1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tenaga kerja adalah pelaku pembangunan dan pelaku ekonomi baik secara individu maupun secara kelompok, sehingga mempunyai peranan
yang sangat signifikan dalam aktivitas perekonomian nasional, yaitu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia,
tenaga kerja sebagai salah satu penggerak tata kehidupan ekonomi dan merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup melimpah. Indikasi ini bisa
dilihat pada masih tingginya jumlah pengangguran di Indonesia serta rendahnya atau minimnya kesempatan kerja yang disediakan.
Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan
dengan masalah tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Pada sisi lain seperti yang dikemukakan Satjipto Rahardjo bahwa untuk menggambarkan masyarakat Indonesia tidak ada yang lebih bagus dan
tepat selain dengan mengatakan bahwa masyarakat itu sedang berubah secara cepat dan cukup mendasar. Indonesia adalah masyarakat yang tengah
mengalami transformasi struktural yaitu dari masyarakat yang berbasis pertanian ke basis industri.
Perubahan tersebut mengalami akselerasi, yaitu sejak penggunaan teknologi makin menjadi modus andalan untuk menyelesaikan
permasalahan, sehingga mobilitas tenaga kerja tidak hanya perpindahan dari
desa ke kota saja hal ini bisa dimengerti karena pertumbuhan industri lebih kuat berada diperkotaan dan semakin dirasakan penghasilan yang didapat
lebih memadai. Aspek hukum ketenagakerjaan
harus selaras dengan perkembangan ketenagakerjaan saat ini yang sudah sedemikian pesat, sehingga substansi
kajian hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja kerja semata, akan tetapi telah bergeser menjadi hubungan hukum antara pekerja,
pengusaha, dan pemerintah yang substansi kajian tidak hanya mengatur hubungan hukum dalam hubungan kerja during employment, tetapi setelah
hubungan kerja postemployment. Konsepsi ketenagakerjaan inilah yang dijadikan acuan untuk
mengkaji perangkat hukum yang ada sekarang, apakah sudah meliputi bidangbidang tersebut atau belum. Menurut Lalu Husni 2008:21 dalam
buku Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia mengemukakan sebagai berikut :
“Bidang hukum ketenagakerjaan sebelum hubungan kerja adalah bidang hukum yang berkenaan dengan kegiatan mempersiapkan calon
tenaga kerja sehingga memiliki keterampilan yang cukup untuk memasuki dunia kerja, termasuk upaya untuk memperoleh lowongan pekerjaan baik di
dalam maupun di luar negeri dan mekanisme yang harus dilalui oleh tenaga kerja sebelum mendapatkan pekerjaan”
Penduduk menjadi bagian dari masalah ketenagakerjaan, karena bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk akan berdampak kepada
masalah tenaga kerja, angkatan kerja dan pengangguran. Pengertian Penduduk menurut UUD 1945 Bab X Pasal 26 adalah warga negara
Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.Penduduk ada yang dapat dikategorikan sebagai tenaga kerja, ada juga yang
dikategorikan sebagai bukan tenaga kerja. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke empat setelah Cina, India dan
Amerika Serikat. Penduduk di Indonesia setiap tahun senantiasa mengalami
pertumbuhan, sehingga dalam rangka menekan angka pertumbuhan penduduk tersebut berbagai program dilaksanakan oleh pemerintah, seperti
program Keluarga Berencana KB karena dengan bertambahnya jumlah penduduk maka tenaga kerja otomatis akan bertambah dan menimbulkan
permasalahan, salah satunya adalah perlindungan hukum terhadap tenaga kerja outsourcing.
Data dari Disnakertrans Kota Semarang tahun 2011 menyebutkan kondisi tenaga kerja sebagai berikut:
Tabel 1.1 Kondisi Ketenagakerjaan tahun 2011
Indikator Jumlah
1 Jumlah Penduduk
1.506.924 2
Penduduk Usia Kerja 704.675
3 Angkatan Kerja
696.808 4
Bekerja 614.783
5 Penganggur
82.225 No.
Kondisi Ketenagakerjaan Kota Semarang Tahun 2011
Sumber : Disnakertrans Kota Semarang
Menurut data diatas antara Penduduk usia kerja, angkatan kerja dan yang bekerja terdapat angka yang cukup signifikan dalam jumlah
pengangguran, jadi diperlukan untuk membuka lapangan kerja baru atau Disnakertrans perlu memberikan pelatihan supaya jumlah pengangguran
dapat membuka lapangan kerja sendiri dan meminimalisir jumlah pengangguran itu sendiri. Semoga Putusan Mahkamah Konstitusi No.
27PUU-IX2011 dengan membatasi outsourcing tenaga kerja di Indonesia pada umumnya dan Kota Semarang pada khususnya lebih terjamin
kehidupan dan hak-haknya. Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat
perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya.
Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki
daya saing di pasaran. Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan
berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi cost of production.Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana
dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia SDM yang bekerja di perusahaan yang
bersangkutan. Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan
sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja.
Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia sesungguhnya sistem kerja kontrak sudah dikenal sejak tahun 1986 dengan terbitnya Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Permenaker No.5 tahun 1986 dan begitu juga sistem outsourcing yang diakui sejak terbitnya Permenaker No.2 tahun 1993. Lebih
lanjut dalam perkembangannya kedua modelsistem kerja tersebut masuk dalam perumusanrancangan Undang-undang Ketenagakerjaan UUK di
Indonesia yang merupakan sebuah konsep Fleksibelitas pasar kerja. Bergulirnya rancangan UUK itu sendiri sebenarnya sejak awal telah
mengalami berbagai penolakan dan polemik baik dari kalangan Serikat PekerjaSerikat Buruh SPSB maupun Pengusaha. Salah satunya terkait
dengan munculnya sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu PKWT atau yang sering disebut dengan istilah pekerja kontrak dan Outsourcing yang
ditolak oleh SPSB, sedangkan para Pengusaha juga menolak rumusan tentang pemberian pesangon kepada Pekerja. Namun pada kenyataannya
rancangan UUK tersebut tetap dishahkan oleh Presiden Megawati Sukarnoputri pada tahun 2003, dan menjadi Undang Undang
Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003. Pengaturan hukum outsourcing di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 pasal 64, 65 dan 66 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
No.Kep.101MenVI2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa PekerjaBuruh Kepmen 1012004.
Problematika mengenai outsourcing memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing dalam dunia usaha di Indonesia
kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda- tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu
memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut dan tentu saja posisi tenaga kerja sangatlah lemah.
Problema outsourcing di Indonesia semakin parah seiring dilegalkannya praktik outsourcing dengan Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yang banyak menuai kontroversi itu. Ditengah kekhawatiran masyarakat akan lahirnya kembali bahaya kapitalisme,
pemerintah justru melegalkan praktik outsourcing yang secara ekonomi dan moral merugikan pekerjaburuh.
Kedudukan hukum pelaksanaan outsourcing ini didasarkan pada Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “UUK” yang
berbunyi: “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerjaburuh yang dibuat secara tertulis.” Pada 17 Januari 2012, Mahkamah Konstitusi “MK” mengabulkan
permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik AP2ML Didik Suprijadi Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 27PUU-IX2011 yang menuntut karena buruhpekerja
dilihat semata-mata sebagai komoditas atau barang dagangan yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 dan Pasal 28D ayat 2.
Berdasarkan buruhpekerja kontrak yang dipekerjakan berdasarkan ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU 132003, pada
kenyataannya kehilangan hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja, jaminan- jaminan kerja dan sosial sehingga menurunkan kualitas hidup dan
kesejahteraan buruhpekerja Indonesia. Pemohon mengajukan alat bukti tertulis dengan diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8 dan pada
persidangan telah menghadirkan saksi maka MK mengabulkan permohonan tersebut.
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi
usaha. Tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi.
Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing.
Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk
perjanjian kerja waktu tertentu “PKWT”, tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu “PKWTT”.
Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing. Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja
antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara, model
kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan
perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan.
Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti Putusan MK No 27PUU-
IX2011 itu melalui Surat Edaran Nomor B.31PHIJSKI2012 tentang Pelaksanaan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27PUU-IX2011
tanggal 17 Januari 2012. “Putusan Mahkamah Konstitusi itu ditindaklanjuti dengan Surat Edaran untuk mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme
yang selama ini sudah berjalan, sehingga hak-hak para pekerja outsourcing benar-benar terjamin,” kata Menakertrans Muhaimin Iskandar, sebagaimana
dikutip dalam artikel Kemenakertrans Terbitkan Aturan Outsourcing dan PKWT.
Posisi pekerja yang lemah dapat diantisipasi dengan dibentuknya serikat pekerja serikat buruh yang ada di perusahaan . Diharapkan dengan
adanya serikat pekerja di perusahaan dapat mewakili dan menyalurkan aspirasi pekerja, sehingga dapat dilakukan upaya peningkatan kesejahteraan
pekerja. Dengan kata lain serikat pekerja buruh diharapkan dapat sebagai wadah pekerja dalam memperjuangkan haknya.
Secara sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa
bekerja pada orang lain. Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja .
Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan maka perlu adanya campur tangan pemerintah
untuk memberikan perlindungan hukumnya. Kedudukan buruh yang lemah ini membutuhkan suatu wadah supaya
menjadi kuat. Wadah itu adalah adanya pelaksanaan hak berserikat di dalam suatu serikat pekerja. Tujuan dibentuknya serikat pekerja adalah
menyeimbangkan posisi buruh dengan majikan. Melalui keterwakilan tenaga kerja di dalam serikat pekerja maka diharapkan aspirasi buruh dapat
sampai kepada majikan. Selain itu melalui wadah serikat pekerja ini diharapkan akan terwujud peran serta tenaga kerja dalam proses produksi.
Selain itu dengan adanya serikat pekerja diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kerja.
Dengan Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat melalui Keputusan Presiden R.I. Nomor 83 tahun 1998.
dimulailah babak baru dalam berorganisasi di kalangan pekerjaburuh di Indonesia. Ratifikasi tersebut menanamkan fondasi yang teguh bagi
demokratisasi gerakan pekerjaburuh, sejalan dengan tuntutan reformasi di segala bidang kegiatan bangsa Indonesia. Sebagai salah satu langkah
reformasi bidang Hubungan Industrial dan sejalan pula dengan ratifikasi konvensi ILO tersebut, maka negara Indonesia telah mengundangkan
Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat PekerjaSerikat Buruh pada tanggal 4 Agustus 2000.
Pada perjalananya, memang ditemukan beberapa kondisi yang tidak mudah dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tersebut.
Namun tentunya kesulitan-kesulitan tersebut tidak boleh menyurutkan tekad kita bersama untuk terus menegakkan dan menumbuhkan spirit demokrasi
di kalangan pekerjaburuh sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan pekerjaburuh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Serikat Pekerja Menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja Serikat Buruh Bab satu berisi definisi umum.
Serikat pekerjaserikat buruh adalah organisasi yang didirikan oleh, dari dan untuk pekerja di dalam atau di luar perusahaan, milik negara atau pribadi,
yang bersifat tidak terikat, terbuka, independen dan demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan untuk memperjuangkan, membela dan melindungi
hak-hak dan kepentingan pekerja, maupun untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Istilah pekerjaburuh.
Mengacu pada setiap orang yang bekerja untuk memperoleh upah atau bentuk pendapatan yang lain. Serikat harus bersifat tidak terikat,
terbuka, independen, demokratis dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas maka
peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Peranan Serikat Pekerja Nasional SPN DPC Kota Semarang dalam Memperjuangkan Hak-hak Tenaga Kerja
Outsourcing di Kota Semarang Pasca Putusan MK Nomor 27PUU- IX2011”
1.2 IDENTIFIKASI DAN PEMBATASAN MASALAH