Gambaran Kadar Natrium Dan Kalium Penderita Kontusio Serebri Di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Tahun 2012

(1)

GAMBARAN KADAR NATRIUM DAN KALIUM PENDERITA KONTUSIO SEREBRI DI INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH

SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK TAHUN 2012 KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran

Oleh :

Fezy Ezia Dwi Sister 100100028

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

LEMBARAN PENGESAHAN

GAMBARAN KADAR NATRIUM DAN KALIUM PENDERITA KONTUSIO SEREBRI DI INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH

SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK TAHUN 2012 Nama : Fezy Ezia Dwi Sister

NIM : 100100028

Pembimbing Penguji I

(Dr.dr.RR.Suzy Indharty, M.Kes, Sp.BS) (dr. Jessy Chrestella, Sp.PA) NIP:19730220 200501 2 001 NIP:19822011 3200801 2006

Penguji II

(dr. Tiur R. Purba, Sp.B) NIP:19520304 198002 1 001

Medan, 6 Januari 2014

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP: 19540220 198011 001


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, karena dengan hidayahNya saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul “Gambaran Kadar Natrium dan Kalium Penderita Kontusio Serebri di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Pusat Haji Adam Malik Tahun 2012”. Shalawat dan salam semoga tercurah abadi kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Ibunda tercinta, Ibunda Hasrimulyeni, S.pd atas doa, kasih sayang, dukungan baik secara moril maupun materil serta pengorbanan yang tak terhingga selama ini kepada Ananda. Tanpa pengurangi rasa hormat dan kasih sayang, penulis mengucapkan terima kasih juga yang sebesar – besarnya kepada Ayahanda terkasih, Ayahanda Zulfajriadi, S.pd, M.Hum atas kasih sayang, doa, pengorbanan serta dukungan baik secara moril dan materil yang sangat besar selama ini kepada Ananda.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr.dr. Suzy Indharty, M.kes, Sp.BS selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran untuk memberi bimbingan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan.

2. dr. Jessy Chrestella, Sp.PA dan dr. Tiur R. Purba, Sp.B sebagai dosen penguji saya yang telah memeberikan masukan – masukan yang membangun untuk karya tulis ilmiah ini.

3. dr. Jhony Marpaung, Sp.OG selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjalankan akademik. 4. Kepala instalasi rekam medis RSUP H. Adam Malik yang memberi

izin untuk melakukan penelitian, beserta semua staff instalasi rekam medis yang telah membantu penulis dalam penelitian sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan.


(4)

5. Kakanda tercinta Lira Ezia Perdana, S.IP, Robby Pratama dan Adinda Irvan Murtadho Riqullah serta Adinda Nabila Mumtaza penulis mengucapkan terima kasih atas kasih sayang, doa dan dukungan kepada penulis.

6. Yang tersayang Wahyu Fajri, S.kom terima kasih penulis ucapkan atas doa dan dukungan serta kasih sayang kepada penulis selama ini.

7. Sahabat – sahabat terbaik penulis: Liza Anggea, Ovie Endang Saputri, Lili Suryani, S.KG, Febri Rahmania, Debi Pratama, Harry afandi Valentino, Maria M.A.M.S, Sylvia Cahyadi, Sri hartini, Elza Zikriani, Riri Awalia Apersa dan masih banyak lagi yang tidak bisa penulis sebutkan semua. Terima kasih atas dukungan, doa, semangat dan pengertiannya selama ini kepada penulis.

8. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini penulis ucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada proposal penelitian ini, untuk itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak demi menyempurnakan karya tulis ilmiah ini sehingga betul-betul dapat dijadikan rujukan bagi kita semua.

Akhir kata saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini, semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 10 Desember 2013 Penulis

Fezy Ezia Dwi sister 100100028


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ……….. i

Halaman Persetujuan………...……… ii

Kata Pengantar………...……….. iii

Daftar Isi……...………... v

Daftar Tabel ………...………. vii

Daftar Gambar……….. viii

Daftar Istilah………. ix

Daftar Lampiran……… x

Abstrak……….. xi

Abstract ……… xii

BAB 1 PENDAHULUAN………….……….. 1

1.1. Latar Belakang………...……….. 1

1.2. Rumusan Masalah………...………….... 4

1.3. Tujuan Penelitian… ……...……… 5

1.4. Manfaat Penelitian………...….... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……...……… 8

2.1. Elektrolit………...……….. 8

2.1.1. Hiponatremia………... 9

2.1.2. Hipernatremia………... 15

2.1.3. Hipokalemia………...……… 17

2.1.4. Hiperkalemia………...……. 19

2.2. Trauma Kepala………...………. 23

2.2.1. Definisi………...………. 23

2.2.2. Anatomi Otak dan Anatomi Trauma Kepala…... 24

2.2.3. Klasifikasi Trauma Kepala………...27

2.3. Kontusio Serebri.………...…..…... 28

2.4. Dampak Kadar Natrium dan kalium pada kontusio ... 35

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL… 36

3.1 Kerangka Konsep….………... 36

3.2 Definisi Operasiona;……… 36

3.2.1. Natrium……....……… 36

3.2.2. Kalium……… 36


(6)

BAB 4 METODE PENELITIAN………... 38

4.1. Jenis Penelitian……… …… 38

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian……… ... 38

4.3. Populasi dan Sampel……….... 38

4.4. Teknik pengumpulan data……… 39

4.5. pengolahan dan Analisa Data……….. 39

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHSAN……… … 40

5.1. Hasil Penelitian ……….. 40

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ……… 40

5.1.2. Karakteristik individu……….. 40

5.2. Hasil Analisis Data………. 42

5.2.1.Gambaran Kadar Natrim dan Kalium Penderita Kontusio Serebri Berdasarkan Jenis Kelamin.…… 42

5.2.2. Gambaran Kadar Natrium dan Kalium Berdasarkan Usia………. 43

5.2.3.Gambaran Kadar Natrium dan Kalium Penderita Kontusio Serebri Berdasarkan Etiologi …………..…….. 44

5.3. Pembahasan ……….. 45

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………. 47

6.1. Kesimpulan………. 47

6.2. Saran……… 47

DAFTAR PUSTAKA……… 49 LAMPIRAN


(7)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Klasifikasi hiponatremia………... 9 2.2. penyebab SIADH………. 9 2.3. Gambaran klinis dari

hiponatremia………

10 2.4. Kombinasi khas

hasil………...

11 2.5. Penyebab

hipernatremia………...

14 5.1. Distribusi frekuensi penderita kontusio serebri

berdasarkan jenis kelamin

39 5.2. Distribusi frekuensi penderita kontusio serebri

berdasarkan usia

39 5.3. Distribusi frekuensi penderita kontusio serebri

berdasarkan etiologi

40 5.4. Kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri

berdasarkan jenis kelamin

40 5.5. Kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri

berdasarkan usia

41 5.6. Kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri

berdasarkan etiologi


(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Gambaran Otak………. 22

2.2. Bagian – bagian Otak……… 23

2.3. Brain hematoma……… 23

2.4. Indikasi Trauma Kepala……… 24

2.5. Lokasi Hematoma………. 24

2.6. Mekanisme Terjadinya Kontusio Kepala……….. 27


(9)

DAFTAR ISTILAH WHO : World Health Organization

Depkes : Departemen Kesehatan IR : Insiden Rate

KLL : Kecalakaan Lalu Lintas CFR : Case Fatality Rate IGD : Instalasi Gawat Darurat RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SIADH : Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion CCF : Congestive Cardiac Failure

ADH : Antidiuretic Hormone

NSAIDs : Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs ARBs : Angiotensin II Receptor Blockers GCS : Glasgow Coma Scale


(10)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Absensi Bimbingan Lampiran 3 Rincian Biaya Penelitian Lampiran 4 Master Data

Lampiran 5 Hasil Output Data Lampiran 6 Surat Komisi Etik Lampiran 7 Surat izin Penelitian


(11)

ABSTRAK

PENDAHULUAN : Trauma kepala merupakan masalah kesehatan utama di negara maju dan berkembang. Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Salah satu klasifikasi dari trauma kepala adalah kontusio serebri. Dan trauma kepala yang paling banyak terjadi adalah kontusio serebri karena kontusio serebri dapat terjadi karena benturan benda tumpul yang mengakibatkan terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada kontusio serebri terdapat ketidakseimbangan elektrolit terutama natrium dan kalium. Ditemukan kadar natrium yang rendah (hiponatremia) pada beberapa pasien. Gejala utama dari hiponatremia merupakan akibat dari kerusakan otak. Hiponatremia yang berat dapat menyebabkan: kebingungan, kejang otot, kejang seluruh tubuh, koma bahkan kematian. Namun ada juga beberapa pasien yang didapatkan dengan kadar kalium yang rendah.

TUJUAN : Untuk mengetahui gambaran kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri di IGD RSUP H. Adam Malik, Medan tahun 2012.

METODE : Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jenis penelitian ini adalah

retrospective cross sectional, dimana dilakukan pengumpulan data berdasarkan survei rekam medis di instalasi rekam medis RSUP H. Adam Malik. Dengan total sampel 104 rekam medis penderita kontusio serebri.

HASIL : dari semua data rekam medis penderita kontusio serebri yang ada di instalasi rekam medis RSUP H. Adam Malik didapati 104 rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian data tersebut dianalisa kadar natrium dan kaliumnya. Dari hasil analisa data tersebut didapatkan 47,84% hiponatremia, 4,16% hipernatremia dan 56,16% dengan kadar natrium normal. 9,36% hipokalemia, 4,16% hiperkalemia, dan 94,64% dengan kadar kalium normal.


(12)

KESIMPULAN : Gambaran kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri dari hasil analisa data penelitian ini didapatkan 47,84% hiponatremia, 4,16% hipernatremia dan 56,16% dengan kadar natrium normal. 9,36% hipokalemia, 4,16% hiperkalemia, dan 94,64% dengan kadar kalium normal.

KATA KUNCI : trauma kepala, kontusio serebri, natrium, kalium ABSTRACT

BACKGROUND: Head trauma is a major health problem in developed and developing countries. Head trauma is a neurological emergency that has complex consequences, because the head is the center of one's life. One classification of head trauma is cerebral contusions. And head trauma is the most common cerebral contusions due to cerebral contusions can occur due to blunt impact that resulted in bleeding in the brain tissue in the absence of visible tissue tear, although the neurons are damaged or disconnected. In cerebral contusions are electrolyte imbalance, especially sodium and potassium. Found that low sodium levels (hyponatremia) in some patients. The main symptoms of hyponatremia is the result of brain damage. Severe hyponatremia can cause: confusion, muscle cramps, spasms throughout the body, coma and even death. But there are also some patients who obtained with low potassium levels.

OBJECTIVE: To determine the levels of sodium and potassium of the patient with cerebral contusions in Emergency Room of H. Adam Malik Hospital, Medan in 2012.

METHODS: The study was a descriptive study. This research is a retrospective cross-sectional study, in which data collection is based on a survey of medical records in the medical records department of H. Adam Malik Hospital. With a total sample of 104 medical records of patients with cerebral contusions.

RESULTS: The medical records of all patients with cerebral contusions in the installation of the medical records department of H. Adam Malik found 104 medical records that meet the inclusion and exclusion criteria. Then the data is analyzed for levels of sodium and potassium. From the analysis of data obtained


(13)

47.84% hyponatremia, hypernatremia 4.16% and 56.16% with normal sodium levels. 9.36% hypokalemia, hyperkalemia 4.16%, and 94.64% with normal potassium levels.

CONCLUSION: Overview of sodium and potassium levels of patients with cerebral contusions of the data analysis of this study found hyponatremia 47.84%, 4.16% and 56.16% hypernatremia with normal sodium levels. 9.36% hypokalemia, hyperkalemia 4.16%, and 94.64% with normal potassium levels.


(14)

ABSTRAK

PENDAHULUAN : Trauma kepala merupakan masalah kesehatan utama di negara maju dan berkembang. Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Salah satu klasifikasi dari trauma kepala adalah kontusio serebri. Dan trauma kepala yang paling banyak terjadi adalah kontusio serebri karena kontusio serebri dapat terjadi karena benturan benda tumpul yang mengakibatkan terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada kontusio serebri terdapat ketidakseimbangan elektrolit terutama natrium dan kalium. Ditemukan kadar natrium yang rendah (hiponatremia) pada beberapa pasien. Gejala utama dari hiponatremia merupakan akibat dari kerusakan otak. Hiponatremia yang berat dapat menyebabkan: kebingungan, kejang otot, kejang seluruh tubuh, koma bahkan kematian. Namun ada juga beberapa pasien yang didapatkan dengan kadar kalium yang rendah.

TUJUAN : Untuk mengetahui gambaran kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri di IGD RSUP H. Adam Malik, Medan tahun 2012.

METODE : Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jenis penelitian ini adalah

retrospective cross sectional, dimana dilakukan pengumpulan data berdasarkan survei rekam medis di instalasi rekam medis RSUP H. Adam Malik. Dengan total sampel 104 rekam medis penderita kontusio serebri.

HASIL : dari semua data rekam medis penderita kontusio serebri yang ada di instalasi rekam medis RSUP H. Adam Malik didapati 104 rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian data tersebut dianalisa kadar natrium dan kaliumnya. Dari hasil analisa data tersebut didapatkan 47,84% hiponatremia, 4,16% hipernatremia dan 56,16% dengan kadar natrium normal. 9,36% hipokalemia, 4,16% hiperkalemia, dan 94,64% dengan kadar kalium normal.


(15)

KESIMPULAN : Gambaran kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri dari hasil analisa data penelitian ini didapatkan 47,84% hiponatremia, 4,16% hipernatremia dan 56,16% dengan kadar natrium normal. 9,36% hipokalemia, 4,16% hiperkalemia, dan 94,64% dengan kadar kalium normal.

KATA KUNCI : trauma kepala, kontusio serebri, natrium, kalium ABSTRACT

BACKGROUND: Head trauma is a major health problem in developed and developing countries. Head trauma is a neurological emergency that has complex consequences, because the head is the center of one's life. One classification of head trauma is cerebral contusions. And head trauma is the most common cerebral contusions due to cerebral contusions can occur due to blunt impact that resulted in bleeding in the brain tissue in the absence of visible tissue tear, although the neurons are damaged or disconnected. In cerebral contusions are electrolyte imbalance, especially sodium and potassium. Found that low sodium levels (hyponatremia) in some patients. The main symptoms of hyponatremia is the result of brain damage. Severe hyponatremia can cause: confusion, muscle cramps, spasms throughout the body, coma and even death. But there are also some patients who obtained with low potassium levels.

OBJECTIVE: To determine the levels of sodium and potassium of the patient with cerebral contusions in Emergency Room of H. Adam Malik Hospital, Medan in 2012.

METHODS: The study was a descriptive study. This research is a retrospective cross-sectional study, in which data collection is based on a survey of medical records in the medical records department of H. Adam Malik Hospital. With a total sample of 104 medical records of patients with cerebral contusions.

RESULTS: The medical records of all patients with cerebral contusions in the installation of the medical records department of H. Adam Malik found 104 medical records that meet the inclusion and exclusion criteria. Then the data is analyzed for levels of sodium and potassium. From the analysis of data obtained


(16)

47.84% hyponatremia, hypernatremia 4.16% and 56.16% with normal sodium levels. 9.36% hypokalemia, hyperkalemia 4.16%, and 94.64% with normal potassium levels.

CONCLUSION: Overview of sodium and potassium levels of patients with cerebral contusions of the data analysis of this study found hyponatremia 47.84%, 4.16% and 56.16% hypernatremia with normal sodium levels. 9.36% hypokalemia, hyperkalemia 4.16%, and 94.64% with normal potassium levels.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, bahkan kematian. Pada umumnya trauma kepala terjadi akibat kecelakaan lalu lintas dengan kendaraan bermotor, jatuh/tertimpa benda berat (benda tumpul), serangan/kejahatan (benda tajam), pukulan (kekerasan), akibat tembakan, dan pergerakan mendadak sewaktu berolahraga. (Chusid, J.G. 1993).

Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Menurut World Health Organization

(WHO) pada tahun 2006 kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian urutan kesebelas di seluruh dunia, menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta manusia setiap tahun.(Depkes RI, 2007)

Kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan berbagai trauma. Trauma yang paling banyak terjadi pada saat kecelakaan lalu lintas adalah trauma kepala. Trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama disabilitas dan mortalitas di negara berkembang. Keadaan ini umumnya terjadi pada pengemudi motor tanpa helm atau memakai helm yang kurang tepat dan yang tidak memenuhi standar. (Depkes RI, 2009)

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, Case Fatality Rate (CFR) trauma akibat kecelakaan lalu lintas tertinggi dijumpai di beberapa negara Amerika Latin (41,7%), Korea Selatan (21,9%), dan Thailand (21,0%). Menurut Gillian yang dikutip oleh Basuki (2003) di Amerika Serikat terdapat


(18)

500.000 kasus cedera kepala setiap tahunnya, kurang lebih 18-30% meninggal dalam 4 jam pertama sebelum sampai ke rumah sakit. (Basuki, 2003)

Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang mempengaruhi segala aktivitas manusia, bila terjadi kerusakan akan mengganggu semua sistem tubuh. Penyebab trauma kepala yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%) dan cedera olahraga (10%). Angka kejadian trauma kepala yang dirawat di rumah sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah stroke, dan merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit terbanyak yang dirawat di rumah sakit di Indonesia. (Depkes RI, 2007)

Menurut catatan Sistim Administrasi Satu Atap (SAMSAT) Polda Metro Jaya (2006), pada tahun 2002 tercatat 1.220 kejadian kecelakaan, pada tahun 2005 angka kecelakaan mencapai 4.156 kejadian (Insiden Rate Kecelakaan Lalulintas = 1,89 per 100.000 penduduk), dan tahun 2006 tercatat 4.407 kecelakaan, sedangkan menurut catatan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, pada bulan November 2007 terdapat sebanyak 111 kejadian kecelakaan yang mengakibatkan 13 orang meninggal dunia dengan Case FatalityRate 11,7%. (Depkes RI, 2007)

Berdasarkan data Profil Kesehatan Kota Medan penyakit trauma kepala selama kurun waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada peringkat kedua dari 10 penyakit terbesar yang menyebabkan kematian di seluruh rumah sakit kota Medan dengan CFR (4,37%), dan selama kurun waktu 3 tahun (2005-2007) berada pada peringkat kelima dari 10 penyakit terbesar di seluruh rumah sakit rawat inap kota Medan dengan CFR ( 2,18%) (Depkes RI, 2008)

Pada trauma kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi. Sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari dan aphasia disertai gejala mual-muntah. Terdapat ketidakseimbangan


(19)

cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. Natrium fungsinya sebagai penentu utama osmolaritas dalam darah dan pengaturan volume ekstra sel. Kalium fungsinya mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh. (Usha S et al, 2012)

Hipernatremia (kadar natrium darah yang tinggi) adalah suatu keadaan dimana kadar natrium dalam darah lebih dari 145 mEq/L darah, akan mengakibatkan kondisi tubuh terganggu seperti kejang akibat dari gangguan listrik di saraf dan otot tubuh. Natrium yang juga berfungsi mengikat air juga mengakibatkan meningkatnya tekanan darah yang akan berbahaya bagi penderita yang sudah menderita tekanan darah tinggi. (Usha S et al, 2012)

Penyebab utama dari hipernatremi: trauma kepala atau pembedahan saraf yang melibatkan kelenjar hipofisa, gangguan dari elektrolit lainnya (hiperkalsemia dan hipokalemia), penggunaan obat (lithium, demeclocycline, diuretik), kehilangan cairan yang berlebihan (diare, muntah, demam, keringat berlebihan), anemia, diabetes insipidus. (Usha S et al, 2012)

Gejala utama dari hiponatremia merupakan akibat dari kerusakan otak. Hiponatremia yang berat dapat menyebabkan: kebingungan, kejang otot, kejang seluruh tubuh, koma bahkan kematian. (Usha S et al, 2012)

Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8 mEq/L darah. penderita biasanya mengeluhkan badannya lemas dan tak bertenaga. Hal ini terjadi mengingat fungsi kalium dalam menghantarkan aliran saraf di otot maupun tempat lain. Hipokalemia ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali. Hipokalemia yang lebih berat (kurang dari 3 mEq/L darah) bisa menyebabkan kelemahan otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi tidak normal, terutama pada penderita penyakit jantung. (Usha S et al, 2012)


(20)

Kadar natrium dan kalium pada 25 orang pasien trauma kepala dalam kelompok usia 18-45 tahun, ditemukan bahwa 4% dari pasien mengalami hipernatremia, 64% subjek penelitian menderita hiponatremia, 4% memiliki hiperkalemia dan 4% dari pasien memiliki hipokalemia. Pasien yang menderita gangguan elektrolit hiponatremia adalah yang paling umum dan paling berbahaya yang harus didiagnosis dan dikoreksi di awal. (Usha S et al, 2012)

Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kepala, tetapi dengan berbagai pertimbangan dari berbagai aspek, maka bagian neurologi menganut pembagian sebagai berikut :

a. Trauma kepala yang tidak membutuhkan tindakan operatif (95%) terdiri atas :

1. Komosio serebri 2. Kontusio serebri

3. impressi fraktur tanpa gejala neurologis (< 1 cm) 4. Fraktur basis kranii

5. Fraktur kranii tertutup

b. Trauma kepala yang memerlukan tindakan operatif (1-5%)

1. Hematoma intra kranial yang lebih besar dari 75 cc Epidural Subdural Intraserebral

2. Fraktur kranii terbuka ( + laserasio serebri)

3. Impressi fraktur dengan gejala neurologis ( > 1 cm)

4. Likuorrhoe yang tidak berhenti dengan pengobatan konservatif

Dari beberapa klasifikasi trauma kepala, yang paling banyak terjadi adalah kontusio serebri karena kontusio serebri dapat terjadi karena benturan benda tumpul yang mengakibatkan terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. (Indharty S, 2013)


(21)

Secara umum, cedera otak dapat dibagi menjadi cedera fokal dan difus. Klasifikasi sederhana ini memiliki keterbatasan dalam menentukan prognosis pasien dalam kedua kelompok besar tersebut. Walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa angka kematian akibat diffuse brain injury (kontusio serebri) lebih rendah dibandingkan dengan angka kematian akibat cedera otak fokal, akan tetapi dalam kelompok pasien dengan diffuse brain injury (kontusio serebri) sendiri terdapat beberapa pasien yang berisiko tinggi untuk terjadinya tekanan tinggi intrakranial (TTIK) dan angka kematian pada kelompok pasien ini jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok pasien lainnya. ( Indharty S, 2013)

Faktor usia merupakan salah satu faktor prognostik yang reliabel untuk meramalkan mortalitas dan morbiditas kontusio serebri. Semakin meningkat usia, semakin besar angka kematian. Risiko keluaran yang buruk paska trauma kepala semakin meningkat mulai usia 45 tahun, dan meningkat tajam setelah usia >55 tahun. Pada usia > 65 tahun, angka kematian meningkat lebih dari dua kali dibandingkan dengan usia < 65 tahun. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa faktor usia memiliki kaitan langsung dengan keluaran paska cedera kepala, dan dengan demikian merupakan faktor prognostik yang bersifat independen (tidak terkait dengan faktor-faktor lainnya). Diduga terdapat suatu karakteristik intrinsik pada otak yang telah mengalami penuaan yang menyebabkan timbulnya fenomena tersebut, walaupun patofisiologinya belum diketahui secara pasti. (Indharty S, 2013)

Berdasarkan latar belakang di atas terlihat bahwa trauma kepala, terutama kuntusio serebri perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius, mengingat jumlah kasus yang semakin meningkat. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penelitian tentang kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri di IGD RSUP H. Adam Malik tahun 2012 untuk bisa menentukan penanganan pertama yang harus dilakukan pada penderita kontusio serebri yang berhubungan dengan elektrolitnya.


(22)

1.2 Rumusan Masalah

Belum diketahuinya gambaran keseluruhan kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri di RSUP H. Adam Malik, Medan tahun 2012.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri di IGD RSUP H. Adam Malik, Medan tahun 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui jumlah penderita kontusio serebri di RSUP H. Adam Malik, Medan

2. Untuk mengetahui jumlah penderita kontusio serebri berdasarkan penyebabnya di RSUP H. Adam Malik, Medan

3. Untuk mengetahui gambaran kadar natrium dan kalium kontusio serebri berdasarkan jenis kelamin di RSUP H. Adam malik, Medan 4. Untuk mengetahui gambaran kadar natrium dan kalium kontusio

serebri berdasarkan umur di RSUP H. Adam Malik, Medan

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1. Sebagai bahan masukan bagi pihak RSUP H.Adam Malik dalam mengelola penanganan dan perawatan penderita kontusio serebri.

1.4.2. Sebagai bahan untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan kontusio serebri.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Elektrolit

Tubuh kita ini adalah ibarat suatu jaringan listrik yang begitu kompleks, didalamnya terdapat beberapa ‘pembangkit’ lokal seperti jantung, otak dan ginjal. Juga ada ‘rumah-rumah’ pelanggan berupa sel-sel otot. Untuk bisa mengalirkan listrik ini diperlukan ion-ion yang akan mengantarkan ‘perintah’ dari pembangkit ke rumah-rumah pelanggan. Ion-ion ini disebut sebagai elektrolit. Ada dua tipe elektrolit yang ada dalam tubuh, yaitu kation (elektrolit yang bermuatan positif) dan anion (elektrolit yang bermuatan negatif). Masing-masing tipe elektrolit ini saling bekerja sama mengantarkan impuls sesuai dengan yang diinginkan atau dibutuhkan tubuh. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Beberapa contoh kation dalam tubuh adalah Natrium (Na+), Kalium (K+), Kalsium (Ca2+), Magnesium (Mg2+). Sedangkan anion adalah Klorida (Cl-), HCO3-, HPO4-, SO4-. Dalam keadaan normal, kadar kation dan anion ini sama besar sehingga potensial listrik cairan tubuh bersifat netral. Pada cairan ektrasel (cairan diluar sel), kation utama adalah Na+ sedangkan anion utamanya adalah Cl -.

. Sedangkan di intrasel (di dalam sel) kation utamanya adalah kalium (K+). (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Disamping sebagai pengantar aliran listrik, elektrolit juga mempunyai banyak manfaat, tergantung dari jenisnya. Contohnya :

• Natrium : fungsinya sebagai penentu utama osmolaritas dalam darah dan pengaturan volume ekstra sel.

• Kalium : fungsinya mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh.

• Klorida : fungsinya mempertahankan tekanan osmotik, distribusi air pada berbagai cairan tubuh dan keseimbangan anion dan kation dalam cairan ekstrasel.


(24)

• Kalsium : fungsi utama kalsium adalah sebagai penggerak dari otot-otot, deposit utamanya berada di tulang dan gigi, apabila diperlukan, kalsium ini dapat berpindah ke dalam darah.

• Magnesium : Berperan penting dalam aktivitas elektrik jaringan, mengatur pergerakan Ca2+ ke dalam otot serta memelihara kekuatan kontraksi jantung dan kekuatan pembuluh darah tubuh. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Tidak semua elektrolit akan kita bahas, hanya kalium dan natrium yang akan kita bahas. Ada dua macam kelainan elektrolit yang terjadi ; kadarnya terlalu tinggi (hiper) dan kadarnya terlalu rendah (hipo). (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

2.1.1. Hiponatremia Definisi

Hiponatremia didefinisikan sebagai serum Na ≤ 135 mmol / l.

Hiponatremia dilaporkan memiliki insiden dalam praktek klinis antara 15 dan 30%. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Penyebab dan klasifikasi

Penyebab hiponatremia (lihat Tabel 2.1) diklasifikasikan menurut status cairan pasien (euvolemik,hipovolemik, atau hypervolaemic). Pseudohiponatremia ditemukan ketika ada pengukuran natrium rendah karena lipid yang berlebihan atau protein dalam plasma, atau karena hiperglikemia (dimana pergerakan air bebas terjadi ke dalam ruang ekstraselular dalam menanggapi akumulasi glukosa ekstraseluler) (Biswas & Davies, 2007).

Sistem klasifikasi menyoroti pentingnya menilai status cairan. Sebagai contoh, pasien dengan Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion (SIADH) harus euvolemik, sedangkan pasien dengan cerebral salt wasting dapat memiliki gambaran yang identik dengan SIADH (natrium serum rendah, natrium urin tinggi dengan konsentrasi urin yang tidak tepat) kecuali pasien akan menjadi hipovolemik. Penyebab SIADH tercantum dalam Tabel 2.2. (Biswas & Davies, 2007)


(25)

Hiponatremia hipovolemik yang mungkin paling sering terlihat di UGD, hasil dari hilangnya air dan natrium, tetapi relatif lebih banyak natrium. Ada tiga penyebab utama hypervolaemic hiponatremia: congestive cardiac failure (CCF), gagal ginjal dan sirosis hati. Dalam kasus ini jumlah natrium tubuh meningkat tetapi jumlah total air dalam tubuh tidak proporsional lebih besar mengarah ke hiponatremia dan edema. Penurunan curah jantung di CCF menyebabkan penurunan aliran darah ginjal, merangsang produksi ADH dan resorpsi air di

collecting ducts. Penurunan aliran darah ginjal juga merangsang sistem renin-angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan air. Hiponatremia di CCF juga dapat diperburuk oleh penggunaan diuretik. Ini telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian bahwa hiponatremia di CCF adalah faktor prognosis yang buruk (Clayton et al, 2006).

Sirosis hati merupakan salah satu faktor menyebabkan hiponatremia. Ini termasuk pengurangan volume sirkulasi, hipertensi portal menyebabkan ascites, dan kegagalan hati untuk metabolisme zat vasodilatasi. Perubahan ini mengakibatkan stimulasi sistem renin-angiotensin dan retensi natrium dan air. Hiponatremia terjadi karena konsumsi berlebihan air dan ekskresi natrium yang relatif lebih rendah (seperti pada pelari maraton), tetapi mekanisme lain yang dijelaskan dalam literature lain meliputi peningkatan ADH, dan menurunnya motilitas usus (Barsaum & levine, 2002).

Table 2.1. Klasifikasi hiponatremia

Euvolaemic Hypovolaemic Hypervolaemic Other SIADH Psychogenic polydipsia GIT loss: Diarrhoea and vomiting Bowel obstruction GI sepsis CCF Liver cirrhosis Nephrotic syndrome Hyperglycaemia Mannitol administration


(26)

(The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008) Table 2.2 Penyebab SIADH

(The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Gejala klinis

Gejala-gejala dan tanda-tanda hiponatremia dapat sangat halus dan non spesifik (lihat Tabel 2.3). Hal ini penting untuk menentukan apakah hiponatremia ini akut (memburuk dalam ≤ 48 jam) atau kronis (memburuk dalam ≥ 48 jam). Tingkat toleransi natrium jauh lebih rendah jika hiponatremia berkembang menjadi kronis. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Renal loss: Addison’s disease Renal tubular acidosis Salt wasting nephropathy Diuretic use cerebral salt wasting

CNS Malignancy Pulmonary disease Drugs (not exhaustive) Miscellaneous Stroke Meningitis Encephalitis Neurosurgery Trauma Malignancy Lung (oat cell) Pancreas Prostate Urological Leukaemia Lymphoma Infection TB Abscess Cystic fibrosis Pulmonary vasculitis Carbamazepine Tricyclic antidepressants Phenothiazines Omeprazole Vincristine Opiates SLE


(27)

Etiologi hiponatremia harus dipertimbangkan ketika melakukan anamnesa dan melakukan pemeriksaan pasien, misalnya cedera kepala, bedah saraf,

abdominal symptoms and signs , pigmentasi kulit (terkait dengan penyakit Addison), riwayat obat, dll. Status cairan pasien sangat penting untuk diagnosis dan pengelolaan selanjutnya. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Tabel 2.3 Gambaran klinis dari hiponatremia

Severity Expected plasma

sodium

Clinical features

Mild 130 – 135 mmol/ l Often no features, or, anorexia, headache, nausea, vomiting, lethargy

Moderate 120 – 129 mmol/ l Muscle cramps, muscle weakness, confusion, ataxia, personality change

Severe ≤ 120 mmol /l Drowsiness, reduced

reflexes, convulsions, coma, death

(The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008) Pemeriksaan

Pertama, pastikan bahwa hiponatremia cocok dengan gambaran klinis. Pemeriksaan laboratorium awal harus mencakup glukosa, natrium plasma, osmolalitas plasma, fungsi ginjal dan hati, ditambah natrium urin dan osmolalitas urin. Berbagai kombinasi dari status volume klinis dinilai dan konsentrasi natrium urin pada pasien dengan hiponatremia disajikan pada Tabel 2.4. Tes-tes lain untuk mendiagnosa penyebabnya mungkin diperlukan seperti fungsi tiroid, lipid, dan fungsi adrenal. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Tabel 2.4 Kombinasi khas hasil


(28)

(The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008) Pengobatan

Pengobatan hiponatremia harus dipertimbangkan dari kronisitasnya, keseimbangan cairan pasien, dan potensi etiologinya. Dalam hiponatremia akut (durasi ≤ 48 jam '), pengobatan yang cepat dan koreksi natrium disarankan untuk mencegah edema serebral. Hal ini berbeda dengan hiponatremia kronis, di mana koreksi harus lambat untuk mencegah central pontine myelinolysis yang dapat menyebabkan kerusakan saraf permanen. Target yang harus dicapai untuk meningkatkan natrium ke tingkat yang aman (≥ 120 mmol / l). Natrium tidak harus mencapai level normal dalam 48 jam pertama. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Central pontine myelinolysis adalah suatu kondisi dimana terjadi demielinasi fokus di daerah pons dan extrapontine. Hal ini menyebabkan dampak serius dan ireversibel gejala sisa neurologis yang cenderung dilihat satu sampai tiga hari setelah natrium telah diperbaiki. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Pada pasien dengan hiponatremia akut dan gejala sisa neurologis (kejang atau koma) pengobatan dapat dimulai dengan 3% saline (Androgue dan Madias,

Hypovolaemia Low ≤ 10 mmol/ l Extrarenal sodium loss e.g. GIT loss, burns, fluid sequestration (peritonitis, pancreatitis)

Hypovolaemia High ≥ 20 mmol/ l Renal salt wasting e.g. salt

losing nephropathy, hypothyroidism, adrenal insufficiency

Hypervolaemia Low ≤ 10 mmol/ l CCF, liver cirrhosis, nephrotic syndrome (sodium retention due to poor renal perfusion – see text)


(29)

2000). Tidak ada konsensus universal untuk penggunaan atau dengan rezim yang harus diberikan: bisa dimulai pada 1-2 ml / kg / jam dengan pengukuran rutin natrium serum, urin dan status kardiovaskular. Disarankan agar natrium dikoreksi tidak lebih dari 8 mmol dalam 24 jam. Furosemide juga dapat digunakan untuk mengeluarkan air yang berlebihan. (Androgue & Madias, 2000)

Ada berbagai formula yang digunakan untuk menghitung volume cairan dan natrium yang akan diberikan. Salah satu contoh adalah rumus Madias Androgue, tetapi ada beberapa variasi yang juga dapat digunakan (Barsaum & Levine, 2002).

Hiponatremia hipovolemik terkait penyakit Addison harus ditangani dengan saline isotonik dan menggunakan hormon pengganti dengan hidrokortison. Pasien-pasien ini dapat memerlukan sejumlah besar penggantian cairan ketika mereka berada dalam keadaan krisis. Hiponatremia kronis dapat diobati dengan menghilangkan penyebab (misalnya diuretik) dan pembatasan cairan menjadi sekitar 500-800 ml / hari. Vasopresin antagonis reseptor adalah kelompok baru obat untuk pengobatan hiponatremia. Mereka bekerja dengan menghalangi pengikatan ADH (AVP - arginin vasopressin) di nefron distal, sehingga mempromosikan ekskresi air bebas. Tolvaptan adalah salah satu obat tersebut dan telah terbukti efektif meningkatkan natrium serum pada euvolemik atau hypervolaemic hiponatremia kronis (Schrier et al, 2006).

2.1.2. Hipernatremia Definisi

Hipernatremia didefinisikan sebagai natrium serum lebih besar dari 145 mmol / l dan selalu dikaitkan dengan keadaan hiperosmolar. Ada morbiditas dan mortalitas yang signifikan terkait dengan hipernatremia yang sulit untuk dihitung karena hubungannya dengan komorbiditas serius lainnya. Beberapa studi telah


(30)

mengutip angka kematian setinggi 75% akibat hipernatremia. (Semenovskaya Z, 2007).

Hipernatremia menyebabkan dehidrasi sel yang menyebabkan sel-sel menyusut. Sel-sel merespon dengan mengangkut elektrolit melintasi membran sel dan mengubah potensial membran menjadi istirahat. Sekitar satu jam kemudian jika masih ada hipernatremia, larutan organik intraseluler dibentuk untuk mengembalikan volume sel dan mencegah kerusakan struktural. Oleh karena itu ketika mengganti air harus dilakukan dengan sangat perlahan untuk memungkinkan akumulasi zat terlarut untuk menghindari edema serebral. (Semenovskaya Z, 2007).

Jika hipernatremia berlanjut dan sel-sel mulai menyusut, perdarahan otak dapat terjadi karena peregangan dan pecahnya pembuluh darah menjembatani (subdural, subarachnoid atau intraserebral). (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Penyebab dan klasifikasi

Penyebab hipernatremia dapat dibagi menjadi tiga kategori besar seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.5. Ini sering memiliki penyebab iatrogenik dan yang paling berisiko pada pasien yang diintubasi , bayi yang hanya meminum susu formula, atau orang tua dan orang-orang dalam perawatan yang tidak memiliki cairan yang tersedia bagi mereka atau mereka yang memiliki penurunan reseptor kehausan. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Tabel 2.5 Penyebab hipernatremia

Reduced water intake Loss of free water Sodium gain Unwell infants e.g. with

diarrhoea and vomiting Intubated patients Institutionalised elderly 1. Extra-renal: Dehydration Burns Exposure Gastrointestinal losses 2. Renal:

Osmotic diuretics e.g.

Primary

hyperaldosteronism (Conns)

Secondary

hyperaldosteronism e.g. CCF, liver cirrhosis, renal


(31)

Glucose, urea, mannitol Diabetes Insipidus (see table 6)

syndrome

Iatrogenic – Sodium bicarbonate

administration; hypertonic saline administration (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Presentasi klinis

Gambaran klinis hipernatremia non spesifik seperti anoreksia, mual, muntah, kelelahan dan mudah tersinggung. Seperti natrium meningkat akan ada perubahan dalam fungsi neurologis yang lebih menonjol jika natrium telah meningkat pesat dan tingkat tinggi. Bayi cenderung menunjukkan takipnea, kelemahan otot, gelisah, tangisan bernada tinggi, dan kelesuan menyebabkan koma. Diagnosis diferensial utama untuk gejala-gejala tersebut pada populasi ini adalah sepsis yang bisa diperparah oleh hipernatremia. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Investigasi

Investigasi harus mengikuti pendekatan yang sama untuk hiponatremia dengan perhitungan kesenjangan osmolar, natrium urin dan osmolalitas bersama dengan penyelidikan lebih lanjut untuk mengidentifikasi penyebab yang mendasari. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Dengan ginjal penyebab kehilangan air, osmolalitas urin akan sangat rendah, sedangkan pada penyebab ekstra-ginjal, osmolalitas urin akan sangat tinggi (≥ 400 mosm / l), ginjal mencoba untuk menghemat air. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Pengobatan

Manajemen terdiri dari mengobati penyebab yang mendasari dan memperbaiki hipertonisitas tersebut. Seperti dengan hiponatremia, aturan umum adalah untuk memperbaiki tingkat natrium pada tingkat di mana ia naik. Jika


(32)

natrium tersebut diperbaiki terlalu cepat ada risiko mengakibatkan edema serebral. Saran yang baik adalah bertujuan untuk 0,5 mmol / l / jam dan maksimal 10 mmol / l / hari dalam semua kasus kecuali onsets sangat akut. Dalam hipernatremia akut

(≤ 48 jam) natrium dapat diperbaiki dengan cepat tanpa menimbulkan masalah.

Namun, jika ada keraguan untuk tingkat onset, natrium harus diperbaiki perlahan selama setidaknya 48 jam. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

2.1.3. Hipokalemia Definisi

Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8 mEq/L darah. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Penyebab

Ginjal yang normal dapat menahan kalium dengan baik. Jika konsentrasi kalium darah terlalu rendah, biasanya disebabkan oleh ginjal yang tidak berfungsi secara normal atau terlalu banyak kalium yang hilang melalui saluran pencernaan (karena diare, muntah, penggunaan obat pencahar dalam waktu yang lama atau polip usus besar). Hipokalemia jarang disebabkan oleh asupan yang kurang karena kalium banyak ditemukan dalam makanan sehari-hari. Kalium bisa hilang lewat air kemih karena beberapa alasan. Yang paling sering adalah akibat penggunaan obat diuretik tertentu yang menyebabkan ginjal membuang natrium, air dan kalium dalam jumlah yang berlebihan. (Dawodu S, 2004)

Pada sindroma Cushing, kelenjar adrenal menghasilkan sejumlah besar hormon kostikosteroid termasuk aldosteron. Aldosteron adalah hormon yang menyebabkan ginjal mengeluarkan kalium dalam jumlah besar. Ginjal juga mengeluarkan kalium dalam jumlah yang banyak pada orang-orang yang mengkonsumsi sejumlah besar kayu manis atau mengunyah tembakau tertentu.


(33)

Penderita sindroma Liddle, sindroma Bartter dan sindroma Fanconi terlahir dengan penyakit ginjal bawaan dimana mekanisme ginjal untuk menahan kalium terganggu. Obat-obatan tertentu seperti insulin dan obat-obatan asma (albuterol, terbutalin dan teofilin), meningkatkan perpindahan kalium ke dalam sel dan mengakibatkan hipokalemia. Tetapi pemakaian obat-obatan ini jarang menjadi penyebab tunggal terjadinya hipokalemia. (Dawodu S, 2004)

Gejala Klinis

Hipokalemia ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali. Hipokalemia yang lebih berat (kurang dari 3 mEq/L darah) bisa menyebabkan kelemahan otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi tidak normal, terutama pada penderita penyakit jantung. (Dawodu S, 2004)

Pengobatan

Tingkat-tingkat serum kalium diatas 3.0 mEq/liter tidak dipertimbangkan bahaya atau sangat mengkhawatirkan; mereka dapat dirawat dengan penggantian potassium melalui mulut. Tingkat-tingkat yang lebih rendah dari 3.0 mEq/liter mungkin memerlukan penggantian intravena. Keputusan-keputusan adalah spesifik pasien dan tergantung pada diagnosis, keadaan-keadaan dari penyakit, dan kemampuan pasien untuk mentolerir cairan dan obat melalui mulut. (Dawodu S, 2004)

Melalui waktu yang singkat, dengan penyakit-penyakit yang membatasi sendiri seperti gastroenteritis dengan muntah dan diare, tubuh mampu untuk mengatur dan memulihkan tingkat-tingakt potassium dengan sendirinya. Bagaimanapun, jika hypokalemia adalah parah, atau kehilangan-kehilangan potassium diperkirakan berjalan terus, penggantian atau suplementasi potassium mungkin diperlukan. (Dawodu S, 2004)


(34)

Pada pasien-pasien yang meminum diuretiks, seringkali jumlah yang kecil dari potassium oral mungkin diresepkan karena kehilangan akan berlanjut selama obat diresepkan. Suplemen-suplemen oral mungkin dalam bentuk pil atau cairan, dan dosis-dosisnya diukur dalam mEq. Dosis-dosis yang umum adalah 10-20mEq per hari. Secara alternatif, konsumsi dari makanan-makanan yang tinggi dalam potassium mungkin disarankan untuk penggantian. Pisang-pisang, apricot-aprocit, jeruk-jeruk, dan tomat-tomat adalah tinggi dalam kandungan potassiumnya. Karena potassium diekskresikan (dikeluarkan) di ginjal, tes-tes darah yang memonitor fungsi ginjal mungkin diperintahkan untuk memprediksi dan mencegah naiknya tingkat-tingkat potassium yang terlalu tinggi. (Dawodu S, 2004)

Ketika potassium perlu diberikan secara intravena, ia harus diberikan secara perlahan-lahan. Potassium mengiritasi vena dan harus diberikan pada kecepatan dari kira-kira 10 mEq per jam. Begitu juga, menginfus potassium terlalu cepat dapat menyebabkan iritasi jantung dan memajukan irama-irama yang berpotensi berbahaya seperti ventricular tachycardia. (Dawodu S, 2004)

2.1.4. Hiperkalemia

Definisi Hiperkalemia

Secara teknis, hiperkalemia berarti tingkat potassium dalam darah yang naiknya secara abnormal. Tingkat potassium dalam darah yang normal adalah 3.5-5.0 milliequivalents per liter (mEq/L). Tingkat-tingkat potassium antara 5.1 mEq/L sampai 6.0 mEq/L mencerminkan hyperkalemia yang ringan. Tingkat-tingkat potassium dari 6.1 mEq/L sampai 7.0 mEq/L adalah hyperkalemia yang sedang, dan tingkat-tingkat potassium diatas 7 mEq/L adalah hyperkalemia yang berat/parah. (Dawodu, S 2004)


(35)

Hiperkalemia dapat menjadi asymptomatic, yang berarti bahwa ia tidak menyebabkan gejala-gejala. Adakalanya, pasien-pasien dengan hyperkalemia melaporkan gejala-gejala yang samar-samar termasuk:

• mual, • lelah,

• kelemahan otot, atau

• perasaan-perasaan kesemutan.

Gejala-gejala hyperkalemia yang lebih serius termasuk denyut jantung yang perlahan dan nadi yang lemah. Hyperkalemia yang parah dapat berakibat pada berhentinya jantung yang fatal. Umumnya, tingkat potassium yang naiknya secara perlahan (seperti dengan gagal ginjal kronis) ditolerir lebih baik daripada tigkat-tingkat potassium yang naiknya tiba-tiba. Kecuali naiknya potassium adalah sangat cepat, gejala-gejala dari hyperkalemia adalah biasanya tidak jelas hingga tingkat-tingkat potassium yang sangat tinggi (secara khas 7.0 mEq/l atau lebih tinggi). (Dawodu S, 2004)

Penyebab Hyperkalemia

Penyebab-penyebab utama dari hyperkalemia adalah disfungsi ginjal, penyakit-penyakit dari kelenjar adrenal, penyaringan potassium yang keluar dari sel-sel kedalam sirkulasi darah, dan obat-obat. (Dawodu S, 2004)

Disfungsi ginjal

Potassium nornmalnya disekresikan (dikeluarkan) oleh ginjal-ginjal, jadi penyakit-penyakit yang mengurangi fungsi ginjal-ginjal dapat berakibat pada hyperkalemia. Ini termasuk:

• gagal ginjal akut dan kronis, • glomerulonephritis,


(36)

• lupus nephritis,

• penolakan transplant, dan

• penyakit-penyakit yang menghalangi saluran urin (kencing), seperti urolithiasis (batu-batu dalam saluran kencing).

Lebih jauh, pasien-pasien dengan disfungsi-disfungsi ginjal terutama adalah sensitif pada obat-obat yang dapat meningkatkan tingkat-tingkat potassium darah. Contohnya, pasien-pasien dengan disfungsi-disfungsi ginjal dapat mengembangkan perburukan hyperkalemia jika diberikan pengganti-pengganti garam yang mengandung potassium, jika diberikan suplemen-suplemen potassium (secara oral atau intravena), atau obat-obat yang dapat meningkatkan tingkat-tingkat potassium darah. Contoh-contoh dari obat-obat yang dapat meningkatkan tingkat-tingkat potassium darah termasuk:

• ACE inhibitors,

• Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), • Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs), dan • Diuretics hemat potassium (lihat dibawah). trauma, penyebab lain:

• Luka-luka bakar, • Operasi,

• Hemolysis (disintegrasi atau kehancuran sel-sel darah merah), • Massive lysis dari sel-sel tumor, dan

• Rhabdomyolysis (kondisi yang melibatkan kehancuran sel-sel otot yang adakalanya dihubungkan dengan luka otot, alkoholisme, atau penyalahgunaan obat).

Obat-Obat

Suplemen-suplemen potassium, pengganti-pengganti garam yang mengandung potassium dan obat-obat lain dapat menyebabkan hyperkalemia.


(37)

Pada individu-individu yang normal, ginjal-ginjal yang sehat dapat beradaptasi pada pemasukan potassium oral yang berlebihan dengan meningkatkan ekskresi potassium urin, jadi mencegah perkembangan dari hyperkalemia. Bagaimanapun, memasukan terlalu banyak potassium (melalui makanan-makanan, suplemen-suplemen, atau pengganti-pengganti garam yang mengandung potassium) dapat menyebabkan hyperkalemia jika ada disfungsi ginjal atau jika pasien meminum obat-obat yang mengurangi ekskresi potassium urin seperti ACE inhibitors dan diuretics hemat potassium. (Dawodu S, 2004)

Contoh-contoh dari obat-obat yang mengurangi ekskresi potassium urin termasuk: • ACE inhibitors,

• ARBs, • NSAIDs,

• Diuretics hemat potassium seperti:

o Spironolactone (Aldactone), o Triamterene (Dyrenium), dan

o Trimethoprim-sulfamethoxazole (Bactrim).

Meskipun hyperkalemia yang ringan adalah umum dengan obat-obat ini, hyperkalemia yang parah biasanya tidak terjadi kecuali obat-obat ini diberikan pada pasien-pasien dengan disfungsi ginjal. (Dawodu S, 2004)

2.2. Trauma Kepala 2.2.1. Definisi

Trauma kepala adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.( Hasan Sjahrir,2004). Cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif / non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran. (Dawodu dan Sutantoro 2004). Trauma kepala merupakan trauma pada kepala yang dapat


(38)

menyebabkan kerusakan kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak dengan pembuluh darahnya, dan jaringan otak itu sendiri. (Dawodu S, 2004).

Trauma kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan. Trauma kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Brunner & Suddarth, 2002)

Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala baik secara langsung atau tidak langsung yang dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. (Kadri A, 2007)

2.2.2. Anatomi Otak dan Anatomi Trauma Kepala Anatomi Otak


(39)

Gambar 2.1. Gambaran otak (Ranchman S, 2009)

Gambar. 2.2 Bagian – bagian otak (Ranchman S, 2009) Anatomi Tauma kepala


(40)

Gambar. 2.3 Brain hematom (Medical.net, 2009)


(41)

Gambar. 2.5 lokasi hematoma (Ranchman S, 2009)

2.2.3. Klasifikasi Trauma Kepala

Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kepala, tetapi dengan berbagai pertimbangan dari berbagai aspek, maka bagian neurologi menganut pembagian sebagai berikut :

a. Trauma kepala yang tidak membutuhkan tindakan operatif (95%) terdiri atas :

1. Komosio serebri 2. Kontusio serebri

3. impressi fraktur tanpa gejala neurologis (< 1 cm) 4. Fraktur basis kranii


(42)

b. Trauma kepala yang memerlukan tindakan operatif (1-5%)

1. Hematoma intra kranial yang lebih besar dari 75 cc Epidural Subdural Intraserebral

2. Fraktur kranii terbuka ( + laserasio serebri)

3. Impressi fraktur dengan gejala neurologis ( > 1 cm)

4. Likuorrhoe yang tidak berhenti dengan pengobatan konservatif

Sebagai penambah pengetahuan perlu dijelaskan bahwa ada beberapa sentra yang membagi klasifikasi atas dasar sehubungan dengan Glasgow Coma Scale yaitu : Mild head injury GCS score : 13-15 Moderate head injury GCS score : 9-13 Severe head injury GCS score : < 8

Jika angka GCS dibawah 8 dan komanya lebih dari 6 jam maka menunjukkan kerusakan otak yang parah dan prognosa biasanya jelek. Lebih dalam dan lama komanya juga menggambarkan atau mempunyai korelasi dengan lebih dalamnya letak kerusakan otaknya.(Sjahrir H, 2004)

2.3. KONTUSIO SEREBRI Definisi

Kontusio serebri yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma kepala yang menimbulkan lesi perdarahan interstisial nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan, maka ini disebut laserasio serebri.(Sjahrir H, 2004)

Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak. Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio


(43)

serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid. (Indharty S, 2013)

Freytag dan Lindenberg (1957) mengemukakan bahwa pada daerah kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai pericontusional zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hail ini disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan mean arterial pressure (MAP) atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang di kemudian hari. (Indharty S, 2013)

Gambar 2.6. Mekanisme Terjadinya Kontusio Kepala (Indharty S, 2013) Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan menyebabkan hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga


(44)

menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularisdifus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. (Indharty S, 2013)

Patofisiologi dan Gejala Pasien tidak sadar > 20 menit

Fase I = fase shock Keadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan : - kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi sentral vegetatif - tempesratur tubuh menurun, kulit dingin, ekstremitas dan muka sianotik

- respirasi dangkal dan cepat

- nadi lambatsebentar kemudian berubah jadi cepat, lemah dan iregular

- tekanan darah menurun

- refleks tendon dan kulit menghilang

- babinsky refleks positif

- pupil dilatasi dan refleks cahaya lemah

Fase II = fase hiperaktif central vegetatif

- temperatur tubuh meninggi

- pernafasan dalam dan cepat

- takikardi

- sekret bronkhial meningkat berlebihan

- tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari normal - refleks-refleks serebral muncul kembali

Fase III = cerebral oedema Fase ini sama bahayanya dengan fase shock dan dapat mendatangkan kematian jika tidak ditanggulangi secepatnya.

Fase IV = fase regenerasi/rekonvalesens Temperatur tubuh kembali normal, gejala fokal serebral intensitas berkurang atau menghilang kecuali lesinya luas.

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun


(45)

neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. (Sjahrir H, 2004)

Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate menimbulkan gejala defisit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan organic brain syndrome. Lesi akselerasi-deselerasi, gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang lain, namun kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas antar tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otot densitas yang lebih rendah, maka terjadi gaya tidak langsung dan tulang kepala akan bergerak lebih dulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa hematom subdural, hematom intra serebral, hematom intravertikal, kontra coup kontusio. Selain itu gaya akselerasi dan deselarasi akan menyebabkan gaya tarik atau robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa komosio serebri, diffuse axonal injuri. (Sjahrir H,2004) Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul. (Sjahrir H, 2004)

Gejala lain : Fokal neurologik :


(46)

• Hemiplegia, tetraplegia, decerebrate rigidity • Babinsky reflex

• Afasia, hemianopsia, kortikal blindness • Komplikasi saraf otak :

- fraktur os criribroformis : gangguan N. I (olfaktorius) - fraktur os orbitae : gangguan N. III, IV dan VI

- herniasi uncus, gangguan N. III

- farktur os petrosum (hematotympani) : gangguan N. VII dan N. VIII

- perdarahan tegmentum : batang otak ; opthalmoplegia total - fraktur basis kranii post : gangguan N. X, XI, XII

• Tanda rangsang meningeal : akibat iritasi daerah yang mengalir ke arachnoid

• Gangguan organik brain sindroma : delirium Kontusio Serebri pada Anak-anak

Kontusio serebri pada anak-anak dibawah 6 tahun kadang-kadang gejalanya berbeda dengan dewasa antara lain :

1. adanya fase latent, dimana anak tersebut tak menunjukkan kelainan kesadaran dan tingkah laku. Fase latent ini dapat berlangsung sampai 16 jam.

2. sesudah fase latent, diikuti serangan akut gejala fokal serebral serta kehilangan kesadaran dan kejang-kejang.

3. jika kondisi kontusionya tidak berat maka sesudah 4 hari sang anak pulih normal bermain-main seakan tidak ada apa-apa lagi.

Hal ini disebabkan anak-anak tidak melalui fase I shock, tapi langsung ke fase II. Di duga hal tersebut dikarenakan tulang kranium anak masih elastis sehingga berfungsi sebagai shock absorber yang baik terhadap trauma.( Mardjono M & Priguna S, 2004)

Diagnostik bantu : 1. Brain CT-Scan, MRI


(47)

2. LP bercampur darah 3. EEG abnormal Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut (nyeri kepala, pusing) berhubungan dengan agen injuri fisik, biologis, psikologis

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis dan fisiologis .

c. Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler. d. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan menurunnya curah

jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli.

Terapi

Tindakan yang diambil pada keadaan kontusio berat ditujukan untuk mencegah meningginya tekanan intracranial.

1. Usahakan jalan nafas yang lapang dengan:

• Membersihkan hidung dan mulut dari darah dan muntahan

• Melonggarkan pakaian yang ketat

• Menghisap lender dari mulut, tenggorokan dan hidung (suction)

• Untuk amannya gigi palsu harus dilepaskan (jika ada)

• Bila perlu pasang pipa endotrakea atau lakukan trakeotomi

• Oksigen diberikan bila tidak ada hiperventilasi 2. Hentikan perdarahan

3. Bila ada fraktur, pasang bidai untuk fiksasi

4. Letakkan pasien pada posisi miring, hingga bila muntah dapat bebas keluar dan tidak mengganggu jalan nafas

5. Berikan profilaksis antibiotika bila ada luka-luka yang berat

6. Bila ada shock, infuse dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila tidak ada shock, pemasangan infuse tidak perlu dilakukan dengan segera. Pada hari


(48)

pertama, pemberian infuse berikan 1,5L cairan/hari, 0,5L adalah NaCl 0,9%. Bila digunakan glukosa, pakailah yang 10% untuk mencegah menghebatnya edema otak dan kemungkinan timulnya edema pulmonal. Setelah hari keempat jumlah cairan perlu ditambah hingga 2,5L/24jam. Bila bising usus sudah terdengar, baik diberikan makanan cair per sonde. Mula-mula dimasukan glukosa 10% 100cm³ tiap 2 jam untuk menambah kekurangan cairanyang telah masuk dengan infus. Pada hari berikutnya diberi susu dan makanan cair lengkap 2-3 kali perhari, 2000 kalori, kemudian infus dicabut.

7. Pada keadaan edema otak yang hebat diberikan manitol 20% dalam infus sebanyak 250cm³ dalam waktu 30menit yang dapat diulang tiap 12-24 jam.

8. Furosemide intramuscular 20mg/24jam, selain meningkatkan dieresis berkhasiat mengurangi pembentukan cairan otak

9. Untuk menghambat pembentukan edema serebri diberikan deksametason dalam rangkaian pengobatan sebagai berikut:

• Hari 1 : 10mg intravena diikuti 5mg tiap 4 jam

• Hari 2 : 5mg intravena tiap 6 jam

• Hari 3 : 5mg intravena tiap 8 jam

• Hari 4-5 : 5mg intramuskular 12 jam

• Hari 6 : 5mg intramuskular

10.Pemantauan keadaan penderita, selain keadaan umumnya perlu diperiksa secara teratur PCO₂ dan PO₂ darah. Keadaan yang normal adalah PCO₂ sekitar 42mmHg dan PO₂ diatas 70mmHg. (Harsono, 2005)

prognosis

Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,


(49)

ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi. (Mansjoer et al, 2000)

2.4. Dampak kadar natrium dan kalium pada kontusio serebri

Kadar natrium dan kalium pada 25 orang pasien trauma kepala dalam kelompok usia 18-45 tahun, ditemukan bahwa 4% dari pasien mengalami hipernatremia, 64% subjek penelitian menderita hiponatremia, 4% memiliki hiperkalemia dan 4% dari pasien memiliki hipokalemia. Pasien yang menderita gangguan elektrolit hiponatremia adalah yang paling umum dan paling berbahaya yang harus didiagnosis dan dikoreksi di awal. (Usha S et al, 2012)

Hipokalemia ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali. Hipokalemia yang lebih berat (kurang dari 3 mEq/L darah) bisa menyebabkan kelemahan otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi tidak normal, terutama pada penderita penyakit jantung. (Dawodu S, 2004)

Hiponatremia adalah gangguan elektrolit umum terjadi pada trauma kepala. Tingkat natrium serum yang rendah dapat menyebabkan perubahan sistem saraf pusat, termasuk kebingungan, kejang, dan bahkan koma. Diagnosis dini dan tepat pengobatan hiponatremia sangat penting untuk pemulihan pasien. (Dawodu S, 2004)


(50)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar . 3.1. kerangka konsep 3.2 Definisi Operasionil

3.2.1 Natrium

Hiponatremia didefinisikan sebagai serum Na ≤ 135 mmol / l. Sedangkang Hipernatremia didefinisikan sebagai natrium serum lebih besar dari 145 mmol / l dan selalu dikaitkan dengan keadaan hiperosmolar. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

3.2.2 Kalium

Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8 mEq/L darah. Secara teknis, hiperkalemia berarti tingkat potassium dalam darah yang naiknya secara abnormal. Tingkat potassium dalam darah yang normal adalah 3.5-5.0 milliequivalents per liter (mEq/L). Tingkat-tingkat potassium antara 5.1 mEq/L sampai 6.0 mEq/L mencerminkan hyperkalemia yang ringan. Tingkat-tingkat

Kontusio serebri

 Hipernatremia

 Hiponatreumia

 Hiperkalemia

 Hipokalemia

 Normokalemia


(51)

potassium dari 6.1 mEq/L sampai 7.0 mEq/L adalah hyperkalemia yang sedang, dan tingkat-tingkat potassium diatas 7 mEq/L adalah hyperkalemia yang berat/parah. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

3.2.3 Kontusio Serebri

Kontusio serebri yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan interstisial nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan, maka ini disebut laserasio serebri. (Sjahrir H, 2004)


(52)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jenis penelitian ini adalah

retrospective cross sectional, dimana dilakukan pengumpulan data berdasarkan survei rekam medis di RSUP H. Adam Malik.

4.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober tahun 2013 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan. Lokasi ini dipilih sebagai tempat penelitian karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit pusat rujukan yang memungkinkan untuk pengumpulan data.

4.3. POPULASI DAN SAMPEL

Populasi penelitian adalah pada seluruh penderita kontusio serebri non operatif yang berobat di di bagian bedah saraf RSUP H. Adam Malik untuk tahun 2012. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi yang didapat dari rekam medis. Adapun besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sama dengan jumlah populasi (total sampling).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan jumlah populasi.

Kriteria inklusi penelitian adalah berkas rekam medis yang memuat data mengenai kadar natrium dan kalium, umur, jenis kelamin, dan etiologi kontusio serebri, sedangkan kriteria eksklusinya penderita dengan riwayat pemakaian obat diuretic dan pasien dengan riwayat gangguan elektrolit serta pensderita dengan penyakit penyerta.

4.4. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari kartu status penderita dari rekam medis RSUP H.Adam Malik tahun 2012. Kartu status penderita kontusio serebri non operatif yang dipilih


(53)

sebagai sampel, dikumpul dan dilakukan pencatatan tabulasi sesuai dengan variabel yang diteliti.

4.5. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

Pengolahan data hasil penelitian dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

1. Editing yaitu tindakan pengecekan data yang telah di peroleh untuk menghindari kekeliruan.

2. Coding atau mengkode data. Pemberian kode sangat diperlukan terutama dalam pengolahan data-data secara manual menggunakan kalkulator maupun dengan komputer.

3. Tabulating yaitu hasil pengelompokan dan kemudian ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk table sebagai bahan informasi.

Pengolahan dilakukan dengan menganalisa data pasien yang diambil dari rekam medis di Rumah Sakit Umum Pendidikan Haji Adam Malik. Analisa data ini akan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan program komputer.


(54)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit Pemerintah dengan Kategori Kelas A. Dengan predikat rumah sakit kelas A, RSUP HAM Medan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk Wilayah Sumatera yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5.1.2. Karakteristik individu

Data yang diperoleh berdasarkan rekam medis pasien yang menderita kontusio serebri pada tahun 2012 sesuai dengan jumlah sampel yang dibutuhkan berjumlah 104 orang yang telah memenuhi semua kriteria inklusi dan ekslusi dari jumlah keseluruhan 335 pasien. Distribusi frekuensi penderita kontusio serebri meliputi jenis kelamin, usia, etiologi kontusio serebri, kadar natrium dan kadar kalium.


(55)

Berikut diuraikan distribusi frekuensi penderita kontusio serebri yang ada di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2012:

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi penderita kontusio serebri berdasarkan jenis kelamin

Jumlah ( orang ) Persen (%)

Laki – laki 70 67,3%

Perempuan 34 32,7%

total 104 100%

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dari 104 penderita kontusio serebri lebih banyak persentase laki – laki daripada perempuan, persentase kelompok perempuan 32,7% dan kelompok laki-laki 67,3%.

Tabel 5.2.Distribusi frekuensi penderita kontusio serebri berdasarkan usia

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa dari 104 penderita kontusio serebri, penderita terbanyak berdasarkan usia adalah rentang usia 21 – 40 tahun dimana persentasenya adalah 45,2%, kemudian rentang usia 1 – 20 tahun dengan persentase 36,5%, selanjutnya rentang usia 41 – 60 tahun dengan persentase 15,4%. Dan yang paling sedikit rentang usia 61 – 80 tahun yaitu dengan persentase 2,9%. Dengan rata – rata usia penderita adalah 27 tahun. Usia penderita paling muda 5 tahun dan usia penderita paling tua 72 tahun.

Tabel 5.3.Distribusi frekuensi penderita kontusio serebri berdasarkan etiologi

Jumlah (orang) Persen (%)

KLL 94 90,4%

Bukan KLL 10 9,6%

Total 104 100%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 104 penderita kontusio serebri, penyebab terbanyaknya adalah kecelakan lalu lintas (KLL)

Jumlah ( orang ) Persen (%)

1 – 20 tahun 38 36,5%

21 – 40 tahun 47 45,2%

41 – 60 tahun 16 15,4%

61 – 80 tahun 3 2,9%


(56)

dengan persentase 90,4%. Penyebab selain kecelakaan lalu lintas (KLL) hanya 9,6%. Dimana penyebab lain dari kontusio serebri selain kecelakaan lalu lintas diantaranya adalah diseruduk lembu, jatuh dari tempat tidur, jatuh dari tangga dan jatuh di kamar mandi.

5.2. Hasil Analisis Data

5.2.1. Gambaran Kadar Natrim dan Kalium Penderita Kontusio Serebri Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.4.Kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri berdasarkan jenis kelamin

Natrium total kalium

Hipo Hiper Normal Hipo Hiper Normal Jenis

kelamin

Laki-laki 33 4 33 70 6 1 63

perempuan 13 0 21 34 3 3 28

Total 46 4 54 104 9 4 91

Dari tabel diatas dapat diketahuin bahwa dari 104 penderita kontusio serebri jumlah penderita laki – laki lebih banyak dari perempuan. Penderita kontusio serebri laki – laki berjumlah 70 orang dan perempuan berjumlah 34 orang. Dimana kadar natrium dari 70 orang penderita laki – laki 33 orang hiponatremia, 4 orang hipernatremia dan 33 orang dengan kadar natrium normal. Sedangkan kadar kaliumnya 6 orang hipokalemia, 1 orang hiperkalemia dan 63 orang dengan kadar kalium normal. Dari 34 penderita perempuan, kadar natriumnya 13 orang hiponatremia, 21 orang dengan kadar natrium normal dan tidak ada seorang pun dijimpai penderita dengan hipernatremia. Sedangkan kadar kaliumnya 3 orang hipokalemia, 3 orang hiperkalemia dan 28 orang dengan kadar kalium normal. Dengan persentase keseluruhan kadar natrium 47,84% hiponatremia, 4,16% hipernatremia dan 56,16% dengan kadar natrium normal. Dan persentase keseluruhan kadar kalium 9,36% hipokalemia, 4,16% hiperkalemia, dan 94,64% dengan kadar kalium normal.

5.2.2. Gambaran Kadar Natrium dan Kalium Berdasarkan Usia

Tabel 5.5.Kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri berdasarkan usia

Natrium total Kalium

Hipo Hiper Normal Hipo Hiper Normal

Usia 1 – 20thn 17 0 21 38 4 1 33

21 – 40thn 21 3 23 47 5 2 40

41 – 60thn 7 1 8 16 0 1 15


(57)

Total 46 4 54 104 9 4 91 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 104 penderita kontusio serebri, penderita terbanyak adalah dengan rentang usia 21 – 40 tahun. Dengan kadar natrium dan kalim dari rentang usia 1 – 20 tahun 17 orang hipernatremia, 21 orang dengan kadar natrium normal, tidak ada penderita yang hipernatremia, 4 orang hipokalemia, 1 orang hiperkalemia dan 33 orang dengan kadar kalium normal. Rentang usia 21 – 40 tahun, 21 orang hiponatremia, 3 orang hipernatremia, 23 orang dengan kadar natrium normal, 5 orang hipokalemia, 2 orang hiperkalemia dan 40 orang dengan kadar kalium normal. Rentang usia 41 – 60 tahun, 7 orang hiponatremia, 1 orang hipernatremia, 8 orang dengan kadar natrium normal, 1 orang hiperkalemia, tidak ada penderita dengan hipokalemia dan 15 0rang dengan kadar kalium normal. Rentang usia 61 – 80 tahun, 1 orang hiponatremia, 2 orang dengan kadar natrium normal, 3 orang dengan kadar kalium normal dan tidak ada penderita dengan hipernatemia, hipokalemia maupun hiperkalemia.

5.2.3. Gambaran Kadar Natrium dan Kalium Penderita Kontusio Serebri Berdasarkan Etiologi

Tabel 5.6.Kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri berdasarkan etiologi

Natrium total kalium total hipo Hiper normal hipo hiper normal Etiologi KLL 45 4 45 94 9 4 81 94

Bukan KLL

1 0 9 10 0 0 10 10

Total 46 4 54 104 9 4 91 104

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 104 penderita kontusio serebri bahwa penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas (KLL). Dengan kadar natrium dan kalium pada penderita dengan penyebab KLL adalah 45 orang hiponatremia, 4 orang hipernatremia, 45 orang dengan kadar natrium normal, 9 orang hipokalemia, 4 orang hiperkalemia dan 81 orang dengan kadar kalium normal. Sedangkan kadar natrium dan kalium penderita dengan penyebab bukan KLL adalah 1 orang hiponatremia, 9 orang dengan kadar natrium normal, 10 orang dengar kadar kalium normal dan tidak ada penderita dengan hipernatremia, hipokalemia maupun hiperkalemia.

5.3. Pembahasan

Jenis cedera yang dapat menyebabkan kerusakan kepala dan jaringan otak sangat bervariasi dari tekanan yang paling ringan sampai kecelakaan lalu lintas. Pada anak kurang dari 4 tahun kontusio serebri sering disebabkam oleh jatuh dari meja, kursi, tangga, tempat tidur dan lain-lain. Sedangkan pada anak yang lebih besar sering disebabkan oleh mengendarai sepeda atau karena kecelakaan lalu


(58)

lintas ( Japardi, 2004) ini sejalan dengan hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 104 penderita kontusio serebri, penyebab terbanyaknya adalah kecelakan lalu lintas (KLL) dengan persentase 90,4%. Penyebab selain kecelakaan lalu lintas (KLL) hanya 9,6%. Dimana penyebab lain dari kontusio serebri selain kecelakaan lalu lintas diantaranya adalah diseruduk lembu, jatuh dari tempat tidur, jatuh dari tangga dan jatuh di kamar mandi.

Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 104 penderita kontusio serebri, penderita terbanyak berdasarkan usia adalah rentang usia 21 – 40 tahun dimana persentasenya adalah 45,2%, kemudian rentang usia 1 – 20 tahun dengan persentase 36,5%, selanjutnya rentang usia 41 – 60 tahun dengan persentase 15,4%. Dan yang paling sedikit rentang usia 61 – 80 tahun yaitu dengan persentase 2,9%. Dengan rata – rata usia penderita adalah 27 tahun. Usia penderita paling muda 5 tahun dan usia penderita paling tua 72 tahun. Ini disebabkan oleh karena pada rentang usia remaja aktif dan produktif, dan pada usia tersebut paling sering terjadi kecelakan lalu lintas yang merupakan penyebab paling banyak kontusio serebri. Menurut Mock & Charles (2005) dua pertiga kasus kecelakaan terjadi pada usia 17-39 tahun, yaitu pada usia remaja dan dewasa muda, dimana usia 17-39 tahun merupakan kelompok usia yang masih aktif dan produktif. Suatu penelitian di Amerika Serikat juga menyatakan bahwa pada kecelakaan lalu lintas yang terjadi sebanyak 61% dari korban berusia 21-39 tahun (Villaveces & Andes, 2003 dalam Oktaviana, 2008). Tingginya angka kejadian kecelakaan pada kelompok usia aktif dan produktif dapat dikaitkan dengan tingkat mobilitas yang tinggi dan berhubungan erat dengan perkembangan kejiwaan, dimana usia dewasa muda perkembangan jiwanya belum stabil sehingga sering belum dapat mengendalikan emosi dirinya. Keadaan ini menyebabkan sikap yang kurang waspada, sehingga seringkali kurang memperhatikan keselamatan dirinya sendiri maupun orang lain dalam mengemudikan kendaraan.

Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 104 penderita kontusio serebri lebih banyak persentase laki – laki daripada perempuan, persentase kelompok perempuan 32,7% dan kelompok laki-laki 67,3%. Ini disebabkan karena laki – laki merupakan pengguna terbanyak kendaraan roda dua yang memiliki resiko tinggi terjadinya kecelakaan lalu lintas yang merupakan penyebab terbanyak kontusio serebri. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Oktaviana (2008) tentang gambaran kecelakaan lalu lintas pada kendaraan bermotor roda dua di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2003-2007 didapatkan hasil bahwa sebagian besar kecelakaan terjadi pada laki-laki yaitu 86.3% dengan perbandingan 6,3 kali lebih besar dari pada perempuan. Penelitian ini diperkuat oleh pernyataan Baretto ( Bretto, 1997 dalam Oktaviana 2008) menyatakan bahwa laki - laki lebih banyak mengalami kecelakaan kendaraan bermotor karena laki-laki adalah pengguna kendaraan yang paling banyak. Nasution (2008) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa penderita kontusio serebri akibat kecelakaan lalu lintas yang paling banyak dirawat berjenis kelamin laki-laki (73,6%). (Nasution, 2008)

Untuk gambaran kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri dari 104 sampel pada penelitian ini didapatkan persentase keseluruhan kadar natrium


(59)

47,84% hiponatremia, 4,16% hipernatremia dan 56,16% dengan kadar natrium normal. Dan persentase keseluruhan kadar kalium 9,36 hipokalemia, 4,16% hiperkalemia, dan 94,64% dengan kadar kalium normal. Ini sejalan dengan hasil penelitian kadar natrium dan kalium pada 25 orang pasien kontusio serebri dalam kelompok usia 18-45 tahun, ditemukan bahwa 4% dari pasien mengalami hipernatremia, 64% subjek penelitian menderita hiponatremia, 4% memiliki hiperkalemia dan 4% dari pasien memiliki hipokalemia. Pasien yang menderita gangguan elektrolit hiponatremia adalah yang paling umum dan paling berbahaya yang harus didiagnosis dan dikoreksi di awal. (Usha S et al, 2012). Hiponatremia sering ditemukan setelah trauma, mekanisme yang mungkin terjadi adalah kombinasi hormonal retensi air dan natrium. Peningkatan kadar ADH sering ditemukan dan merupakan respon dari penurunan volume sirkulasi darah. Pembuangan garam atrial natriuretic peptide yang tinggi menjadi kontributor penting dalam kasus hiponatremia pada trauma kepala. (Lippincott, Williams & Wilkin, 2003)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. KESIMPULAN

1. Gambaran kadar natrium dan kalium penderita kontusio serebri dari 104 sampel pada penelitian ini didapatkan persentase keseluruhan kadar natrium 47,84% hiponatremia, 4,16% hipernatremia dan 56,16% dengan kadar natrium normal. Dan persentase keseluruhan kadar


(1)

normal 91 87.5 87.5 100.0

Total 104 100.0 100.0

usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 38 36.5 36.5 36.5

2 47 45.2 45.2 81.7

3 16 15.4 15.4 97.1

4 3 2.9 2.9 100.0

Total 104 100.0 100.0

usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 5 1 1.0 1.0 1.0

6 2 1.9 1.9 2.9

7 1 1.0 1.0 3.8

9 1 1.0 1.0 4.8

10 1 1.0 1.0 5.8

11 1 1.0 1.0 6.7

12 3 2.9 2.9 9.6

14 1 1.0 1.0 10.6

15 2 1.9 1.9 12.5

16 4 3.8 3.8 16.3

17 3 2.9 2.9 19.2

18 7 6.7 6.7 26.0


(2)

20 9 8.7 8.7 36.5

21 5 4.8 4.8 41.3

22 6 5.8 5.8 47.1

23 7 6.7 6.7 53.8

24 6 5.8 5.8 59.6

25 1 1.0 1.0 60.6

26 3 2.9 2.9 63.5

27 2 1.9 1.9 65.4

28 4 3.8 3.8 69.2

29 2 1.9 1.9 71.2

30 1 1.0 1.0 72.1

32 2 1.9 1.9 74.0

33 1 1.0 1.0 75.0

34 2 1.9 1.9 76.9

35 1 1.0 1.0 77.9

36 2 1.9 1.9 79.8

37 1 1.0 1.0 80.8

39 2 1.9 1.9 82.7

42 2 1.9 1.9 84.6

43 2 1.9 1.9 86.5

45 2 1.9 1.9 88.5

46 1 1.0 1.0 89.4

47 2 1.9 1.9 91.3

48 1 1.0 1.0 92.3

52 1 1.0 1.0 93.3

54 1 1.0 1.0 94.2

55 1 1.0 1.0 95.2

57 1 1.0 1.0 96.2

60 1 1.0 1.0 97.1


(3)

67 1 1.0 1.0 99.0

72 1 1.0 1.0 100.0

Total 104 100.0 100.0

Etiologi

Statistics

natrium kalium etiologi

N Valid 104 104 104

Missing 0 0 0

Mean 6.08 6.79 3.10

Median 7.00 7.00 3.00

Mode 7 7 3

Std. Deviation .982 .586 .296

Variance .965 .343 .088

Range 2 2 1

Minimum 5 5 3

Maximum 7 7 4

Sum 632 706 322

Percentiles 25 5.00 7.00 3.00

50 7.00 7.00 3.00

75 7.00 7.00 3.00

natrium

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid hipo 46 44.2 44.2 44.2

hiper 4 3.8 3.8 48.1

normal 54 51.9 51.9 100.0


(4)

kalium

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid hipo 9 8.7 8.7 8.7

hiper 4 3.8 3.8 12.5

normal 91 87.5 87.5 100.0

Total 104 100.0 100.0

etiologi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid kll 94 90.4 90.4 90.4

bukan kll 10 9.6 9.6 100.0

Total 104 100.0 100.0

jeniskelamin * natrium Crosstabulation Count

natrium

Total

hipo hiper normal

jeniskelamin laki-laki 33 4 33 70

perempuan 13 0 21 34

Total 46 4 54 104

jeniskelamin * kalium Crosstabulation Count


(5)

kalium

Total

hipo hiper normal

jeniskelamin laki-laki 6 1 63 70

perempuan 3 3 28 34

Total 9 4 91 104

usia * kalium Crosstabulation Count

kalium

Total

hipo hiper normal

usia 1 4 1 33 38

2 5 2 40 47

3 0 1 15 16

4 0 0 3 3

Total 9 4 91 104

usia * natrium Crosstabulation Count

natrium

Total

hipo hiper normal

usia 1 17 0 21 38

2 21 3 23 47

3 7 1 8 16

4 1 0 2 3

Total 46 4 54 104

etiologi * natrium Crosstabulation Count


(6)

natrium

Total

hipo hiper normal

etiologi kll 45 4 45 94

bukan kll 1 0 9 10

Total 46 4 54 104

etiologi * kalium Crosstabulation Count

kalium

Total

hipo hiper normal

etiologi kll 9 4 81 94

bukan kll 0 0 10 10