Definisi Agresif Perilaku Agresif Anak

nilai-nilai yang dimiliki. Ditekankan bahwa hanya dengan memperhatikan orang lain maka pembelajaran dapat dipelajari. 2.2.1.2. Mengingat Retention Subjek yang memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam sistem ingatannya. Kemampuan untuk menyimpan informasi ini penting karena subjek dapat melakukan peristiwa itu kelak jika diperlukan atau diingatnya. 2.2.1.3. Reproduksi Gerak Reproduction Setelah mengetahui atau mempelajari suatu tingkah laku, subjek dapat menunjukkan kemampuannya atau menghasilkan apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku tersebut. Artinya, setelah subjek mengamati model dan menyimpan informasi maka sekarang saatnya untuk melakukan tingkah laku yang diamatinya. 2.2.1.4. Motivasi Adalah penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu. Subjek harus termotivasi untuk meniru perilaku yang telah dimodelkan.

2.2.2 Definisi Agresif

Kamus besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa agresi merupakan perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau kegagalan di dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat ditujukan kepada orang atau benda sedangkan agresif merupakan keinginan untuk menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Chaplin 1999 mengatakan bahwa agresivitas adalah kecenderungan habitual yang dibiasakan untuk memamerkan permusuhan. Secara umum agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap organisme lain, objek lain atau bahkan pada dirinya sendiri Hudaniah, 2006: 231. Menurut Dodge 1997 perilaku agresif muncul akibat kegagalan, kekurangan, atau ketidakmampuan dalam memproses informasi sosial. Seseorang dapat berperilaku agresif akibat dari frustasi yang ia alami saat ia tidak mampu untuk memproses informasi. Sedangkan menurut Robert Baron menyatakan bahwa agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mecelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Berasal dari definisi ini terdapat empat faktor tingkah laku yaitu tujuan untuk mencelakakan atau melukai, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku. Dalam perilaku agresif dapat ditemukan unsur penting yang harus ada, yaitu adanya tujuan atau kesengajaan dalam melakukannya. Sebagai contoh ada orang yang tergesa-gesa hingga mendorong orang lain hingga jatuh, orang yang tergesa-gesa ini tidak dapat diartikan berperilaku agresif, lain halnya jika ia mendorongnya dengan sengaja. Jadi tidak semua orang dapat diartikan berperilaku agresif.

