Pola Bagi Hasil dengan Revenue Sharing
8.4.1 Pola Bagi Hasil dengan Revenue Sharing
Akad berpola bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) pada prinsipnya merupakan suatu transaksi yang mengupayakan suatu nilai tambah (added value) dari suatu kerja sama antarpihak dalam memproduksi barang dan jasa (baca Gambar 75).
Pada kontrak mudharabah, pihak pemilik modal atau shahibul maal (P) menyerahkan
modal berupa uang sebesar pokok (M B U B ) untuk dikelola oleh pengusaha atau mudharib
(A). Dalam kontrak mudharabah, pihak pemilik dana tidak berwenang untuk melakukan intervensi pada proses pengambilan keputusan usaha. Dengan kata lain, pemilik dana bersikap sebagai sleeping partner.
Mudharabah
Musyarakah
Sumber: Buchori, et.al. (2004).
Gambar 75. Skema Tansaksi Mudharabah dan Musyarakah
Kontrak musyarakah hampir sama dengan kontrak mudharabah dengan dua perbedaan, yaitu:
1) dalam transaksi musyarakah, pihak pengusaha harus ikut serta dalam permodalan; dan
2) pihak pemilik dana memiliki hak untuk melakukan intervensi dalam kegiatan usaha sesuai dengan peran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada saat kontrak pertama kali ditandatangani.
Dalam hal pembiayaan kepada pihak pengusaha, banyak pihak berpendapat bahwa jenis transaksi musyarakah bersifat superior terhadap transaksi mudharabah karena adanya kesempatan bagi pemilik dana untuk melakukan pengawasan serta adanya kewajiban pihak pengusaha untuk berpartisipasi dalam permodalan akan berpotensi menurunkan intensitas moral hazard dalam melakukan usahanya.
Dalam perjanjian kontrak bagi hasil, jumlah yang menjadi dasar pembagian dapat bervariasi: berdasarkan profit (dan loss) atau revenue. Yang menjadi issue utama dalam pemilihan tersebut adalah pengakuan atas biaya-biaya yang muncul pada proses usaha ketika standardisasi akunting akan menjadi salah satu pertimbangan utama. Pada situasi ketika standar akunting sudah dapat diterapkan secara baik, penerapan profit and loss akan semakin mudah diterapkan. Sebaliknya, jika standar akuntansi belum dapat diimplementasikan dengan baik, maka kedua belah pihak akan berpotensi untuk menghadapi perselisihan akibat perbedaan persepsi yang terjadi. Selain itu, pemilihan basis bagi hasil akan sangat tergantung pula pada tingkat preferensi risiko dari pihak- pihak yang berkontrak.
Pada transaksi berbasis revenue sharing, pendapatan pemegang modal hanya akan bergantung pada tingkat ketidakpastian usaha sementara tingkat pendapatan bagi mudharib akan tergantung pada tingkat ketidakpastian dari kondisi usaha serta biaya- biaya yang timbul dalam proses realisasi kegiatan usaha tersebut. Dengan kata lain, perjanjian dengan basis revenue sharing memiliki tingkat ketidakpastianrisiko yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrak profit and loss sharing jika dilihat dari kaca mata pemilik dana. Struktur biaya dan bagi hasil bagi kedua jenis bentuk bagi hasil digambarkan dalam Tabel 39.
Tabel 39. Bagi Hasil untuk Profit and Loss Sharing dan Revenue Sharing
Profit and Loss Sharing
Revenue Sharing
Pengusaha Pemilik Dana
Pengusaha Pemilik Dana
X
Penerimaan Kotor
Biaya C C -
Nisbah bagi hasil
Nilai nominal bagi hasil
α (X-C)
(1- α)(X-C)
( β X-C)
(1- β)X
Sumber: Buchori, et.al. (2004), diolah.
Yang termasuk dalam penerimaan kotor (X) adalah pendapatan operasi utama yang meliputi:
1) bagi hasil (pendapatan dari pembiayaan bagi hasil);
2) margin (pendapatan dari pembiayaan berpola jual beli);
3) sewa (pendapatan dari pembiayaan berpola sewa); dan
4) pendapatan lainnya (dari penempatan pada SWBI, SIMA, dan sebagainya). Sementara itu, yang termasuk dalam biaya (C) adalah beban bagi hasil yang meliputi:
1) beban tenaga kerja;
2) beban administrasi;
3) beban penyusutan; dan
4) beban operasional lainnya. Pemilik dana yang bersifat risk-averse akan memilih bentuk kontrak revenue sharing
dibandingkan dengan profit and loss sharing mengingat kontrak revenue sharing dapat mereduksi risiko finansial walaupun masih memiliki tingkat return yang sama, karena nilai X selalu ≥ 0, sedangkan nilai (X-C) bisa ≥ 0 atau ≤ 0. Artinya, dengan revenue sharing pemilik dana tidak pernah rugi (minimal bagi hasil = 0 tetapi modalnya utuh), sedangkan dengan profit and loss sharing pemilik dana dapat mengalami kerugian sampai sebatas modalnya.
Bank syariah menerapkan kontrak revenue sharing dalam memberikan surplus keuangan kepada nasabahnya.
Secara praktis, selama suatu bank syariah masih beroperasi, para nasabah akan masih memiliki imbalan yang positif. Satu-satunya potensi kerugian bagi pihak nasabah adalah pada saat terjadinya proses likuidasi (pada saat suatu bank syariah memiliki Secara praktis, selama suatu bank syariah masih beroperasi, para nasabah akan masih memiliki imbalan yang positif. Satu-satunya potensi kerugian bagi pihak nasabah adalah pada saat terjadinya proses likuidasi (pada saat suatu bank syariah memiliki
Jadi, secara keuangan, nasabah yang menyimpan dananya di bank syariah belum siap untuk menerapkan konsep bagi hasil secara murni. Para nasabah pada dasarnya masih membutuhkan suatu tingkat keamanan tertentu terhadap pokok dana yang dimilikinya.