KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN HUKUM

KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN HUKUM

Terobosan Hukum Komitmen dan langkah Negara

Sidang HAM adalah mekanisme HAM nasional yang dibentuk bersama antara Komnas Perempuan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia selaku institusi HAM nasional. Dalam Sidang HAM ke-dua, yang dilaksanakan Desember 2012 teridentifikasi pernyataan para pejabat publik mengenai usaha-usaha perlindungan hak-hak perempuan. Komnas Perempuan menyambut baik usaha-usaha tersebut sebagai salah satu langkah membangun standar layanan pemenuhan HAM warga, khususnya perempuan. Dalam Sidang HAM kedua ini terungkap komitmen institusi negara dalam perlindungan hak asasi perempuan, seperti Mahkamah Agung yang melakukan terobosan hukum dalam putusan-putusannya dengan perspektif perlindungan terhadap hak-hak perempuan, seperti:

1. Menyatakan sebagai tindak pidana, seorang laki-laki yang mengajak untuk bersetubuh dan mengata-ngatai dengan kata-kata tidak senonoh terhadap mantan pacarnya melalui SMS.

2. Menyatakan sebagai kekerasan seksual, seorang laki-laki yang memaksa bersetubuh dengan istrinya yang dalam proses perceraian di tempat yang tidak layak.

3. Menghukum dengan pidana percobaan dengan syarat khusus terhadap seorang suami untuk membayar Rp. 1 juta, setiap bulannya karena penelantaran ekonomi keluarga.

Kementrian Agama yang Sosialisasi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencakup

2 hal yaitu menyangkut Hak Asasi Perempuan dan Perlindungan Anak. Menyangkut masalah anak, mencegah nikah siri pada anak-anak. Semua KUA sudah diinstruksikan untuk tidak menikahkan anak/di bawah umur. Mereka akan diberi sanksi pidana atau dipindah tugaskan. Kementrian Dalam Negeri, yang melakukan evaluasi terhadap Perda-Perda yang bias gender dan diskriminatif; bersama Kementerian Hukum dan HAM sedang menyusun finalisasi Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri tentang Penyusunan Produk Hukum Daerah yang Berbasiskan HAM; bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, telah menyusun parameter gender yang digunakan dalam penyusunan produk-produk hukum daerah.

Mendorong Pemerintah Daerah melakukan pemulihan hak-hak para korban yang dilanggar. Di Papua, Kementrian Dalam Negeri menyelesaikan konsultasi tentang Perdasus Perlindungan bagi Perempuan Papua. Ini menjadi kebijakan afirmasi sekaligus tindakan afirmasi yang bisa didorong kepada seluruh perempuan yang ada di Papua.

Memberikan pedoman serta rambu-rambu pada Satpol PP dalam penyelenggaraan kegiatannya, sehingga diharapkan Satpol PP di dalam melakukan kegiatannya dapat berbasis pada pemenuhan

Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012

KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN

Kementrian Hukum dan HAM, dari sisi legislasi Kementerian Hukum dan HAM sudah meluncurkan Pedoman Penulisan Perda yang mencakup Parameter HAM dan juga Parameter Gender. Juga, pada tanggal 10 Desember, Kemenhukham meluncurkan Catur Karya HAM:

Pertama adalah Daerah Peduli HAM adalah elemen yang diharapkan dapat diterapkan di daerah untuk peduli HAM secara keseluruhan.

Kedua yang dikaitkan dengan pengaduan dan pelanggaran HAM dalam masyarakat, juga meluncurkan Standar Operating Prosedure (SOP) untuk pelayanan komunikasi masyarakat yang pada dasarnya adalah satu pedoman bagi pemerintah pusat maupun daerah serta lembaga untuk menangani pengaduan dugaan pelanggaran HAM yang diajukan oleh masyarakat baik secara individu maupun kolektif. SOP ini juga menjadi salah satu program dari 7 program yang dirumuskan dalam Salaknas HAM yang saat ini sudah dilaksanakan baik, oleh pancaran HAM yang ada di daerah-daerah dan juga Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.

