1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hasil tangkap sampingan atau disingkat dengan HTS telah menjadi permasalahan dan isu perikanan terpenting dunia sejak tahun 1990-an. Hal ini
dikarenakan peningkatan jumlah hasil tangkapan sampingan menjadi salah satu penyebab penurunan stok ikan yang dapat mengancam keberlanjutan perikanan
dunia. Secara umum diketahui hampir semua kegiatan perikanan tangkap menghasilkan hasil tangkapan sampingan, namun beberapa jenis alat tangkap
khususnya pukat udang shrimp trawl, diketahui memberikan kontribusi hasil tangkapan sampingan yang lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya. Hal
ini terjadi karena udang dan ikan menghuni habitat yang sama dan sifat pukat udang itu sendiri yang memang tidak selektif. Pukat udang menggunakan mata
jaring di bagian kantong cod-end yang relatif kecil sehingga banyak jenis-jenis organisme laut lainnya ikut tertangkap termasuk ikan-ikan juvenil. Organisme-
organisme lainnya dan ikan-ikan juvenil tersebut tidak termasuk kedalam tujuan penangkapan utama non-targeted species, disebut dengan by-catch.
Menurut Alverson et al. 1994, diperkirakan hampir 10 dari total tangkapan ikan di dunia merupakan hasil tangkapan sampingan. Pada
perikanan udang shrimp trawl, hasil tangkapan sampingan dapat mencapai 5- 10 kali berat hasil tangkapan utama yaitu udang. Sebanyak 27 juta metriks ton
dengan kisaran 17,9-39,5 juta metriks ton ikan-ikan hasil tangkapan sampingan dibuang kelaut. Estimasi jumlah hasil tangkapan sampingan ini umumnya
didasarkan pada asumsi bahwa rasio berat hasil tangkapan sampingan terhadap udang adalah 5 : 1 untuk daerah sub-tropis dan 10 : 1 untuk daerah tropis.
Untuk mengantisipasi permasalahan hasil tangkapan, beberapa negara telah menerapkan aturan penggunaan ukuran mata jaring mesh size yang lebih
besar dan berbagai jenis alat pemisah atau penyaring yang dipasang dibagian kantong jaring trawl. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi hasil tangkapan
sampingan sebagaimana yang telah dianjurkan dalam kode tindak perikanan bertanggung jawab code of conduct for responsible fisheries, butir 8.4 dan 8.5,
yaitu meminimalkan buangan discards dan memaksimalkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan Purbayanto et al, 2004.
Ketentuan penggunaan alat pemisah ikan API pada perikanan pukat udang di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
930KptsUm121982 tentang pelaksanaan keputusan presiden Nomor 85 Tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang dan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perikanan No. IK.010S3.807582K yang mengatur tentang konstruksi pukat udang. Selanjutnya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan No.
IK.010S3.806382K mengatur tentang pelaksanaan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan. Meskipun pengoperasian pukat udang sudah diatur,
penggunaan API disyaratkan, tetapi upaya meminimalkan hasil tangkapan sampingan belum berhasil sepenuhnya karena API itu sendiri kurang efektif serta
rendahnya tingkat kesadaran anak buah kapal ABK maupun pengusaha penangkapan udang juga karena lemahnya sistem pengawasan penangkapan
ikan di laut. Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 39 tahun 1980 tentang
penghapusan pengoperasian jaring trawl yang berlaku di seluruh perairan Indonesia, menyebabkan jumlah kapal perikanan yang menggunakan trawl terus
berkurang, hingga dikeluarkan Keputusan Presiden No. 85 tahun 1982 yang membolehkan perikanan pukat udang yang dilengkapi dengan alat penyaring
hasil tangkapan sampingan by-catch excluder device beroperasi hanya di wilayah timur Indonesia dalam hal ini di Laut Arafura dan sekitarnya. Meskipun
pukat udang yang beroperasi di perairan Laut Arafura dan sekitarnya telah dilengkapi dengan alat penyaring hasil tangkapan sampingan, namun
permasalahan hasil tangkapan sampingan masih menjadi salah satu isu utama pengelolaan perikanan di Provinsi Papua khususnya di Laut Arafura.
Berdasarkan buku Potensi dan Peluang Usaha Perikanan Provinsi Papua Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua, 2003, luas Laut Arafura sekitar
150.000 km
2
, terletak di selatan Provinsi Papua merupakan wilayah perairan potensial untuk penangkapan udang. Secara intensif daerah penangkapan
udang dan ikan di Laut Arafura seluas 73.500 km
2
dengan kedalamam 10 – 50 meter. Di Laut Arafura terdapat lebih dari 17 spesies udang panaeid, tetapi
hanya 5 spesies yang dimanfaatkan secara komersil terutama untuk ekspor, yaitu udang jerbung Penaeus merguiensis, udang windu Penaeus monodon,
udang ratu Penaeus latisulcatus, udang dogol Metapenaeus ensis dan udang krosok Parapenaopsis stylifera.
Sampai bulan Agustus 2004 jumlah armada pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura dan sekitarnya sebanyak 338 kapal, dengan jumlah armada yang
demikian banyak maka hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan diduga sangat besar Ditjen Perikanan Tangkap - DKP, 2004. Potensi ikan hasil
tangkapan sampingan di Laut Arafura dari armada penangkapan udang yang memiliki izin beroperasi diperkirakan sebesar 332.168 ton pertahun Purbayanto
et al, 2004 Volume hasil tangkapan sampingan yang besar ini umumnya di buang ke
laut karena tidak tertampung di dalam palka kapal, dan hanya sebagian kecil dari ikan-ikan ekonomis yang dimanfaatkan oleh awak kapal. Disamping itu hampir
sebagian besar hasil tangkapan sampingan yang jumlahnya 90,9 dari total tangkapan pukat udang tersebut bernilai ekonomi rendah, dan memakan waktu
untuk penyortiran. Kondisi tersebut sangat ironis terjadi di Provinsi Papua dimana penduduknya masih hidup dengan keterbatasan bahan pangan
khususnya bahan pangan bergizi tinggi yang sangat diperlukan. Oleh sebab itu pengelolaan hasil tangkapan sampingan perlu mendapat perhatian sehingga
hasil tangkapan sampingan yang jumlahnya demikian banyak dapat dibawa ke darat untuk dimanfaatkan.
1.2 Perumusan Masalah