PEREMPUAN PEMBELA HAM
PEREMPUAN PEMBELA HAM
Intimidasi pada Peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2012
Pada tanggal 9 Desember 2012, 22.30 WIT, kantor YABIKU dibakar oleh sejumlah orang yang tidak dikenal. Pembakaran diduga terkait bincang-bincang (talkshow) di radio setempat tentang kekerasan seksual dan mengakibatkan Rumah Baca YABIKU habis terbakar. Talkshow tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan oleh YABIKU dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP). Pada peringatan K16HAKTP sebelumnya (2010 dan 2011) setelah menyelesaikan talkshow di radio, kantor YABIKU dilempari oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tidak hanya itu, teror dan ancaman melalui telefon gelap pun sering dialami YABIKU.
Intimidasi yang terjadi merupakan intimidasi berulang yang kerap didapat oleh YABIKU ketika mendampingi korban kekerasan (kekerasan seksual) yang pelakunya pejabat publik, penegak hukum atau aparat keamanan.
Intimidasi yang didapat oleh YABIKU memperlihatkan lemahnya perlindungan bagi para perempuan pembela HAM dalam memperjuangkan kerja-kerja kemanusiaannya, padahal perlindungan bagi perempuan pembela HAM merupakan jaminan bagi perempuan korban kekerasan untuk memperoleh hak keadilan dan pemulihan. Pada saat yang bersamaan keberadaan pembela HAM, khususnya pendamping bagi perempuan korban kekerasan menjadi rentan terhadap kekerasan. Melihat hal ini pemerintah sudah seharusnya menyelenggarakan perlindungan bagi individu maupun lembaga yang bekerja untuk penegakan HAM.
Nani Nurani, Perempuan Penyintas Tragedi 1965
Nani Nurani (71 thn), adalah mantan penari istana yang menjadi korban pemenjaraan sewenang- wenang selama 7 tahun (1969-1976), tanpa proses pengadilan. Hingga saat ini kasus terus berlanjut, Nani Nurani terus menuntut tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak-nya dengan mengajukan perkara banding No. 352/PDT/2012/PT.DKI. Sebelumnya, pada 28 Oktober 2011, Nani Nurani melakukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheids Daad) dengan Perkara No. 439/PDT.G/2011/PN.JKT.PST, dan 11 April 2012, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Amin Ismanto, SH., MH menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan Nani Nurani. Alasannya, gugatan kepada Presiden sebagai pejabat Negara seharusnya menjadi kewenangan peradilan administrasi, sehingga harus diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Meskipun jelas gugatan Nani Nurani adalah perkara perdata atas perbuatan melawan hukum.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak gugatan itu merupakan bentuk pengabaian negara atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dan reparasi secara komprehensif yang semestinya menjadi agenda prioritas pemerintah. Sesuai dengan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) III ditegaskan bahwa, pemerintah Indonesia harus konsisten melanjutkan upaya pemajuan dan perlindungan HAM, khususnya bagi korban yang mengalami pelanggaran HAM berlapis sebagaimana dialami Nani Nurani. Pemerintah Indonesia dalam forum UNIVERSAL PERIODIC
Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012
KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN
REVIEW (UPR) di Jenewa beberapa waktu lalu telah menyatakan menyetujui beberapa langkah yang harus ditempuh diantaranya adalah perlindungan bagi perempuan pembela HAM dari segala bentuk diskriminasi/tekanan, serta segera ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan (OP CAT) dan Konvensi Anti Penghilangan Paksa (CPED).
Disisi lain, putusan ini juga bertentangan dengan konvensi CEDAW Pasal 2 huruf c yang menyatakan pengadilan nasional wajib menegakkan perlindungan hukum yang efektif bagi perempuan dari tindak diskriminasi. Laporan pemantauan Komnas Perempuan, KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN BERBASIS GENDER: MENDENGARKAN SUARA PEREMPUAN KORBAN PERISTIWA 1965 (2007) menyebutkan, perempuan mengalami pelanggaran HAM baik sebelum, saat dan setelah tragedi 1965. Pelanggaran HAM tersebut berupa penculikan, penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang tanpa proses peradilan termasuk kerja paksa selama penangkapan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lain seperti pemaksaan aborsi akibat perkosaan, perkosaan, penyiksaan dan perbudakan seksual.
Upaya Nani Nurani menempuh proses hukum ini bukan kali pertama. Sebelumnya, Nani Nurani memenangkan seluruh gugatan atas Camat Koja yang tidak menerbitkan KTP seumur hidup atas namanya (Juli 2003). Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 60/G.TUN/2003/PTUN-JKT jo. putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 203/B/2003/PT.TUN.JKT jo. putusan Mahkamah Agung No. 400K/TUN/2004 menyatakan bahwa keputusan Kepala Pemerintahan Kecamatan Koja Jakarta Utara yang tidak menerbitkan Kantu Tanda Penduduk seumur hidup bagi Nani Nurani adalah batal/tidak sah dan melawan hukum. Faktanya, Nani Nurani telah diputuskan bebas penuh oleh Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 1976, dan tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan dirinya terlibat organisasi terlarang. Putusan ini juga membuktikan adanya perbuatan intimidatif dan diskriminatif yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia kepada Nani Nurani.