Keputusan Mahkamah Agung No. 691 K/Pid/2012 Tahun 2012

Dalam kasus kekerasan seksual yang dilaporkan korban dilakukan Anand Khrisna, Mahkamah Agung R.I pada akhirnya berani melakukan terobosan hukum, dengan menyimpangi pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mahkamah Agung RI menggunakan kewenangannya sebagai upaya menciptakan keadilan bagi masyarakat khususnya kelompok rentan perempuan dan anak. Hal tersebut juga menegaskan upaya menghapuskan diskriminasi pengadilan yang telah mengabaikan kepentingan dan kebutuhan korban menjadi perhatian utama Mahkamah Agung RI. Upaya tersebut sejalan dengan perlindungan hukum di pengadilan Nasional bagi perempuan dan anak korban yang ditegaskan dalam CEDAW.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan korban secara spesifik dalam mendapatkan hak-haknya sebagai korban

kekerasan. KUHAP belum beranjak dari pola lama yang memprioritaskan perlindungan terhadap hak tersangka dan terdakwa semata. Sementara perlindungan hak saksi dan korban pengaturannya masih dikonstruksikan secara parsial dan tidak menjadi pegangan bagi aparat penegak hukum dalam memeriksa perkara. Proses peradilan hanya tunduk pada KUHAP,termasuk pemenuhan alat bukti yang sah (pasal 184 KUHAP) saja. Bahkan seringkali, penggunaan dan pemahaman terhadap alat bukti yang sah masih berkutat pada saksi dan surat yang berupa visum. Hal tersebut kemudian digantungkan pada keyakinan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Kondisi tersebut seringkali mempersulit akses keadilan terhadap korban.

Dalam pertimbangan hukum putusan Kasasi dimana Mahkamah Agung melihat dan mempertimbangkan argumentasi hukum alasan kasasi Jaksa penuntut Umum sebagai wakil Negara terhadap korban dalam memutus perkara ini. Menurut Jaksa Penuntut Umum, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya berdasarkan Pasal 253 KUHAP. Hakim tidak memperhatikan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Bahkan dalam proses pemeriksaan

46 KOMNAS PEREMPUAN 46 46 46 AN AN AN KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012 46 KOMNAS PEREMPUAN 46 46 46 AN AN AN KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012

Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya

12 April 2012 merupakan hari yang bersejarah bagi gerakan pekerja migran dan gerakan perempuan, setelah perjuangan panjang hampir 20 tahun, akhirnya pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi

PBB 1990 mengenai Perlindungan Hak-hak seluruh pekerja migrant dan anggota keluarganya. Pada tanggal tersebut dalam sidang Paripurna DPR RI secara resmi mengesahkan Konvensi Migran 1990. Pada 5 Mei 2012 pemerintah menerbitkan melalui Undang-undang No 6 tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers and Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya). Pengesahan Konvensi Migran 1990 ini beriringan dengan pembahasan perubahan atas undang-undang 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar negeri (UU PPTKILN). Inisiatif perubahan tersebut berasal dari DPR yang kemudian menghasilkan rancangan undang-undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN). Namun demikian, berdasarkan kajian yang dilakukan Komnas Perempuan, RUU PPILN belum sepenuhnya merujuk pada Konvensi Migran 1990 yang telah disahkan.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2012 tentang Tata Cara Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia dari Negara Penempatan secara Mandiri ke Daerah Asal

Dengan terbitnya peraturan ini pekerja migran yang kembali ke tanah air diperbolehkan untuk kembali ke daerah asal secara mandiri. Kewajiban melapor saat kedatangan untuk tujuan pendataan, tidak lagi diikuti dengan kewajiban untuk menggunakan jasa transportasi (travel) yang disediakan di gedung pendataan kepulangan TKI (GPK TKI) Selapajang.

Terobosan kebijakan lain yang lahir pada 2012 adalah perihal biaya keberangkatan (cost structur) menjadi pekerja migran. Beberapa kebijakan tersebut antara lain :

Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor: Per 02/KA/I/2012 tanggal 24 Januari 2012 tentang biaya penempatan TKI Eks Hongkong SAR (yang sudah berpengalaman bekerja di Hongkong Sebelumnya), yaitu sebesar Rp 5.911.000.

Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor Per.003/KA/I/2012 tanggal 24 Januari tentang biaya penempatan TKI ke Singapura sebesar Rp 10.933.000 dan bagi yang pernah bekerja sebelumnya (TKI Eks Singapura) sebesar Rp 5.448.00.

Peraturan Kepala BNP2TKI nomor Per.07/KA/II/2012 tanggal 28 Februari 2012 tentang biaya penempatan TKI ke Macau SAR sebesar Rp. 12.243.000 dan bagi yang pernah bekerja sebelumnya (eks) sebesar Rp. 4.903.000.

Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012

KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI nomor 98 tahun 2012 tentang Komponen dan Besarnya biaya penempatan Calon tenaga kerja Indonesia sektor Domestik Negara tujuan Hongkong SAR, tanggal 24 Mei 2012. Biaya penempatan sebesar Rp. 14.780.400.

Adanya kebijakan dan payung hukum mengenai standar biaya keberangkatan bagi pekerja migran patut diapresiasi mengingat persoalan ketiadaan standar biaya menyebabkan praktek eksploitasi dan pembebanan biaya berlapis hingga praktek bondage labour kepada pekerja migran dan keluarganya. Komnas Perempuan memandang, dilihat dari muatan peraturan tersebut, besaran biaya yang begitu besar dan komponen pembiayaan seperti biaya akomodasi dan konsumsi di penampungan selama 110 hari sebesar Rp. 5.500.000 dan biaya peralatan dan bahan praktek sebesar Rp. 3.000.000 yang tidak jelas peruntukannya, harus dikaji ulang secara komprehensif.

Sistem Pengadilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dan Pengadilan Khusus sebagai Upaya Mendekatkan Akses Keadilan bagi Perempuan Korban

Sebagai tindak lanjut dari MOU yang ditandatangani Komnas Perempuan dengan KPPPA, Kapolri, Kejagung, MA dan Peradi pada akhir tahun 2010, maka di tahun 2012 telah dikeluarkan SK DPN Peradi Nomor:KEP.299/Peradi/DPN/XII/2012 yang mewajibkan Materi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak masuk dalam kurikulum Wajib dalam Pelaksanaan PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) Peradi.

Sampai saat ini upaya membangun pemahaman bersama pentingnya sinergi penanganan kasus dan monitoring evaluasi akses keadilan bagi perempuan korban antara penegak hukum, pemerintah dan pendamping terus diupayakan, diharapkan akan segera muncul kebijakan bersama yang mengatur keduanya, baik melalui kurikulum pendidikan Penegak Hukum, maupun mekanisme kerja bersama yang sistemik.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2012 MK tentang Hubungan Keperdataan Anak dengan Ayah

Putusan Bulan Februari 2012, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan tetap memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya, yang sepanjang 38 tahun sebelumnya telah dinegasikan oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelum hadirnya Putusan MK ini, perempuan atau ibu dalam perkawinan tidak tercatat rentan menanggung beban stigma dari masyarakat dan menanggung beban orang tua tunggal dalam perawatan anak. Anak pun tumbuh dalam stigma sebagai anak haram. Hadirnya Putusan ini selain memulihkan hak keperdataan anak, diharapkan juga dapat

48 KOMNAS PEREMPUAN 48 48 48 AN AN AN KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012 48 KOMNAS PEREMPUAN 48 48 48 AN AN AN KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012

Sepanjang Tahun 2012 juga telah terbit hukum yang melindungi anak, yaitu:

Undang Undang Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol To The Convention On The Rights Of The Child On The Involvement Of Children In Armed Conflict (Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata)

Konvensi Hak Anak yang selanjutnya disebut KHA adalah kesepakatan PBB tentang hak-hak anak yang telah diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dimana KHA ini

menyatakan bahwa anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional karena itu pembinaan dan pengembangannya dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara dan pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian kesempatan untuk mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang tua, keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerjasama internasional. Oleh karena itu Pengesahan Protokol Opsional ini merupakan bagian yang memperkuat perlindungan bagi anak di Indonesia yang rentan dalam situasi konflik.

Undang Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol To The Convention On The Rights Of The Child On The Sale Of Children, Child Prostitution And Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak)

Pengesahan Protokol Opsional ini merupakan langkah maju Pemerintah Indonesia dalam upaya memberikan perlindungan pada anak karena Protokol optional ini memperkuat pelaksanaan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan mengkoreksi UU Nomor

44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang telah melakukan perlindungan hak anak dari tindak pidana perdagangan orang dan objek pornografi.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun tentang 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang disahkan pada bulan Juli 2012 berpijak pada prinsip perlindungan bagi anak sebagai pelaku atau korban tindak pidana. Prinsip ini dalam implementasinya harus dipastikan peletakannya secara tepat ketika berhadapan dengan kepentingan korban, terutama anak perempuan sebagai korban.

Sebagai salah satu cara dalam menerjemahkan prinsip restorative justice, UU SPPA ini mewajibkan dilakukannya Diversi mulai dari tingkat penyelidikan sampai peradilan. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Artinya, kasus yang di-Diversi tidak akan diselesaikan melalui proses peradilan pidana. UU SPPA menggariskan bahwa Diversi hanya dilakukan terhadap tindak pidana yang ancaman pidana penjaranya di bawah 7

Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012

KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN KOMNAS PEREMPUAN

(tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Artinya, hanya tindak pidana ringan yang wajib dilakukan Diversi.

