LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Gerungan 1991 bahwa sebagai makhluk sosial yang perlu diperhatikan ialah manusia secara hakiki dilahirkan selalu membutuhkan pergaulan dengan orang lain. Nashori dalam Hartanti, 2006 menyatakan bahwa berbagai pandangan dan pengalaman hidup menunjukkan bahwa keberhasilan hidup manusia banyak ditentukan oleh kemampuannya mengelola diri dan kemampuan mengelola hubungan dengan orang lain. Ditinjau dari sudut perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi sosial yang paling menonjol terjadi pada masa remaja. Pada masa remaja, individu berusaha untuk menarik perhatian orang lain, menghendaki adanya popularitas dan kasih sayang dari teman sebaya. Semua hal tersebut akan diperoleh apabila remaja berinteraksi sosial karena remaja secara psikologis dan sosial berada dalam situasi yang peka dan kritis. Peka terhadap perubahan, mudah terpengaruh oleh berbagai perkembangan di sekitarnya Hurlock, 2000. Hal ini sesuai dengan tugas perkembangan remaja yang dikemukakan oleh William Kay dalam Agustiani, 2006 yaitu mengembangkan ketrampilan dalam komunikasi interpersonal, belajar membina relasi dengan teman sebaya dan orang dewasa, baik secara individu maupun kelompok. Keterampilan interpersonal akan menunjukkan kemampuan remaja dalam berhubungan dengan orang lain. Remaja yang memiliki keterampilan interpersonal yang tinggi akan mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan orang lain, mampu empati secara baik, mampu mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Remaja dapat dengan cepat memahami temperamen, sifat dan kepribadian orang lain, mampu memahami suasana hati, motif dan niat orang lain. Semua kemampuan interpersonal akan membuat mereka lebih berhasil dalam berinteraksi dengan orang lain. Kesadaran akan pentingnya kemampuan menjalin komunikasi dengan orang lain belakangan ini semakin meningkat baik di kalangan ahli psikologi maupun di kalangan masyarakat umum. Dipercayai bahwa salah satu kunci keberhasilan hidup manusia adalah kemampuannya melakukan dan membina hubungan antar pribadi dengan orang lain. Berbagai kisah nyata menunjukkan bahwa keberhasilan-keberhasilan dalam pekerjaan dan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya dipengaruhi oleh kemampuan mengelola hubungan antar pribadi dengan orang lain. Menurut Lukman 2000 untuk dapat menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, dibutuhkan kecakapan yang memampukan individu untuk berhubungan dengan individu lain secara pribadi. Kecakapan ini dikenal dengan istilah kompetensi interpersonal. Salah satu kualitas hidup seseorang yang banyak menentukan keberhasilan menjalin komunikasi dengan orang lain adalah kompetensi interpersonal Nashori Sugiyanto, 2000. Gunarsa 2000 menyebutkan bahwa kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain sangat dipengaruhi oleh kompetensi interpersonalnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kemampuan interpersonal yang tinggi berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi sosial dengan melakukan komunikasi secara efektif dan efisien. Selain itu, kemampuan interpersonal yang tinggi juga mempengaruhi seseorang dalam memahami informasi yang disampaikan sehingga seseorang dapat memahami apa yang diharapkan orang lain. Jhonson dalam Amelia, 2008 mengungkapkan bahwa faktor kompetensi interpersonal mempengaruhi kemampuan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain dan mempengaruhi kualitas hubungan yang menyenangkan dengan orang lain. Kompetensi interpersonal mampu membantu seseorang dalam mengambil inisiatif serta menjaga dan mengembangkan hubungan yang berkualitas dengan orang lain. Dengan kompetensi ini, seseorang dapat secara dinamis berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Menurut Spitzberg dan Cupach dalam Nashori Sugiyanto, 2000 kompetensi interpersonal dapat diartikan sebagai suatu kemampuan melakukan hubungan interpersonal secara efektif. Kemampuan ini ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Buhrmester dkk dalam Leny Tomy, 2006 memaknai kompetensi interpersonal yaitu kemampuan-kemampuan yang sangat diperlukan guna membangun, membina dan memelihara hubungan interpersonal yang akrab, misalnya hubungan dengan orangtua, teman dekat dan pasangan. Selanjutnya, jika telah terjadi hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan maka individu yang memiliki kompetensi interpersonal ini akan mudah untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuannya. Hal ini dikuatkan pendapat Chickering dalam Janosik dkk, 2004 bahwa perkembangan kompetensi interpersonal sebagai sebuah syarat untuk membangun hubungan yang sukses dan kompetensi interpersonal merupakan kompetensi penting bagi karir dan keluarga. Manfaat yang didapat dengan melakukan hubungan interpersonal yaitu: menghindari kesepian, menstimulasi rasa aman, memahami diri dan meningkatkan keberhargaan diri serta meminimalisir rasa sakit Amelia, 2008. Manusia menghindari kesepian dengan dengan cara menyampaikan pikiran dan perasaannya, sehingga membuat orang lain ikut merasakan ketakutannya dan memperoleh rasa aman dari keberadaan orang lain di dekatnya. Dengan cara membagi pikiran dan perasaannya, individu dapat meredakan ketegangan dan mengurangi rasa sakit dari suatu peristiwa yang mengecewakan atau menyedihkan. Salah satu akibat yang terjadi ketika remaja tidak mampu membina hubungan interpersonal yang memuaskan adalah perasaan kesepian serta perasaan tidak bahagia dan nyaman. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Buhrmester 1988 bahwa kurangnya kompetensi interpersonal akan memberikan ketidakpuasan dalam suatu hubungan, yang akan mengakibatkan berkembanganya perasaan kesepian. Orang-orang yang kompeten dalam hubungan interpersonal memungkinkan menghadapi masalah-masalah kehidupan yang menekan. Kekurangan hubungan interpersonal dapat mengganggu kehidupan sosial seseorang, seperti menarik diri dari lingkungan sehingga mengakibatkan seseorang menjadi kesepian, mengisolasi diri, berpisahputus hubungan, mempunyai sifat pemalu dan sebagainya Ria dkk, 2007. Mampu atau tidaknya anak dalam membina hubungan interpersonal yang efektif, semua kembali lagi pada pengalaman sosial dini yang remaja peroleh pertama kali melalui pola interaksi antara anak dan orangtua yang terjadi di dalam keluarga. Menurut Hetherington dan Parke dalam Nashori, 2008 kontak anak dengan orangtua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak diantara mereka menjadikan anak belajar dari lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosialnya. Menurut Sroufe Fleeson dalam Salmah, 2007 pola hubungan antara anak dan orangtua mampu mempengaruhi bagian-bagian paling penting dari kompetensi interpersonal yang mulai terbentuk melalui awal hubungan antara anak dan orangtua di dalam lingkungan keluarga. Penelitian yang telah dilakukan oleh Salmah 2007 menyatakan bahwa kompetensi interpersonal pada remaja dapat dipengaruhi oleh pola asuh orangtua, dalam hal ini yaitu pola asuh yang mengarah pada gaya demokratis. Pola asuh pada penelitian tersebut mencakup keseluruhan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak meliputi: cara pemberian aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritas dan perhatian serta tanggapan yang dilakukan untuk membentuk perilaku anak demi mencapai perkembangan yang maksimal. Pola hubungan antara anak dan orangtua mampu mempengaruhi bagian-bagian paling penting dari kompetensi interpersonal yang mulai terbentuk dalam awal hubungan yang pertama kali di dalam lingkungan keluarga. Kompetensi dan perilaku yang kelak akan diterapkan remaja dalam hubungan pertemanan hingga kemudian berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas merupakan apa yang telah mereka bentuk melalui hubungan awal mereka dengan orangtua. Di dalam keluarga juga terjadi pembentukan pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial yang lebih luas. Keluarga merupakan tempat awal kehidupan anak, lingkungan anak tumbuh di mana terdapat hubungan dengan orang-orang yang dekat dan berarti bagi anak. Jika anak-anak tumbuh dalam lingkungan rumah yang lebih banyak berisi kebahagiaan maka anak akan cenderung mempunyai kesempatan untuk menjadi anak yang bahagia. Hubungan yang tidak rukun dengan orangtua atau