menyebabkan kerusakan permanen. Oleh sebab itu pengelolaan atau dalam terminologi yang lebih umum disebut dengan manajemen sumberdaya perikanan
patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan perikanan dapat tercapai.
Dilanjutkan oleh Nikijuluw 2002, setiap negara menetapkan tujuan dan prioritas pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbeda-beda tergantung
pada latar belakang ekonomi, sosial budaya, teknologi dan tidak jarang karena politik. Indonesia menempatkan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam visi
“Mewujudkan usaha perikanan produktif dan efisien berdasarkan pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab”.
Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF article 7, merekomendasikan agar pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan
diarahkan untuk menjadi solusi permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1
kelebihan kapasitas penangkapan ikan, 2
ketidak-seimbangan antara kepentingan berbagai pihak dalam memanfaatkan sumberdaya,
3 kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu dan
turunnya keanekaragaman hayati, serta 4
kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan yang diakibatkan oleh polusi, sampah dan buangan ikan-ikan yang tidak ekonomis padahal penting nilai
biologinya. CCRF juga menyarankan agar setiap negara mempromosikan kegiatan
pengelolaan sumberdaya ikan menjamin pendekatan dan kebijakan setiap negara didukung hukum dan undang-undang yang secara baik didesiminasikan
kepada masyarakat.
2.5 Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang
Slavin 1981 menjelaskan, pengelolaan hasil tangkapan sampingan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan struktur kegiatan perikanan tangkap
setempat serta kemampuan industri pengolahan ikan dalam menciptakan dan mengembangkan produk perikanan yang sesuai dengan permintaan pasar.
Menurut Alverson et al. 1994, jumlah hasil tangkapan sampingan dan perbandingan hasil tangkapan sampingan dengan target utama udang sangat
tergantung pada geografi, wilayah penangkapan dan musim, untuk lebih memudahkan perhitungan digunakan perbandingan antara hasil tangkapan
sampingan dan target utama udang di daerah sub-tropis adalah 5 : 1 dan di daerah tropis adalah 10 : 1, yang terdiri dari bermacam-macam spesies maupun
ukuran. Ikan-ikan besar pada umumnya banyak diminati dan harganya relatif tinggi, sedangkan ikan-ikan kecil, berduri kurang banyak diminati dan bernilai
ekonomi rendah. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengelola ikan
hasil tangkapan sampingan secara efisien dan ekonomis agar tidak terbuang sia- sia.
Slavin 1981 dalam Report of a Technical Consultation on Shrimp By- catch Utilization di Georgetown, Guyana, tahun 1981, menjelaskan pengelolaan
hasil tangkapan sampingan di Meksiko. Di Meksiko, kapal pukat udang dilengkapi dengan fasilitas untuk pengawetan seperti fasilitas pembekuan yang
mampu menjaga kondisi kesegaran ikan sampai 2 bulan, dan ada yang hanya menggunakan es ataupun refrigerator yang mampu menahan kesegaran ikan
sampai 2 minggu. Perbandingan antara hasil tangkapan sampingan dan udang di Meksiko
adalah 5 – 10 ton hasil tangkapan sampingan untuk setiap ton udang, dan setiap tahun sebanyak 700x10
3
ton ikan hasil tangkapan sampingan dihasilkan dari pengoperasian pukat udang. Jumlah ini setara dengan setengah dari seluruh
produksi perikanan tangkap Meksiko. Pemerintah Meksiko, melalui Departemen Perikanan memiliki program
untuk menganjurkan dan mendorong agar ikan hasil tangkapan sampingan dibawa ke darat dan dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk konsumsi
pangan. Pada tahun 1980, telah diawali dengan membangun suatu fasilitas pengolahan skala proyek percontohan pilot project dengan nama Productos
Pesqueros Mexicanos PPM di Xochimilco yang memproduksi ikan lumat yang disebut dengan Pepepez.
Spesies ikan-ikan besar dari ikan hasil tangkapan sampingan disalurkan ke pabrik pengolahan PPM yang berada di pelabuhan pendaratan utama, di wilayah
Guaymas dan Campeche. Sementara itu ikan-ikan kecil belum dimanfaatkan seluruhnya dan sebagian dibuang ke laut discarded. Ikan-ikan yang
dimanfaatkan ditangani dengan berbagai cara, ada yang dibekukan langsung di atas kapal, ada yang dipaket dengan es, selanjutnya dibawa dan didaratkan
bersama udang tangkapan utama, dan ada yang didaratkan sebagai ikan segar untuk pangan.
Dikutip dari Productos Pesqueros Mexicanos 1981, pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Meksiko sudah menjadi industri.
Jenis produkpun terus dikembangkan, selain memproduksi pepepez, khusus untuk kebutuhan pangan lokal PPM memproduksi ikan tanpa tulang deboned
fish, ikan kering dan daging ikan lumat asin salted mince. Disamping itu juga diproduksi ikan kaleng, kue ikan dan snack ikan. Pemerintah Meksiko terus
membantu dan mengembangkan pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, dengan membangun fasilitas-fasilitas pengolahan serta memberikan
insentif serta kemudahan kepada pengusaha dan ABK kapal pukat udang. Saisithi 1981 menjelaskan, negara Thailand telah lama memanfaatkan
ikan hasil tangkapan sampingan, yaitu sejak dideklarasikannya Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil ZEE, berawal dari deklarasi tersebut operasi armada-armada
perikanan Thailand di perairan negara tetangga menjadi dibatasi. Untuk tetap dapat memenuhi permintaan pasar industri pengolahan ikan, Thailand
meningkatkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan dari perikanan pukat udang khususnya untuk konsumsi manusia.
