvensional karena adanya pelarangan riba, gharar, dan maysir. Oleh karena itu, produk-produk pendanaan dan pembiayaan pada bank syariah harus menghindari unsur-unsur yang dilarang tersebut.
Bank syariah memiliki perbedaan operasional yang cukup mendasar dengan bank konvensional dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Hal yang cukup mendasar dalam membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah pada aspek kepemilikan komoditi yang dibiayai dalam kerangka jual beli dan Bank syariah memiliki perbedaan operasional yang cukup mendasar dengan bank konvensional dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Hal yang cukup mendasar dalam membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah pada aspek kepemilikan komoditi yang dibiayai dalam kerangka jual beli dan
Bentuk utama produk bank syariah terutama menggunakan pola bagi hasil, sesuai dengan karakteristiknya. Selain pola bagi hasil, bank syariah juga mempunyai produk- produk pendanaan dan pembiayaan dengan pola nonbagi hasil. Dalam produk pendanaan, bank syariah dapat juga menggunakan prinsip wadi’ah, qardh, maupun ijarah. Dalam produk pembiayaan, bank syariah dapat juga menggunakan pola jual beli (dengan prinsip murabahah, salam, dan istishna) dan pola sewa (dengan prinsip ijarah dan ijarah wa iqtina).
Selain itu, bank syariah juga menyediakan berbagai produk jasa perbankan berupa jasa keuangan, jasa nonkeuangan, dan jasa keagenan. Produk-produk jasa keuangan yang ditawarkan antara lain wakalah, kafalah, hiwalah, rahn, qardh, sharf, dan ujr. Produk- produk jasa nonkeuangan yang ditawarkan antara lain wadi’ah yad amanah (safe deposit box ‘kotak penitipan barang’). Sementara itu, produk jasa keagenan yang ditawarkan antara lain mudharabah muqayyadah (investasi terikat).
Pembahasan mengenai produk-produk bank syariah tidak terlepas dari jenis akad yang digunakan. Jenis akad yang digunakan oleh suatu produk biasanya melekat pada nama produk tersebut. Sebagai contoh, tabungan wadi’ah berarti produk tabungan yang menggunakan akad wadi’ah. Hal ini berarti segala ketentuan mengenai akad wadi’ah berlaku untuk produk tabungan ini.
Berdasarkan uraian singkat di atas, buku ini kami bagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama (bab 1 dan bab 2) merupakan pendahuluan yang mengantarkan isi dan menjelaskan tujuan pembelajaran (learning objectives), serta menjelaskan konsep- konsep dasar ekonomi dan keuangan Islam. Bagian kedua (bab 3 dan bab 4) membahas jenis-jenis akad dan produk yang digunakan dalam pendanaan, pembiayaan, dan jasa perbankan, seperti wadi’ah, mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna, ijarah, dan lain sebagainya. Bagian ketiga (bab 5, bab 6, dan bab 7) membahas akad-akad yang biasa digunakan oleh bank syariah di negara Berdasarkan uraian singkat di atas, buku ini kami bagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama (bab 1 dan bab 2) merupakan pendahuluan yang mengantarkan isi dan menjelaskan tujuan pembelajaran (learning objectives), serta menjelaskan konsep- konsep dasar ekonomi dan keuangan Islam. Bagian kedua (bab 3 dan bab 4) membahas jenis-jenis akad dan produk yang digunakan dalam pendanaan, pembiayaan, dan jasa perbankan, seperti wadi’ah, mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna, ijarah, dan lain sebagainya. Bagian ketiga (bab 5, bab 6, dan bab 7) membahas akad-akad yang biasa digunakan oleh bank syariah di negara
BAB 2 Konsep Dasar Keuangan Islam
2.1 Konsep Ekonomi Islam
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (Lukman: 20)
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan.” (An Nahl: 5)
“Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan…” (An Nahl: 11)
“Dan bahwasanya Dia yang memberikan kekayaan dan kecukupan.” (An Najm: 48)
Dalam ekonomi konvensional, motif aktivitas ekonomi mengarah kepada pemenuhan keinginan (wants) individu manusia yang tak terbatas dengan menggunakan faktor- faktor produksi yang terbatas. Akibatnya, masalah utama ekonomi konvensional adalah kelangkaan (scarcity) dan pilihan (choices).
Dalam Islam, motif aktivitas ekonomi lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar (needs) yang tentu ada batasnya, meskipun bersifat dinamis sesuai tingkat ekonomi masyarakat pada saat itu. Sementara itu, dari berbagai ayat Al Qur’an (seperti pada surat Lukman:20, An Nahl:5 dan 11, dan An Najm:48), ditegaskan bahwa segala yang ada di langit dan di bumi akan dapat mencukupi kebutuhan manusia. Selain itu, kepuasan dalam Islam tidak hanya terbatas pada benda-benda konkrit (materi), tetapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal saleh yang dilakukan manusia. Oleh karena itu, perilaku ekonomi dalam Islam tidak didominasi oleh nilai alami yang dimiliki oleh setiap individu manusia, tetapi ada nilai di luar diri manusia yang kemudian membentuk perilaku ekonomi mereka, yaitu Islam itu sendiri yang diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan manusia. Jadi, perilaku ekonomi dalam Islam cenderung mendorong keinginan pelaku ekonomi sama dengan kebutuhannya, yang dapat direalisasi dengan adanya nilai dan norma dalam akidah dan akhlak Islam (baca gambar 1).
Nilai Islam
Keinginan
Zuhud Qana’ah
Kebutuhan
Faktor Produksi
Sumber: Sakti (2006)
Gambar 1. Kebutuhan, Keinginan, dan Faktor Produksi
Wahai hamba-Ku engkau berkeinginan Akupun memiliki keinginan. Jika engkau sandarkan apa yang engkau inginkan pada-Ku, maka akan Aku cukupkan apa yang engkau butuhkan. Namun jika engkau tidak sandarkan apa yang engkau inginkan pada-Ku, maka akan aku berikan keletihan dan kesengsaraan. Sesungguhnya apa yang terjadi adalah apa yang Aku inginkan (Hadits Qudsi).
Dengan demikian, ekonomi dalam Islam adalah ilmu yang mempelajari segala perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian dan kesejahteraan dunia-akhirat). Perilaku manusia di sini berkaitan dengan landasan-landasan syariah sebagai rujukan berperilaku dan kecenderungan- kecenderungan dari fitrah manusia. Kedua hal tersebut berinteraksi dengan porsinya masing-masing sehingga terbentuk sebuah mekanisme ekonomi yang khas dengan dasar-dasar nilai Ilahiah. Akibatnya, masalah ekonomi dalam Islam adalah masalah menjamin berputarnya harta di antara manusia agar dapat memaksimalkan fungsi hidupnya sebagai hamba Allah untuk mencapai falah di dunia dan akhirat (hereafter). Hal ini berarti bahwa aktivitas ekonomi dalam Islam adalah aktifitas kolektif, bukan individual.
Selanjutnya, prinsip-prinsip ekonomi Islam yang sering disebut dalam berbagai literatur ekonomi Islam dapat dirangkum menjadi lima hal.
Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurious living);
Menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct); Implementasi Zakat (implementation of zakat); Penghapusanpelarangan Riba (prohibition of riba); dan
Pelarangan Maysir (judispekulasi). Berdasarkan penjelasan di atas sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem ekonomi
konvensional. Sesuai dengan paradigma ini, ekonomi dalam Islam tak lebih dari sebuah aktivitas ibadah dari rangkaian ibadah pada setiap jenis aktivitas hidup manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ketika ada istilah ekonomi Islam, yang berarti beraktivitas ekonomi menggunakan aturan dan prinsip Islam, dalam aktivitas ekonomi manusia, maka ia merupakan ibadah manusia dalam berekonomi. Dalam Islam tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak ada nilai ibadahnya, sehingga tidak ada sisi hidup dan kehidupan manusia yang tidak diatur dalam Islam.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku…” (Adz Dzariyaat: 56)
Sebagai gambaran, perbedaan ekonomi konvensional (kapitalis) dan ekonomi Islam secara ringkas dapat dibaca pada tabel 1 (Sakti, 2006).
Tabel 1. Perbedaan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional
1. Sumber
Al Qur’an
Daya Fikir Manusia
2. Motif
Ibadah
Rasional Materialism
4. Pondasi Dasar
Muslim
Manusia Ekonomi
5. Landasan Filosofi
Falah
Utilitarian Individualism
6. Harta
Pokok Kehidupan
Asset
7. Investasi
Bagi Hasil
Bunga
8. Distribusi Kekayaan
Zakat, Infak, Shadaqah, Hibah,
Pajak dan Tunjangan
Hadiah, Wakaf Warisan
9. Konsumsi – Produksi
Mashlahah, Kebutuhan
Egoisme, Materialisme
Kewajiban
Rasionalisme
10. Mekanisme Pasar
Bebas Dalam Pengawasan
Bebas
11. Pengawas Pasar
Al Hisbah
NA
12. Fungsi Negara
Penjamin Kebutuhan Minimal
Penentu Kebijakan melalui
Pendidikan – Pembinaan melalui
Departemen-departemen
Baitul Mal
13. Bangunan Ekonomi
Bercorak Perekonomian Riil
Dikotomi Sektoral yang sejajar Ekonomi Riil dan Moneter
Muhammad Arif, 1985.
2.2 Konsep Zakat, Riba, dan Maysir
Tiga pilar utama ekonomi Islam adalah implementasi zakat, pelarangan riba, dan pelarangan maysir, yang masing-masing akan diuraikan secara rinci. Secara ekonomi, implementasi sistem zakat akan meningkatkan permintaan agregat dan mendorong harta mengalir ke dalam investasi, pelarangan riba akan menjamin aliran investasi menjadi optimal dan tidak terbendung, sedangkan pelarangan maysir akan memastikan investasi mengalir ke sektor riil untuk tujuan produktif yang akhirnya akan meningkatkan penawaran agregat.
2.2.1 Implementasi Zakat
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (At Taubah : 103)
“…Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Ar Rum: 39)
a. Pengertian Zakat
Pilar utama dan pertama dari perekonomian Islam yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah mekanisme fiskal zakat yang menjadi syarat dalam perekonomian ini.
Zakat merupakan pungutan wajib atas individu yang memiliki harta wajib zakat yang melebihi nishab (muzakki), dan didistribusikan kepada delapan golongan penerima zakat (mustahik), yaitu: fakir, miskin, fisabilillah, ibnussabil, amil, gharimin, hamba sahaya, dan muallaf.
Dari segi bahasa, zakat berarti al-barakatu ‘keberkahan’, al-namaa ‘pertumbuhan dan perkembangan’, ath-thaharatu ‘kesucian’, dan ash-shahalu ‘keberesan’. Dari segi istilah, zakat merupakan bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT wajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula.
Harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, serta suci dan beres (baik). Hal ini sesuai dengan Al Qur’an yang dinyatakan dalam surat 9:103 dan 30:39 di atas. Dengan demikian, zakat yang diambil dari harta orang-orang yang mampu (muzakki) akan mengembangkan dan mensucikan harta itu sendiri.
Penerapan sistem zakat akan mempunyai berbagai implikasi di berbagai segi kehidupan, antara lain:
1) Memenuhi kebutuhan masyarakat yang kekurangan;
2) Memperkecil jurang kesenjangan ekonomi;
3) Menekan jumlah permasalahan sosial; kriminalitas, pelacuran, gelandangan, pengemis, dan lain-lain;
4) Menjaga kemampuan beli masyarakat agar dapat memelihara sektor usaha. Dengan kata lain zakat menjaga konsumsi masyarakat pada tingkat yang minimal sehingga perekonomian dapat terus berjalan; dan
5) Mendorong masyarakat untuk berinvestasi, tidak menumpuk hartanya ‘idle’.
b. Penerapan Zakat dalam Sistem Ekonomi Islam
Zakat merupakan ketentuan yang wajib dalam sistem ekonomi Islam (obligatory zakat system), sehingga pelaksanaannya melalui institusi resmi negara yang memiliki ketentuan hukum. Zakat dikumpulkan, dikelola, atau didistribusikan melalui lembaga Baitul Maal.
Ketentuan atau instrumen yang ditetapkan Allah SWT pada semua aspek kehidupan manusia pada umumnya memiliki dua fungsi utama yang memberikan manfaat bagi individu (nafs) dan kolektif (jama’i). Demikian pula halnya dengan sistem zakat dalam ekonomi Islam yang berfungsi sebagai alat ibadah bagi orang yang membayar zakat (muzakki), yang memberikan kemanfaatan individu (nafs), dan berfungsi sebagai penggerak ekonomi bagi orang-orang di lingkungan yang menjalankan sistem zakat ini, yang memberikan kemanfaatan kolektif (jama’i).
Manfaat individu dari zakat adalah bahwa ia akan membersihkan dan menyucikan mereka yang membayar zakat. Zakat akan membersihkan hati manusia dari sifat kekikiran dan cinta harta yang berlebihan, dan zakat akan menyucikan atau menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati manusia. Sementara itu, manfaat kolektif dari zakat adalah bahwa zakat akan terus mengingatkan orang yang memiliki kecukupan harta bahwa ada hak orang lain dalam hartanya. Sifat kebaikan ini yang kemudian mengantarkan zakat memainkan perannya sebagai instrumen yang memberikan kemanfaatan kolektif (jama’i). Dengan kelembutan dan kebaikan hati, manusia akan memberikan hartanya pada manusia lain yang membutuhkan. Dengan kata lain, zakat ’memaksa’ manusia yang memiliki kecukupan harta berinteraksi dengan manusia lain yang kekurangan.
Selain itu, eksistensi zakat dalam kehidupan manusia baik pribadi maupun kolektif pada hakikatnya memiliki makna ibadah dan ekonomi. Di satu sisi, zakat merupakan bentuk ibadah wajib bagi mereka yang mampu dari kepemilikan harta dan menjadi salah satu ukuran kepatuhan seseorang pada Allah SWT. Di sisi lain, zakat merupakan variabel utama dalam menjaga kestabilan sosial ekonomi agar selalu berada pada posisi aman untuk terus berlangsung.
Dari perspektif kolektif dan ekonomi, zakat akan melipatgandakan harta masyarakat. Proses pelipatgandaan ini dimungkinkan karena zakat dapat meningkatkan permintaan dan penawaran di pasar yang kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan permintaan terjadi karena perekonomian mengakomodasi golongan manusia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan minimalnya sehingga pelaku dan volume pasar dari sisi permintaan meningkat. Distribusi zakat pada golongan masyarakat kurang mampu akan menjadi pendapatan yang membuat mereka memiliki daya beli atau memiliki akses pada perekonomian. Sementara itu, peningkatan penawaran terjadi karena zakat memberikan disinsentif bagi penumpukan harta diam (tidak diusahakan atau idle) dengan mengenakan ’potongan’ sehingga mendorong harta untuk diusahakan dan dialirkan untuk investasi di sektor riil. Pada akhirnya, zakat berperan besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Dengan adanya mekanisme zakat, aktivitas ekonomi dalam kondisi terburuk sekalipun dipastikan akan dapat berjalan paling tidak pada tingkat yang minimal untuk memenuhi kebutuhan primer. Oleh karena itu, instrumen zakat dapat digunakan sebagai perisai terakhir bagi perekonomian agar tidak terpuruk pada kondisi krisis dimana kemampuan konsumsi mengalami stagnasi (underconsumption). Zakat memungkinkan perekonomian terus berjalan pada tingkat yang minimum, karena kebutuhan konsumsi minimum dijamin oleh dana zakat.
Chapra (1996) dan Sakti (2006) menjelaskan bahwa pengaruh zakat terhadap perekonomian ini sebenarnya dapat dijelaskan dengan pendekatan moneter (MV=PT) yang dimiliki aliran monetaris dalam ekonomi konvensional. Monetaris menyebutkan bahwa dengan asumsi velocity of money (V) tetap dan full employment (Y) terpenuhi, ekonomi akan terpengaruh melalui kebijakan peningkatan money stock (M) melalui peningkatan harga (P). Monetaris dengan teori kuantitas uang ini memang berpendapat bahwa kebijakan uang beredar tidak akan mempengaruhi sektor riil karena peningkatan uang beredar hanya akan menaikkan harga tanpa ada efeknya pada volume produksi, jumlah tenaga kerja dan variable riil lainnya. Terpisahnya sektor moneter dan riil ini dikenal dengan istilah classical dichotomy. Monetaris beranggapan bahwa peningkatan sektor riil harus melalui penambahan faktor-faktor produksi atau teknologi.
Dari penjelasan di atas, secara ringkas penerapan sistem zakat akan berdampak positif di sektor riil dalam beberapa hal, antara lain:
1) Zakat menjadi mekanisme baku yang menjamin terdistribusinya pendapatan dan kekayaan sehingga tidak terjadi kecenderungan penumpukan faktor produksi pada sekelompok orang yang berpotensi menghambat perputaran ekonomi;
2) Zakat merupakan mekanisme perputaran ekonomi (velocity) itu sendiri yang 2) Zakat merupakan mekanisme perputaran ekonomi (velocity) itu sendiri yang
3) Zakat mengakomodasi warga negara yang tidak memiliki akses ke pasar karena tidak memiliki daya beli atau modal untuk kemudian menjadi pelaku aktif dalam ekonomi sehingga volume aktivitas ekonomi relatif lebih besar (jika dibandingkan dengan aktivitas ekonomi konvensional).