saudara akan lebih banyak menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga emosi ini akan cenderung menguasai anak di rumah. Orangtua yang melindungi anak secara berlebihan overprotective akan menimbulkan rasa takut yang dominan pada anak Jahja, 2011. Keluarga mempunyai peranan yang sangat penting bagi proses sosialisasi anak karena keluarga merupakan tempat awal kontak anak dalam anggota keluarga ibu dan bapak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak. Fungsi keluarga yang sangat penting di antaranya sebagai wadah sosialisasi bagi anak- anak. Keluarga merupakan suatu sistem interaksi antara individu secara timbal balik. Hubungan orangtua-anak pada tahap awal dalam membentuk cara dasar untuk berhubungan dengan orang lain. Hubungan orangtua-anak pada tahap awal ini mempengaruhi tahap selanjutnya dalam perkembangan dan semua hubungan setelahnya misalnya, dengan teman sebaya, dengan guru, dan dengan kekasih dalam Santrock, 2007. Hasil penelitian Lutfi dkk dalam Shochib, 1998 mengatakan bahwa dalam pola asuh dan sikap orangtua yang demokratis menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orangtua dan adanya kehangatan yang membuat anak remaja merasa diterima oleh orangtua sehingga ada pertautan perasaan. Seperti yang diketahui keluarga merupakan lingkungan pertama dimana anak memperoleh kepuasan psikis yang sangat menentukan bagaimana mereka bereaksi terhadap lingkungan. Menurut Berns 2004 keluarga juga merupakan tempat pengenalan anak-anak pada masyarakat dan memegang tanggung jawab yang utama terhadap sosialisasi anak. Melalui sosialisasi, anak-anak memperoleh keterampilan sosial, emosional dan kognitif sehingga mereka dapat berfungsi dalam masyarakat. Sebaliknya, anak-anak yang tidak disosialisasikan untuk mengembangkan hati nurani dapat terlibat dalam perilaku kenakalan remaja. Menurut Hair, Jager Garet 1998 hubungan remaja dengan orangtuanya berkaitan erat dengan kesehatan perkembangan sosial. Hubungan orangtua dan anak yang baik mempengaruhi perkembangan hubungan sosial dengan orang lain seperti hubungan dengan teman dan pacar serta mempengaruhi perkembangan psikologis dan psikososial remaja. Ketika interaksi antara anak dan orangtua selalu diwarnai dengan sikap saling memberi dan menerima, mendengarkan dan didengarkan, maka akan cenderung mengakibatkan kompetensi interpersonal yang adekuat pada anak terutama karena interaksinya diwarnai dengan kehangatan Santrock, 2007. Kompetensi interpersonal pada masa anak dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh pola interaksi anak dengan ibu. Pola interaksi ini meliputi cara pandang pengasuh terhadap anak, cara berkomunikasi, penerapan disiplin dan kontrol serta cara pemenuhan kebutuhan anak sehari-hari. Pola interaksi ibu dengan anak tersebut, menurut Kohn dalam Mulyati, 1997 menggambarkan pola asuh. Pola asuh yang dapat menumbuhkan kompetensi interpersonal pada anak adalah pola asuh yang demokratis. Dalam pola pola asuh ini ibu menunjukkan sikap yang hangat, sportif, terbuka, ada komunikasi dua arah dan tidak menggunakan hukuman fisik dalam mendisiplinkan anak. Sikap tersebut dapat menumbuhkan rasa ingin tahu yang tinggi, mudah bergaul, spontan dan asertif. Sikap-sikap yang disebutkan di atas adalah ciri-ciri dimilikinya kompetensi interpersonal pada anak Mulyati, 1997. Kramer dan Gottman dalam Nashori, 2008 mengatakan bahwa individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi dan lebih mudah membina hubungan interpersonal. Lebih khusus, Nurrahmati dalam Nashori, 2008 menemukan bahwa ada hubungan antara gaya kelekatan aman dengan teman sebaya dan kompetensi interpersonal. Remaja yang memiliki gaya kelekatan aman, yang ditandai oleh adanya model mental yang positif, menyakini tersedianya respon yang positif dari lingkungannya. Dari sana berkembanglah kompetensi interpersonal. Penelitian yang dilakukan oleh Buhrmester dkk 1988 hasilnya menunjukkan bahwa kompetensi interpersonal bermanfaat dalam hal popularitas dalam peer group, kesuksesan dalam membina hubungan antar jenis, kepuasan dalam hubungan perkawinan dan sebagai benteng stress dalam kehidupan sehari-hari. Hartup dalam Durkin, 1995 menyakini bahwa kelompok teman sebaya memiliki banyak fungsi termasuk dalam proses pengembangan identitas sosial, saling membagi norma perilaku sosial, mempraktekkan kemampuan sosial social skill dan mempertahankan struktur sosial. Welsh dan Bierman 2006 mengungkap bahwa dalam banyak situasi, relasi teman sebaya sebagai “ladang latihan” training grounds bagi hubungan interpersonal, menyiapkan individu mempelajari tentang hubungan timbal balik dan kedekatan intimacy. Lebih lanjut dikatakan bahwa semua kemampuan tersebut berhubungan dengan efektivitas hubungan interpersonal dalam kehidupan individu termasuk didalamnya hubungan dengan teman kerja ataupun pasangan romantisnya. Secara lebih tegas Kuh Terenzini et al dalam Foubert Grainger, 2006 menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya juga memiliki kontribusi terhadap kompetensi interpersonal. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Kramer dan Gottman 1992 yang menyatakan bahwa individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial dan lebih mudah membina hubungan interpersonal. Di sisi lain dalam kehidupan anak selalu ada kebutuhan untuk dikasihi dan merasakan bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya. Pada kenyataannya tidak semua anak dapat memperoleh pemenuhan kebutuhan tersebut, misalnya anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Knudsen 2001 mengatakan bahwa panti asuhan adalah lembaga sosial yang menampung anak-anak yang tidak memiliki orang tua, terpisah dari orang tuanya karena bencana alam atau kerusuhan, kemiskinan atau kekerasan dalam rumah tangga. Panti asuhan memegang peranan penting bagi kesejahteraan sosial anak- anak yang tidak mempunyai keluarga lagi untuk mengasuh mereka. Panti asuhan juga berperan sebagai pengganti keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak dalam proses perkembangannya. Penelitian Knudsen 2001 mengatakan bahwa ada peningkatan jumlah panti asuhan sejak tahun 1999 dan bertambah banyaknya anak yang dikirim ke panti asuhan. Panti asuhan sendiri dianggap masyarakat secara umum memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya menurut masyarakat bahwa anak-anak akan lebih terpenuhi kebutuhannya di panti asuhan, jadi hal itu adalah untuk kebaikan anak itu sendiri Knudsen, 2001. Sedangkan sisi negatifnya adalah anggapan umum yang menyatakan bahwa anak-anak yang tinggal dalam sebuah lembaga sosial sejak kecil dalam waktu yang panjang akan meningkatkan resiko terkena psikopatologi serius di kehidupannya mendatang. Dari anggapan ini berkembang sebuah generalisasi secara mutlak bahwa lembaga sosial selalu berbahaya dan harus dihindari selama masih ada pilihan lain Wolff Fesseha, 1998. Realitas yang ada ternyata menunjukkan perawatan di panti asuhan belum tentu lebih baik daripada dalam keluarga. Beberapa kasus yang ditemukan menunjukkan bahwa anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya di panti asuhan kurang mendapat perhatian, kasih sayang dan pengawasan Knudsen, 2001. Kuntari 2005 dalam penelitiannya mengatakan bahwa paling tidak ada dua fenomena yang biasanya muncul dalam kehidupan di panti asuhan. Fenomena yang pertama merupakan pengalaman-pengalaman atau peristiwa yang menyenangkan serta perlakukan-perlakuan yang benar dan sehat dari anggota pengasuh, teman bermain atau lingkungan akan membentuk individu yang sehat pula sehingga anak-anak yang tinggal di panti akan mempunyai kecenderungan untuk mempunyai sikap menolong, berbagi dan bekerjasama dengan orang lain karenadengan hidup di panti individu akan mempunyai perasaan senasib dan sepenanggungan. Fenomena yang kedua adalah pengalaman, peristiwa ataupun perlakuan yang tidak atau kurang sehat, tidak menyenangkan bahkan menimbulkan trauma akan mempengaruhi terbentuknya kepribadian individu menjadi patologis. Jika para pengasuh di panti asuhan tidak secara tulus dan konsisten menunjukkan cinta dan sayang kepada anak-anak, tidak memberi kehangatan, penerimaan dan cinta, individu mungkin tumbuh dengan rasa ragu- ragu mengenai kepantasan untuk dicinta dan diterima. Beberapa kasus yang pernah terjadi misalnya anak yang