Adapun terhadap tindak pidana berat -dimana ancaman hukumannya di atas 7 (tujuh) tahun- maka UU SPPA mengkategorikannya sebagai tindak pidana yang tidak dapat di-Diversi. Merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kejahatan perkosaan -sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual dari 15 bentuk yang diidentifikasi oleh Komnas Perempuan- adalah tindak pidana yang diancam pidana penjara 9 (sembilan) sampai 12 (dua belas) tahun. Walaupun KUHP masih sangat terbatas menyebutkan jenis dan unsur perbuatan yang dikategorikan sebagai delik perkosaan, UU SPPA setidaknya tetap dapat menjadi instrumen hukum bagi perempuan korban untuk mengakses keadilan, mengingat tindak pidana tersebut jika dilakukan oleh Anak tidak di-Diversi namun harus tetap diproses melalui peradilan pidana. Hal ini juga akan menjadi pendorong untuk membangun komitmen negara agar menyusun peraturan perundang-undangan yang secara komprehensif mengakomodir bentuk- bentuk kekerasan seksual yang sampai saat ini belum terdapat payung hukum pengaturan deliknya.

Bantuan medis dan psikososial dari LPSK tanpa adanya putusan pengadilan

Dalam rangka menjalankan amanat pasal 6 UU Nomor 13/2006, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengeluarkan Peraturan Nomor. 4 Tahun 2009 Tentang Standar Operasional Prosedur Pemberian Bantuan Medis dan Psikososial. Peraturan ini dikeluarkan untuk pemenuhan hak atas pemulihan bagi saksi korban untuk mendukung proses penegakan hukum pidana, khususnya dalam proses penegakan hukum bagi pelanggaran HAM berat di Indonesia. Prosedur pengajuan bantuan sudah diatur dalam syarat formal permohonan. Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon adalah surat keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi manusia yang menunjukkan pemohonan sebagai korban atau keluarga korban pelanggaran HAM yang berat.

Awalnya mekanisme surat keterangan dari Komnas HAM ini cukup menyulitkan bagi kasus pelanggaran HAM yang belum melalui proses peradilan atau sekurang-kurangnya penyidikan Komnas HAM. Tetapi dengan pertimbangan kebutuhan mendesak dari korban maka sejak tahun 2012 LPSK membangun strategi untuk memperlancar perolehan surat dari Komnas HAM. Yaitu. Bagi korban yang telah melalui proses penyidikan secara otomatis bisa langsung mengakses bantuan ke LPSK karena datanya sudah di Komnas HAM dan sudah dinyatakan sebagai korban Pelanggaran HAM Berat.

Sementara bagi korban yang belum melalui proses penyidikan Komnas HAM, pemohon dapat melampirkan surat rekomendasi dari lembaga pendamping disertai bukti-bukti pendukung, seperti surat keterangan dari RT/RW, Saksi dan kronologi yang memberikan penjelasan bahwa dia benar sebagai korban pelanggaran HAM Berat. Dokumen-dokumen tersebut yang kemudian dibawa oleh LPSK ke Komnas HAM untuk dimintakan surat keterangan bahwa pemohon benar sebagai korban Pelanggar HAM Berat.

Kemudahan akses bantuan medis dan psikologis bagi korban Pelanggaran HAM Berat dapat dilihat pada data kasus yang masuk ke LPSK. Di tahun 2011 dari 106 korban yang mendapatkan layanan medis dan psikologis, baru satu korban Pelanggaran HAM Berat yang ditangani. Namun, di tahun 2012 kasus pelanggaran HAM berat yangditangani melonjak tajam, yaitu 127 korban, 125 korban mendapatkan layanan medis dan 122 korban mendapatkan layanan psikologis (Laporan Tahunan LPSK, 2012).

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH, INVESTASI SWASTA, DAN TENAGA KERJA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI EKS KARESIDENAN BESUKI TAHUN 2004-2012

13 284 6

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PERBEDAAN SELF CONTROL PADA MAHASISWI YANG MEROKOK DI TERITORI PUBLIK DAN TERITORI PRIBADI

6 89 17

ANALISIS PROSES PENYUSUNAN PLAN OF ACTION (POA) PADA TINGKAT PUSKESMAS DI KABUPATEN JEMBER TAHUN 2007

6 120 23

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN KORBAN ANAK (Putusan Nomor 24/Pid.Sus/A/2012/PN.Pso)

7 78 16

ERBANDINGAN PREDIKSI LEEWAY SPACE DENGAN MENGGUNAKAN TABEL MOYERS DAN TABEL SITEPU PADA PASIEN USIA 8-10 TAHUN YANG DIRAWAT DI KLINIK ORTODONSIA RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT UNIVERSITAS JEMBER

2 124 18

FUNGSI DAN KEWENANGAN BADAN PENGAWAS PASAR MODAL (BAPEPAM) DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)

5 65 215

HUBUNGAN ANTARA KONDISI EKONOMI WARGA BELAJAR KEJAR PAKET C DENGAN AKTIVITAS BELAJAR DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 100 15

INTENSI ORANG TUA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK MENIKAHKAN ANAK PEREMPUAN DI BAWAH USIA 20 TAHUN DI KECAMATAN PAKEM KABUPATEN BONDOWOSO

10 104 107