Dengan meningkatnya permintaan agregat dan kemudian disusul dengan meningkatnya penawaran agregat dari waktu ke waktu, zakat dalam perekonomian akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti yang ditunjukkan pada grafik 1.
Grafik 1. Implikasi Zakat dalam Perekonomian
2.2.2 Pelarangan Riba
“Dan Aku halalkan bagimu jual beli, dan Aku haramkan bagimu riba…” (Al Baqarah: 275)
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah…” (Ar Rum:
39) “Allah melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya dan kedua
saksinya.” (HR. Muslim dari Jabir)
a. Pengertian Riba
Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadl), dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan jangka waktu (riba nasiah).
Riba dayn berarti ‘tambahan’, yaitu pembayaran “premi” atas setiap jenis pinjaman dalam transaksi hutang-piutang maupun perdagangan yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman di samping pengembalian pokok, yang ditetapkan sebelumnya. Secara teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil (Saeed, 1996). Dikatakan bathil karena pemilik dana mewajibkan peminjam untuk membayar lebih dari yang dipinjam tanpa memperhatikan apakah peminjam mendapat keuntungan atau mengalami kerugian.
Rasulullah SAW pernah menunjukkan bagaimana urgensi pelarangan riba dalam sebuah bangunan ekonomi dengan menerangkan bahwa pemberian hadiah yang tak lazim atau sekedar memberikan tumpangan pada kendaraan dikarenakan seseorang merasa ringan akibat sebuah pinjaman adalah tergolong riba.
Riba dilarang dalam Islam secara bertahap, sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti juga tentang pelarangan yang lain, seperti judi dan minuman keras. Tahap pertama disebutkan bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari keberkahan Allah, sedangkan sedekah akan meningkatkan keberkahan berlipat ganda (QS 30: 39). Tahap kedua, pada awal periode Madinah, praktek riba dikutuk dengan keras (QS 4: 161), sejalan dengan larangan pada kitab-kitab terdahulu. Riba dipersamakan dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar, dan mengancam kedua belah pihak dengan siksa Allah yang amat pedih. Tahap ketiga, sekitar tahun kedua atau ketiga Hijrah, Allah menyerukan agar kaum muslimin menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang sebenarnya sesuai Islam (QS 3: 130-132). Tahap terakhir, menjelang selesainya misi Rasulullah s.a.w., Allah mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum muslimin agar menghapuskan seluruh hutang piutang yang mengandung riba, menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan Riba dilarang dalam Islam secara bertahap, sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti juga tentang pelarangan yang lain, seperti judi dan minuman keras. Tahap pertama disebutkan bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari keberkahan Allah, sedangkan sedekah akan meningkatkan keberkahan berlipat ganda (QS 30: 39). Tahap kedua, pada awal periode Madinah, praktek riba dikutuk dengan keras (QS 4: 161), sejalan dengan larangan pada kitab-kitab terdahulu. Riba dipersamakan dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar, dan mengancam kedua belah pihak dengan siksa Allah yang amat pedih. Tahap ketiga, sekitar tahun kedua atau ketiga Hijrah, Allah menyerukan agar kaum muslimin menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang sebenarnya sesuai Islam (QS 3: 130-132). Tahap terakhir, menjelang selesainya misi Rasulullah s.a.w., Allah mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum muslimin agar menghapuskan seluruh hutang piutang yang mengandung riba, menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan
Riba tidak hanya dilarang dalam ajaran Islam, tetapi juga dilarang dalam ajaran Yahudi (Eksodus 22: 25, Deuteronomy 23: 19, Levicitus 35: 7, Lukas 6: 35), ajaran Kristen (Lukas 6: 34-35, pandangan pendeta awalabad I-XII, pandangan sarjana Kristenabad XII-XV, pandangan reformis Kristenabad XVI-1836) , maupun ajaran Yunani seperti yang disampaikan oleh Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM).
b. Bunga dan Riba
Inti dari riba dalam pinjaman (riba dayn) adalah adalah tambahan atas pokok, baik sedikit maupun banyak. Dalam bahasa Indonesia riba diartikan sebagai bunga (baik sedikit maupun banyak). Dalam bahasa Inggris riba dapat diartikan interest (bunga yang sedikit) atau usury (bunga yang banyak). Sebagian besar ulama berpendapat usury maupun interest termasuk riba.
