Asuhan Keperawatan dengan Aplikasi Mileu Therapy pada Klien dengan Masalah Self Perception di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Prof. M. Ildrem Medan

(1)

LAPORAN PRATIKA SENIOR

Asuhan Keperawatan dengan Aplikasi Mileu Therapy pada pasien dengan Masalah Self Perception di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Prof. M.

Ildrem Medan

Disusun dalam Rangka Menyelesaikan Mata Ajar Pratika Senior

OLEH REISY TANE

101101006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS TAHAP PROFESI FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PRATIKA SENIOR REPORT

Nursing Care by Applying Milieu Therapy

in Patients with Self-Perception Problems in

Sipiso-Piso Room of Prof. Dr. Muhammad Ildrem

Mental Hospital, Medan

Prepared in the Framework Completed

Subject Pratika Senior

By : Reisy Tane 101101006

EDUCATION OF NURSING IN PROFESSION PROGRAM FACULTY OF NURSING

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

(4)

(5)

iii

Judul : Asuhan Keperawatan dengan Aplikasi Milieu

Therapy pada Pasien dengan Masalah Persepsi Diri di Ruangan Sipisopiso RSJ Prof. Muhammad Ildrem

Nama Mahasiswa : Reisy Tane

Nim : 101101006

Jurusan : Nursing profession program

Tahun akademik : 2014-2015

ABSTRAK

Skizofrenia merupakan kumpulan dari beberapa gejala klinis yang penderitanya akan mengalami gangguan dalam kognitif, emosional, persepsi serta gangguan dalam tingkah laku. Berbagai masalah keperawatan dapat muncul pada pasien dengan skizofrenia, salah satunya masalah persepsi diri. Masalah persepsi diri merupakan domain ke enam didalam NANDA. Self-perseption adalah kesadaran tentang diri sendiri. Asuhan keperawatan dengan aplikasi milieu therapy diperlukan untuk meningkatkan status kesehatan pasien. Kegiatan pratika senior dilakukan di RSJ Prof. Muhammad Ildrem selama 2 minggu mulai dari tanggal 22 Juni sampai 4 juli 2015. Mahasiswa memberikan asuhan keperawatan pada pasien mulai dari pengkajian, penegakan diagnosa keperawatan, menetapkan intervensi dan implementasi keperawatan. Dalam pemberian asuhan keperawatan penulis juga mengaplikasikan pemberian terapi lingkungan atau milieu therapy. Asuhan keperawatan ini diberikan berdasarkan NANDA, NIC dan NOC. Hasil dari pratika senior didapatkan bahwa milieu therapy dalam pelaksanaan nya tidak berjalan maksimal, Namun hasil dari evaluasi terhadap implementasi keperawatan yang telah dilakukan didapatkan adanya perubahan pada pasien yaitu pasien mengatakan menyukai semua bentuk tubuhnya, merasa berharga terhadap dirinya, berjanji selalu minum obat dan tampak aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh perawat di RSJ Prof.Muhammad Ildrem.


(6)

iv

Title of the Thesis : Nursing Care by Applying Milieu Therapy

in Patients with Self-Perception Problems in Sipiso-Piso Room of Prof. Dr. Muhammad Ildrem Mental Hospital, Medan

Name of Student : Reisy Tane

Std. ID Number : 101101006

Program : Nursing profession program

Academic Year : 2014-2015

ABSTRACT

Schizophrenia is a group of several clinical symptoms in which the sufferers undergo cognitive, emotional, perceptual, and behavioral disorders. Various nursing problems can occur in schizophrenia patients; one of them is self-perception which is the sixth domain in NANDA. Self-self-perception is the consciousness about one’s self. Nursing care with milieu therapy application is needed to increase patients’ health status. Senior’s practical work was conducted at Prof. Dr. Muhammad Ildrem Mental Hospital within 2 weeks, from June 22 to July 4, 2015. Students provided nursing care for the patients on analysis, giving nursing diagnoses, determining intervention, and implementing the treatment. In providing the nursing care, the writer also applied environmental therapy or milieu therapy which was based on NANDA, NIC, and NOC. The result of the practical work showed that milieu therapy, in its implementation, did not run maximally. However, the result of the evaluation on the nursing implementation showed that there was a change in patients: they said that they all their body shapes, they felt worthwhile, they promised to take medicine regularly, and they looked active in every activity done by nurses at Prof. Dr. Muhammad Ildrem Mental Hospital.


(7)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan nikmat-Nya yang luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Pratika Senior ini tepat pada waktunya dengan judul “Asuhan Keperawatan dengan Aplikasi Mileu Therapy pada Klien dengan Masalah Self Perception di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Prof. M. Ildrem Medan”.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Pratika Senior ini tidak lepas dari bantuan dan do’a banyak pihak. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

2. Salbiah S.Kp., M.Kep selaku Koordinator Mata Ajar Praktik Belajar Lapangan Komprehensif Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. R. Devi Tumanggor Skep,Ns,MNurs(MntlHlth) selaku Pembimbing Mata

Ajar Pratika Senior Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. 4. Serta kepada seluruh staf perawat diruangan cempaka RSJ Prof.

Muhammad Ildrem Medan.

5. Kepada seluruh staf dan dosen program reguler Fakultas Keperawatan yang telah memberikan ilmu kepada penulis dapat menyelesaikan Pratika Senior ini.

6. Keluarga penulis, khususnya Ibu saya tercinta yang tidak pernah lelah memberikan do’a dan semangat serta adikku tersayang yang selalu menghibur dikala keletihan melanda.

7. Rekan-rekan seperjuangan profesi Ners angkatan 2010 Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

8. Semua Pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat seluruhnya

disebutkan namanya satu persatu yang telah banyak membantu saya baik dalam penyelesaian Laporan Pratika Senior ini.

Penulis menyadari bahwa Laporan Pratika Senior ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengaharapkan masukan, saran dan kritik yang membangun demi perbaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT


(8)

vi

senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu saya. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam memberikan informasi di bidang kesehatan terutama keperawatan.

Medan, 6 Agustus 2015

Penulis ( Reisy Tane)


(9)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A.Skizofrenia ... 6

B.Asuhan Keperawatan pada Pasien Skizofrenia ... 18

2.1 Pengkajian ... 18

2.2Diagnosa, Kriteria hasil dan Intervensi ... 20

C. Milieu Therapy ... 50

BAB 3 LAPORAN KASUS ... 54

B. Tinjauan Kasus ... 54

2.1 Pengkajian ... 54

2.2 Diagnosa Keperawatan ... 68


(10)

viii

2.4 Implementasi dan Evaluasi ... 81

2.5 Pembahasan Milieu Therapy ... 90

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 91

Daftar Pustaka ... 92


(11)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Analisa Data ………. 64

Tabel 3.2 Intervensi Keperawatan………... 71


(12)

iii

Judul : Asuhan Keperawatan dengan Aplikasi Milieu

Therapy pada Pasien dengan Masalah Persepsi Diri di Ruangan Sipisopiso RSJ Prof. Muhammad Ildrem

Nama Mahasiswa : Reisy Tane

Nim : 101101006

Jurusan : Nursing profession program

Tahun akademik : 2014-2015

ABSTRAK

Skizofrenia merupakan kumpulan dari beberapa gejala klinis yang penderitanya akan mengalami gangguan dalam kognitif, emosional, persepsi serta gangguan dalam tingkah laku. Berbagai masalah keperawatan dapat muncul pada pasien dengan skizofrenia, salah satunya masalah persepsi diri. Masalah persepsi diri merupakan domain ke enam didalam NANDA. Self-perseption adalah kesadaran tentang diri sendiri. Asuhan keperawatan dengan aplikasi milieu therapy diperlukan untuk meningkatkan status kesehatan pasien. Kegiatan pratika senior dilakukan di RSJ Prof. Muhammad Ildrem selama 2 minggu mulai dari tanggal 22 Juni sampai 4 juli 2015. Mahasiswa memberikan asuhan keperawatan pada pasien mulai dari pengkajian, penegakan diagnosa keperawatan, menetapkan intervensi dan implementasi keperawatan. Dalam pemberian asuhan keperawatan penulis juga mengaplikasikan pemberian terapi lingkungan atau milieu therapy. Asuhan keperawatan ini diberikan berdasarkan NANDA, NIC dan NOC. Hasil dari pratika senior didapatkan bahwa milieu therapy dalam pelaksanaan nya tidak berjalan maksimal, Namun hasil dari evaluasi terhadap implementasi keperawatan yang telah dilakukan didapatkan adanya perubahan pada pasien yaitu pasien mengatakan menyukai semua bentuk tubuhnya, merasa berharga terhadap dirinya, berjanji selalu minum obat dan tampak aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh perawat di RSJ Prof.Muhammad Ildrem.


(13)

iv

Title of the Thesis : Nursing Care by Applying Milieu Therapy

in Patients with Self-Perception Problems in Sipiso-Piso Room of Prof. Dr. Muhammad Ildrem Mental Hospital, Medan

Name of Student : Reisy Tane

Std. ID Number : 101101006

Program : Nursing profession program

Academic Year : 2014-2015

ABSTRACT

Schizophrenia is a group of several clinical symptoms in which the sufferers undergo cognitive, emotional, perceptual, and behavioral disorders. Various nursing problems can occur in schizophrenia patients; one of them is self-perception which is the sixth domain in NANDA. Self-self-perception is the consciousness about one’s self. Nursing care with milieu therapy application is needed to increase patients’ health status. Senior’s practical work was conducted at Prof. Dr. Muhammad Ildrem Mental Hospital within 2 weeks, from June 22 to July 4, 2015. Students provided nursing care for the patients on analysis, giving nursing diagnoses, determining intervention, and implementing the treatment. In providing the nursing care, the writer also applied environmental therapy or milieu therapy which was based on NANDA, NIC, and NOC. The result of the practical work showed that milieu therapy, in its implementation, did not run maximally. However, the result of the evaluation on the nursing implementation showed that there was a change in patients: they said that they all their body shapes, they felt worthwhile, they promised to take medicine regularly, and they looked active in every activity done by nurses at Prof. Dr. Muhammad Ildrem Mental Hospital.


(14)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk dunia mengakibatkan semakin banyaknya tuntutan dan permasalahan sehingga menjadi stresor pada kehidupan manusia. Stresor yang berlebihan jika tidak diikuti dengan koping yang adaptif, maka dapat menyebabkan permasalahan kesehatan jiwa pada individu (Purba dkk, 2008). World Health Organization tahun 2001 menyatakan bahwa sekitar 450 juta orang di dunia memiliki gangguan mental. Fakta lainnya adalah 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit di dunia, dibandingkan TBC (7,2%), kanker (5,8%), jantung (4,4%) maupun malaria (2,6%).

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2003 menyatakan gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap stresor dari lingkungan internal atau eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma lokal atau budaya setempat dan menganggu fungsi sosial, pekerjaan dan fisik.

Prevalensi skizofrenia di Indonesia sendiri adalah tiga sampai lima perseribu penduduk. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 259,9 juta jiwa maka diprediksi akan terdapat gangguan jiwa dengan skizofrenia kurang lebih 660 ribu sampai dengan 1 juta orang. Hal ini merupakan angka yang cukup besar serta perlu penanganan yang serius (Baihaqi, 2005).

Data dari Schizophrenia Information & Treatment Introduction tahun 2009 di Amerika menyebutkan penyakit skizofrenia menimpa kurang lebih 1% dari jumlah penduduk. Lebih dari 2 juta orang Amerika menderita skizofrenia pada waktu tertentu. Separuh dari pasien gangguan jiwa yang dirawat di RS jiwa adalah pasien dengan skizofrenia (Piyoto, 2012).

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 259,6 juta. Dengan asumsi angka 1% tersebut diatas tersebut diatas maka jumlah penderita Skizofrenia di Indonesia pada tahun 2012 sekitar 2.596.600 orang. Angka yang fantastis dibanding jumlah daya tampung 32 rumah sakit jiwa diseluruh Indonesia


(15)

sebanyak 8.047 tempat tidur. Daya tampung tetap hanya 8.047, berarti masih ada 2.587.953 juta pasien gangguan jiwa yang harus ditampung di rumah sakit jiwa (Piyoto, 2012).

Skizofrenia juga dipertimbangkan sebagai masalah yang membebankan antara karir dan juga sistem tenaga kesehatan. Skizofrenia memiliki perkembangan yang cukup cepat (Newell & Gournay, 2011). Skizofrenia merupakan kumpulan dari beberapa gejala klinis yang penderitanya akan mengalami gangguan dalam kognitif, emosional, persepsi serta gangguan dalam tingkah laku. Penderita gangguan jiwa akan menunjukkan gejala gangguan persepsi, seperti waham dan halusinasi (Kaplan & Sadock’s, 2007).

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk memilih bidang keperawatan jiwa dalam rangka menyelesaikan tugas Pratika Senior. Pratika senior dilaksanakan di Ruang Sipisopiso Rumah Sakit Jiwa Prof. Muhammad ildrem selama 2 minggu, dimulai tanggal 21 Juni sampai 4 Juli 2015. Kegiatan Pratika Senior ini dimulai dengan pengarahan dari dosen pembimbing Pratika Senior masing-masing. Selanjutnya kelompok melakukan survey, wawancara, dan observasi fenomena yang terjadi dilapangan untuk mendapatkan program umum yang akan dilaksanakan.

Hasil pengkajian keperawatan pada bulan Juni 2015 terdapat 19 orang yang dirawat diruangan Sipisopiso RSJ Prof.Muhammad Ildrem Medan dengan diagnosa medis Skizofrenia. Berdasarkan hasil observasi dokumentasi keperawatan yang terdapat dalam rekam medis dan pengkajian ulang dengan beberapa pasien diruangan Sipisopiso RSJ Prof.Muhammad Ildrem mengalami masalah persepsi diri. Masalah persepsi diri memang bukanlah masalah terbanyak di Ruangan Sipisopiso, namun masalah persepsi diri penting untuk ditangani karena dapat menimbulkan dampak buruk terhadap pasien.

Masalah persepsi diri merupakan domain ke enam didalam NANDA.

Self-perseption adalah kesadaran tentang diri sendiri. Masalah persepsi diri terdiri atas 3 kelas yaitu Self-consept yang terdiri atas 5 diagnosa keperawatan, Self-esteem terdiri atas 4 diagnosa keperawatan dan Body Image yang terdiri atas satu diagnosa keperawatan (Herdman, 2012). Dari hasil pengkajian terhadap Tn.Z ditemukan diagnosa keperawatan prioritas gangguan citra tubuh. Gangguan citra tubuh adalah kekeliruan terhadap penilaiaan diri (Doenges, 2008). Selain itu


(16)

gangguan citra tubuh adalah kebingungan pada gambaran mental dari fisik seseorang (Hermand, 2012).

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pasien yang mengalami masalah persepsi diri salah satunya yaitu dengan melakukan berbagai terapi yang terdapat didalam Nursing intervention classification (NIC) (Bulechek, et al. 2008). Didalam asuhan keperawatan yang dibuat, penulis tertarik melakukan Milieu therapy atau terapi lingkungan. Milieu therapy adalah terapi yang diberikan pada pasien gangguan jiwa atau ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan membuat perubahan besar langsung dalam kondisi kehidupan dan lingkungan pasien dengan cara yang akan meningkatkan efektivitas bentuk lain dari terapi (Townsend, 2000).

Beberapa penelitian terkait dengan milieu therapy telah dilakukan. Salah satu penelitian dilakukan terhadap pasien geriatri yang mengalami gangguan jiwa di rumah sakit jiwa. Penelitian ini memiliki sampel 36 pasien geriatri psiko denganusia rata-rata adalah 75,8 tahun. Dalam penelitian ini dilakukan milieu therapy dengan melakukan perubahan pada lingkungan unit geriatri yang pada awalnya hanya berupa lorong panjang, dinding kosong dan perabotan berbahan dasar krom kemudian diubah dengan desain dapur menarik menggunakan meja kayu dengan lampu tiffany diatas kepala, kursi goyang dan kebun untuk aktivitas pasien. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa pasien tampak santai, bahagia, dan berperilaku baik (Minde, et al 2006).

Namun penelitian lain menyebutkan bahwa milieu therapy merupakan terapi dengan hasil yang kontradiksi. Peneliti menyebutkan bahwa hasil dari milieu therapy tidak efektif pada pasien dengan psikotik dan sangat bertentangan namun belum diketahui penyebabnya. Setalah dilakukan investigasi peneliti menemukan bahwa milieu therapy tidak efektif karena adanya gangguan dari kelompok tertentu. Untuk membuktikan hasil investigasi tersebut, peneliti melakukan penelitian pada pasien didalam ruangan dengan jumlah tempat tidur 26 buah. Dalam penelitian tersebut peneliti mengubah lingkungan dengan mengurangi jumlah kelompok dan tempat tidur diruangan serta meningkatkan orientasi pasien terhadap lingkungan yang telah dilakukan perubahan. Selanjutnya peneliti melakukan penilaian ulang terhadap hasil dari milieu therapy dan terbukti efektif suasana bangsal membaik hal tersebut karena dipengaruhi oleh lingkungan sosial (Vaglum, et al. 1985).


(17)

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik melakukan Asuhan keperawatan dengan aplikasi milieu therapy pada pasien dengan masalah persepsi diri di ruangan sipisopiso RSJ Prof. Muhammad Ildrem untuk meningkatkan kualitas kesehatan pasien tersebut.

2. Tujuan Pratika Senior

1. Melaksanakan asuhan keperawatan jiwa pada pasien yang dirawat

di ruang Sipisopiso Rumah Sakit Jiwa Prof. Muhammad Ildrem Medan dan pengembangan profesional keperawatan jiwa dengan konsep keperawatan jiwa.

2. Mengintegrasikan konsep berfikir logis dan analisis, kritis, berinisiatif dan kreatif dalam pemecahan masalah dan koordinasi dengan tim dalam praktek keperawatan yang didasarkan pada kondisi nyata serta mengaplikasikan teori dan konsep di lapangan praktek.

3. Manfaat Pratika Senior

Kegiatan Pratika Senior ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Manfaat teoritis

Karya ilmiah ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang keperawatan, terutama keperawatan jiwa mengenai asuhan keperawatan dengan aplikasi milieu therapy pada pasien dengan masalah persepsi diri.

2. Manfaat Aplikatif

Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemberian asuhan keperawatan dengan aplikasi milieu therapy pada pasien dengan masalah persepsi diri sehingga dapat dijadikan acuan bagi pelayanan rumah sakit untuk mengatasi masalah persepsi diri pada pasien dengan skizofrenia.

3. Manfaat Metodologis

Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian lain terkait pemberian asuhan keperawatan dengan aplikasi milieu therapy pada pasien dengan masalah persepsi


(18)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Skizofrenia

1.1Defenisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Kaplan & Sadock, 2007).

Skizofrenia adalah menggambarkan suatu kondisi psikotik yang kadang-kadang ditandai dengan apatis, tidak mempunyai hasrat, asosial, afek tumpul dan alogika. Pasien yang mengalami gangguan pada pikiran dan persepsi serta perilaku. Pengalaman subjektif dari pikiran yang terganggu dimanifestasikan pada gangguan bentuk konsep yang sewaktu-waktu dapat mengarah salah mengartikan kenyataan, delusi dan halusinasi. Ambivalensi, perasaan kontriksi atau tidak sesuai, dan hilangnya empati kepada orang lain. Perilaku dapat berubah menarik diri, regresif atau aneh (Shader, 1994 dalam Doenges, 2007).

Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang terganggu, jarang terjadi pada masa kanak-kanak, biasanya terjadi pada masa remaja akhir atau dewasa awal (Videbeck, 2008) dengan awitan usia 15 sampai 25 tahun untuk pria dan wanita 25 sampai 35 tahun (American Psychiatric Association, 2000).

1.2Etiologi Skizofrenia

Menurut Kaplan & Sadock (2007) ada beberapa penyebab dari skizofrenia antara lain :

a. Faktor genetik

Faktor keturunan (genetik) juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7–15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7–16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40–68%;


(19)

bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61–86%. Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda diseluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).

b. Faktor biokimia

Dopamine hipothesis menggambarkan aktivitas dopaminergik, teori digambarkan dalam dua pengamatan. Pengamatan yang pertama potensi dari banyaknya obat anti psikosis (seperti resptor dopamin antagonis (DRAS) yang dihubungkan dengan keamampuannya untuk bereaksi dengan dopamin tipe 2 (D2) reseptor. Selanjutnya, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik seperti kokain dan amfetamin yang bersifat psikomimetik. Kelebihan sekresi dopamin pada pasien dengan skizofrenia dihubungkan dengan gejala positif yang semakin sering muncul.

c. Neuropatologi

Pada penderita skizofrenia ditemukan bahwa adanya ketidaknormalan pada sistem limbik, ganglia basal dan ketidaknormalan neuropatologi serta neurokimiawi. Pasien skizofrenia mengalami kehilangan volume otak secara luas karena adanya penurunan densitas akson, dendrit, dan sinaps yang menjembatani fungsi otak.

