5.3 Pola dan Model Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan
5.3.1 Pola kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan Kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan pukat udang diperlukan
dalam pelaksanaan pengelolaan hasil tangkapan sampingan. Kebijakan yang paling kompromistis dan dapat diterima para stakeholder diharapkan dapat
menjadi solusi permasalahan. Untuk menentukan kebijakan yang tepat, sepatutnya me ndapat masukan dan berdasarkan presepsi stakeholder tentang
pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan. Agar lebih sederhana, dalam menentukan pilihan kebijakan yang tepat dan dapat diterima dibuat 3 tiga
alternatif pola kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan yaitu :
1 Pola 1.
Mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan yang dapat dimanfaatkan seluruhnya 100 , yaitu hasil tangkapan sampingan yang tertangkap
dipilih berdasarkan kriteria tertentu spesies dan ukuran dibawa semuanya ke darat sesuai dengan kapasitas kapal yang ada untuk dimanfaatkan.
2 Pola 2
Mendaratkan spesies dan ukuran tertentu minimum sebanyak 50 dari seluruh ikan hasil tangkapan sampingan. Ikan hasil tangkapan sampingan
dipilih dan dikumpulkan untuk selanjutnya didaratkan.
3 Pola 3
Diserahkan kepada pengusaha penangkapan udang dan ABK untuk menentukan kebijakan mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan.
Pola ini memberikan kebebasan kepada perusahaan untuk menentukan kuantitas ikan hasil tangkapan sampingan yang boleh didaratkan untuk
dimanfaatkan tanpa mengganggu kualitas dan kuantitas produksi udang. Untuk mendapatkan pola kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan
di Laut Arafura Provinsi Papua yang paling optimum, dilakukan analisis terhadap 3 pola alternatif pemanfaatan sebagaimana dijelaskan di atas. Memper-
timbangkan kompleksitas permasalahan yang ada serta untuk mempermudah penulis, maka proses analisis hierarki AHP digunakan sebagai alat bantu tool
analisis. Dalam menentukan pilihan dan proses analisis menggunakan 4 empat kriteria yang secara signifikan mempengaruhi kegiatan pengelolaan hasil
tangkapan sampingan di Laut Arafura Provinsi Papua yaitu ; a aspek biologi, b aspek ekologi, c aspek ekonomi dan c aspek sosial. Selanjutnya, untuk
mempermudah pengolahan data dalam proses analisis hierarki AHP ini,
dilakukan dengan menggunakan alat bantu software Expert Choice. Hierarki dari pola pendaratan hasil tangkapan sampingan ini secara ringkas disajikan pada
Gambar 18.
Gambar 18. Proses hirarki analisis untuk pemilihan pola terbaik pendaratan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura
1 Hasil analisis pengolahan data horizontal
Pengolahan data pada tingkat 2 dilakukan untuk melihat prioritas dari berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pola kebijakan pendaratan
hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura Provinsi Papua. Hasil pengolahan data horizontal tingkat 2 yang diperoleh berdasarkan
analisis gabungan pendapat para responden dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan
sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 2
Eigen Faktor Bobot
Prioritas
- Biologi
- Ekologi
- Ekonomi
- Sosial
0,466 0,143
0,338 0,052
1 3
2 4
Rasio Inkonsistensi RI = 0,07 Dari hasil analisis pengolahan data horizontal hierarki tingkat 2 di atas,
diketahui bahwa aspek biologi merupakan faktor yang memiliki bobot paling besar pengaruhnya terhadap kebijakan pendaratan hasil tangkapan
sampingan di Laut Arafura, yaitu sebesar 0,466. Selanjutnya secara berurutan diikuti oleh aspek ekonomi 0,338, aspek ekologi 0,143 dan
aspek sosial 0,053.
Berikutnya adalah analisis terhadap hierarki tingkat 3, data diolah untuk memperoleh satu pola prioritas diantara alternatif pola yang tersedia, yaitu
kebijakan mendaratkan hasil tangkapan sampingan yang dianalisis berdasarkan aspek-aspek di atasnya. Hasil analisis pengolahan data
horizontal pada hierarki tingkat 3 disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan
sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 3
Aspek Alternatif
RI Pola 1
Pola 2 Pola 3
- Biologi
- Ekologi
- Ekonomi
- Sosial
0,528 0,559
0,143 0,637
0,333 0,352
0,286 0,258
0,140 0,089
0,571 0,105
0,05 0,05
0,04 0,04
Melalui hasil analisis di atas Tabel 18 dapat dilihat bahwa alternatif
kebijakan pendaratan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura adalah pola 1 yang merupakan pilihan sebagai prioritas pertama
ditinjau dari aspek biologi 0,528; aspek ekologi 0,604; aspek sosial 0,628. Jika dilihat dari aspek ekonomi, maka pilihan kebijakan dengan
bobot terbesar adalah alternatif pola 3 dengan bobot nilai 0,576.
2 Hasil analisis pengolahan vertikal
Hasil analisis pengolahan data vertikal pada tingkat 2 memberikan nilai yang sama dengan hasil pengolahan data horizontal pada tingkat yang
sama, karena pada tingkat ini langsung berada dibawah tingkat pertama atau fokus dari model hierarki sistem keputusan. Secara lebih lengkap
hasil analisis pengolahan data vertikal tingkat 2 pola pendaratan hasil
tangkapan sampingan pukat udang disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan
sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 2
Eigen Faktor Bobot
Prioritas
- Biologi
- Ekologi
- Ekonomi
- Sosial
0,466 0,143
0,338 0,052
1 3
2 4
Rasio Inkonsistensi RI = 0,07
Analisis selanjutnya adalah pengolahan data vertikal pada tingkat 3. Dilakukan untuk memperoleh alternatif pola kebijakan pendaratan hasil
tangkapan sampingan yang dipilih berdasarkan persepsi para stakeholder. Secara lebih lengkap, hasil analisis pengolahan data vertikal pada tingkat 3
dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Susunan bobot prioritas pola pendaratan hasil tangkapan
sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 3
Elemen Alternatif Bobot
Prioritas
- Pola 1
- Pola 2
- Pola 3
0,408 0,316
0,276 1
2 3
Rasio Inkonsistensi RI = 0,06 Berdasarkan hasil analisis vertikal di atas, terlihat bahwa urutan prioritas
alternatif pola kebijakan pendaratan yaitu kebijakan pola 1 dengan bobot nilai sebesar 0,408 sebagai prioritas pertama, prioritas kedua yaitu pola 2
dengan bobot nilai sebesar 0,316, dan prioritas ketiga atau alternatif terakhir yaitu kebijakan pola 3 dengan nilai 0,276.
Dengan telah diketahui urutan prioritas pola kebijakan seperti di atas, maka diperoleh pola 1 merupakan pola kebijakan pendaratan hasil
tangkapan sampingan yang diinginkan oleh para stakeholder dan masyarakat yang berhubungan langsung dengan kegiatan perikanan pukat
udang untuk diterapkan di Laut Arafura, Provinsi Papua. Selain terlihat dari bobot nilai prioritas yang relatif tinggi dibandingkan dengan kebijakan
pola 2 dan 3, pola 1 juga merupakan keinginan dan harapan dari pembuat kebijakan pada sektor perikanan di Provinsi Papua untuk dapat mengelola
ikan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang agar sebanyak- banyaknya didaratkan untuk konsumsi pangan.
Bila ditinjau dari aspek ekonomi, kebijakan pola 1 memang tidak efisien, hal ini disebabkan karena dibutuhkan biaya tambahan untuk mendaratkan
100 hasil tangkapan sampingan serta waktu untuk penyortiran. Selain itu, dengan jumlah ikan hasil tangkapan yang relatif banyak di dalam palka
dihawatirkan dapat mengurangi kualitas udang, sehingga harga udang menjadi lebih murah yang implikasinya akan menurunkan pendapatan
perusahaan penangkapan.
5.3.2 Model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan
Sesunguhnya belum ada metode yang baku ataupun desain standar untuk mengelola hasil tangkapan sampingan di laut. Menentukan model pemanfaatan
hasil tangkapan sampingan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan struktur kegiatan penangkapan udang setempat Slavin 1981, karena masing-masing
tempat penangkapan memiliki karakteristik dan struktur perikanan yang berbeda- beda, ada yang menggunakan alat mekanis untuk penyortiran, ada yang
menyediakan volume palka dan ruang pendingin yang lebih besar, dan ada yang memanfaatkan hanya sebagaian ikan hasil tangkapan sampingan, oleh sebab itu
dengan mengkombinasikan contoh-contoh yang telah dilaksanakan di berbagai tempat di luar negeri, diharapkan diperoleh metode yang paling sesuai untuk
pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, Provinsi Papua. Merencanakan model pemanfaatan yang paling sesuai untuk Laut Arafura
di antaranya harus mempertimbangkan kondisi geografis, karakter pengusaha, keinginan anak buah kapal dan harapan pemerintah sebagai regulator
pengelolaan sumberdaya perikanan. Ada 4 model pendekatan teknis pengelolaan untuk memanfaatkan hasil tangkapan sampingan pukat udang yang
memungkinkan dapat dikembangkan dan dilaksanakan di Laut Arafura, Provinsi
Papua, yaitu: 1
Model 1
Kapal pukat udang sebagai penghasil ikan hasil tangkapan sampingan beroperasi sebagai kapal penangkap sekaligus sebagai kapal pengumpul
ikan hasil tangkapan sampingan, tetapi di kapal tersebut tidak dilakukan pengolahan. Pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan akan dilakukan
di darat.
2 Model 2
Ikan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang akan ditampung oleh kapal pengumpul khusus yang dioperasikan untuk menampung sekaligus
melakukan pengolahan di atas kapal. Pada kapal penampung khusus ini tentunya dilengkapi dengan sarana pengolahan ikan, seperti mesin
pemisah tulang meatbone machine, dengan demikian ikan hasil tangkapan yang didaratkan sudah dalam bentuk daging lumat minced
fish.
3 Model 3
Ikan hasil tangkapan sampingan dari pukat udang ditampung oleh kapal pengumpul, tetapi pengolahan tidak dilakukan di atas kapal seperti Model
2. Pada model ini, kapal penampung hanya berfungsi sebagai pengumpul dan tidak difungsikan sebagai kapal pengolah. Pengolahan ikan hasil
tangkapan sampingan akan dilakukan di darat seperti pada Model 1.
4 Model 4
Kapal pukat udang sebagai penghasil ikan hasil tangkapan sampingan dioperasikan sekaligus sebagai kapal pengumpul dan pengolahan.
Perbedaannya dengan Model 1 yaitu tidak dilengkapi dengan sarana pengolahan. Model ini, kapal pukat udang dilengkapi dengan sarana
pengolahan ikan hasil tangkapan sampingan sehingga pengolahannya dapat dilakukan langsung di atas kapal.
Secara umum model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang tersebut dapat disarikan dalam bentuk diagram seperti ditunjukkan dalam
Gambar 19. Jenis model pemanfaatan hasil tangkapan sampingan manapun,
tentunya akan banyak melibatkan pemenuhan kebutuhan input, proses produksi, distribusi dan proses pemasaran produk tersebut, oleh sebab itu aspek teknologi,
modal awal investasi finansial, kelembagaan pengelolaan juga harus mendapat perhatian serta dipersiapkan dengan baik. Khusus aspek kelembagaan, pada
tahap awal pengembangannya sebaiknya dibangun oleh pemerintah daerah melalui pendekatan kemitraan dengan perusahaan pukat udang yang ada dan industri
pengolahan baik industri berskala besar maupun industri rumah tangga.
Gambar 19.