Menurut ijma’ ‘konsensus’ para fuqaha tanpa kecuali, bunga tergolong riba (Chapra, 1985) karena riba memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan bunga (interest). Lebih jauh lagi, lembaga-lembaga Islam internasional maupun nasional telah memutuskan sejak tahun 1965 bahwa bunga bank atau sejenisnya adalah sama dengan riba dan haram secara syariah.
Keputusan lembaga Islam internasional, antara lain:
1. Dewan Studi Islam Al Azhar, Cairo, dalam Konferensi DSI Al Azhar, Muharram 1385 H Mei 1965 M, memutuskan bahwa “bunga dalam segala bentuk pinjaman adalah riba yang diharamkan”
2. Keputusan Muktamar Bank Islam II, Kuwait, 1403 H1983.
3. Majma’ Fiqih Islamy, Organisasi Konferensi Islam, dalam Keputusan No. 10 Majelis Majma’ Fiqih Islamy, pada Koneferensi OKI ke II, Jeddah – Arab Saudi, 10-16 Rabi’utsani 1406 H 22-28 Desembeer 1985, memutuskan bahwa:
Seluruh tambahan dan bunga atas pinjaman yang jatuh tempo dan nasabah tidak mampu membayarnya, demikian pula tambahan (atau bunga) atas pinjaman dari permulaan perjanjian adalah dua gambaran dari riba yang Seluruh tambahan dan bunga atas pinjaman yang jatuh tempo dan nasabah tidak mampu membayarnya, demikian pula tambahan (atau bunga) atas pinjaman dari permulaan perjanjian adalah dua gambaran dari riba yang
4. Rabithah Alam Islamy, dalam Keputusan No. 6 Sidang ke 9, Mekkah 12-19 Rajab 1406 H, memutuskan bahwa “bunga bank yang berlaku dalam perbankan konvensional adalah riba yang diharamkan”.
5. Jawaban Komisi Fatwa Al Azhar, 28 Februari 1988. Keputusan lembaga Islam nasional, antara lain:
1) Nahdhatul Ulama, pada Bahtsul Masail, Munas Bandar Lampung, 1992, memutuskan bahwa:
Sebagian ulama mengatakan bunga sama dengan riba, sebagian lain mengatakan tidak sama, dan sebagian lain mengatakan syubhat.
Rekomendasi: Agar PB NU mendirikan bank Islam NU dengan sistem tanpa bunga.
Muhammadiyah, pada Lajnah Tarjih Sidoarjo, 1968, memutuskan bahwa: Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik nagara kepada nasabahnya atau
sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara “mustasyabihat.” Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
2) Majelis Ulama Indonesia, pada Lokakarya Alim Ulama, Cisarua 1991, memutuskan bahwa (1) Bunga bank sama dengan riba; (2) Bunga bank tidak sama dengan riba; dan (3) Bunga bank tergolong syubhat. MUI harus mendirikan bank alternatif.
3) Lajnah Ulama Komisi Fatwa se Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, pada Silaknas MUI, 16 Desember 2003, memutuskan bahwa “bunga bank sama dengan riba”.
4) PP Muhammadiyah, Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah No.8 Tahun 2006, Juni, diumumkan pada Rakernas dan Business Gathering Majelis Ekonomi Muhammadiyah, 19-21 Agustus 2006, Jakarta, memutuskan bahwa “bunga bank haram”.
Namun demikian, ada berbagai pihak dengan berbagai argumen menyatakan bahwa bunga tidak sama dengan riba. Paling tidak ada sembilan alasan yang mereka kemukakan.
1) Boleh mengambil bunga karena darurat. Namun, kondisi darurat tidak 1) Boleh mengambil bunga karena darurat. Namun, kondisi darurat tidak
2) Pada tingkat wajar, tidak mengapa bunga dibebankan. Namun, tingkat bunga yang wajar sangat subyektif tergantung waktu, tempat, jangka waktu, serta jenis dan skala usaha.
3) Opportunity lost yang ditanggung pemilik dana disebabkan penggunaan uang oleh pihak lain. Namun, di dunia ini tidak ada yang bisa memastikan bahwa seseorang akan berhasil atau tidak.
4) Bunga untuk konsumtif dilarang, tetapi untuk produktif dibolehkan. Namun, produksi pada dasarnya adalah konsumsi barang-barang modal dan konsumsi itu sebenarnya memproduksi zat lain, seperti energi dan kerja.
5) Uang sebagai komoditi; karena itu ada harganya, dan harga uang itu adalah bunga (Boehm-Bowerk). Namun, uang tidak dapat disamakan sebagai komoditi karena tidak memenuhi sifat barang dan jasa sehingga tidak dapat dijual atau disewakan. Uang hanya merupakan alat tukar.
