KEJAHATAN PERKAWINAN OLEH PEJABAT PUBLIK
KEJAHATAN PERKAWINAN OLEH PEJABAT PUBLIK
Poligami dan praktek kawin tidak dicatat oleh Pemda dan DPR di NTB, Magelang, Garut, dan Palembang
Perkawinan tidak tercatat tengah marak dilakukan oleh pejabat publik. Diantaranya Bupati Lombok Tengah (Loteng), HM Suhaili FT dengan BLM. Pernikahan kedua Bupati Loteng ini diungkapkan oleh Drs Lalu Suhardi BE selaku perwakilan LSM saat hearing dengan anggota DPRD Loteng. BLM adalah adik salah seorang anggota DPRD fraksi PBR, dan yang mejadi saksi pernikahan tersebut adalah anggota Badan Kehormatan DPRD Loteng. Prinsipnya masyarakat yang melakukan hearing ini meminta anggota DPRD Loteng memanggil Bupati Loteng untuk mempublikasi apakah pernikahan siri ini terjadi atau tidak. 4
Perkawinan tidak tercatat lainnya dilakukan oleh Wakil Wali Kota Magelang Joko Prasetyo dengan SZN setahun lalu. Menurut Isteri Wakil Walikota SR, suaminya mengakui telah menikah siri dengan seorang perempuan yang berasal dari desanya di Magelang tanggal 18 Oktober 2012. SR juga mengakui sejak menikah dengan Joko Prasetyo tanggal 18 Juni 1998, suami sering diketahui berselingkuh, sering marah-marah, dan melakukan pemukulan. Dari perkawinannya, mereka memiliki 2 orang anak berusia
12 tahun dan 6 tahun. Perkawinan tidak tercatat juga dilakukan oleh Walikota Palembang, Eddy Santana Putra. Walikota
Palembang melakukan perkawinan tidak tercatat dengan seorang perempuan bernama ESP tanpa sepengetahuan isterinya, SM. Setelah melakukan kawin tidak tercatat, Walikota Palembang ini tidak lagi tinggal bersama keluarga dan tidak memberikan nafkah secara rutin. Meski SM dan kedua anaknya masih tinggal di rumah dinas Walikota Palembang namun mereka tidak lagi menerima seluruh tunjangan, fasilitas dan tenaga pengurus rumah dinas pun telah dicabut. SM juga mengalami penderitaan psikologis karena saat ini telah beredar publikasi Walikota Palembang pelaku dan ESP sebagai pasangan suami-istri Walikota pada surat kabar, televisi, baliho, maupun papan reklame resmi milik Pemerintah Kota Palembang.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengusulkan pemberhentian jabatan Bupati Garut, Aceng HM. Fikri karena dianggap tidak menjalankan sumpah jabatan sebagi pejabat publik yang berkomitmen dan patuh pada UUD dan perundang-undangan lainnya ke Mahkamah Agung (MA) untuk dilakukan pengujian. MA mengabulkan usulan pemakzulan atas Bupati Garut ini, dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 17/P Tahun 2013 tentang Pengesahan Pemberhentian Bupati Garut, Aceng HM Fikri mengakhiri masa jabatannya sebagai Bupati Garut dalam Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Garut, 26 Februari 2013.
Usulan pemberhentian Bupati Garut ini bermula dari tindakan Bupati Garut melakukan talak melalui pesan singkat telepon seluler (SMS) kepada isterinya FO. Pernikahan yang hanya berlangsung empat hari itu tanpa memberikan alasan. Ketika dimintai pertanggung jawaban, Bupati menteror dan mencaci maki FO melalui SMS.
4 Sumbawa News, 10 Januari 2012
Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012
KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN
Peristiwa ini menunjukkan kekerasan yang dilakukan oleh pejabat publik berupa pengingkaran, dengan pernyataannya di berbagai media bahwa korban dan keluarganya berusaha untuk memeras pelaku. Kemudian pelaku, Bupati Garut ini juga melakukan pembungkaman, yaitu menceraikan korban dengan memberikan sejumlah uang damai.
Komnas Perempuan mengapresiasi keputusan Mahkamah Agung dalam mengabulkan permohonan pemakzulan Bupati Garut. Keputusan tersebut merupakan preseden hukum yang penting dalam kerangka perbaikan sistem otonomi daerah dan tata kelola pemerintahan yang baik, serta untuk memastikan supremasi hukum di Indonesia. Juga, dalam kerangka perlindungan hak warga negara, khususnya perempuan, atas jaminan rasa aman, bebas kekerasan dan diskriminasi, terutama di dalam institusi perkawinan.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa tidak mencatatkan perkawinan, tidak memutuskan ikatan perkawinan melalui pengadilan, serta tidak memenuhi alasan, syarat dan prosedur bagi laki-laki untuk beristri lebih dari satu sebagaimana diatur di dalam berbagai perundang-undangan, adalah tindak kejahatan terhadap perkawinan dan turut melanggengkan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan kerap merupakan cara bagi suami/laki-laki menghindari tanggungjawab hukum atas istri dan anak yang lahir dari perkawinannya itu. Tindakan melawan hukum ini dimungkinkan karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui kewajiban pencatatan perkawinan dan tidak menyadari pentingnya pencatatannya tersebut, juga dengan bujuk rayu dari pihak suami/laki-laki.
Komnas Perempuan juga mengamati kasus-kasus perceraian sepihak, dengan ucapan ataupun praktik cerai gantung, dan tanpa keputusan pengadilan menimbulkan penderitaan terhadap perempuan/istri juga anak. Sepanjang semester pertama tahun 2012 saja, Komnas Perempuan menerima setidaknya 96 kasus tindak kejahatan perkawinan. Diantara 96 kasus tersebut, sebanyak 61 istri melaporkan bahwa tindakan suaminya berselingkuh (41 kasus) dan menikah secara sembunyi-sembunyi tanpa izinnya (20 kasus) telah menyebabkan penderitaan fisik, psikis, seksual juga penelantaran ekonomi. Ada sepuluh orang dengan status sebagai istri kedua dan dua orang dengan status istri keempat melaporkan bahwa mereka sama sekali tidak tahu bahwa suaminya telah berkeluarga. Empat diantara sepuluh istri kedua yang melapor menyebutkan adanya penipuan status perkawinan dengan pemalsuan kartu identitas dengan mencantumkan tidak kawin dalam kartu tanda penduduknya, dan buku nikah seolah telah bercerai. Selain itu, ada tiga kasus dimana istri pertama dikriminalisasi karena tidak mau memberikan izin atau bercerai agar suaminya dapat menikah lagi.
Tindakan perkawinan kedua dan seterusnya yang tidak memenuhi persyaratan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah kejahatan perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 279 KUHP. Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur bahwa seseorang dapat dihukum pidana paling lama lima tahun apabila mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu. Seorang dapat dihukum pidana penjara paling lama tujuh tahun bila ia menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Penghalang yang sah adalah ketika tidak dipenuhinya alasan, syarat dan prosedur sah yang ditetapkan di dalam UU Perkawinan, sebagaimana dijelaskan di atas.