Diagram model pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap kapal pukat udang trawl untuk menggunakan alat pemisah ikan API
untuk mengatasi permasalahan hasil tangkapan sampingan, tetapi kenyataannya hasil tangkapan sampingan masih tetap ada, apalagi dalam pelaksanaan
peraturan tersebut diduga terjadi pelanggaran-pelangaran oleh kapal-kapal pukat udang. Secara umum diketahui bahwa kelompok ikan demersal merupakan
kelompok dominan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura. Sebagaimana dijelaskan terdahulu, secara kuantitatif
potensi ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang di perairan ini menunjukkan jumlah yang cukup besar 332.186 ton pertahun. Dengan jumlah yang demikian
besar sangat memungkinkan untuk dikelola, sehingga akan memberikan manfaat bagi semua pihak terutama masyarakat Papua yang tinggal di pesisir Laut
Arafura serta tercapainya pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal dan lestari. Skema pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura
secara sederhana disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20. Skema pengelolaan ikan hasil tangkapan sampingan pukat udang
di Laut Arafura Pengelolaan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura merupakan suatu
sistem kegiatan yang terintegrasi. Agar dapat berjalan efektif dan efisien serta memberikan manfaat yang optimal harus mendapat dukungan dari para
stakeholder. Beberapa alternatif model pemanfaatan dianalisis menggunakan alat bantu tool proses analisis heirarki AHP. Tidak disebutkan bahwa dalam
proses penyusunan hierarki diperlukan suatu aturan khusus. Hierarki diperlukan hanya untuk dapat memahami permasalahan dan menstrukturnya ke dalam
bagian-bagian sehingga menjadi elemen pokok yang cukup rinci untuk pengambilan keputusan yang logis. Yang terpenting fokus proses analisis harus
ditentukan. Dalam melakukan pemilihan model pengelolaan yang paling sesuai mengacu pada empat kriteria yang sangat mempengaruhi pelaksanaan
pengelolaan, yaitu modal awal investasi, infrastruktur, biaya operasional modal kerja, hukum dan kelembagaan. Hierarki dari model pengelolaan hasil
tangkapan sampingan ini secara ringkas disajikan pada Gambar 21. Untuk
mempermudah dalam pengolahan data dan menganalisis AHP terhadap elemen- elemen tersebut, penulis menggunakan alat bantu software Expert Choice.
Gambar 21. Proses hierarki analisis untuk pemilihan model pemanfaatan ikan
hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura Dari keempat kriteria tersebut, modal awal merupakan hal yang penting
diperhatikan. Hal ini disebabkan implementasi pemanfaatan hasil tangkapan sampingan tergantung pada ketersediaan dan kesiapan sarana dan prasarana,
dimana pengadaan komponen-komponen sarana dan prasarana sangat ditentukan oleh ketersediaan modal awal. Model pengelolaan yang memerlukan
sarana dan prasarana yang cukup banyak dengan tingkat teknologi yang tinggi tentunya akan memerlukan modal awal yang cukup besar. Di samping modal
awal, tiga kriteria lainnya yaitu infrastruktur, biaya operasi modal kerja, hukum dan kelembagaan sesungguhnya merupakan elemen-elemen yang saling
memiliki keterkaitan.
3 Hasil analisis pengolahan data horizontal
Pengolahan data horizontal pada tingkat 2 dilakukan untuk melihat prioritas dari berbagai aspek yang berpengaruh terhadap model pemanfaatan hasil
tangkapan sampingan di Laut Arafura Provinsi Papua. Hasil pengolahan data horizontal tingkat 2 berdasarkan analisis gabungan para responden
dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan
sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 2
Aspek Bobot
Prioritas
- Modal Awal
- Infrastruktur
- Biaya Operasional
- Hukum dan Kelembagaan
0,204 0,386
0,168 0,242
3 1
4 2
Rasio Inkonsistensi RI = 0,07 Berdasarkan hasil analisis pengolahan data horizontal di atas terlihat
bahwa Infrastruktur merupakan aspek yang memiliki bobot paling besar pengaruhnya, yaitu 0,386. Selanjutnya secara berurutan diikuti oleh aspek
hukum dan kelembagaan 0,242, aspek modal awal 0,204 dan aspek biaya operasional 0,168.