6) Bunga sebagai penyeimbang laju inflasi. Namun, tingkat inflasi dapat mencapai nol atau negatif (deflasi) sehingga alasan ini tidak relevan.
7) Bunga sebagai upah menunggu (Abstinence Concept, Senior, Irving Fisher). Namun, motif menitipkan uang selain keuntungan juga karena keamanan dan likuiditas.
8) Nilai uang sekarang lebih besar daripada nilai uang pada masa depan (Time Value of Money). Namun, nilai uang dapat turun, tetap, atau naik (seperti butir 6).
9) Di zaman Nabi tidak ada bank, dan bank bukan Syakhsiyyah Mukallafah (yang terkena kewajiban menjalankan hukum Syariah). Namun, hukum Syariah meliputi semua sendi kehidupan manusia.
c. Pelarangan Riba dalam Sistem Ekonomi Islam
Menurut Qardhawi (2002), hikmah eksplisit yang tampak jelas di balik pelarangan riba adalah pewujudan persamaan yang adil di antara pemilik harta (modal) dengan usaha, serta pemikulan risiko dan akibatnya secara berani dan penuh rasa tanggung jawab. Prinsip keadilan dalam Islam ini tidak memihak kepada salah satu pihak, melainkan keduanya berada pada posisi yang seimbang.
Gambar 2. Bendungan
Lebih jauh lagi, konsep pelarangan riba dalam Islam dapat dijelaskan dengan keunggulannya secara ekonomis dibandingkan dengan konsep ekonomi konvensional.
Riba secara ekonomis lebih merupakan sebuah upaya untuk mengoptimalkan aliran investasi dengan cara memaksimalkan kemungkinan investasi melalui pelarangan adanya pemastian (bunga). Semakin tinggi tingkat suku bunga, maka semakin besar kemungkinan aliran investasi yang terbendung. Hal ini dapat diumpamakan seperti sebuah bendungan. Semakin tinggi dinding bendungan, maka semakin besar aliran air yang terbendung (baca gambar 2).
Laba
x
Rugi
Gambar 3. Aliran Investasi yang Terbendung
Dengan pelarangan riba, dinding yang membatasi aliran investasi tidak ada sehingga alirannya lancar tanpa halangan. Hal ini terlihat jelas pada saat Indonesia dilanda krisis keuangan dan perbankan pada 1997-1998. Pada saat itu, suku bunga perbankan melambung sangat tinggi mencapai 60. Dengan suku bunga setinggi itu bisa dikatakan hampir tidak ada orang yang berani meminjam ke bank untuk investasi. Hal ini dapat diilustrasikan pada gambar 3.
Secara grafis dapat pula ditunjukkan bahwa meningkatnya suku bunga dari y
menjadi x telah menurunkan jumlah kemungkinan investasi dari Q B 1 B menjadi Q B 2 B (baca grafik 2). Kenaikan suku bunga ini telah membendung aliran investasi sebesar Q B 1 B -Q B 2 B .
Karena hal inilah, maka riba dilarang dalam Islam (selain alasan moralitas).
0 Q 2 B B Q 1 B B Q(I)
Grafik 2. Hubungan Tingkat Bunga dan Investasi
Dari penjelasan di atas, implikasi pelarangan riba pada sektor riil, antara lain:
Mengoptimalkan aliran investasi tersalur lancar ke sektor riil; Mencegah penumpukan harta pada sekelompok orang, ketika hal tersebut
berpotensi mengeksploitasi perekonomian (eksploitasi pelaku ekonomi atas pelaku yang lain; eksploitasi sistem atas pelaku ekonomi).
Mencegah timbulnya gangguan-gangguan dalam sektor riil, seperti inflasi dan penurunan produktifitas ekonomi makro.
Mendorong terciptanya aktivitas ekonomi yang adil, stabil, dan sustainable melalui mekanisme bagi hasil (profit-loss sharing) yang produktif.
2.2.3 Pelarangan Maysir
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakannya)” (Al Maaidah: 91)
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Al Baqarah: 219)
Maysir secara harfiah berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa kerja. Dalam Islam, maysir yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang mengandung unsur judi, taruhan, atau permainan Maysir secara harfiah berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa kerja. Dalam Islam, maysir yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang mengandung unsur judi, taruhan, atau permainan
pertama, judi merupakan kejahatan yang memiliki mudharat (dosa) lebih besar daripada manfaatnya (QS 2: 219). Tahap berikutnya, judi dan taruhan dengan segala bentuknya dilarang dan dianggap sebagai perbuatan zalim dan sangat dibenci (QS 5: 90-91). Selain mengharamkan bentuk-bentuk judi dan taruhan yang jelas, hukum Islam juga mengharamkan setiap aktivitas bisnis yang mengandung unsur judi (Shiddiqi, 1985).
Judi di satu sisi dilarang karena merupakan usaha untung-untungan yang ditekankan pada unsur spekulasi yang irasional, tidak logis, dan tidak berdasar. Namun, dilihat dari sisi dampaknya terhadap ekonomi, judi dilarang karena tidak memberikan dampak peningkatan produksi yang akan meningkatkan penawaran agregat barang dan jasa di sektor riil. Alasan pelarangan judi ini serupa dengan pelarangan penimbunan barang yang juga akan berdampak pada berkurangnya penawaran agregat dari barang dan jasa. Oleh karena itu, judi secara ekonomis lebih merupakan sebuah upaya agar aktivitas investasi yang terjadi memiliki korelasi nyata terhadap sektor riil dalam rangka meningkatkan penawaran agregat. Judi dapat dikatakan sebagai suatu bentuk investasi yang tidak produktif karena tidak terkait langsung dengan sektor riil dan tidak memberikan dampak meningkatkan penawaran agregat barang dan jasa. Karena hal inilah, maka judi dilarang dalam Islam (selain alasan moralitas).
SISTEM ISLAM
Anti Riba
Anti Judi
P
SISTEM KONVENSIONAL
Gambar 4. Aliran Investasi dalam Sistem Islam dan Konvensional
Dengan pelarangan riba dan judi dalam Islam, aliran investasi menjadi optimal dan tersalur lancar ke sektor produktif. Sementara itu, dalam sistem konvensional sistem bunga membuat aliran investasi menjadi tidak optimal dan tidak lancar karena sebagiannya terhambat. Sedangkan dengan tidak adanya pelarangan judi, sebagian investasi tidak tersalur ke sektor produktif (baca gambar 4).
Lebih jauh lagi, ketika riba hanya mencakup usury, maka fokus pengembangan ekonomi Islam akan mengarah kepada penyempurnaan dan kelengkapan regulasi dari infrastruktur ekonomi Islam saja, yang di dalamnya mencakup lembaga keuangan Islam (bank syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, dan sebagainya). Namun, ketika riba termasuk interest, maka fokus pengembangan ekonomi Islam juga mengarah kepada tatanan makroekonomi dan pengelolaan moneter yang berbasis emas (full bodied money) pada dimensi jangka panjang 1 TP PT .
1 TP PT
Avianto, Wahyu (2006), “Ekonomi Islam, Bank Syariah, dan Emas”, harian, Republika, 24 Agustus.
2.3 Konsep Uang dalam Islam
2.3.1 Pengertian Uang
Berdasarkan fungsi atau tujuan penggunaannya, uang secara umum didefinisikan sebagai berikut.
Uang adalah alat penukar atau standar pengukur nilai yang dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara berupa kertas, emas, perak, atau logam lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Uang adalah media pertukaran moderen dan satuan standar untuk menetapkan harga dan hutang (Samuelson).
Uang adalah apa saja yang secara umum diterima oleh daerah ekonomi tertentu sebagai alat pembayaran untuk jual beli atau hutang (Lawrence Abbott).
Uang adalah (bagian pokok dari) harta kekayaan. Dalam fiqih Islam biasa digunakan istilah nuqud atau tsaman untuk mengekspresikan
uang. Definisi nuqud dalam Islam, antara lain:
Nuqud adalah semua hal yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan
transaksi, baik Dinar emas, Dirham perak, maupun Fulus tembaga. TP 2 PT
Nuqud adalah segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai media
pertukaran dan pengukur nilai 3 TP PT , yang boleh terbuat dari bahan jenis apa pun. TP 4 PT
Nuqud adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas. 5 TP PT
Nuqud adalah satuan standar harga barang dan nilai jasa pelayanan dan upah yang diterima sebagai alat pembayaran. 6 TP PT
Dalam teorinya, fungsi uang ada tiga, yaitu sebagai 1) medium of exchange ‘alat tukar’; 2) store of value ‘penyimpan nilai’; dan 3) unit of account ‘satuan hitung’. Sementara itu, motif memegang juga ada tiga, yaitu 1) transaction motive ‘motif
2 PT