Asosiasi Penangkapan Udang Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura

pertahanan dan keamanan negara, dijelaskan bahwa TNI Angkatan Laut mempunyai tugas sebagai komponen utama kekuatan pertahanan di laut. Dan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1983, tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tercantum bahwa aparatur penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah perwira TNI Angkatan Laut yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Panglima TNI. Lebih ditegaskan lagi dalam pasal 31 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1985, tentang perikanan bahwa penegakan keamanan di laut dilaksanakan oleh TNI Angkatan Laut. Selain Departemen Kelautan dan Perikanan dan TNI Angkatan Laut masih ada beberapa instansi pemerintah yang memiliki wewenang pengawasan. Di bawah ini adalah lembagainstansi yang ada di Provinsi Papua yang terkait dan mengklaim memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan dalam kegiatan perikanan tangkap: 1 Dinas Perikanan dan Kelautan 2 Pelabuhan Perikanan 3 PPNS dan Pengawas Perikanan 4 TNI Angkatan Laut 5 Polisi Air dan Udara 6 Syahbandar, Departemen Perhubungan 7 Bea dan Cukai, Departemen Keuangan 8 Imigrasi, Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengawasan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada pada saat ini dinilai sangat beragam dan kompleks. Hal ini menyebabkan tersebarnya kewenangan yang kadang-kadang berpeluang menimbulkan konflik, menghambat penegakan hukum, pada gilirannya menyulitkan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan itu sendiri. Selain lembaga-lembaga pemerintah tersebut masih ada himpunan dan asosiasi maupun LSM yang juga mengklaim sebagai stakeholder. Sampai pada tahun 2004 telah terbentuk kelembagaan Siswasmas di 3 daerah di Papua yaitu di Jayapura, Sorong dan Merauke .

4.8 Asosiasi Penangkapan Udang

Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia disingkat dengan HPPI adalah satu-satunya asosiasi penangkapan udang dan merupakan organisasi perikanan pertama di Indonesia. Ide dasar HPPI didirikan oleh para pelaku usaha penangkapan udang adalah untuk mendukung pembangunan perikanan Indonesia, meningkatkan taraf hidup rakyat, khususnya masyarakat perikanan serta untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan. HPPI berdiri pada tanggal 15 Pebruari 1974. Sampai akhir tahun 2004, HPPI menghimpun anggota sebanyak 12 perusahaan yang terdiri dari 7 perusahaan PMA, 2 perusahaan PMDN dan 3 perusahaan swasta nasional dengan jumlah armada 136 unit kapal penangkap udang. 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura

Diperkirakan setiap tahun sebanyak 332,186 ton Ikan hasil tangkapan sampingan dihasilkan dari Laut Arafura dengan rincian di perairan sekitar Perairan Dolak sebanyak 195,09 tontahun, di perairan sekitar Kepulauan Aru sebanyak 77,07 tontahun, di Perairan Avona sebanyak 48,30 tontahun. Dari seluruh ikan hasil tangkapan tersebut hanya sekitar 37 yang dimanfaatkan, sebagian besar lagi dibuang kembali ke laut dalam keadaan mati maupun hidup. Pendayagunaan sumberdaya kelautan dan perikanan selayaknya harus mampu memberikan kontribusi yang lebih bermakna terhadap pembangunan ekonomi nasional, untuk itu pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia harus bercirikan: 1 meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sumbangan terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja dan indikator pertumbuhan ekonomi lainnya; 2 memberikan keuntungan yang berarti bagi semua pelaku usaha dan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan; 3 mampu memelihara kualitas dan daya dukung lingkungannya, sehingga ketersediaan sumberdaya dan pembangunan ekonomi kelautan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Pendayagunaan sumberdaya tersebut di atas sesuai dengan UU Perikanan No. 31, tahun 2004, pasal 2 yang menyatakan bahwa pengelolaan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan dari pengelolaan perikanan adalah 1 meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, 2 meningkatkan devisa negara, 3 mendorong perluasan kesempatan kerja, 4 meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikani, 5 mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan, 6 meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing, 7, meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri dan pengolahan ikan, 8 mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal, dan 9 menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan tata-ruang. Mewujudkan misi pembangunan tersebut, maka diperlukan berbagai langkah strategis diantaranya adalah: a optimalisasi dan efesiensi pemanfaatan sumberdaya, b penerapan iptek dan manajemen profesional, c dukungan sistem dan mekanisme hukum serta kelembagaan yang memadai dan d dukungan kebijakan fiskal dan moneter yang kondusif. Sumber daya perikanan dinilai bersifat mampu pulih renewable, namun demikian keberadaannya bukan tidak terbatas, oleh sebab itu sumber daya perikanan perlu dikelola guna mencegah penangkapan yang melewati ambang kemampuan regenerasinya over fishing. Agar sumber daya ikan tetap lestari maka sumberdaya ikan harus dijaga dan pemanfataan dilakukan seoptimal mungkin. Guna mencapai kondisi seperti disebutkan di atas, maka aspek pengelolaan menjadi sangat penting dikembangkan dan dilaksanakan. Berbagai upaya pengelolaan untuk memanfaatkan sumber daya ikan secara optimal dan lestari dapat dirumuskan, sejumlah opsi alternatif kebijaksanaan pengelolaan dapat dipilih. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan upaya pengelolaan kegiatan perikanan pukat udang, diantaranya melalui; Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 561KptsUm111973 tentang pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan, mewajibkan kepada setiap pengusaha penangkapan udang untuk memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan guna pemenuhan kebutuhan bahan pangan. Demikian pula halnya, Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor: IK.010S3.806382K tentang pelaksanaan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang. Surat keputusan ini mengatur tentang jumlah ikan hasil sampingan yang harus dimanfaatkan, teknis pemanfaatannya dan pengawasan atau pemeriksaan atas kebenaran pemanfaatan yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan pukat udang. Namun demikian pelaksanaan surat keputusan tersebut dirasakan belum efektif dan disinyalir banyak terjadi pelanggaran, sehingga menimbulkan in-efesiensi pemanfaatan sumberdaya ikan. Status kini pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan Komposisi hasil tangkapan dari setiap daerah penangkapan ikan secara umum terdiri dari udang sebagai target spesies, jenis ikan, crustacea dan molluska. Jenis-jenis ikan yang banyak tertangkap dan mempunyai nilai ekonomis penting diantaranya; manyung Arius thallasinus, bawal hitam Formio niger, bawal putih Pampus argentus, kuwe Caranx spp, peperek Leiognathidae, kakap merah Lates calcarifer, gerot-gerot Pomadasys, ikan sebelah Psetodidae, layur Trichiurus sp, gulamah atau tigawaja Sciaenidae, kerong-kerong Theraponidae, kembung Rastrelliger spp, lemuru Sardinella longiceps, cucut Sphyrhinidae dan pari Trygonidae. Untuk jenis molluska yang mempunyai nilai ekonomis penting ; sotong Sepiida spp, cumi-cumi Loligo sp, gurita Octopus spp. Untuk jenis crustacea yang banyak tertangkap dan mempunyai nilai ekonomis penting adalah tiram Crassostrea spp, kepiting atau mud crab Scylla serrata, rajungan Portunus spp dan kerang darah Anadara spp. Besarnya jumlah hasil tangkapan sampingan bervariasi tergantung pada kedalaman perairan, musim, kondisi daerah pengkapan, lamanya penarikan jaring serta ukuran alat tangkap yang digunakan oleh setiap industri penangkapan udang. Dari seluruh hasil tangkapan sampingan 84 yang dimanfaatkan hanya sebanyak 37 sedangkan selebihnya sebanyak 63 dibuang kelaut discarded. Hasil tangkapan sampingan yang dimanfaatkan sampai saat ini masih dikelola oleh anak buah kapal dalam bentuk produk beku frozen product maupun kering salted fish. Saat ini, ikan-ikan dalam bentuk beku umumnya didaratkan di pelabuhan pendaratan terdekat dan dijual kepada pengusaha penampung sebagai bonus bagi anak buah kapal, sedangkan sisanya dikonsumsi oleh anak buah kapal selama beroperasi di laut 8 dan dibawa pulang ke rumah 18. Pada umumnya ikan-ikan yang didaratkan tidak tercatat diperusahaan dan tidak dilaporkan kepada pihak berwenang. Pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan berupa ikan beku masih dilakukan dengan cara yang sederhana. Ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis sebagaimana disebutkan di atas, dimasukkan kedalam pan lalu dibekukan selama 3 sampai 4 jam. Setelah ikan-ikan membeku kemudian dimasukkan ke dalam karung dimana setiap karung berisi 3 sampai 4 pan. Ikan hasil tangkapan sampingan yang didaratkan sangat terbatas jumlahnya karena keterbatasan volume palka, disamping itu kebijakan perusahaan penangkapan udang yang tidak mengijinkan anak buah kapal untuk memuat dan mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan. Dalam hal pemanfaatan khusus seperti di Kota Sorong, pemerintah setempat membuat kebijakan khusus seperti Kepala Dinas Pertanian dan Kelautan Pemerintah Kota Sorong membuat surat keputusan pada tahun 2004 tentang ketentuan pembongkaran ikan hasil tangkapam sampingan kapal pukat udang untuk konsumsi masyarakat di Kota Sorong. Surat keputusan tersebut diperkuat oleh instruksi Walikota Sorong tahun 2004 yang mengatur tentang perusahaan pukat udang untuk menjual hasil tangkapan sampingannya minimum sebanyak 10 kepada masyarakat lokal. Kendala pengelolaan hasil tangkapan sampingan Tiga kegiatan utama pengelolaan hasil tangkapan sampingan yaitu penangkapan, transportasi handling dari kapal penangkap ke darat dan pengumpulan atau penampungan di darat. Mendaratkan dan memanfaatkan hasil tangkapan sampingan memang tidak menarik bagi pengusaha penangkapan, karena nilai ekonomis ikan hasil tangkapan sampingan jauh lebih rendah dibandingkan tangkapan utama udang. Oleh sebab itu, faktor-faktor dibawah ini menjadi penyebab belum optimalnya pengelolaan ikan dan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura : 1 Perusahaan penangkapan udang melarang anak buah kapal untuk mengumpulkan dan mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan karena udang menjadi target utama; 2 Mahalnya biaya pengangkutan handling ikan hasil tangkapan sampingan ataupun produk dari hasil tangkapan sampingan dari daerah penangkapan fishing ground ke daratan; 3 Kurangnya industri pengolahan yang menampung dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang yang dekat dengan daerah penangkapan; 4 Masyarakat setempat Papua lebih menyukai produk ikan segar dibandingkan produk olahan terutama dari produk hasil tangkapan sampingan. 5 Pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan sebagai bahan baku industri tepung ikan dianggap terlalu mahal dan tidak efisien; 6 Kurangnya prasarana dan sarana pendukung yang disediakan pemerintah untuk pemanfatan ikan hasil tangkapan sampingan; 7 Lokasi pasar relatif jauh, sehingga produk olahan dari ikan hasil tangkapan sampingan menjadi mahal dan tidak kompetitif; 8 Rendahnya preferency masyarakat terutama masyarakat lokal meng- konsumsi ikan olahan dari hasil tangkapan sampingan. Kecuali di daerah Avonna dan Kaimana, meskipun belum optimal tetapi sebagian ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang telah dimanfaatkan. Pemanfaatan yang belum optimal tersebut disebabkan oleh : 1 Sarana dan prasarana penunjang masih sangat terbatas; 2 Belum mandirinya kelembagaan perikanan di pemerintahan daerah Kabupaten Kaimana bidang perikanan berada dibawah Dinas Kehutanan dan Pertanian; 3 Jalur transportasi antara PT. Avonna dengan pusat perekonomian dan pusat pemukiman masyarakat hanya bisa di akses lewat transportasi laut, itupun masih sangat terbatas belum ada trasnportasi umum; 4 Pemasaran ikan hasil tangkapan sampingan masih sangat terbatas, sehingga diperlukan upaya untuk memperluas akses pasar; 5 Lemahnya pengawasan dari instansi terkait menyebabkan banyaknya terjadi pembuangan ikan hasil tangkapan sampingan di tengah laut.

5.2 Perencanaan Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura