Latar Belakang Analisa Yuridis Putusan Pengadila Terhadap Akta Notaris Yang Batal Demi Hukum (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai “notariat” timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan atau terjadi di antara mereka; suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk di mana dan apabila Undang-Undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik. 1 Kehadiran Notaris dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membuktikan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang merasa telah dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya. 2 Menurut Pasal 1 Instructice voor de Notarissen in Indonesia, Notaris adalah pegawai umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan 1 G.H.S. Lumban Tobing, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992, hal.2 2 Honorarium diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Universitas Sumatera Utara kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar. 3 Pasal 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 menyebutkan: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Dalam pasal 1 tersebut tersirat hal penting, yaitu ketentuan yang menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum openbaar ambtenaar, dimana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta otentik. Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral terhadap akta yang dibuatnya. Sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1868 KUHPerdata. Menurut Habib Adjie, khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi itu diberikan kepada Notaris. 4 3 G.H.S. Lumban Tobing, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, op. Cit. hal.20 4 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet2, Bandung: Refika Aditama, 2009, hal.27 Universitas Sumatera Utara Dalam pelaksanaan tugasnya, Notaris tunduk dengan aturan-aturan yang ada seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Peraturan Hukum lain yang berlaku umum. Pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 menyebutkan; “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan danatau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”. Akta Otentik sebagai alat bukti kuat dan terpenuh, mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Akta Otentik makin meningkat sejalan dengan perkembangan tuntunan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan. Melalui akta otentik dapat ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan dapat menghindari terjadinya sengketa. Untuk membuat akta yang bersifat otentik, diperlukan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata “adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek perjanjian dan adanya sebab yang halal. Pengertian akta otentik sendiri adalah apa yang dirumuskan dalam Buku IV KUHPerdata tentang hukum pembuktian yang mengatur mengenai syarat-syarat agar suatu akta dapat berlaku sebagai akta otentik, hal ini Universitas Sumatera Utara terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat”. 5 Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUHPerdata: Ketentuan pasal tersebut menunjukkan tanpa adanya kedudukan sebagai pejabat umum, maka seseorang tidak mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik. - Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik. - Namun akta yang demikian, mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, dengan syarat apabila akta itu ditanda tangani para pihak. Keberadaan akta Notaris adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh Undang- Undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian tugas inilah terletak pemberian tanda kepercayaan kepada para pejabat itu dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang mereka buat. Notaris dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuatnya ternyata mengandung cacat hukum. Maka semua kegiatan yang dilakukan oleh Notaris khususnya dalam membuat akta akan selalu dimintakan pertanggungjawaban. Apabila Notaris melakukan kesalahan atau kelalaian dalam membuat akta maka Notaris dapat diminta 5 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal.566 Universitas Sumatera Utara pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Oleh karenanya, Notaris dituntut untuk selalu waspada dan berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Kelalaian Notaris bukan merupakan sebab utama pembatalan akta Notaris. Pembatalan akta Notaris dapat juga disebabkan kesalahan atau kelalaian kedua belah pihak yang menimbulkan gugatan dari salah satu pihak dalam akta. Sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian, yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, maka akta yang dimintakan pembatalannya tersebut dapat dikatakan tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat sesuatu, artinya pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. 6 Istilah batal demi hukum nietig merupakan istilah yang biasa dipergunakan untuk menilai suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat objektif, yaitu suatu hal tertentu een bepaald onderwerp dan sebab yang tidak dilarang een geoorloofde oorzaak, dan istilah dapat dibatalkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya de toetsemming van degenen die zich verbinden dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan de bekwaamheid om eene verbindtenis aan te gaan. 7 6 Prof. Subekti,SH, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 2005, hal.20 7 Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, op. Cit. hal.9 Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah