Malinda Dee adalah Perempuan yang Memiliki Kelainan Psikologi

90 background gambar dimana Malinda memiliki latar gambar perkotaan yang menggambarkan kota metropolitan Jakarta yang dalam skrip dikaitkan dengan masyarakat sosialita, sementara Monalisa memiliki background alam dan hutan pada jamannya; keempat, dari segi ekspos seksualitas perbedaan terdapat pada payudara dimana milik MD nampak jelas nampak belahan kedua payudaranya, sementara Molalisa samar. Ide tentang penggunaan pembanding Monalisa menurut analisa peneliti adalah dari banyaknya pose MD yang menyamping mirip dengan Monalisa dan juga didukung adanya inisial yang sama diantara keduanya yaitu inisial M.

4.11 Malinda Dee adalah Perempuan yang Memiliki Kelainan Psikologi

Representasi ini nampak jelas pada pemberitaan tentang gangguan psikologi yang tercantum dalam salah satu berita di MetroTV. Narasumber yang dimintai keterangana adalah ahli psikologi forensik Reza Indra Giri yang menekankah bahwa MD mengalami kelainan psikologis, namun untuk jenis kelainan ini tidak menjadi alasan untuk membebaskan pelaku dari jeratan hukum. MD dinyatakan menderita ganguan psikologis bernama inferiority complex yang merupakan gangguan dimana seseorang ingin tempil lebih untuk menutupi kekurangan. Menurut berita ini gangguan itulah yang menutur narasumber menyebabkan MD yang meski sudah berusia 47 tahun namun berperilaku tidak sewajarnya wanita dalam usia itu misalnya bersuamikan pemuda yang berumur 20 tahun, melakukan oprasi plastik di payudara dan bagian fisik lainnya. 91 Operasi plastik yang dilakukan oleh MD di ketiga media yang menjadi obyek penelitian dianggap tidak wajar dan bukan merupakan budaya masyarakat Indonesia. Konsekuensi dari nilai budaya yang berbeda ini kemudian dimanfaatkan media untuk menulis tentang bagaimana masyarakat Indonesia dibuat heboh dengan perilaku MD. Beberapa berita di ketiga media memberitakan khusus tentang respon masyarakat terhadap MD yang membicarakan di dunia maya dengan kata-kata seperti: ramai dibicarakan, heboh, nge-hit dan menjadi obrolan habis-habisan. Representasi ini diperkuat dengan pernyataan bahwa MD melakukan kejahatannya dengan bermodalkan rayuan dan bukan kepintarannya. Misalnya dalam berita dimana modus yang dilakukan MD dianggap tidak canggih-canggih amat dan dalam salah satu headline di Majalah Tempo membuat kata-kata : MD hanya bermodal blangko kosong dan Rayuan. Dalam kajian media dan kriminalitas di barat perempuan pelaku tindak kejahatan juga menjadi perhatian. Selain dibentuk oleh mitos dan cerita rakyat, representasi tentang wanita juga disumbang oleh ilmu kedokteran dimana pada abad ke-19 ditemukan adanya istilah female pathology untuk menjelaskan perempuan yang melakukan kesalahan. Pathology adalah ilmu yang mendiaknosis adanya penyakit. Sehingga female pathology bisa diartikan bahwa wanita dianggap memiliki penyakit Yvonne Jewkes; 2005. Selain itu Jewkes juga memunculkan istilan mad cow sebagai julukan bagi perempuan anak. Sebutan ini untuk menjuluki pelaku pembunuhan anak yang berusia dibawah 12 bulan infanticide yang dilakukan oleh ibunya. 92 Menurut Wilczynski 1997 dalam Jewkes, 2005: 126, para pengacara biasanya meminta pelaku agar melakukan psiciatryc plea, atau dengan kata lain meminta maaf atas kesalahan dengan tujuan untuk menghapus tanggung jawab atas kesalahan yang dibuatnya, dimana kebanyakan pelaku juga mengalami goncangan jiwa. Dalam kasus MD, media mengarahkan bawa gangguan jiwa yang dialami MD hanya psikologis saja dalam hal kehidupan pribadinya, namun tindak kejaharan penipuan tak ada kaitannya dengan gangguan yang dialami. Dari sini ternyata muncul pernyataan dimana media tidak ingin gangguan psikologi menyebabkan MD bisa bebas dari dakwaan. Bisa dibilang MD mengalami beberapa kali kekerasan yang dilakukan media, pertama adalah tuduhan kelainan psikologi meski yang dimintai keterangan ahli psikolog, namun tidak berarti benar sehingga berita akhirnya keluar dari konteks, kedua media telah menjugde bahwa MD bersalah dengan pernyataan bahwa MD memang tetap dihukum meskipun dia mengalami gangguan psikologi.s

4.12 Malinda Dee sebagai Obyek Humor tentang Seksualitas