Program Televisi dan Perilaku Agresif Pada Anak

agresif di mana dengan menyaksikkan kekerasan bisa mematahkan rintangan dan perilaku agresif nampaknya umum dan bisa diterima. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Mulyono 1991: 11 yang menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku- perilaku agresif antara lain: 2.2.4.1. Lingkungan masyarakat yaitu kepadatan penduduk, kemajuan modernisasi yang cepat dan mempengaruhi kebudayaan lain 2.2.4.2. Lingkungan keluarga, yaitu keadaan keluarga yang tidak harmonis atau “broken home”, pendidikan yang salah dan anak yang ditolak 2.2.4.3. Lingkungan sekolah, yaitu keadaan sekolah yang sistem pendidikannya tidak menarik, menjemukan dan guru yang mengabaikan komunikasi dialetis komunikasi timbal balik antara guru dan murid Hal ini dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif berasal dari faktor internal yang meliputi hormonal, frustasi dan stres pada diri seseorang serta faktor eksternal yang meliputi lingkungan keluarga seseorang, lingkungan teman sebaya, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah.

2.3 Program Televisi dan Perilaku Agresif Pada Anak

Media massa televisi semakin menarik perhatian masyarakat termasuk Indonesia. Ini dikarenakan adanya siaran-siaran televisi swasta yang di dalamnya dibalut aneka siaran produk lokal maupun luar negeri. Selain itu, televisi mempunyai daya tarik tersendiri bagi anak-anak. Keberadaan televisi dapat dijadikan anak-anak sebagai sarana permainannya dikala ia merasa kesepian atau tidak memiliki kegiatan. Penelitian Greenberg mengungkapkan adanya delapan motif kenapa anak menonton televisi, yaitu : untuk mengisi waktu, melupakan kesulitan, mempelajari sesuatu, mempelajari diri, memberikan rangsangan, bersantai, mencari persahabatan dan sekedar kebiasaan. Jadi, tidak selamanya, tapi lebih cenderung dalam rangka “pencarian kepada sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya”. Kesederhanaan televisi dalam menyampaikan pesannya memungkinkan anak dengan mudah menerima pesan tersebut.Kemudahan ini ditunjang dengan sifatnya yang audio-visual pandang-dengar sehingga informasi data yang disampaikan menjadi sangat mudah untuk diterima dan dicerna oleh pemirsa, bahkan oleh anak kecil sekalipun yang sebenarnya tidak mengerti maksud dan tujuan dari tayangan tersebut. Daya tarik akan televisi berbeda pada masing-masing anak dan biasanya sesuai dengan tingkat usianya. Dari hasil penelitiannya, Hurlock mengambil kesimpulan bahwa anak usia prasekolah lebih menyukai dramatisasi yang melibatkan hewan dan orang yang dikenal, musik, kartun dan komedi sederhana. Anak kelas satu dan dua biasanya menyukai pertunjukan boneka, film koboy, misteri, humor, suasana kehidupan keluarga, acara kuis berhadiah. Anak kelas tiga dan empat biasanya menyukai acara yang imajinatif seperti tentang roket dan kendaraan ruang angkasa, show, cerita misterik detektif, drama dan musik. Sedangkananak kelas lima dan enam lebih cenderung pada acara yang bersifat ilmu pengetahuan dan hasta karya, termasuk juga menyenangi acara yang imajinatif dan film-film. Banyak pendapat yang tidak menyetujui dipertontonkannya adegan kekerasan di hadapan anak-anak. Albert Bandura 1969 psikolog dari Universitas Standford berpendapat bahwa respon agresif itu bukan turunan tetapi terbentuk dari pengalaman anak. Anak-anak yang mengamati seseorang yang berperilaku keras akan melakukan perilaku yang serupa ketika kemudian diberikan kesempatan. Aletha Huston, Ph.D mengatakan bahwa anak-anak yang menonton kekerasan di televisi lebih mudah dan lebih sering memukul teman- temannya, tidak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai dan lebih tak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di televisi. Penelitian lain dan mungkin meyakinkan menggunakan prosedur longitudinal, dimana partisipan yang sama dipelajari selama bertahun-tahun misalnya, Huesmann Eron, 1984, 1986. Hasil penelitian ini menyebutkan makin banyak film atau program televisi dengan kandungan kekerasan yang ditonton partisipan saat kanak-kanak, makin tinggi tingkat agresi mereka ketika remaja atau dewasa - misalnya, makin tinggi kencederungan mereka untuk ditangkap atas tuduhan kriminal dengan kekerasan. Temuan-temuan seperti ini juga diperoleh di berbagai negara seperti Australia, Firlandia, Israel, Polandia dan Afrika Selatan Botha, 1990 dalam Robert dan Donn 2003: 209. Menurut Ade E. Mardiana, program televisi berpotensi besar diimitasi oleh pemirsanya Kompas, 10 November 2008 dalam Hudaniyah 2006: 156. Media massa khususnya televisi merupakan media tontonan yang mempunyai kesempatan lebih tinggi bagi pemirsanya untuk mengamati apa yang disampaikan secara jelas. Kemudian dilakukan penelitian tentang hubungan kekerasan dan televisi dengan mengajukan hipotesis “mengamati kekerasan akan mening katkan agresivitas” Hadad dan Glassman, 2004 dengan presentase kategori program televisi sebagai berikut. Tabel 2.3 Kategori Acara yang Mengandung Kekerasan Kategori Acara yang Mengandung Kekerasan Persentase Sinetron 29,7 Variety dan Reality Show 20,9 Berita 10,1 Iklan 8,1 Film Kartun 6,8 Talk Show 6,8 Kuis 6,8 Olahraga 2 Lainnya 4,1 Sumber: Kompas, 10 November 2008 dalam Sarwono, 2012 Tayangan-tayangan diatas terkadang tidak disadari jika didalam tayangan tersebut mengandung unsur kekerasan. Misalnya dalam sinetron yang menampilkan adegan-adegan pertegkaran untuk memperebutkan harta warisan, film kartun yang menapilkan sebuah pertarungan pahlawan dengan penjahat, talk show yang menampilkan perbicangan yang dihadiri tamu undangan dan kemudian malah berargumen sampai meluapkan emosi dan lain sebagainya. Jadi sebagai penikmat televisi harus benar-benar memperhatikan tayangan yang akan ditontonnya .

2.4 Penelitian Sebelumnya