diIndonesia. Dengan penghasilan yang cukup besar tersebut maka dimungkinkan adanya penempatan modal keluarga yang secara potensial
dapat diarahkan untuk pembiayaan usaha-usaha mandiri selanjutnya. Selain itu dengan upah tinggi dapat meningkatkan pemasukan devisa bagi neraca
pembayaran negara. Hal ini disebabkan karena nilai kurs dollar lebih tinggi dari kurs rupiah. Barthos, 1990 : 72-73. Faktor-faktor diataslah yang
menjadi alasan banyaknya warga negara indonesia tertarik untuk mengadu nasib di negeri orang, dan dalam hal ini para wanitapun tak mau kalah
dengan laki-laki, yang rela meninggalkan keluarganya demi terciptanya peningkatan kesejahteraan keluarga. Seperti yang terjadi di Desa Krengseng
Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang.
2.7 Kemitraan Antara Suami Dan Istri
Pada dasarnya konsep hubungan suami dan istri yang ideal menurut Islam adalah konsep kemitrasejajaran atau hubungan yang setara
sebagaimana disebutkan dalam firmannya : “…Mereka perempuan adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah
pakaian bagi mereka perempuan...”. Q.s.al-Baqarah2 : 187 dalam Munti, 1999: 56
Prinsip kemitraan ini juga ditunjukkan oleh Rasulullah dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagai utusan Allah, beliau setiap hari
menjalankan tugas dakwah. Memberikan pengajian rutin pada malam hari untuk kaum pria, pengajian khusus kaum wanita satu kali dalam seminggu,
menjadi imam dalam salat berjamaah setiap waktu, menjadi khatib Jum’at
dan lain-lain. Namun, didalam rumah tangga, beliau juga biasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Aisyah menuturkan bahwa Nabi sering menjahit
baju, menjahit kembali sandal yang rusak, dan mengerjakan pekerjaan yang biasa dikerjakan seorang perempuan dirumah. Ada riwayat yang
menuturkan bahwa menjahit adalah pekerjaan yang paling sering beliau kerjakan.
Sejarah Rasullullah tersebut jelas menunjukkan bahwa beliau tidak segan-segan mengerjakan pekerjaan kerumah tanggaan yang dipandang oleh
banyak orang sebagai tugas kaum perempuan. Demikian pula dalam hal ekonomi, ada kalanya para istri Rasullullah bergantung kepadanya, namun
bukan tidak ada istri Nabi yang justru menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga. Dia adalah Khadijah, istri pertama beliau. Kehadiran Khadijah
yang menyokong kehidupan Rasullullah, khususnya dalam ekonomi keluarga, sangat berperan dalam perjalanan dakwah Nabi, terutama pada
awal perkembangan Islam. Figur Khadijah tidak saja sebagai pencari nafkah utama didalam keluarga Rasullullah, bahkan dapat dikatakan Khadijah-lah
yang menjadi kepala keluarga saat itu. Namun konsep kesetaraan dalam hibungan suamu istri ini tidak
begitu saja mudah diterapkan dalam kenyataan sehari-hari umat. Kenyataannya banyak hambatan-hambatan untuk mewujudkan nilai ideal
tadi. Setiap manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan satu sama lain. Kemampuan antara satu manusia dengan manusia yang lain juga punya
tingkatan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, adalah wajar bila pada satu
masa kaum laki-lakilah yang diunggulkan, berhak menyandang posisi sebagai pemimpin, karena pada waktu itu laki-lakilah yang memiliki
kelebihan kekayaan, dan kemampuan berburu, sehingga memungkinkan baginya untuk mencari nafkah. Sementara kaum perempuan pada waktu itu
dalam kondisi yang sebaliknya. Tetapi sekarang perempuan telah memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk menjadi unggul dalam berbagai
bidang kehidupan, bahkan secara ekonomi tidak lagi tergantung pada laki- laki. Maka hubungan laki-laki dan perempuan bukan lagi sebagai pemimpin
dan yang dipimpin, tetapi lebih sebagai mitra. Hal ini juga berarti bahwa bilamana laki-laki tidak memiliki keunggulan, termasuk tidak mampu
menafkahi keluarga, maka gugurlah perannya sebagai kepala keluarga. Karena sebagai manusia ia tidak memiliki keunggulan dibandingkan
istrinya. Sebaliknya, bila perempuan tersebut yang memiliki keunggulan, maka otomatis perempuanlah yang menjadi kepala keluarga, karena berarti
ia lebih memiliki keunggulan dibanding suaminya. Yang ingin dikatakan melalui ayat ini ideal moralnya adalah
bahwa pada prinsipnya posisi laki-laki maupun perempuan adalah setara. Prinsip kesetaraan ini secara jelas ditegaskan juga oleh al-Qur’an dalam
beberapa ayatnya yang lain, seperti firmannya yang diulang ulang dibeberapa ayat :
“ Barang siapa melakukan kebajikan, baik ia laki-laki maupun perempuan, sedang ia adalah manusia beriman, akan masuk ke dalam
surga ”. Q.s.4:124;40;40;dan 16:97 dalam Munti, 1999: 59
Didalam ayat ini jelas bahwa sesama makhluk Tuhan, laki-laki dan perempuan sama-sama akan mendapatkan ganjaran setimpal dengan
perbuatannya. Sementara itu, beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menunjukkan prinsip kesetaraan dalam hubungan laki-
laki dan perempuan, khususnya pada lingkup keluarga. Termasuk didalam prinsip ini adalah bahwa secara kondisional perempuanpun dapat menjadi
kepala keluarga karena keunggulan yang dimilikinya. Di dalam sebuah hadis disebutkan :
“… Satu kali Nabi pernah mengadakan pengajian bersama-sama dengan kelompok perempuan. Dalam pengajian tersebut Nabi bersabda:
“Bersedekahlah kalian, walaupun dengan perhiasan kalian”. Seorang perempuan bernama Zainab, istri Ibnu Mas’ud yang memberi nafkah
suaminya dan anak-anak yatim yang ada dirumahnya, mendekati Bilal agar Bilal dapat menanyakan persoalannya kepada Nabi. Pada saat yang sama,
ada perempuan lain yang mempunyai kasus yang sama dengan Zainab. Kedua perempuan tersebut ingin menanyakan apakah nafkah yang
diberikan kepada suami dan anak-anak yatim itu sudah cukup mengganti sedekah yang diperintahkan Nabi?Nabi menjawab, “Ya.”Bahkan kata Nabi,
perempuan tersebut memperoleh dua pahala. Pertama pahala berbuat baik kepada keluarga, dan kedua, pahala bersedekah…”.
H.r. Bukhari dan Muslim dalam Munti, 1999: 60 Hadis ini jelas menunjukkan bahwa Nabi tidak menyalahkan Zainab
yang mengambil peran suaminya sebagai kepala rumah tangga yang seharusnya mencari nafkah bagi keluarganya. Sebaliknya, Nabi justru
mendukung peran Zainab sebagai pencari nafkah keluarga tersebut. Munti,1999 : 57-60
2.8 Kerangka Teoretik