2.2.3 Perilaku Agresif Anak

Berdasarkan penjelasan di atas perilaku agresif dapat diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktifitas organisme makhluk hidup yang berkeinginan untuk menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Menurut Hartub dan Hurlock tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku agresif juga terdapat pada anak-anak meski dengan intensitas kecil tidak sampai penyiksaan, pembunuhan dan lain- lain seperti orang dewasa. Perilaku Agresif ini dapat terlihat pada masa bayi, yaitu ketika si bayi sedang tidak meras senang. Menurut Bolman Hebert, 1974, dalam usia 0-6 bulan individu sudah memperlihatkan agresifnya meski belum dapat dibedakan bentuknya, perilaku mereka bertujuan mengurangi ketegangan. Pada tahap selanjutnya dapat diketahui perbedaan mengenai tipe perilaku, objek maupun tujuannya. Hartub berpendapat bahwa agresi pada mulanya dijadikan alat untuk memperoleh sesuatu. Anak-anak Taman kanak- kanak sering bertengkar untuk dan berkelahi memperebutkan permainan. Masa kanak-kanak akhir yang berlangsung antara usia 6-12 tahun, dikatakan Hurlock 1995 bahwa masa ini akan memasuki dunia sekolah atau biasa disebut dengan school aged, di mana dalam masa ini akan terjadi perubahan besar pada pola kehidupan anak. Kekerasan yang dialami oleh anak, baik secara langsung maupun tidak langsung cenderung mendorong kekerasan atau perilaku agresi oleh anak. Selanjutnya pada usia 6-14 tahun menurut Bolman perilaku agresi yang timbul dapat berupa kemarahan, kejengkelan, rasa iri, tamak, cemburu dan suka mengkritik. Perilakunya tersebut dapat diarahkan kepada teman sebaya, saudara sekandung, bahkan pada dirinya sendiri. Kemudian pada usia setelahnya perilaku agresif yang dimunculkan lebih bertujuan untuk keseimbangan emosi, khususnya harga diri. Mereka sudah mampu untuk memodifikasi perilaku agresif tersebut. Observation learning atau social learning adalah metode yang lebih sering digunakan anak-anak sehingga mereka menjadi agresif. Anak-anak yang melihat model orang dewasa agresif secara terus-menerus akan lebih agresif dibandingkan dengan anak-anak yang melihat model orang dewasa non agresif. Menurut Bandura, motivasi individu dalam mencontoh agresi yang ditampilkan oleh model akan kuat apabila si model memiliki daya tarik yang kuat serta dengan agresi yang dilakukannya itu si model memperoleh akibat yang menyenangkan atau efek yang positif berupa penguatan atau ganjaran. Model teoritik tentang perkembangan agresi pada anak-anak menurut Huesman 1988 dalam Hudaniah, 2006: 241 adalah adanya “aggressive cognitive script ” yang diperoleh anak. Sebenarnya skrip naskahskenario ini merupakan suatu program untuk berperilaku, yang dipelajari pada saat awal kehidupan, disimpan dalam ingatannya dan pada gilirannya akan digunakan sebagai petunjuk dalam berperilaku dan memecahkan suatu persoalan sosial. Televisi yang memberikan berbagai macam jenis tayangan membuat semakin orangtua khawatir. Pasalnya tidak sedikit dari program televisi yang mengandung berbagai jenis unsur misalnya unsur kekerasan yang dapat memicu anak untuk berperilaku agresif. Menurut Huesman ada dua cara yang dapat menimbulkan kekerasan yaitu untuk jangka panjang terjadinya efek kumulatif dari skrip yang dimiliki sang anak sejalan dengan makin banyaknya contoh- contoh kekerasan yang dilihatnya. Kedua, dalam jangka pendek hal demikian dapat berfungsi sebagai pemicu terjadinya tindak kekerasan dari skrip yang sudah dipelajari si anak. Namun demikian penggunaan skrip ini tergantung juga pada kekuatan jejak ingatan dan juga isyarat-isyarat dari lingkungan yang menyebabkan si anak mengingat kembali skrip yang dimilikinya. Semakin sesuai antara situasi yang dihadapi anak dengan karakteristik situasi yang diingat dalam ingatannya, maka semakin besar kemungkinan digunakannya skrip tersebut sebagi petunjuk berperilaku. Televisi merupakan kotak tabung ajaib yang dapat dijadikan si anak pengganti teman bermain. Berasal dari sanalah sang anak dapat mempelajari perilaku-perilaku baru yang kemungkinan akan ia gunakan dalam lingkungan sosialnya. Berbagai macam jenis perilaku dapat ditiru oleh anak, meski ia tidak mengerti sepenuhnya informasi yang ia masukkan ke dalam memorinya sehingga memori tersebut sewaktu-waktu dapat digunakan olehnya.Tak mungkin dipungkiri anak akan sewaktu-waktu akan berperilaku agresif dari salah satu tayangan yang mengandung unsur kekerasan yang ia tonton. Anantasari 2006: 117 menyebutkan ada beberapa penjelasan mengenai proses kekerasan melahirkan kekerasan, antara lain: 2.2.2.1. Adanya imitasi oleh anak, karena pada dasarnya anak belajar melalui meniru apa yang dilihatnya. Hal ini menjadi kecenderungan yang besar sekali untuk meniru, terlebih lagi ketika ia melihat bahwa perilaku agresif itu berdampak menyenangkan. Misalnya, mendapatkan mainan yang diinginkannya, atau dipuji temannya. 2.2.2.2. Pembentukan kerangka pikir anak bahwa perilaku agresi adalah hal yang perlu untuk dilakukan. Ketika orangtua atau orang-orang di lingkungan sekitarnya sering memaki, anak cenderung untuk menganggap makian sebagai hal yang lumrah, sehingga ia cenderung untuk memaki orang lain juga. 2.2.2.3. Kekerasan yang dialami atau dilihat anak secara terus-menerus akan membentuk pola pikir pada anak bahwa lingkungan sekitarnya bukanlah tempat yang aman baginya. Anak ini akan cenderung memiliki sikap curiga, tidak bersahabat pada orang lain dan meningkatkan kemungkinan untuk berperilaku agresif. 2.2.2.4. Anak yang mengalami kekerasan terus-menerus cenderung memiliki harga diri yang rendah. Harga diri yang rendah ini akan memunculkan sikap negatif dan mengurangi kemampuan anak berurusan dengan perasaan frustasi. Sikap negatif dan kemampuan mengatasi frustasi yang rendah ini kemudian akan meningkatkan kecenderungan berperilaku agresif pada anak. Kecenderungan perilaku agresif yang dilakukan anak berasal dari sifatnya yang suka mengimitasi. Anak akan meniru kekerasan atau perilaku agresif yang dialami atau dilihatnya serta mendapatkan dukungan untuk melakukan perilaku agresif. Suatu perilaku yang secara verbal maupun fisik sehingga akan menyebabkan rasa sakit baik secara fisik ataupun psikis bagi individu yang tidak menginginkan timbulnya perilaku tersebut. Untuk menentukan seorang anak dikategorikan berperilaku agresif atau tidak, Bandura 1973 mengemukakan kriteria yang perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan agresif tidaknya suatu perilaku, yaitu 2.2.2.1. Kualitas perilaku agresif, derajat atau ukuran, tingkatan perilaku agresif terhadap korban baik berupa serangan fisik atau psikis, membuat malu, merusak barang orang lain, 2.2.2.2. Intensitas perilaku, sering-tidaknya melakukan tindakan-tindakan yang merugikan atau membahayakan korban, 2.2.2.3. Ada kesengajaan, dalam melakuakn tindakan agresif, ada niat yang tersurat, sengaja melakukan perilaku agresif, 2.2.2.4. Karakteristik pengamat, yaitu orang yang memperhatikan perilaku agresif yang dilakukakn oleh seseorang. Hal ini akan beragam karena akan ditentukan oleh jenis kelamin, kondisi sosial-ekonomi, etnis, pengalaman perilaku agresif, 2.2.2.5. Pelaku menghindar ketika orang lain menderita sebagai akibat perbuatannya, tidak ada perasaan bersalah atau berdosa, 2.2.2.6. Karakteristik si pelaku itu sendiri, misalnya faktor usia, jenis kelamin, pengalaman berperilaku agresif.

2.2.4 Bentuk-Bentuk Perilaku Agresif Anak