Analisis hierarki tingkat selanjutnya adalah pada tingkat 3. Pengolahan data horizontal pada tingkat ini untuk memperoleh model prioritas
pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan berdasarkan pertimbangan faktor-faktor di atasnya. Hasil analisis pengolahan data horizontal pada
tingkat 3 disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan
sampingan, hasil pengolahan data horizontal pada tingkat 3
Aspek Alternatif
RI Model
1 Model
2 Model
3 Model
4
- Modal Awal
- Infrastruktur
- Biaya Operasional
- Hukum Kelembagaan
0,157 0,147
0,123 0,256
0,414 0,449
0,432 0,108
0,135 0,228
0,137 0,472
0,295 0,176
0,309 0,164
0,08 0,06
0,03 0,02
Dari hasil analisis di atas Tabel 22 terlihat bahwa model 2 adalah model
prioritas pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura karena berdasarkan aspek-aspek modal awal 0,414; infrastruktur 0,449; biaya
operasional 0,432 merupakan pilihan dengan prioritas pertama. Jika dilihat dari faktor hukum dan kelembagaan, maka pilihan alternatif dengan
bobot terbesar adalah model 3 dengan bobot nilai 0,472.
4 Hasil analisis pengolahan vertikal
Pengolahan data vertikal adalah menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap target utama
atau tujuan utama. Pengolahan data vertikal dilakukan setelah matriks pendapat responden diolah secara horizontal. Adapun analisis
pengolahan data vertikal dilakukan juga pada setiap tingkat, seperti yang dilakukan pada pengolahan data horizontal tingkat 2 dan tingkat 3.
Hasil analisis pengolahan data vertikal pada tingkat 2 akan memberikan nilai yang sama dengan hasil pengolahan data horizontal pada tingkat
yang sama, karena pada tingkat ini langsung berada dibawah tingkat pertama atau fokus dari model hierarki sistem keputusan. Hasil analisis
pengolahan data vertikal tingkat 2 dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan
sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 2
Eigen Faktor Bobot
Prioritas
- Modal Awal
- Infrastruktur
- Biaya Operasional
- Hukum dan Kelembagaan
0,204 0,386
0,168 0,242
3 1
4 2
Rasio Inkonsistensi RI = 0,06 Selanjutnya analisis pengolahan data vertikal pada tingkat 3 untuk
menentukan alternatif kebijakan pemanfatan hasil tangkapan yang akan dipilih. Secara lebih lengkap hasil analisis pengolahan vertikal pada
tingkat 3 dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Susunan bobot prioritas model pemanfaatan hasil tangkapan
sampingan, hasil pengolahan data vertikal pada tingkat 3
Alternatif Pemanfaatan Bobot
Prioritas
- Model 1
- Model 2
- Model 3
- Model 4
0,171 0,357
0,252 0,220
4 1
2 3
Rasio Inkonsistensi RI = 0,06
Berdasarkan hasil analisis vertikal di atas, maka dapat diketahui bahwa prioritas pertama diantara alternatif model pemanfaatan hasil tangkapan
sampingan di Laut Arafura, Provinsi Papua adalah Model 2 dengan bobot nilai sebesar 0,357, prioritas kedua yaitu Model 3 dengan bobot nilai
sebesar 0,252, prioritas ketiga yaitu Model 4 dengan bobot nilai 0,220 dan prioritas keempat atau terakhir yaitu Model 1 dengan bobot nilai 0,171.
Hasil akhir dari analisis, diperoleh Model 2 merupakan model yang paling efisien untuk dilaksanakan, karena memiliki nilai prioritas tertinggi dibandingkan
dengan ketiga model lainnya. Tingkat efisiensi model 2 tersebut ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur, biaya operasi yang memadai serta modal awal yang
cukup. Meskipun bila dilihat dari sisi hukum dan kelembagaan Model 2 memiliki bobot nilai lebih kecil, tetapi masih memungkinkan untuk diimplementasikan,
karena aspek hukum dan kelembagaan dapat dibangun dan dikembangkan secara bertahap seiring dengan pelaksanaan Model 2 ini. Dengan demikian,
pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Laut Arafura, Provinsi Papua dilakukan dengan kapal pengumpul dan penampung khusus yang dilengkapi
dengan sarana pengolah ikan di atas kapal.
5.4 Strategi Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan Sampingan di Laut Arafura