berada dalam panti asuhan merasa terkekang oleh aturan-aturan yang ketat sehingga menyebabkan anak merasa tertekan, cenderung menarik diri, tidak berani tampil di depan umum. Penelitian yang dilakukan oleh Hartini 2000 menunjukkan gambaran psikologis anak yang tinggal di panti asuhan yaitu terbentuknya kepribadian anak yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan sehingga anak akan sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Disamping itu mereka menunjukkan perilaku negatif, takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka sendirian, menunjukkan rasa bermusuhan dan lebih egosentrisme. Menurut Hurlock 2000 status sosial ekonomi yang rendah dianggap oleh remaja sebagai salah satu faktor yang akan membuat mereka ditolak oleh lingkungan teman sebaya dan pada akhirnya mereka akan merasa minder dan tidak berharga Penilaian negatif terkadang muncul dari masyarakat yang mengartikan panti asuhan sebagai lembaga pelayanan sosial yang memberikan fungsi pengganti orangtua bagi anak-anak terlantar dan kurang mampu. Berdasarkan penelitian Margareth dalam Hartini, 2000 dinyatakan bahwa perawatan anak di lembaga sosial sangat tidak baik, karena anak dipandang sebagai makhluk biologis bukan sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial. Kondisi ini menyebabkan remaja mengalami kesulitan dalam mengembangkan kompetensi interpersonalnya. Fenomena seperti ini seringkali terjadi pada remaja yang berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah seperti remaja yang tinggal di panti asuhan. Para pengasuh sulit memberikan pengawasan, perhatian serta kasih sayang yang merata bahkan kualitas dan intensitas hubungan antara anak asuh dan pengasuh akan rendah, hubungan individual secara pribadi dan hangat kurang memungkinkan untuk dijalin. Hal ini dikarenakan ketidakseimbangan rasio antara pengasuh dan jumlah anak asuh yang terlalu besar Hartini, 2000. Rola 2006 dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak asuh panti asuhan kurang mendapatkan perhatian karena perbandingan antara pengasuh dengan anak asuh yang sangat jauh berbeda sehingga pengasuh kurang bisa memberikan perhatian yang mendalam terhadap anak asuhnya. Penelitian Hotnida 2009 terhadap 21 anak asuh berusia 12-15 tahun di Yayasan SOS Kinderdorf Medan menunjukkan bahwa anak-anak asuh tersebut belum mampu untuk bersosialisasi dengan baik karena masih banyak ditemukan kekurangan dalam pelayanan yang diberikan yaitu pengasuh yang belum mampu memberikan pengasuhan yang baik terhadap semua anak asuh. Kemampuan bersosialisasi yang buruk akan mengakibatkan berkembangnya perasaan kesepian. Hasil penelitian Departemen Sosial, ‘Save The Children’ sebuah organisasi dalam bidang bantuan dan pengembangan kemanusiaan yang sudah berdiri di lebih dari 45 negara di dunia dan UNICEF terhadap 37 panti asuhan di enam provinsi di Indonesia menunjukkan enam temuan mengenai kondisi pengasuhan di panti asuhan di Indonesia. Temuan tersebut yaitu kurangnya metode pengasuhan, fungsi panti asuhan yang tidak sesuai peruntukkan, tidak adanya perlindungan hukum bagi anak, anak-anak tidak pernah diikutsertakan dalam pengambilan keputusan dan tidak tersedianya fasilitas fisik serta personal yang memadai dalam Sudrajat, 2008. Penemuan lain mengenai remaja yang diasuh di panti asuhan juga menunjukkan hal yang serupa. Spitz dalam Sulaeman, 1995 menemukan bahwa anak-anak yang dipelihara di panti asuhan tidak ada atau kurang kontak dengan orangtua sehingga memperlihatkan goncangan-goncangan emosional, apatis dan kurang mampu untuk menyesuaikan diri. Gerungan 1991 juga mengatakan bahwa semakin kurang kesempatan anak untuk berkomunikasi bersama orangtua khususnya ibu misalnya, bersenda gurau, diskusi, musyawarah keluarga maka semakin besar pula kemungkinannya bahwa ia mengalami kekurangan dalam perkembangan sosialnya. Situasi yang tidak menyenangkan biasanya akan memunculkan reaksi atau perilaku yang menyimpang dalam diri remaja terhadap lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengajukan usulan penelitian dengan judul: kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga.

B. RUMUSAN MASALAH