Gagrak Wayang Kulit Purwa

26 Angulat-ulati, berasal dari kata ulat yang berarti air muka. Angulat-ulati, memberikan perwatakan pada wajah wayang, misalnya membuat alis, mempertegas biji mata, membuat godek, memperjelas bibir dan gigi wayang sesuai dengan karakter masing -masing tokoh wayang yang di pulas. Seorang tukang pulas dituntut juga menguasai karakter wayang yang disunggingnya, sehingga tidak lari dari karakter yang sebenarnya. Angulat-ulati berarti memberi lukisan air muka. Misal, ketika melukiskan pusat mata hendaklah tidak ditengah- tengah sekali, tetapi agak maju sedikit. Angedus, proses memandikan wayang, agar warna semakin mengkilat dan tahan lama. Demikianlah beberapa tahapan dalam menyungging wayang. Menghidupkan air mukanya, itulah pekerjaan terakhir dan menghasilkan wayang paripurna, setelah pemasangan gapit dan penyambungan tangan.

2.2 Gagrak Wayang Kulit Purwa

Pada awal pemerintahan Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati menambahkan wayang Garuda dan Gajah untuk pelengkap pertunjukan. Saat ini pula lah rambut mulai ditatah halus. Wayang inilah yang sekarang dikenal sebagai wayang gagrakgaya Mataraman. Pada masa pemerintahan Mas Jolang, Wayang kembali diperbesar. Dengan mulai menggunakan istilah wanda pada wayang- wayang tertentu. Setelah jaman pemerintahan Sultan Agung, tepatnya zaman pemerintahan Amangkurat Tegal Arum, pakem pedalangan kemudian pecah menjadi dua. Yaitu Gaya Kanoman oleh Nyi Anjang Mas dengan penggunaan sepatu, jubah, dan keris pada wayang dewa dan pendeta yang beroprasi di wilayah timur www.gagrak Wayang030410. 27 Gaya yang satu lagi adalah gaya Kasepuhan oleh Kyai Panjang Mas. Gaya pedalangan ini menghilangkan Bagong karena mendapat larangan dari pemerintah Belanda. Bagong dianggap sebagai orang yang lancang mulut dan sering mengkritik pemerintahan Belanda di Jawa. Pada pemerintahan Pakubuono III pusat pemerintahan Mataram dipindah dari Kartasura ke Surakarta. Ini adalah masa peralihan dari gaya Mataraman ke jaman Surakartan. Perubahan ini terlihat dengan diubahnya bentuk kera dan raksasa sehingga hanya bermata satu. Selain itu wayang gaya Surakarta juga diperamping sehingga memudahkan dalang dalam melakukan sabet atau olah wayang. Pada masa pemerintahan Pakubuono IV, terjadi perselisihan antara golongan tua dan muda. Golongan tua yang dikepalai oleh Pangeran Mangkubumi menyatakan perselisihannya terhadap Pakubuono IV yang mau bekerjasama dan mengakui kedaulan pemerintahan Belanda atas kerajaan Mataram. Akibat dari perjanjian Giyanti, Mataram di pecah menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta. Pangeran Mangkubumi lalu menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono I. Sebagai golongan tua, kemudian Mangkubumi mengembangkan wayang gaya Mataraman sedangkan Pakubuono IV mengembangkan wayang gaya Surakarta atau sekarang lebih tenar dengan nama wayang gaya Solo. Lebih lanjut, Kasunanan Surakarta yang kemudian pecah lagi menjadi Kasunanan Solo dan Mangkunegaran. Oleh Mangkunegara I, wayang gaya Solo lalu di perbesar. Pada wayang gaya Yogyakarta pun lalu terjadi perubahan dengan adanya gaya baru yaitu wayang Paku Alaman yang masih 28 mempertahankan bentuk gaya Mataram namun kebanyakan wayangnya menggunakan keris www.gagrak wayang kulit purwa.pdf030410. Berbicara masalah gagrak dalam konsep wayang disebut dengan gaya dalam seni selalu terkait dengan istilah aliran seni. Gaya atau corak, langgam maupun style still sebenarnya berurusan dengan bentuk luar sesuatu karya seni. Sebenarnya, yang dimaksud gaya wayang kulit purwa disini yaitu : Suatu terminology dalam dunia seni yang memberi keterangan ragam tentang adanya corak tertentu, sehingga masing-masing ragam dapat dilihat dan dibedakan dengan jelas. Gaya ini tidak hanya terbatas pada perwujudan wayangnya saja seperti ukuran wayang, jenis tatahan dan sunggingannya, namun juga meliputi pementasannya yakni tari, suluk, dan iringannya Sagio dan Ir. Samsugi:13 . Berdasarkan berbagai sumber www.gagrak wayang wayang kulit purwa030410; Sularno 2010, wwwwapediamobiidBanyumas260610 ada berbagai macam gagrak wayang kulit yaitu gagrakgaya Surakarta, Yoyakarta, Jawa Timuran, Banyumasan, Cirebonan dan lain-lain semuanya memiliki perbedaan dan memiliki ciri yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini akan lebih banyak membahas mengenai wayang gagrak Surakarta dan gagrak Yogyakarta dan Pesisiran. Secara khusus penelitian ini mengkaji mengenai keanekaragaman panakawan dilihat dari segi perbentukan visualnya. Dalam penelitian ini lebih mengutamakan pada panakawan wayang kulit purwa Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Berbicara mengenai wujud visual wayang kulit purwa dirasa masih sangat luas pengertiannya, sebab yang dimaksud dengan wujud visual itu adalah 29 keseluruhan bentuk wayang yang dapat dilihat secara langsung oleh mata, seperti ukuranproporsi wayang, busanaatribut-atribut yang dikenakan, wandakarakter wayang, bentuk-bentuk tatahan, bentuk mata, bentuk-bentuk hidung, bentuk mulut dan sungginganpewarnaan dalam wayang. Oleh karena itu penelitian ini dibatasi hanya akan meneliti pada bagian mata, hidung, mulut, busanaatribut-atribut dan sungginganpewarnaan saja

2.3 Tokoh Panakawan