Ventrikal otak. Juga terjadinya penurunan volume kortikal yang ditunjukkan selama tahap awak dari penyakit. Hal tersebut dibuktikan dengan pengamatan pada hasil pemeriksaan CT scan yang menunjukkan adanya perubahan lesi pada waktu dan proses penyakit.

d. Neural circuits

Ada evolusi konsep dari skizofrenia sebagai penyakit yang meliputi area pada otak memperspektifkan skizofrenia sebagai penyakit dari neural circuit otak.

e. Metabolisme otak

Penelitian dengan menggunakan spectroscopy resonance, suatu teknik yang mengukur konsentrasi spesifik molekul didalam otak, menemukan bahwa pasien dengan skizofrenia memiliki phospomonoester dan ionorganik fosfat dalam


(20)

jumlah yang lebih rendah dan lebih banyak phosphodieter. Konsentrasi dari N-acetil asparte, bahan pembentuk neuron lebih rendah didalam hipokampus dan lobus frontal pada pasien dengan skizofrenia.

f. Penggunaan elektrofisiologi

Elektroensepalografik menyebutkan banyak pasien skizofrenia memiliki rekaman abnormal, peningkatan sensitifitas untuk prosedur aktivasi, peningkatan aktivitas alfa, peningkatan teta dan delta. Mungkin lebih banyak pembentukan gelombang epilepsi dari biasanya. Penderita skizofrenia juga terganggu kemampuan menyaring suara yang tidak relevan dan sangat sensitif dengan suara bising. Suara bising yang mengakibatkan pasien sulit berkonsentrasi dan menjadi faktor pemicu halusinasi pendengaran. Sesnsitifitas terhadap suara mungkin dipengaruhi oleh gangguan genetik.

g. Disfungsi pergerakan mata

Ketidakmampuan mengikuti perpindahan target visual menjadi dasar gangguan visual pada pasien dengan gangguan jiwa. Disfungsi pergerakan mata menjadi faktor pencetus skizofrenia. Berbagai macam penelitian dilaporkan adanya 50 sampai 85 % ketidaknormalan pergerakan bola mata pada pasien dengan skizofrenia. Dibandingakan dengan 25 % pasien psikiatrik tanpa skizofrenia dan kurang dari 10% nonpsikiatrik yang terkontrol.

h. Psikoneuroimunologi

Beberapa ketidaknormalan dari imunologi dikaitkan dengan pasien skizofrenia. Abnormalitas yang dimaksud adalah penurunan produksi T-cell interleukin-2, penurunan jumlah dan responsivitas periferal limfosit, abnormal reaktivitas seluler dan humoral terhadap neuron dan adanya antibodi diotak secara langsung. Data bisa diinterpretasikan adanya neurotoxik virus atau adanya gangguan autoimun.

i. Psikoneuroendokrinologi

Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin antara kelompok pasien skizofrenia dengan grup kontrol. Contohnya, hasil dari tes penekanan dexametason ada ketidaknormalan pada beberapa grup dengan skizofrenia, walaupun nilai praktis dan prediksinya masih dipertanyakan.

j. Psikososial dan psikoanalitik teori

Skizofrenia adalah suatu penyakit gangguan pada otak, hal ini menunjukkan adanya hubungan paralel dengan penyakit pada organ lainnya yang dapat mempengaruhi stres psikososial. Oleh karena itu para professional


(21)

kesehatan harus mempertimbangkan antara psikososial dan biologis pada penderita skizofrenia.

Penyakit ini dapat mempengaruhi kepribadian pasien, masing-masing pasien mempunyai pembentukan psikologis yang unik. walaupun banyak teori psikodinamik terdahulu menyebutkan tentang patogenesis dari skizofrenia .

Teori psikoanalitik, Freud (1923) didalam Kaplan & Sadock (2007) mendalilkan skizofrenia dihasilkan dari fiksasi perkembangan yang terjadi lebih awal daripada puncak perkembangan neurosis. Fiksasi ini mengasilkan pengaruh dalam perkembangan ego dan freud mendalilkan pengaruh perkembangan tesebut dapat berkontribusi terhadap gejala skizofrenia.

Teori belajar, berdasarkan teori belajar, anak-anak dengan skizofrenia mempelajari reaksi yang tidak rasional dan berfikir oleh orang tua yang memberikan masalah emosional yang signifikan. Dalam teori belajar, adanya hubungan yang kurang baik orang tua dengan anak-anak dapat berkembang menjadi skizofrenia, karena sedikitnya contoh model belajar ketika masih anak-anak.

1.3Kriteria Diagnostik Skizofrenia

Menurut American Psychiatric Association (2000), beberapa gejala dibawah ini adalah kriteria diagnostik untuk penegakan diagnosa Skizofrenia pada klien dengan gangguan jiwa :

a. Gejala karakteristik: dua atau lebih poin berikut, masing-masing terjadi dalam porsi waktu yang signifikan selama periode 1 bulan (atau kurang bila berhasil diobati) :

 Delusi

 Halusinasi

 Bicara kacau (contoh : sering melantur atau inkoherensi)  Perilaku sangat kacau atau katatonik

 Gejala negatif yaitu afek datar, kehilangan minat.

Catatan : hanya dibutuhkan satu gejala kriteria apabila delusi bizar atau halusinasi terdiri atas suara yang terus menerus memberi komentar terhadap perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap.

b. Disfungsi sosial/okupasional: selama suatu porsi waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat satu atau lebih area fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan diri yang berada jauh dibawah


(22)

tingkatan yang telah dicapai sebelum awitan (atau apabila awitan terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja, kegagalan mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau okupasional yang diharapkan).

c. Durasi: tanda berkelanjutan gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang bila telah berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (yaitu gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama periode gejala prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau dua atau lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (contoh: keyakinan aneh, pengalaman perseptual yang tidak lazim).

d. Tidak termasuk gangguan skizoafektif atau gangguan mood: gangguan

skizoafektif dan gangguan mood dengan gejala psikotik telah hilang baik karena (1) tidak adanya episode depresif, manik, atau campuran mayor yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif; maupun (2) jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya relatif singkat dibanding durasi periode aktif dan residual.

e. Tidak termasuk karena gangguan zat atau kondisi medis : gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (contoh : obat yang disalahgunakan, obat medis) atau kondisi medis umum.

f. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif : jika terdapat riwayat

gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosa tambahan skizofrenia hanya dibuat bila delusi atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati).

Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari (American Psychiatric Association, 2000) : a. Tipe paranoid

Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut :

 Preokupasi terhadap satu atau lebih delusi atau halusinasi auditorik yang sering

 Tidak ada hal berikut ini yang prominen: bicara kacau, perilaku kacau atau katatonik, atau afek datar atau tidak sesuai.

b. Tipe hebefrenik

Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut :

 Semua hal dibawah ini yang menonjol :

- Bicara kacau

- Perilaku kacau

- Afek datar atau tidak sesuai

 Tidak memenuhi kriteria tipe katatonik c. Tipe katatonik

Tipe skizofrenia yang gambaran klinisnya didominasi setidaknya dua hal berikut :


(23)

1. Imobilitas motorik seperti yang ditunjukkan katalepsi atau stupor

2. Aktivitas motorik yang berlebihan (yaitu yang tampaknya tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi stimulus eksternal).

3. Negativisme yang ekstrem (resistensi yang tampaknya tidak bermotif terhadap semua intruksi atau dipertahankanya suatu postur rigid dari usaha menggerakkan) atau mutisme.

4. Keanehan gerakan volunter yang aneh seperti yang ditunjukkan oleh posturing, gerakan stereotipik, mannerism yang menonjol atau seringai yang menonjol.

5. Ekolalia dan ekopraksia. d. Tipe tidak tergolongkan

Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut :

1. Suatu tipe skizofrenia di mana ditemukan gejala yang memenuhi kriteria A, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi, atau katatonik

e. Skizofrenia residual

Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut

1. Tidak ada delusi, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku katatonik terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol.

2. Terdapat bukti kontinu adanya gangguan, sebagaimana diindikasikan oleh adanya negatif atau dua atau lebih gejala yang tercantum pada kriteria A untuk skizofrenia, yang tampak dalam bentuk yang lebih lemah (contoh : keyakinan aneh, pengalaman perceptual tak lazim).

1.4 Perjalanan Klinis Penyakit Skizofrenia

Onset bisa tiba-tiba atau tersembunyi, namun sebagian besar pasien terlambat mengetahui perkembangan penyakit. Biasanya diketahui ketika adanya perkembangan tanda dan gejala lanjutan seperti isolasi sosial, perubahan perilaku, kehilangan minat dalam sekolah atau bekerja, dan kurangnya kebersihan diri. Penegakan diagnosa skizofrenia adalah ketika pasien mulai menunjukkan adanya gejala positif yaitu delusi, halusinasi dan gangguan proses pikir (psikosis).

Pada penderita skizofrenia ketika terjadinya penambahan usia akan mempengaruhi onset dari gejala yang muncul. Pada pasien dengan usia lebih muda,tanda-tanda negatif lebih menonjol, dan penurunan kemampuan kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan pasien yang lebih tua. Penderita skizofrenia yang lebih tua mengalamionset penyakit bertahap (sekitar 50 %) cenderung memiliki gejala positif dan negatif dalam jangka panjang.

Immediate course, setelah serangan gejala psikotik maka munculnya dua pola klinis. Pola pertama menunjukkan bahwa penderita skizofrenia akan


(24)

mengalami psikosis terus menerus dan tidak pernah sembuh total, meskipun gejala mengalami perubahan sewaktu-waktu. Pola kedua menunjukkan pasien akan mengalami episode gejala psikotik dengan gejala psikosis yang hampir mencapai masa penyembuhan.

Long-term course, intensitas gejala psikosis cenderung menghilang seiring berjalannya waktu. Banyak penderita skizofrenia dalam jangka panjang memperoleh derajat dan fungsi sosial semakin memburuk. Karena dalam waktu yang lama penyakit merusak kehidupan membuat penderita menjadi individu yang lebih mudah diatur, tetapi jarang pasien mampu mengatasi pengaruh disfungsi yang terjadi sebelumnya. Setelah lama menderita skizofrenia pasien akan lebih beradaptasi dan bisa hidup lebih mandiri dalam keluarga dan sukses dalam pekerjaan dengan harapan tetap mendapat dukungan dari lingkungan kerja. Namun, sebagian besar penderita skizofrenia mengalami kesulitan berfungsi didalam masyarakat, dan sulit hidup secara mandiri. Obat antipsikotik penting sekali dalam perjalanan penyakit skizofrenia. Obat antipsikotik tidak menyembuhkan penyakit, namun sangat penting demi keberhasilan manajemen pengobatan (Videbaeck, 2011).

1.5Penatalaksanaan Skizofrenia

penatalaksanaan skizofrenia dibagi atas:

1. Farmakoterapi

Farmakoterapi merupakan terapi utama dalam pasien skizofrenia dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/FKUI, 2009). Berikut ini merupakan obat-obatan yang sering digunakan sebagai terapi farmakologis pada penderita skizofrenia :

a. Haloperidol

Haloperidol berfungsi memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di post

sinaptik mesolimbik otak. Menekan pelepasan hormon hipotalamus dan hipofisa,

menekan Reticular Activating System(RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme

basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis.

Ada beberapa merek dagang yang biasa digunakan untuk haloperidol seperti dores, govotil, haldol, halonace, lodomer, serenace, seradol, quilez dan upsikis.

Indikasi: Pengobatan untuk psikosis akut dan kronis, termasuk skizofrenia dan manik. Ini mungkin juga nilai dalam pengelolaan perilaku agresif dan gelisah


(25)

pada pasien dengan sindrom otak kronis dan keterbelakangan mental dan dalam mengendalikan gejala Gilles de la Tourette’s syndrome.

Kontraindikasi: Pada keadaan koma dan dalam kehadiran depresi Sistem Saraf Pusat(SSP) karena alkohol atau obat depresan lainnya. Hal ini juga kontraindikasi pada pasien dengan depresi berat, penyakit kejang sebelumnya, lesi ganglia basal, dan Parkinson, kecuali dalam kasus dyskineasis akibat pengobatan levodopa. Anak-anak: Keamanan dan efektivitas pada anak-anak belum ditetapkan, karena itu, haloperidol adalah kontraindikasi pada kelompok usia ini.

Efek samping (terutama pada SSP): Insomnia, reaksi depresif, dan beracun adalah efek yang lebih umum ditemui. Mengantuk, kelesuan, pingsan dan katalepsia, kebingungan, kegelisahan, agitasi, gelisah, euforia, vertigo, kejang grand mal, dan eksaserbasi gejala psikotik, termasuk halusinasi, juga telah dilaporkan.

b. CPZ (Chlorpromazine)

Memblok reseptor dopaminergik di postsinaptik mesolimbik otak. Memblok kuat efek alfa adrenergic, menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular Activating System(RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis.

Indikasi: psikosis, neurosis, gangguan susunan saraf pusat yang membutuhkan sedasi, anestesi, pre-medikasi, mengontrol hipotensi, induksi hipotermia, antiemetik, skizofrenia, gangguan skizoafektif, psikosis akut, sindroma paranoid dan stadium mania akut.

Kontraindikasi: Hipersensitifitas terhadap klorpromazin atau komponen lain formulasi, reaksi hipersensitif silang antar fenotiazin mungkin terjadi, Depresi SSP berat dan koma.

Efek Samping: Kardiovaskuler: hipotensi postural, takikardia, pusing, perubahan interval QT tidak spesifik. SSP: mengantuk, distonia, akathisia, pseudoparkinsonism, diskinesia tardif, sindroma neurolepsi malignan, kejang. Kulit: fotosensitivitas, dermatitis, pigmentasi (abu-abu-biru). Metabolik & endokrin: laktasi, amenore, ginekomastia, pembesaran payudara, hiperglisemia, hipoglisemia, test kehamilan positif palsu. Saluran cerna: mual, konstipasi xerostomia. Agenitourinari: retensi urin, gangguan ejakulasi, impotensi. Hematologi: agranulositosis, eosinofilia, leukopenia, anemia hemolisis, anemia


(26)

aplastik, purpura trombositopenia. Hati: jaundice. Mata: penglihatan kabur, perubahan kornea dan lentikuler, keratopati epitel, retinopati pigmen.

c. THP (Trihexyphenidyl)

Trihexyphenidyladalah antikolinergik yang mempunyai efek sentral lebih kuat daripada perifer, sehingga banyak digunakan untuk terapi penyakit Parkinson. Senyawa ini bekerja dengan menghambat pelepasan asetil kolin endogen dan eksogen. Efek sentral terhadap susunan saraf pusat akan merangsang pada dosis rendah dan mendepresi pada dosis toksik.

Indikasi: penyakit Parkinson dan gangguan akibat efek ekstrapiramidal yang disebabkan oleh obat-obatan SSP.

Kontraindikasi: Hipersensitifitas terhadap trihexyphenidyl atau komponen lain dalam sediaan, glaukoma sudut tertutup, obstruksi duodenal atau pyloric, peptic ulcer, obstruksi saluran urin, achalasia, myasthenia gravis.

Efek Samping: Penglihatan kabur, sembelit, berkeringat bercucuran, sulit atau nyeri buang air kecil (terutama bagi manula), pusing atau ringan ketika bangkit dari posisi berbaring atau duduk, kantuk, keringnya mulut, hidung, atau tenggorokan, sakit kepala, meningkatkan, sensitivitas mata terhadap cahaya, kelemahan otot mual atau muntah, kegugupan rasa sakit pada mulut dan lidah, sakit perut.

d. Diazepam

Bekerja pada sistem Gamma Aminobutyric Acid (GABA) , yaitu dengan

memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang.

Indikasi: Diazepam digunakan untuk memperpendek dan mengatasi gejala yang timbul seperti gelisah yang berlebihan, diazepam juga dapat


(27)

diinginkan untuk gemetaran, dan dapat menyerang secara tiba-tiba. Halusinasi sebagai akibat mengkonsumsi alkohol. Diazepam juga dapat digunakan untuk kejang otot, kejang otot merupakan penyakit neurologi. Dizepam digunakan sebagai obat penenang dan dapat juga dikombinasikan dengan obat lain.

Kontraindikasi: Hipersensitivitas, sensitivitas silang dengan benzodiazepin lain, pasien koma, depresi SSP yang sudah ada sebelumnya, nyeri berat tak terkendali, glaukoma sudut sempit, kehamilan atau laktasi, diketahui intoleran terhadap alkohol atau glikol propilena (hanya injeksi).

Efek Samping: pusing, mengantuk, depresi, alergi, amnesia, anemia, angioedema, behavioral disorders, kulit merah, mual, muntah, tremors.

2. Terapi nonfarmakologis

Menurut Kaplan & Sadock (2007) terapi nonfarmakologis dibagi atas : a. Electro Convulsive Therapy (ECT)

ECT telah dipelajari terhadap penderitas akut dan kronik skizofrenia. Penelitian terbaru terhadap pasien skizofrenia dengan fase amuk mengindikasikan bahwa ECT efektif sebagai pengobatan antipsikotik dan lebih efektif dari psikoterapi. Penelitian lain menyatakan bahwa gabungan antara obat antipsikotik dan ECT terbukti lebih efektif dari pada hanya menggunakan antipsikotik saja. Obat antipsikotik sebaiknya diberikan bersamaan dengan ECT atau bisa juga setelah ECT berlangsung.

b. Terapi psikososial

Terapi psikososial termasuk variasi metode untuk meningkatkan kemampuan sosial, peningkatan harga diri, keamampuan praktek dan komunikasi interpersonal pada pasien skizofrenia. Berikut ini adalah terapi yang termasuk kedalam psikososial terapi :

 Terapi latihan kemampuan sosial

Latihan kemampuan sosial kadang disebut juga dengan terapi kemampuan prilaku. Selama dengan pengobatan skizofrenia terapi bisa secara langsung efektif dan berguna bagi pasien.

 Terapi yang berorientasi pada keluarga

Anggota keluarga dilibatkan dalam terapi ini. Terapi ini berfokus pada situasi sekitar dan harus diidentifikasi dan menghindari situasi yang menimbulkan masalah. Ketika masalah muncul antara pasien dan keluarga, tujuan dari terapi adalah menyelesaikan masalah secara cepat.


(28)

Semua terapis seperti psikiatrik, pekerja sosial, dan terapis okupasi dan lainnya, tergabung dalam program terapi ini. Manajemen kasus memastikan bahwa usaha para professional dalam mengkoodinir dan memenuhi rencana terapi pasien dengan baik. Kesuksesan program ini tergantung pada pendidikan, latar belakang dan kompetensi yang dimiliki terapis.

Assertivecommunity treatment (ACT)

Program ini dibentuk untuk membatu pasien yang menderita penyakit mental kronis. Pasien dibantu oleh suatu tim dengan multidisiplin ilmu yang terdiri atas manajer kasus, psikiater, dan perawat. Tim tersebut akan mencari jalan keluar dari masalah dan akan memberikan bantuan kapada pasien selama satu minggu kapan dan dimanapun pasien berada. Terapi ini dilakukan secara mobile dan intensif yang meliputi terapi, rehabilitasi, dan dukungan aktivitas.

 Terapi kelompok

Terapi kelompok dilakukan pada pasien dengan skizofrenia. Secara umum terapi ini difokuskan pada rencana kehidupan nyata. Kelompok yang dibentuk dengan orientasi perilaku, psikodinamik atau orientasi pikiran dan dukungan. Terapi kelompok efektif menurunkan isolasi sosial, meningkatkan kesadaran akan realita.

 Cognitive behavioral therapy (CBT)

CBT digunakan pada pasien dengan skizofrenia untuk

mengimprovisasikan gangguan kognitif, mengurangi kebingungan dan memperbaiki kesalahan dalam pandangan. Penelitian terkait melaporkan pasien dengan halusinasi dan delusi dapat berkurang dengan menggunakan metode ini.

Individual psychotherapy

Penelitian mengenai pengaruh dari individual psychotherapy dalam terapi skizofrenia memberikan data bahwa terapi membantu dan memberikan efek tambahan jika dilakukan dengan terapi farmakologis. Psikoterapi memberikan hubungan teraupetik atara terapis dan pasien skizofrenia sehingga pasien merasa aman pada masa kritis.

Art therapy

Banyak pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari terapi seni, yang memberikan efek dengan menghilangkan gejala yang muncul.

2. Asuhan Keperawatan pada skizofrenia 2.1 Pengkajian keperawatan jiwa


(29)

Pengkajian keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan skizofrenia(O'Brien, Kennedy, &Ballard, 2012)

1. Sejarah Biopsikososial a. Identifikasi Data

Ringkasan riwayat biopsikososial secara ringkas dimulai dari data demografi nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, etnik, agama, pekerjaan, pendidikan dan riwayat kesehatan sekarang.

b. Keluhan Utama

Keluhan utama klien adalah alasan utama pasien mencari pelayanan kesehatan jiwa. Keluhan utama pasien harus didapatkan dari pernyataan pasien sendiri karena pernyataan pasien kemungkinan besar berbeda dengan keluarga atau dari pengamatan situasi.

Pada saat pengkajian (misalnya: seorang pasien bersikeras bahwa dia datang ke rumah sakit untuk melakukan medical check up terhadap dirinya yang telah diculik oleh alien). Keluhan utama pasien menyediakan data yang penting yang mengacu kepada penyakit pasien.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Riwayat penyakit sekarang adalah kronologi kejadian yang mengarahkan klien mencari profesional kesehatan jiwa. Riwayat kesehatan sekarang mendeskripsikan evaluasi gejala awal, waktu,durasi dan perubahan simptom dari waktu ke waktu. Faktor yang memperburuk atau memperbaiki keadaan psikologi harus dieksplorasi dan perawat menggambarkan faktor tersebut yang mungkin disembunyikan pasien saat wawancara. Perubahan yang menyertai fungsi somatik (pola tidur, selera makan, kemampuan kognitif, fungsi seksual) harus juga dicatat. Informasi serupa ini juga diperoleh ketika klien melakukan pemeriksaan nonpsikiatri.

d. Riwayat Psikiatri

Informasi tentang riwayat penyakit jiwa yang lalu harus diperoleh untuk memahami peristiwa, membuat diagnosa yang akurat, dan untuk membuat prognosis. Gangguan jiwa mungkin merupakan kejadian tunggal, kronik atau intermiten. Dan tentu saja penyakit mungkin meningkat atau memperburuk dari waktu ke waktu.

e. Riwayat Penggunaan Alkohol dan Zat Terlarang

Penelitian memaparkan bahwa perawat harus memperoleh riwayat penggunaan kafein dan nikotin. Keduanya umum terjadi pada klien psikiatri.


(30)

Kafein dapat menyuplai energi namun ketergantungan kafein dapat menyebabkan agitasi. Penggunaan nikotin mungkin dapat meningkatkan lama waktu konsentrasi dan memori pada klien dengan skizofrenia mungkin menurunkan efikasi neuroleptik. Ketergantungan nikotin mungkin menunjukkan agitasi atau depresi.

f. Riwayat Penggunaan Obat

Perawat harus menetapkan penyakit secara signifikan, injuris dan pengobatan terdahulu. Klien harus dicek alergi dan efek samping pengobatan baik terdahulu maupun sekarang. Pengukuran abnormal involuntari movement scale harus selesai diukur untuk mengukur efek samping pengobatan psikotropik yang menginduksi pergerakan. Dalam melakukan pengukuran AIMS perawat mengobservasi perubahan pergerakan otot yang abnormal ketika klien melakukan serangkaian pergerakan yang simpel. Klien wanita harus ditanyakan mengenai siklus menstruasi, kehamilan dan menopause. Perubahan hormon mungkin akan berpengaruh secara signifikan terhadap kesehatan mental pasien. Perawat harus memperkirakan risiko jatuh dan kerusakan kulit serta memperhatikan alat bantu yang dipakai oleh pasien (kacamata,alat bantu pendengaran,gigi palsu, alat bantu jalan dan tongkat)

g. Riwayat Keluarga

Keluarga tidak lagi disalahkan dalammenyebabkan gangguan jiwa melainkan mereka diajarkan tentang kondisi dan terlibat dalam proses pengobatan. Memperoleh riwayat kesehatan mental keluarga sangat penting karena banyak dari gangguan jiwa diturunkan. Gangguan bipolar dan unipolar, skizofrenia dan gangguan perhatian merupakan komponen signifikan yang diturunkan. Respon klien terhadap intervensi dapat diwariskan dan harus dimasukkan juga kedalam riwayat keluarga .

h. Riwayat Perkembangan

Riwayat perkembangan merupakan catatan pertumbuhan klien mulai bayi, anak-anak dan dewasa yang mungkinmemberikan petunjuk awal tentang perilaku dan bantuan untuk mendiagnosa. Ericson (1963) membuat sebuah jadwal tahap perkembangan untuk mengidentifikasi adaptasi psikososial yang diperlukan pada setiap tahap kehidupan. Semua tahapan dimulai dari kelahiran sampai menua dicirikan oleh tugas perkembangan. Keberhasilan dalam memenuhi tugas perkembangan akan mempengaruhi terhadap keberhasilan dalam memenuhi


(31)

tugas-tugas perkembangan berikutnya. Sebaliknya kegagalan dalam memenuhi tahap perkembangan akan mempengaruhi tahap perkembangan berikutnya dan mungkin perkembangan psikologi. Harga diri, kontrol diri dan kemandirian muncul selama masa balita dan puncaknya pada tahap inferiority (6 tahun sampai usia pubertas).

Gangguan jiwa pada balita, tempramen dan gaya hubungan interpersonal mungkin akan metetap sampai pasien menjadi dewasa. Selain itu, trauma psikis (contoh, diabaikan, dicaci maki, kehilangan orang tua) dialami pasien selama masih kecil dapat merugikan perkembangan otak, menyebabkan masalah impuls kontrol, gangguan kepribadian, gangguan stress post traumatic, depresi atau penyakit psikiatri lainnya (Terr,1991).

i. Riwayat Sosial

Kemampuan klien untuk membuat atau mempertahankan hubungan sosial mengindikasikan kemampuan untuk memanfaatkan hubungan teraupetik dan membantu dalam menegakkan diagnosis. Lingkungan sosial yang luas berhubungan dengan penurunan keparahan penyakit mental dan pemulihan lebih menyeluruh. Sering sulit untuk menetapkan apakah masalah sosial klien mempercepat atau diakibatkan dari penyakit mental. Seorang perawat psikiatri harus menyelidiki tentang keluarga klien dan anggota rumah, bagaimana respon keluarga lainnya terhadap penyakit yang dideritanya. Sering keluarga dari pengidap penyakit jiwa secara ekstrim memecah belah sistem keluarga (Terkelson, 1987). Meminta izin dari klien untuk melibatkan anggota keluarga atau orang penting lainnya adalah proses dari pengkajian atau pengobatan kecuali keterlibatan kontraproduktif. Memastikan riwayat teman dekat atau patner sesuai adalah hal yang penting untuk dilakukan.

Perawat harus memiliki deskripsi hubungan atau ketidakharmonisan hubungan. Apakah klien puas terhadap hubungan sosial dalam kehidupannya? Sebagai contoh beberapa orang menjadi stres ketika mereka gagal dalam mencapai hal yang penting dalam hidupnya seperti menikah pada umur tertentu. Mengkaji hubungan sosial klien yang lebih luas meliputi organisasi keagamaan, pusat komunitas dan klub. Situasi kehidupan klien juga tidak dapat dipisahkan dari pengkajian. Karena banyak dari stresor berasal dari lingkungan. Ketiadaan tempat tinggal misalnya adalah beberapa contoh stresor sosial.


(32)

Penting untuk menetapkan fungsi dalam pekerjaan dan sekolah baik pada waktu sekarang atau waktu yang lampau. Riwayat pekerjaan memungkinkan gangguan kepribadian atau frekuensi peristiwa kekambuhan penyakit mental. Pekerjaan dan sekolah berhubungan dengan stres kemungkinan dapat menimbulkan penyakit. Mengkaji akibat dari hospitalisasi atau pengobatan pada fungsi pekerjaan dan sekolah klien. Tingkatan pendidikan klien menentukan bagaimana perawat dapat lebih efektif berkomunikasi dan mengedukasi pasien. Status tingkat ekonomi yang rendah berhubungan secara keseluruhan terhadap penilaian tanda penyakit jiwa (Gresenz, Strums & Tang, 2001)

k. Budaya

Etnik, ras dan kelas sosial, tingkatan budaya dan bahasa harus dimasukkan kepada pengkajian budaya. Klinisi yang tidak mengenal budaya individu mungkin terlihat sebagai psikopatologi. Pada klien dengan depresi gejala biologi (seperti gangguan tidur dan selera makan) mungkin condong secara umum terjadi, sedangkan tanda-tanda psikologi terlihat bervariasi pada setiap budaya. Misalnya sebuah perilaku abnormal dalam satu budaya mungkin saja normal bagi budaya lain.

l. Nilai dan spiritualitas

Spiritualitas merupakan aspek yang sering diabaikan dalam pengkajian, terutama pada perawatan akut (Govier, 2000). Namun, tidak ada atau kurangnya rasa spiritualitas pada klien dapat berdampak luar biasa pada penyakit dan perngobatan. Keyakinan akan perencanaan dan belas kasih Tuhan akan melegakan banyak klien (Carson & Arnold, 1996). Beberapa klien merasa bahwa spiritualitas menurunkan rasa kesendirian dan putus asa. Spiritualitas sebuah religiusitas yang dapat mencegah bunuh diri dan kekerasan. Sebaliknya, beberapa klien dapat menjadi marah dengan Tuhan karena telah menyebabkan penderitaan mereka dan mungkin kehilangan kepercayaan. Klien harus ditanya tentang agama dan apakah mereka ingin pemuka agama terlibat dalam pengobatan mereka.

m. Kemampuan koping

Keterampilan koping adalah mekanisme yang digunakan orang untuk mengelola stres internal dan eksternal. Keterampilan mekanisme koping merupakan cara yang digunakan seseorang untuk mengelola stres internal dan eksternal. Perilaku koping dapat memungkinkan individu untuk mengubah situasi stres dengan mengendalikan, atau setidaknya meminimalkan stres akibat situasi.


(33)

Klien dengan penyakit jiwa kronis atau mengancam jiwa mungkin tidak dapat mengubah kondisi mereka, tetapi dapat mencoba untuk mengendalikan stres dan meminimalkan efeknya pada kehidupan mereka.

2. Pemeriksaan status mental a. Penampilan dan perilaku

Catat bentuk dan postur tubuh pasien, pakaian dan hiasan serta usia seharusnya berpenampilan. Beberapa kata sifat dapat digunakan untuk mendeskripsikan penampilan umum klien seperti pakaian kusut, make up tebal, lebih muda atau lebih tua dari usia biologis, postur tegang, berat badan berlebihan atau kurang dan berpakain kasual. Dalam istilah perilaku, pengkajian klien meliputi gaya berjalan, tingkat aktivitas, gerak, tingkah laku dan aktivitas psikomotor. Pasien manik mungkin menunjukkan kegelisaahn ketika ia duduk sedangkan pasien skizofrenia mungkin menunjukkan postur yang aneh atau keterbelakangan psikomotor.

b. Emosi: afek dan mood

Mood pasien adalah pernyataan emosional yang subyektif, dan ekspresi yang dapat dilihat dari pernyataan tersebut dinamakan afek. Observasi kedalaman, rentang, dan flukstuasi dari ekspresi emosi selama wawancara. Tanyakan langsung pada klien bagaimana suasana hati. mood dan afek bisa dideskripsikan sebagai normal, labil, depresi, tertekan, mudah marah, terlalu senang, ketakutan atau hampa. Bermacam-macam afek klien harus dicatat, terutama ketika mengalami fluktuasi dari datar ke labil. Contohnya, beberapa pasien yang depresi tampak depresi dan beberapa pasien depresi bisa saja tampak normal afeknya. c. Berbicara

Perawat harus mengobservasi jumlah, gaya, kecepatan dan nada bicara pasien ketika wawancara. Pembicaraan mungkin menunjukkan kebimbangan, keras kemudian mengecil sampai tidak bersuara, spontan atau tidak spontan, menyatu ke jelas, monoton sampai dramatis. Pasien mungkin menunjukkan pembicaraan yang aktif atau diam, bergantung pada jumpah pembicaraan. Observasi adanya bukti disartria, ekolalia, aphasia dan gangguan bicara lainnya. d. Isi dan proses pikir

Proses pikir merupakan cara bagaimana pasien berpikir. Sering ditunjukkan ketika pasien berbicara. Observasi saat wawancara dapat ditemukan pembicaraan yang berbelit-belit tapi sampai pada tujuan pembicaraan


(34)

(Sirkumstansial), pembicaraan yang berbelit-belit tapi tidak sampai pada tujuan (Tangensial), pembicaraan tak ada hubungan antara satu kalimat dengan kalitnat lainnya, dan pasien tidak menyadarinya (Kehilangan Asosiasi), pembicaraan yang meloncat dari satu topik ke topik lainnya, masih ada hubungan yang tidak logis dan tidak sampai pada tujuan (Flight of ideas), pembicaraan terhenti tiba-tiba tanpa gangguan eksternal kemudian dilanjutkan kembali (Blocking ) dan Perseverasi (pembicaraan yang diulang berkali-kali). Pada skizofrenia biasanya terdapat asosiasi (pembicaraan tidak memiliki hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya dan pasien tidak menyadarinya) dan neologisme.

e. Gangguan persepsi

Gangguan persepsi yang dimaksud adalah halusinasi. Didefinisikan sebagai pengalaman sensasi oleh pasien tanpa stimulasi nyata. Halusinasi mungkin hadir dalam bentuk halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, atau penciuman.

f. Kontrol impuls

Kontrol impuls adalah kemampuan untuk menunda, mengatur dan menghambat ekspresi perilaku dan perasaan. Pasien yang mampu mengontrol impuls tampak ketika ia menjawab pertanyaan perawat. Klien yang baru-baru ini mengikuti pesta minuman memiliki impuls kontrol yang rendah begitu juga dengan klien yang mengamuk ketika membahas hal yang sulit. Pengkajian kemampuan klien untuk mengontrol impuls merupakan bagian integral dari penentuan potensial perilaku bunuh diri atau pemikiran tentang melakukan kekerasan.

g. Sensori dan kognitif

Tingkat kesadaran, orientasi, konsentrasi dan memori penting untuk ditentukan ketika mengkaji klien yang menunjukkan gejala demensia selama wawancara. Klien dengan tingkat kesadaran yang berubah selama wawancara menunjukkan kemampuan naik turun dalam mempertahankan kesadaran akan lingkungan. Orientaasi dikaji dengan meminta pasien untuk menjawab pertanyaan tentang nama lengkap, lokasi, tanggal dan waktu. Memori dan konsentrasi seseorang ditunjukkan dengan kemampuan menjawab pertanyaan terhadap sejarah psikiatri. Konsentrasi dapat diukur dengan meminta klien untuk menghitung mundur (100, 98, 96….) dan ingatan dikaji dengan meminta klien mengingat tiga


(35)

benda dan menyebutkannya setelah lima menit. Perawat dapat menggunakan mini mental state examination (MMSE).

h. Pengetahuan, wawasan dan penilaian

Pengetahuan, wawasan dan penilaian adalah konsep hubungan yang biasanya dipastikan ketika mengambil data riwayat klien dan ketika observasi dan berdiskusi dengan klien dalam situasi sosial dan ketika menghadapi pasien dengan gangguan jiwa.

3. Pengkajian Fisik a. Pemeriksaan fisik

 Kepala dan rambut

 Rambut

 Wajah

 Mata

 Hidung

 Telinga

 Mulut dan faring

 Leher

 Pemeriksaan

integumen

 Pemeriksaan

thoraks/dada

 Pemeriksaan paru

 Pemeriksaan jantung

 Pemeriksaan abdomen

 Pemeriksaan kelamin dan

daerah sekitarnya

 Pemeriksaan

muskuloskeletal/ekstremitas

 Pemeriksaan neurologi

 Fungsi motorik

 Fungsi sensorik

 Refleks

b. Test labolatorium

Tes laboratorium yang penting seperti pemeriksaan urin dan darah: tiroid, hati dan fungsi ginjal; hitung darah lengkap dan penyakit menular seksual. Tes serum juga menunjukkan evaluasi level pengobatan psikotropik dalam darah klien. Level litium rendah mungkin menunjukkan episode manik. Sejumlah gangguan jiwa menunjukkan gejala dan tes diagnosa spesifik digunakan untuk mendeteksinya

c. CT scan atau tes diagnostik lain

Prosedur diagnosa khusus seperti EEG biasanya akan menunjukkan hasil tegangan tinggi dan aktivitas gelombang yang lambat pada pasien dengan masalah metabolisme seperti delirium. Tes lain seperti Magnetic Resonance Imaging

(MRI), CT (

computed tomography) dan PET (positron emission tomography) mengidentifikasi SOL (Space Occupying Lesion) dan gangguan metabolism otak. Tes ini mungkin juga mengidentifikasi bio marker gangguan jiwa, penelitian menemukan bukti bahwa meningkatan sisi ventrikel otak olehMRI dan CT dan penurunan aktivitas korteks frontal oleh pemeriksaan PET.


(36)

Diagnosa keperawatan adalah suatu pertimbangan klinis tentang individu, keluarga, atau masyarakat menjawab permasalahan kesehatan nyata atau potensial/proses hidup (Hotmand, 2012). Hasil diagnosa keperawatan menyediakan basis untuk menyusun intervensi untuk mencapai hasil di mana perawat mempunyai tanggung-jawab.” (Carpenito-Moyet, 2010).Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien skizofrenia adalah sebagai berikut :

1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri Kriteria Hasil/NOC :

a. Menunjukkan kontrol impuls yang dibuktikan oleh indikator:

 Melepaskan perasaan negatif dengan tepat

 Mengidentifikasi perilaku atau perasaan yang mengarah pada tindakan

impulsif

 Mengidentifikasi konsekuensi atau aksi impulsif pada diri sendiri dan orang lain

 Menghindari situasi dan lingkungan yang beresiko tinggi

 Mengungkapkan pengontrolan impuls

Intervensi/NIC:

NIC : Anger control assistance / Bantuan Kontrol Kemarahan a. Binahubungan saling percaya.

b. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan .

c. Tentukan perilaku yang tepat untuk mengekspresikan rasa marah.

d. Batasi akses ke situasi yang menyebabkan frustasi sampai pasien mampu mengekspresikan kemarahan secara adaptif.

e. Pantau potensi agresi yang tidak pantas dan berikan intervensi sebelum muncul.

f. Cegah kerusakan fisik jika kemarahan diarahkan pada diri sendiri atau orang lain.

g. Gunakan kontrol eksternal seperti pengekangan.

h. Berikan umpan balik pada perilaku untuk membantu pasien mengidentifikasi

kemarahan.

i. Bantu pasien dalam mengidentifikasi sumber kemarahan.

j. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam.

NIC : Behavior management, self harm/Manajemen perilaku menyakiti diri sendiri

a. Tentukan motif / alasan untuk perilaku.

b. Jauhkan barang-barang berbahaya dari lingkungan pasien.

c. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi dan / atau perasaan yang mungkin akan mendorong perilaku yang merugikan diri.

d. Kontrak dengan pasien, untuk tidak membahayakan dirinya.

e. Dorong pasien untuk mencari penyedia layanan untuk berbicara dengan mereka ketika dorongan untuk menyakiti diri terjadi.


(37)

f. Ajarkan dan kuatkan pasien untuk menggunakan perilaku koping yang efektif dan mengekspresikan perasaan dengan tepat.

g. Hindari memberi penguatan positif terhadap perilaku melukai diri sendiri. h. Berikan konsekuensi yang telah ditentukan jika pasien terlibat dalam perilaku

membahayakan diri.

i. Membantu pasien untuk mengidentifikasi situasi pemicu dan perasaan yang mendorong perilaku membahayakan diri sendiri.

j. Monitor pasien untuk efek samping obat dan hasil yang diinginkan.

k. Monitor pasien untuk impuls berbahaya yang dapat berkembang menjadi

pikiran / gerakanbunuh diri.

NIC : Suicide prevention /Pencegahan bunuh diri a. Tentukan keberadaan dan tingkat risiko bunuh diri.

b. Tentukan apakah pasien memiliki sarana yang tersedia untuk menindaklanjuti rencana bunuh diri.

c. Obati dan kelola segala penyakit jiwa atau gejala yang dapat menempatkan pada risiko untuk bunuh diri.

d. Melakukan pemeriksaan mulut setelah pemberian obat untuk memastikan

pasien tidak menyimpan obat di pipi untk upaya overdosis nantinya.

e. Memberikan sejumlah kecil obat preskriptif yang mungkin mengurangi

keinginan bunuh diri.

f. Monitor untuk efek samping obat dan hasil yang diinginkan.

g. Libatkan pasien dalam perencanaan / perawatannya sendiri, jika sesuai.

h. Anjurkan pasien dalam menggunakan koping yang strategis.

i. Kontrak (lisan atau tertulis) dengan pasien untuk tidak membahayakan diri untuk jangka waktu tertentu, kontrak kembali pada interval waktu tertentu, yang sesuai.

j. Bantu individu dalam membahas perasaannya terkait kontrak yang dibuat.

k. Amati individu untuk tanda ketidaksesuaian yang mungkin menunjukkan

kurangnya komitmen untuk memenuhi kontrak.

l. Berinteraksi dengan pasien secara berkala untuk menyampaikan kepedulian dan keterbukaan dan untuk memberikan kesempatan bagi pasien untuk berbicara tentang perasaan.

m. Lakukan pendekatan yang tidak menghakimi dalam membahas bunuh diri.

n. Bantu pasien untuk mengidentifikasi orang-orang yang mendukungnya.

o. Periksa lingkungan secara rutin untuk menghilangkan barang yang berbahaya. p. Batasi pengunjung yang berpotensi memiliki alat yang bisa digunakan untuk

bunuh diri.

2. Resiko kekerasan : pada orang lain Kriteria Hasil/NOC :

a. Menunjukkan kontrol penyerangan yang dibuktikan oleh indikator (sebutakn

nilai 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering atau konsisten): menahan diri dari:


(38)

 Melukai orang lain atau hewan

 Menghancurkan barang-barang

 Mengidentifikasi rasa marah, frustasi dan perilaku agresif b. Menunjukkan kontrol impuls yang dibuktikan oleh indikator:

 Melepaskan perasaan negatif dengan tepat

 Mengidentifikasi perilaku atau perasaan yang mengarah pada tindakkan impulsif

 Mengidentifikasi konsekuensi atau aksi impulsive pada diri sendiri dan orang lain

 Menghindari situasi dan lingkungan yang beresiko tinggi

 Menggungkapkan pengontrolan impuls

Intervensi/NIC:

NIC : Abuse protection support/ Dukungan perlindungan kekerasan a. Identifikasi riwayat masa kecil tidak bahagia yang terkait dengan

penyalahgunaan, penolakan, kritik berlebihan, atau perasaan menjadi tidak berharga dan tidak dicintai sebagai anak-anak.

b. Identifikasi kesulitan mempercayai orang lain ataumerasa tidak suka dengan orang lain .

c. Identifikasi apakah meminta bantuan merupakan indikasi ketidakmampuan

bagi pasien.

d. Identifikasi tingkat isolasi sosial dalam keluarga.

e. Identifikasi situasi krisis yang dapat memicu kekerasan, seperti kemiskinan, pengangguran, perceraian, atau kematian orang yang dicintai.

f. Catat waktu dan durasi dari selama kunjungan hospitalisasi. g. Dengarkan dengan penuh perhatian pasien yang berbicara tentang

masalahnya.

NIC : Anger control assistance/ Bantuan kontrol kemarahan a. Binahubungan saling percaya.

b. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan .

c. Tentukan perilaku yang tepat untuk mengekspresikan rasa marah.

d. Batasi akses ke situasi yang menyebabkan frustasi sampai pasien mampu mengekspresikan kemarahan secara adaptif.

e. Pantau potensi agresi yang tidak pantas dan berikan intervensi sebelum muncul.

f. Cegah kerusakan fisik jika kemarahan diarahkan pada diri sendiri atau orang lain.

g. Gunakan kontrol eksternal seperti pengekangan.

h. Berikan umpan balik pada perilaku untuk membantu pasien mengidentifikasi

kemarahan.

i. Bantu pasien dalam mengidentifikasi sumber kemarahan.

j. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam. 3. Gangguan proses pikir


(39)

Kriteria Hasil/NOC :

a. Menunjukkan orientasi kognitif, ditandai dengan indikator berikut (sebutkan nilainya 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, dan

konsisten):mengidentifikasi diri; orang lain yang penting, tempat tertentu; hari, bulan, tahun, dan musim yang tepat.

b. Menunjukkan pembuatan keputusan, ditandai dengan indikator berikut

(sebutkan nilainya 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, dan konsisten ditunjukkan).

c. Menunjukkan identitas, ditandai dengan indikator berikut (sebutkan nilainya 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, dan konsisten ditunjukkan):

 Mengungkapkan identitas personal dengan jelas

 Membedakan diri dengan lingkungan dan orang lain

 Mengenal konflik interpersonal dengan intrapersonal

d. Menunjukkan status neurologis: kesadaran, ditandai dengan indikator berikut (sebutkan nilainya 1-5 : ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada

gangguan):

 Membuka mata terhadap adanya stimulus eksternal

 Mematuhi perintah

 Berespon terhadap stimulus lingkungan

Intervensi/NIC :

NIC : Anxiety Reduction /Penurunan Kecemasan

a. Gunakan pendekatan yang menenangkan : mendengarkan penuh perhatian.

b. Berikan informasi terkait diagnosa, penanganan dan prosedur. c. Identifikasi perubahan tingkat kecemasan.

d. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang mencetuskan kecemasan. e. Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan.

f. Ajarkan teknik relaksasi: Nafas dalam, distraksi. g. Kolaborasi pemberian antiasietas.

NIC : Delusion Management /Manajemen Delusi

a. Berikan pasien kesempatan untuk mendiskusikan delusinya. b. Hindari perdebatan tentang isi delusi atau menguatkannya.

c. Fokuskan diskusi pada penekanan perasaan, bukan isi delusi seperti “hal itu mungkin terjadi karena anda merasa takut”.

d. Anjurkan pasien untuk menvalidasi delusi dengan orang yang dipercaya. e. Bantu pasien mengidentifikasi situasi di mana masyarakat tiak dapat

menerima delusinya.

f. Monitoring kemampuan perawatan diri.

g. Monitoring status fisik pasien, berikan istirahat dan nutrisi yang adekuat. h. Monitoring delusi yang membahayakan pasien atau orang lain.

i. Berikan kenyamanan dan keselamatan pada pasien dan orang disekitarnya

ketika pasien tidak dapat mengontrol tingkah lakunya : pengekangan fisik. j. Bantu pasien menghindari/ menghilangkan stresor yang mencetuskan delusi. k. Pertahankan aktivitas harian.


(40)

l. Kolaborasi pemberian obat antipsikosis dan antiansietas.

m. Monitoring efek samping obat.

n. Berikan penkes pada keluarga tentang cara mengahadapi pasien dengan delusi. NIC : Hallucitation Management/manajemen halusinasi

a. Monitoring kecemasan dan stimulasi lingkungan.

b. Pertahankan lingkungan yang aman.

c. Catat tingkah laku yang mengindikasi halusinasi. d. Lakukan komunikasi terbuka dan jelas.

e. Pertahankan kegiatan harian.

f. Berikan pasien kesempatan untuk mendiskusikan halusinasinya dan mengekspresikan perasaannya.

g. Monitoring halusinasi yang membahayakan.

h. Hindari perdebatan tentang isi delusi atau menguatkannya.

i. Fokuskan diskusi pada penekanan perasaan, bukan isi halusinasi seperti “hal itu mungkin terjadi karena anda merasa takut”.

j. Anjurkan pasien untuk menvalidasi halusinasi dengan orang yang dipercaya. k. Bantu pasien mengidentifikasi situasi di mana masyarakat tiak dapat

menerima halusinasinya.

l. Monitoring kemampuan perawatan diri.

m. Monitoring status fisik pasien, berikan istirahat dan nutrisi yang adekuat.

n. Berikan kenyamanan dan keselamatan pada pasien dan orang disekitarnya

ketika pasien tidak dapat mengontrol tingkah lakunya : pengekangan fisik. o. Kolaborasi pemberian obat antipsikosis dan antiansietas.

p. Monitoring efek samping obat.

q. Berikan penkes pada keluarga tentang cara mengahadi pasien dengan halusinasi.

4. Defisit perawatan diri Kriteria Hasil/NOC :

Aktivitas hidup sehari-hari terpenuhi (Mandi, Makan, Berpakaian, Toiletting, dan Berhias).

Intervensi/NIC:

NIC : Self care assistance/Bantuan perawatan diri

a. Pertimbangkan budaya pasien ketika mempromosikan aktivitas perawatan diri. b. Pertimbangkan usia pasien ketika mempromosikan aktivitas perawatan diri.

c. Pantau kemampuan pasien untuk perawatan diri independen.

d. Pantau kebutuhan pasien untuk perangkat adaptif untuk kebersihan pribadi, berpakaian, menata rambut, toileting, dan makan.

e. Gunakan pengulangan konsisten rutinitas kesehatan sebagai sarana membangun mereka.

f. Dorong pasien untuk melakukan aktivitas normal sehari-hari sesuai tingkat kemampuan.

g. Dorong kemandirian, bantu jika pasien tidak dapat melakukannya sendiri. h. Tetapkan rutinitas kegiatan perawatan diri.


(41)

NIC : Unilateral neglect management/Manajemen pengabaian unilateral a. Pantau respon abnormal terhadap tiga jenis rangsanganutama: sensorik, visual,

dan pendengaran.

b. Evaluasi status dasar mental, pemahaman, fungsi motorik, fungsi sensorik, rentang perhatian, dan respon afektif.

c. Berikan umpan balik yang realistis tentang defisit persepsi pasien. d. Tunjukkan cara perawatan diri dengan tata cara yang konsisten dengan

penjelasan.

e. Sentuh bahu saat memulai percakapan.

f. Hindari gerakan cepat di ruang.

g. Hindari benda bergerak dalam lingkungan.

5. Isolasi sosial

Kriteria Hasil/NOC :

Menunjukkan keterlibatan sosial, ditandai dengan indikator berikut (sebutkan nilai 1 - 5 : tidak ada, terbatas, sedang, banyak atau luas).

 Melaporkan adanya interaksi dengan teman dekat, tetangga, anggota

keluarga, dan/ kelompok kerja.

 Melaporkan adanya partisipasi sebagai anggota kelompok keagamaan,

klub, atau kelompok sukarelawan

 Berpartisipasi dalam aktivitas pengalihan Intervensi/NIC:

NIC : Coping enhancement/ Perbaikan koping

a. Nilai penyesuaian pasien terhadap perubahan Body Image. b. Nilai dan diskusikan alternatif respon untuk situasi.

c. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyenangkan, ciptakan lingkungan

yang nyaman.

d. Anjurkan pasien memiliki teman yang dia sukai.

e. Gali perhargaan/pencapaian yang sebelumnya diterima psien dan alasan ia mengkritik diri sendiri.

f. Anjurkan pasien mengidentifikasi kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.

g. Bantu pasien mnegidentifikasi respon positif dari orang lain.

h. Kaji mekanisme koping sebelumnya digunakan pasien.

i. Dukung pengunaan mekanisme koping yang tepat.

j. Anjurkan pasien mengutarakan peraaan, persepsi dan rasa takut. NIC : Family integrity Promotion/ Promosi integritas keluarga

a. Bangun hubungan pribadi dengan pasien dan keluarga anggota yang akan

terlibat dalam perawatan.

b. Identifikasi kemampuan anggota keluarga untuk terlibat dalam perawatan pasien.

c. Tentukan sumber daya fisik, emosional, dan pendidikan pengasuh utama. d. Identifikasi defisit selfcare pasien.

e. Identifikasi harapan anggota keluarga untuk pasien. f. Antisipasi dan mengidentifikasi kebutuhan keluarga.


(42)

g. Pantau struktur dan peran keluarga.

h. Pantau keterlibatan anggota keluarga dalam perawatan pasien. i. Identifikasi stres situasional lainnya untuk anggota keluarga. j. Dorong fokus pada setiap aspek positif dari situasi pasien. k. Identifikasi dengan anggota keluarga koping pasien yang sulit.

l. Identifikasi dengan anggota keluarga kekuatan pasien dan kemampuan

bersama keluarga.

NIC : Moodmanagement/ Manajemen mood

a. Evaluasi mood (misalnya, tanda, gejala, sejarah pribadi) dari awal, dan secara teratur, sebagai kemajuan pengobatan.

b. Rujuk pasien untuk evaluasi dan / atau pengobatan yang mendasari penyakit medis yang mungkin berkontribusi terhadap disfungsional mood(misalnya, gangguan tiroid.)

c. Pantau kemampuan perawatan diri (misalnya, perawatan, kebersihan, makanan / asupan cairan, eliminasi) dan bantupasien untuk meningkatkan tanggung jawab terhadap perawatan diri yang mampu dilakukannya. d. Pantau status fisik pasien (misalnya, berat badan, status hidrasi) dan fungsi

kognitif (misalnya, konsentrasi, perhatian, memori, kemampuan untuk memproses informasi, dan kemampuan pengambilan keputusan).

e. Gunakan bahasa yang sederhana, konkrit, bahasa di sini dan sekarang selama interaksi dengan pasien yang kognitifnya terganggu

f. Ajarkan koping baru dan kemampuan memecahkan masalah.

g. Monitor pasien untuk efek samping pengobatan dan dampak pada suasana

hati.

h. Membantu dokter dengan pemberian terapi electroconvulsive (ECT) perawatan, ketika dibutuhkan.

i. Monitor status fisiologis dan mental pasien segera setelah ECT. NIC : Recreation therapy / terapi rekreasi

a. Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi kurangnya mobilitas. b. Bantu pasien mengeksplorasi arti personal dari aktivitas rekreasi favorit. c. Monitoring kapasitas fisik dan mental untuk berpartisipasi dalam aktivitas

rekreasi.

d. Ikut sertakan pasien dalam perencanaan aktivitas rekreasi.

e. Bantu pasien memilih aktivitas rekreasi sesuai dengan fisik, psikologi dan sosial.

f. Berikan aktivitas rekreasi yang sesuai kemampuan dan usaha serta dapat menurunkan kecemasan.

g. Berikan pujian selama aktivitas berlangsung.

NIC : Sosialization Enhancement/ Peningkatan sosialisasi

a. Peningkatan Sosialisasi: Fasilitasi kemampuan berinteraksi dengan orang lain.

b. Bantu pasien untuk membedakan antara persepsi dan kenyataan.

c. Identifikasi dengan pasien faktor-faktor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial


(43)

d. Dukung usaha-usaha yang dilakukan pasien, keluarga dan teman-teman untuk berinteraksi.

e. Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai ketertarikan dan tujuan

yang sama.

f. Anjurkan aktivitas sosial dan komunitas.

g. Berikan umpan balik tentang peningkatan dalam perawatan penampilan diri atau aktivitas lainnya.

h. Tingkatkan rasa berbagi diantara orang lain tentang masalah-masalah yang biasa terjadi.

i. Dukung pasien dalam melakukan kegiatan seperti menonton tv.

j. Ikut sertakan pasien dalam kegiatan berkelompok.

k. Bantu pasien meningkatkan kesadaran akan kekuatan dan pembatasan dalam

berkomunikasi dengan orang lain.

l. Gunakan permainan peran untuk berlatih mengembangkan kemampuan dan

teknik komunikasi.

m. Anjurkan perencanaan grup kecil untuk aktivitas khusus. 6. Resiko bunuh diri

Kriteria Hasil/NOC :

a. Risiko bunuh diri hilang seperti ditunjukkan oleh kontrol depresi, level depresi, kontrol pemikiran menyimpang, kontrol impuls, pengendalian bunuh diri dan keinginan untuk hidup.

b. Pengendalian bunuh diri di tunjukkan dalam (sebutkan nilai1-5)  Mencari bantuan ketika perasaan ingin bunuh diri muncul

 Menyatakan ide bunih diri jika muncul

 Menahan diri dari memperoleh keinginan untuk bunuh diri

 Tidak membuang barng-barang

 Tidak mencoba bunuh diri

Intervensi/NIC:

NIC : Anger control assistance/Bantuan kontrol kemarahan a. Binahubungan saling percaya.

b. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan .

c. Tentukan perilaku yang tepat untuk mengekspresikan rasa marah.

d. Batasi akses ke situasi yang menyebabkan frustasi sampai pasien mampu mengekspresikan kemarahan secara adaptif.

e. Pantau potensi agresi yang tidak pantas dan berikan intervensi sebelum muncul.

f. Cegah kerusakan fisik jika kemarahan diarahkan pada diri sendiri atau orang lain.

g. Gunakan kontrol eksternal seperti pengekangan.

h. Berikan umpan balik pada perilaku untuk membantu pasien mengidentifikasi

kemarahan.


(1)

2. Milieu Therapy

Milieu therapy adalah pengobatan gangguan jiwa atau ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan membuat perubahan besar langsung dalam kondisi kehidupan dan lingkungan pasien dengan cara yang akan meningkatkan efektivitas bentuk lain dari terapi (Townsend, 2000).

Dalam implementasi keperawatan penulis melaksanakan milieu therapy

selama 3 hari diruangan Sipiso-piso dengan jumlah pasien pada saat itu adalah 19 orang. Diagnosa pasien yang tertulis direkam medik yang terdapat diruangan Sipiso-piso adalah halusinasi, waham, perilaku kekerasan, harga diri rendah, gangguan citra tubuh serta isolasi sosial. Sedangkan untuk diagnosa yang paling banyak dialami pasien adalah perilaku kekerasan, disusul dengan halusinasi dan waham. Lingkungan sosial pasien juga berhubungan dengan perawat, pada pagi hari jumlah perawat yang bertugas diruangan adalah 4, sedangkan untuk sore dan malam hari hanya 1 orang perawat yang bertugas. Untuk kondisi fisiologis ruangan Sipiso-piso adalah berupa ruangan besar yang terdiri atas 2 kamar mandi, 20 tempat tidur, satu meja diskusi dengan 10 tempat duduk, meja tempat minum pasien.

Pada hari pertama penulis melihat aktivitas sosial yang ada diruangan Sipisopiso. Secara umum hubungan interpersonal antara pasien baik, rata-rata pasien diruangan kooperatif dengan perawat diruangan. Penulis juga melakukan perbincangan dengan pasien kelolaan dan beberapa pasien lainnya dengan

melakukan prosedur milieu therapy komunikasi teraupetik. Untuk perubahan

lingkungan fisik penulis tidak terlalu bisa melakukan perubahan karena hal tersebut memerlukan biaya dan persetujuan dari pihak rumah sakit.

Selanjutnya pada hari kedua penulis melanjutkan aplikasi milieu therapy yaitu dengan penambahan jam dinding, membawa beberapa buku bacaan untuk


(2)

Hasil evaluasi dari terapi ini tidak semua pasien diruangan mencapai

tujuan dari milieu therapy. Hanya beberapa pasien mampu mencapai tujuan

tersebut. Banyak pasien yang masih apatis dan tidak peduli dengan instruksi yang dilakukan perawat. Pasien yang mencapai tujuan dari milieu therapy adalah pasien yang sudah kooperatif dan lama dirawat di rumah sakit.


(3)

BAB 5 PENUTUP

1. Kesimpulan

Pratika senior ini dilakukan diruangan sipiso piso pada Tn Z selama dua minggu. Hasil dari pengkajian ditemukan ada beberapa masalah keperawatan pada Tn.Z yaitu ganguan citra tubuh, Mutilasi diri, Harga Diri Rendah Kronis, Ketidakefektivan manajemen perawatan diri, Kerusakan koping keluarga, Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri. Penulis mengangkat gangguan citra tubuh sebagai masalah prioritas karena gangguan citra tubuh dapat meningkatkan perilaku mencederai diri sendiri, beberapa individu yang mengalami gangguan citra tubuh akan menyatakan perasaan ketidakberdayaan, keputusasaan, dan kelemahan, dan boleh juga menunjukkan perilaku yang bersifat merusak terhadap dirinya sendiri, seperti penurunan pola makan atau usaha bunuh diri (Kozier, 2004).

Kemudian penulis menetapkan intervensi yang akan dilakukan terhadap masalah keperawawatan yang ditemukan. Implementasi keperawatan dilakukan selama 4 hari. Dalam pelaksaan asuhan keprawatan perawat menekankan milleu therapy. Milieu therapy adalah terapi yang diberikan pada pasien gangguan jiwa atau ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan membuat perubahan besar langsung dalam kondisi kehidupan dan lingkungan pasien dengan cara yang akan meningkatkan efektivitas bentuk lain dari terapi (Townsend, 2000). Hasil dari pratika senior didapatkan bahwa milieu therapy dalam pelaksanaan nya tidak berjalan maksimal karena sulit nya untuk merubah lingkungan fisiologis yang ada, selain itu sulitnya bekerja sama dengan perawat yang bertugas diruangan dalam pelaksanaan milieu therapy. Namun hasil dari evaluasi terhadap implementasi


(4)

2. Saran

Setelah menjalani kegiatan pratika senior selama ±2 minggu di ruangan Sipisopiso, tidak ditemukan hal-hal yang mempersulit untuk memberikan implementasi keperawatan kepada pasien kelolaan. Perawat dapat melaksanakan intervensi yang dibuat dengan sebaik mungkin. Saran untuk penulis berikutnya supaya berusaha melibatkan perawat yang bertugas diruangan tersebut dengan harapan setelah pratika senior ini selesai perawat diruangan dapat mengaplikasikannya untuk pasien lain. Selain itu perawat yang bertugas di RSJ Prof.Muhammad Ildrem Medan diharapkan lebih sering menjalin komunikasi teraupetik dengan pasien untuk menumbuhkan rasa saling percaya antara pasien dan perawat, agar dapat melakukan implementasi keperawatan yang sesuai dengan masalah keperawatan yang dialami pasien.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Association. (2000) Diagnostic and Statistical

Manual ofMental Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-IV-TR. Arlington, VA: American Psychiatric Association.

2. Baihaqi. MIF, Sunardi, Akhlan Riksma N.Ridalti, Heryati. Euis. 2007,

Psikiatri. Konsep dasar dan gangguan-gangguan. Bandung : Penerbit Refika Aditama

3. Barry, Patricia D. (1998) Mental health and mental illness. U.S : Lippincott

4. Bulechek, Gloria., Butcher, Koward K., & Dotscherman J.M. (2008). Nursing Intervenstions Classification. Edisi ke 5. Missouri : Mosby

5. BPS, 2010, Pedoman Analisis sensus Pendudukan 2010. Jakarta: Sub

Direktorat Analisis Konsistensi Statistik Direktorat Analisis Statistik

6. Depkes RI, 2003. Petunjuk teknis asuhan keperawatan pasien gangguan

skizofrenia. Direktorat kesehatan jiwa, Jakarta

7. Doenges, M. E., Townsend, M.C., Moorhouse, M.F. (2007). Rencana

Asuhan Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta : EGC

8. Febriani, Ririn Nur., (2008). Penderita Gangguan Jiwa Terus Meningkat.

Diunduh pada tanggal 19 April 2010;

http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=2145.

9. Hamid, Achir Yani. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa 1 Keperawatan

Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

10.Hawari, Dadang., (2001). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa

Skizofrenia. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

11.Herdman, TH. (2012). NANDA Nursing Diagnoses Definition and

Classification 2012-2014. UK : Wiley-Blackwell

12.Kozier, Erb, Berman, Synder. 2010. Buku Ajar Fundamental

Keperawatan(Ed. 7 Vol.2. Jakarta : EGC

13.Maramis, W.F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 9. Surabaya: Airlangga University Press.

14.Minde R, Haynes E, Rodenberg M. (2006). The ward milieu and its effect on the behavior of psychogenic patients. Candn jnl of psy

15.Moorhead, Sue., Johnson, Morion., & Maas, Maridean. (2004). Nursing Outcome Classification. Edisi Ke 3. Missouri ; Mosby

16.Newell, R., Gournay, K. (2000). MentaL Health Nursing An


(6)

21.Stuart & Sundeen. (2005). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5. Jakarta : EGC

22.Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts

Of Care, Edisi 3. Philadelphia: F.A. Davis Company.

23.Townsend, Mary.C. (2011). Nursing Diagnoses in Psychiatric Nursing.

Care Plans and Psychotropic Medications. Eight Edition. Philadelphia : Davis Company

24.Vaglum, P., Friis, S., Karterud, S. (1984). Why Are the Results of Milieu Therapy for Schizophrenic Patients Contradictory? An Analysis Based on Four Empirical Studies. Norway: The Yale Journal of Biology and Medicine

25.Videbeck, S., L. (2011). Psychiatric-Mental Health Nursing. Fifth Edition. China: Lippicont


Dokumen yang terkait

Pengelolaan Pelayanan dan Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien dengan Halusinasi Pendengaran di Ruang Sipiso-Piso Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

9 98 138

Asuhan Keperawatan pada Ny. N dengan prioritas masalah Gangguan Kebutuhan Tidur pada Klien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Prof. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Medan

0 27 46

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DENGAN MASALAH UTAMA HALUSINASI DENGAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DENGAN MASALAH UTAMA HALUSINASI DENGAR DI RUANG ARJUNA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH KLATEN.

1 2 11

Asuhan Keperawatan dengan Aplikasi Mileu Therapy pada Klien dengan Masalah Self Perception di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Prof. M. Ildrem Medan

0 0 11

Asuhan Keperawatan dengan Aplikasi Mileu Therapy pada Klien dengan Masalah Self Perception di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Prof. M. Ildrem Medan

0 0 2

Asuhan Keperawatan dengan Aplikasi Mileu Therapy pada Klien dengan Masalah Self Perception di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Prof. M. Ildrem Medan

0 0 4

Asuhan Keperawatan dengan Aplikasi Mileu Therapy pada Klien dengan Masalah Self Perception di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Prof. M. Ildrem Medan

0 1 40

Asuhan Keperawatan dengan Aplikasi Mileu Therapy pada Klien dengan Masalah Self Perception di Ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Prof. M. Ildrem Medan

0 0 2

Asuhan Keperawatan pada Ny. N dengan prioritas masalah Gangguan Kebutuhan Tidur pada Klien Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Prof. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara Medan

0 0 10

Pengelolaan Pelayanan dan Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien dengan Halusinasi Pendengaran di Ruang Sipiso-Piso Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

0 0 60