Kungsuwan 1996 mengemukakan bahwa, di Gulf of Thailand hasil tangkapan pukat udang dikumpulkan oleh kapal pengumpul di laut. Pengusaha
penangkapan udang mengatur jadwal dan lokasi pertemuan antara kapal penangkap dan pengumpul. Disamping mengumpulkan hasil tangkapan, kapal
pengumpul juga membawa perbekalan dan es untuk diserahkan kepada kapal- kapal pukat udang yang berada di laut lebih lama. Hasil tangkapan utama
udang dipindahkan ke kapal pengumpul, bila masih tersedia ruang maka ikan hasil tangkapan sampingan juga dipindahkan dan dibawa ke darat untuk
dipasarkan. Bostock dan Ryder 1995 menjelaskan kondisi perikanan pukat udang di
pantai timur India. Sejumlah kapal pukat udang dengan berbagai ukuran beroperasi di wilayah penangkapan yang berbeda-beda di Teluk Benggala, itu
berarti untuk mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan diperlukan fasilitas preservasi di atas kapal. Ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang besar dan
berkualitas dikumpulkan dan dibekukan bersama-sama tangkapan utama, sementara hasil tangkapan sampingan yang terdiri dari bermacam-macam ikan
kecil umumnya dibuang ke laut, hanya diakhir waktu melaut sebagian ikan-ikan kecil dipilih dan didaratkan. Kapal pukat udang di India mayoritas dimiliki oleh
badan usaha milik pemerintah. Pemasaran dan penjualan ikan hasil tangkapan
sampingan dilakukan bekerjasama dengan koperasi-koperasi dan koperasilah yang menampung dan menjual ikan hasil tangkapan sampingan ke pasaran.
Allsopp 1981 menerangkan, penanganan dan preservasi di atas kapal merupakan hal yang paling kritis diantara permasalahan penanganan ikan hasil
tangkapan sampingan. Volume ikan hasil tangkapan sampingan, variasi spesies dan ikan-ikan bernilai ekonomi rendah merupakan kombinasi yang menyebabkan
pengumpulan ikan hasil tangkapan sampingan di laut menjadi tidak menguntungkan. Selama belum ditemukan jalan keluar bagi permasalahan
keekonomisan dan efesiensi operasional pukat udang maka ikan hasil tangkapan sampingan tetap tidak menarik untuk dikelola secara komersial.
Allsopp 1981 melanjutkan, penelitian tentang pengelolaan hasil tangkapan sampingan secara ekonomis terus dilaksanakan, menggunakan BED
untuk mengurangi jumlah hasil tangkapan sampingan yang dinaikkan ke atas kapal maupun membawa ikan hasil tangkapan sampingan ke darat dan
memanfaatkannya. Bila pilihan adalah tidak mengurangi hasil tangkapan sampingan tidak menggunakan BED, maka penyortiran hasil tangkapan
sampingan dilakukan diatas kapal, selanjutnya mengolah ikan-ikan berkualitas di atas kapal atau didaratkan meggunakan kapal pengumpul ataupun didaratkan
bersama-sama tangkapan utama udang. Dalam Report of Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization ,
Guyana Allsopp, 1981, Allsopp menjelaskan tentang beberapa negara yang mengoperasikan pukat udang dan mengelola hasil tangkapan sampingan secara
komersial sebagai berikut: Penangkapan udang di North Sea, pemisahan hasil tangkapan sampingan
dilakukan di atas kapal menggunakan alat rotating shieve drum, ikan-ikan dipisahkan berdasarkan bentuk dan ukurannya. Dengan alat ini sangat
memudahkan ABK dalam penyortiran dan penyimpanan. Di Baja California Mexico, penyortiran dilakukan oleh ABK, ruang palka dan ruang pendingin
disediakan cukup luas. Cara ini tentunya memerlukan jumlah ABK lebih banyak dan biaya operasi lebih besar, tetapi paling tidak ikan hasil tangkapan sampingan
yang didaratkan lebih banyak. Di Suriname dan Mozambique, hasil tangkapan
sampingan dibuang ke laut, hanya pada hari-hari terakhir kegiatan penangkapan hasil tangkapan sampingan disortir dan ikan ikan bernilai ekonomis dibawa ke
darat. Di Sri Langka dan Malaysia pada umumnya waktu melaut lebih singkat.
Hasil tangkapan sampingan ditampung di dalam kantong-kantong jaring yang
terbuat dari bahan nylon. Kantong-kantong yang berisi ikan hasil tangkapan sampingan dikaitkan dikapal selanjutnya dibawa ke darat dan penyortiran
dilakukan di darat yang selanjutnya dipasarkan di pasar tradisional ataupun untuk industri.
Menurut Allsopp 1981, sesungguhnya belum ada metode yang baku ataupun desain standar untuk menangani hasil tangkapan sampingan di laut,
karena masing-masing tempat penangkapan memiliki karakteristik dan struktur perikanan yang berbeda-beda, ada yang menggunakan alat mekanis untuk
penyortiran, ada yang menyediakan volume palka dan ruang pendingin yang lebih besar dan ada yang memanfaatkan hanya sebagaian ikan hasil tangkapan
sampingan, oleh sebab itu dengan mengkombinasikan contoh-contoh di atas diharapkan diperoleh metode yang paling sesuai untuk menangani hasil
tangkapan sampingan di laut.
2.6 Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan