TINGKAT RISIKO LONGSOR DAN ARAHAN KONSERVASI LAHAN DAS GRINDULU HULU KABUPATEN PACITAN DAN PONOROGO TAHUN 2009

(1)

commit to user

i

TINGKAT RISIKO LONGSOR DAN

ARAHAN KONSERVASI LAHAN DAS GRINDULU HULU KABUPATEN PACITAN DAN PONOROGO

TAHUN 2009

SKRIPSI

Disusun Oleh : Intan Fatmasari

K5406025

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

commit to user

ii

TINGKAT RISIKO LONGSOR DAN

ARAHAN KONSERVASI LAHAN DAS GRINDULU HULU KABUPATEN PACITAN DAN PONOROGO

TAHUN 2009

Oleh : Intan Fatmasari

K5406025

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan

mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(3)

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Setya Nugraha, S.Si, M.Si Yasin Yusup, S.Si, M.Si


(4)

commit to user

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada Hari : Tanggal :

Tim Penguji Skripsi :

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Partoso Hadi, M.Si 1.________________

Sekretaris : Rahning Utomowati, S.Si 2. _____________

Anggota I : Setya Nugraha, S.Si M.Si 3.________________

Anggota II : Yasin Yusup, S.Si M.Si 4.______________

Disahkan oleh :

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan,

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd NIP. 19600727 198702 1 001


(5)

commit to user

v ABSTRAK

Intan Fatmasari. TINGKAT RISIKO LONGSOR DAN ARAHAN

KONSERVASI LAHAN DAS GRINDULU HULU KABUPATEN PACITAN DAN PONOROGO TAHUN 2009. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, September 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:, Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dan karakteristik tipe longsor di DAS Grindulu hulu, tingkat kerentanan dan risiko longsor di DAS Grindulu hulu dan arahan konservasi lahan di DAS Grindulu hulu.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif spasial. Populasi adalah seluruh satuan lahan yang ada di DAS Grindulu hulu tersusun dari peta tanah, peta lereng, peta geologi dan peta penggunaan lahan dengan jumlah 44 satuan lahan, sampel diambil dengan teknik sampel wilayah (area sampling). Teknik pengumpulan data diperoleh dengan observasi lapangan, dokumentasi dan uji laboratorium. Teknik analisis data dengan cara scoring parameter penentu Tingkat Bahaya Longsor yang menghasilkan peta Tingkat Bahaya Longsor, tipe longsor dengan data dari lapangan dan melihat material longsor, kerentanan dengan data kepadatan penduduk yang dipetakan menjadi peta Kepadatan Penduduk kemudian di overlay dengan Tingkat Bahaya Longsor sehingga menghasilkan peta Tingkat Kerentanan Longsor, risiko dengan mengkorelasikan antara hasil TBL dan kerentanan longsor yaitu overlay peta Tingkat Bahaya Longsor dan peta Tingkat Kerentanan Longsor sehingga menghasilkan peta Tingkat Risiko Longsor, dan konservasi lahan dengan metode konservasi secara teknik dan vegetatif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tipe Longsoran Nendatan berada pada morfologi bergelombang, yang terdapat pada kelas TBL rendah hingga sedang dan tersebar di 8 desa dengan luas keseluruhan 5617,8 Ha. Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran berada pada morfologi bergelombang hingga berbukit, yang terdapat pada kelas TBL tinggi dan tersebar di 8 desa dengan luas keseluruhan 2877,4 Ha. Tipe Longsoran Jatuhan Batu berada pada morfologi bergunung, yang terdapat pada kelas TBL sangat tinggi dan tersebar di 2 desa dengan luas keseluruhan 35,2 Ha.

2. Tingkat kerentanan tertinggi/ sangat rentan berada di Desa Gemaharjo dengan luas 492,3 Ha (30,1%) dan Tingkat kerentanan terendah/ tidak rentan berada di Desa Ploso dengan luas 839,9 Ha (18,3%). Sementara itu untuk tingkat risiko tertinggi berada di Desa Gemaharjo dengan luas 699,5 Ha (40,9%) dan tingkat risiko terendah berada di Desa Ploso dengan luas 1378,6 Ha (33,9%).

3. Di DAS Grindulu hulu terdapat 32 arahan konservasi lahan dengan 4 prioritas penanganan. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan III memiliki luasan tertinggi yaitu 3197,7 Ha (42,6%) dan Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan II memiliki luasan terendah yaitu 462,9 Ha (6,1%).


(6)

commit to user

vi ABSTRACT

Intan Fatmasari. LEVEL RISK OF LANDSLIDE AND LAND CONSERVATION AT GRINDULU UPP ER WATERSHED IN PACITAN AND PONOROGO REGENCY 2009, Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Sebelas Maret University, September 2010.

The goal of the research is to know : level hazard of landslide and type of landslide in Grindulu upper watershed, level risk and susceptibility of landslide in Grindulu upper watershed and land conservation in Grindulu upper watershed.

This research uses spatial descriptive method. P opulation is the whole of land units which exist in Grindulu upper watershed wich arranged by soil map, slope map, geological map and landuse map with the amount 44 land units, sample was taken by area sampling technique. Technique of data collection were gained by field observation, documentation and laboratory test. Technique of data analysis were gained by scoring parameter of landslide and the output is level hazard of landslide map, landslide type with data from field and looking for material of landslide, susceptibility with population density data wich outlined population density map and overlay with is level hazard of landslide map, so the output is level susceptibility of landslide map, risk with correlation/ overlay between result of level hazard of landslide and susceptibility, so the output is level risk of landslide map, and land conservation with technique and vegetative conservation method.

Based on the result of the research , it can be concluded as follows:

1. Slump slide type being on rolling morphology, were gained on Level Hazard of Landslide low until medium class and distributed in 8 village with 5617,8 Hectare wide. Debris Fall slide type being on rolling until strong hilly morphology, were gained on Level Hazard of Landslide high class and distributed in 8 village with 2877,4 Hectare wide. Rock Fall slide type being on mountainous morphology, were gained on Level Hazard of Landslide very high class and distributed in 2 village with 35,2 Hectare wide.

2. The highest/ very susceptibility class on Level Susceptibility of Landslide was located in Gemaharjo village with 492,3 Hecta re wide or (30,1%) and the lowest/ not susceptibility class on Level Susceptibility of Landslide was located in Ploso village with 839,9 Hectare wide or (18,3%). For the time being the highest class on Level Risk of Landslide was located in Gemaharjo village with 699,5 Hecta re wide or (40,9%) and the lowest class on Level Risk of Landslide was located in Ploso village with 1378,6 Hectare wide or (33,9%).

3. In Grindulu upper watershed were gained 32 land conservation with 4 handling priority. Land conservation on handling priority class III have high wide with 3197,7 Hectare wide or (42,6%) and Land conservation on handling priority class II have low wide with 462,9 Hectare wide or (6,1%).


(7)

commit to user

vii MOTTO

If there is a will, there is a way (P enulis)

Let’s make a dreams and make a true

(P enulis)

People may doubt what you say, but they will believe what you do (Lewis Cass)

You were not born a winner, and you were not born a loser. You are what you make yourself be

(Lou Holtz)

Experience is not what happens to you, it is what you do with what happens to you (Aldous Huxley)


(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada: My beloved mom and dad My little brother My grindulu team (Ardhian & Aby)

Someone in a right place

All of my friends geo’06


(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan dan kesempatan sampai pada akhirnya skripsi dapat terselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Geografi.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian skripsi ini, berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan tersebut dapat teratasi dengan baik. Untuk itu atas segala bantuannya disampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr. Sp.KJ.(K) selaku Rektor Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

2. Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS yang telah memberikan ijin dalam penyusunanan skripsi ini.

3. Bapak Drs. H. Syaiful Bachri, M.Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah memberikan ijin untuk penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Partoso Hadi, M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan Geografi yang telah memberikan bimbingan arahan, serta ijin dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Setya Nugraha, S.Si, M.Si selaku Pembimbing I yang telah berkenan memberikan bimbingan, arahan, dan semangat dalam penyusunan skripsi.

6. Bapak Yasin Yusup, S.Si, M.Si selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, semangat serta pengetahuan baru yang sangat bermanfaat.


(10)

commit to user

x

7. Bapak ibu dosen Program Studi Pendidikan Geografi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat selama penulis belajar di Pendidikan Geografi FKIP-UNS.

8. Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

9. Kedua orangtua yang tidak henti-hentinya mendoakan hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

10.Rekan-rekan kuliah Program Studi Pendidikan Geografi FKIP-UNS Angkatan 2006 yang telah membantu dan memberi semangat: Diah, Dyas, Ika, Kukuh, Sya‟ban, Aby, Agung H, Agung P, Anis, Anita, Ardhian, Ari, Arief, Uzi, Silva, Indri, Guntur, Maria, Novika, Reza, Rohmat, Tari, Arno, Bekti, Watik, Tedy, Yenik, Jojo, Ulie, Mitra, Novi, Rohaye, Lilik, Wiwis, Eki.

11.Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Allah SWT. Meskipun disadari, skripsi ini jauh dari sempurna, namun diharapkan skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu geografi pada khususnya.

Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Surakarta, September 2010


(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRCT ... vi

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR PETA ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

1. Manfaaat Teoritis ... 5

2. Manfaat Praktis ... 5

BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 6

1. Longsor ... 6

2. Tingkat Kerentanan dan Risiko Longsor ... 18

3. Penanggulangan dan Pengendalian Longsor ... 20

4. Konservasi Lahan ... 24

5. Daerah Aliran Sungai ... 27

6. Satuan Lahan ... 31


(12)

commit to user

xii

C. Kerangka Pemikiran ... 38

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

B. Metode Penelitian... 40

C. Teknik Sampling ... 42

D. Sumber Data ... 42

E. Teknik Pengumpulan Data ... 43

F. Teknik Analisis Data ... 44

G. Prosedur Penelitian... 50

BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Kondisi Fisik Daerah Penelitian ... 52

1. Letak, Batas, dan Luas ... 52

2. Iklim ... 55

3. Geologi ... 59

4. Geomorfologi ... 60

5. Tanah ... 61

6. Penggunaan Lahan ... 64

7. Keadaan Penduduk ... 65

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan... 67

1. Satuan Lahan Daerah Penelitian ... 67

2. Tingkat Bahaya Longsor dan Karakteristik Tipe Longsor ... 81

3. Tingkat Kerentanan dan Risiko Longsor ... 96

4. Penanganan Longsor dan Arahan Konservasi Lahan... 109

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan ... 149

B. Implikasi ... 149

C. Saran ... 150

DAFTAR PUSTAKA ... 152 LAMPIRAN


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Klasifikasi Longsoran ... 14

Tabel 2. Perlakuan Pengendalian Longsor pada Setiap Segmen (Bagian) dari Area Longsor ... 21

Tabel 3. Penelitian yang Relevan ... 35

Tabel 4. Waktu Penelitian ... 40

Tabel 5. Pengharkatan Parameter Penentu Longsor ... 46

Tabel 6. Metode Penanggulangan Longsor Berdasarkan Tipe Longsor ... 47

Tabel 7. Usaha Konservasi Lahan Vegetatif ... 49

Tabel 8. Usaha Konservasi Lahan Teknik ... 50

Tabel 9. Pembagian Administratif DAS Grindulu hulu ... 53

Tabel 10. Curah Hujan DAS Grindulu hulu Tahun 2000 – 2009 Stasiun Pengamatan Bandar ... 56

Tabel 11. Tipe Curah Hujan Menurut Schmidt-Ferguson ... 57

Tabel 12. Penggunaan Lahan di DAS Grindulu hulu ... 64

Tabel 13. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Tegalombo Tahun 2009 ... 65

Tabel 14. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Bandar Tahun 2009 ... 66

Tabel 15. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Slahung Tahun 2009 ... 67

Tabel 16. Formasi Batuan di DAS Grindulu hulu ... 68

Tabel 17. Kemiringan Lereng di DAS Grindulu hulu ... 70

Tabel 18. Macam Tanah yang Terdapat di DAS Grindulu hulu ... 72

Tabel 19. Penggunaan Lahan di DAS Grindulu hulu ... 74

Tabel 20. Karakteristik Lahan DAS Grindulu hulu ... 77

Tabel 21. Tingkat Bahaya Longsor DAS Grindulu hulu. ... 82

Tabel 22. Kepadatan Penduduk DAS Grindulu hulu. ... 98

Tabel 23. Hubungan Tingkat Kerentanan dan Tingkat Bahaya Longsor. ... 104

Tabel 24. Arahan Konservasi Lahan DAS Grindulu hulu ... 110

Tabel 25. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan I ... 113


(14)

commit to user

xiv

Tabel 27. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan III ... 132 Tabel 28. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan IV …………. .... 139


(15)

commit to user

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Longsor Translasi ... 8

Gambar 2. Longsor Rotasi ... 9

Gambar 3. Pergerakan Blok ... 9

Gambar 4. Runtuhan Batu ... 10

Gambar 5. Rayapan Tanah ... 10

Gambar 6. Aliran Bahan Rombakan ... 11

Gambar 7. Perbedaan Tipe Longsor ... 11

Gambar 8. Efek Gaya Gravitasi pada Sebuah Massa... 12

Gambar 9. Penurunan Sudut Lereng yang Disebabkan Gelinciran Material Longsor ... 12

Gambar 10. Kecepatan Kerusakan Relatif pada Masing-Masing Tipe Longsor ... 13

Gambar 11. Skema yang Menggambarkan Zona Hulu, Punggung, dan Kaki dari Wilayah Longsor ... 20

Gambar 12. Letak Saluran Pengelak dan Saluran Pembuangan Air pada Suatu Bukit ... 23

Gambar 13. Bangunan Penahan Longsor dari Anyaman Bambu untuk Menahan Longsor Kategori Kecil ... 23

Gambar 14. Bangunan Konstruksi Beton Penahan Longsor Kategori Besar ... 24

Gambar 15. Bangunan Penguat Tebing/Bronjong ... 24

Gambar 16. Letak Penanaman Rumput Berselang-seling ... 26

Gambar 17. Penampang Guludan yang Ditanami Rumput ... 26

Gambar 18. Penampang Teras Bangku dan Bagan yang Ditanami Rumput ... 27

Gambar 19. Penampang Saluran Pembuang Air yang Ditanami Rumput ... 27

Gambar 20. Siklus Hidrologi ... 28

Gambar 21. Penampang 3 Dimensi Struktur Memanjang Sungai gmangu ... 30

Gambar 22. Diagram Alur Kerangka Pemikiran ... 39

Gambar 23. Tipe Curah Hujan DAS Grindulu hulu Tahun 2000 - 2009 Menurut Schmidt dan Ferguson ... 58


(16)

commit to user

xvi

Gambar 24. Penampang Melintang Tanah Litosol pada Satuan Lahan

Tomw-IV-Li-Kb ... 62

Gambar 25. Penampang Melintang Tanah Latosol Coklat Kemerahan pada Satuan Lahan Tomw-IV-KLaCKmr-Tg. ... 63

Gambar 26. Tipe Longsoran Nendatan Tanah Desa Watupatok ... 85

Gambar 27. Tipe Longsoran Nendatan Tanah Desa Kledung ... 87

Gambar 28. Sketsa Tipe Longsoran Nendatan. ... 88

Gambar 29. Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran di Desa Gemaharjo ... 90

Gambar 30. Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran di Desa Tahunan ... 90

Gambar 31. Sketsa Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran. ... 91

Gambar 32. Tipe Longsoran Jatuhan Batu di Desa Gemaharjo ... 93

Gambar 33. Sketsa Tipe Longsoran Jatuhan Batu. ... 94

Gambar 34. Vetiver yang Ditanam Rapat sebagai Pengendali Longsor. ... 146

Gambar 35. Saluran Pengelak yang Dipotong dengan Rorak. ... 146

Gambar 36. Saluran Teras Bangku. ... 146

Gambar 37. Saluran Pembuangan Air (SPA)... 147


(17)

commit to user

xvii DAFTAR PETA

Halaman

1. Peta 1. Administrasi DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 54

2. Peta 2. Geologi DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 69

3. Peta 3. Lereng DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 71

4. Peta 4. Tanah DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 73

5. Peta 5. Penggunaan Lahan DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 75

6. Peta 6. Satuan Lahan DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 80

7. Peta 7. Tingkat Bahaya Longsor DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 95

8. Peta 8. Kepadatan Penduduk DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 99

9. Peta 9. Tingkat Kerentanan Longsor DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 103

10.Peta 10. Tingkat Risiko Longsor DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 108

11.Peta 11. Arahan Konservasi Lahan DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 148

12.Peta 12. Rekomendasi Penanganan Longsor DAS Grindulu Hulu Skala 1 : 50.000 ... 151


(18)

commit to user

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Curah Hujan Harian di Sepuluh Stasiun Pengamatan / Obsevatorium Meteorologi Selama Sepuluh Tahun (2000-2009).

Lampiran 2. Contoh Checklist Lapangan Lampiran 3. Peta Lokasi Titik Sampel Lampiran 4. Hasil Analisis Laboratorium. Lampiran 5. Perijinan.


(19)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Posisi geografis dan geodinamik Indonesia telah menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana (natural disaster prone region). Indonesia terletak pada wilayah pertemuan 3 (tiga) lempeng besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan antar lempeng tersebut terjadi zona penunjaman atau subduction zone. Lebih dari itu, proses dinamika lempeng yang cukup intensif juga membentuk relief permukaan bumi yang khas dan sangat bervariasi, mulai dari datar hingga pegunungan yang berlereng terjal. Material hasil letusan gunungapi mempunyai porositas tinggi dan kurang kompak dan tersebar di daerah dengan kemiringan terjal, jika terganggu keseimbangan hidrologinya, daerah tersebut akan rawan terhadap tanah longsor. Kondisi tersebut mengakibatkan yang berada dalam busur kepulauan bersifat rawan terhadap tanah longsor. wilayah

Salah satu kejadian alam yang dapat menjadi bencana bagi manusia adalah tanah longsor. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan sebagian wilayah Indonesia menjadi daerah yang rentan/ rawan bagi terjadinya tanah longsor. Kondisi ini ditambah dengan adanya curah hujan yang tinggi serta kejadian gempa yang sering muncul, sehingga secara alami akan ikut memicu terjadinya bencana tanah longsor.

Tanah longsor (landslide) adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran bergerak ke bawah atau keluar lereng. Peristiwa longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alami atau buatan dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh


(20)

commit to user

kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sementara, gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah dan batuan.

Tanah longsor merupakan suatu peristiwa alam yang pada saat ini frekuensi kejadiannya semakin meningkat. Fenomena alam ini berubah menjadi bencana alam tanah longsor manakala tanah longsor tersebut menimbulkan korban baik berupa korban jiwa maupun kerugian harta benda dan hasil budaya manusia. Indonesia yang sebagian wilayahnya berupa daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan sebagian wilayah Indonesia menjadi daerah yang rawan kejadian tanah longsor. Intensitas curah hujan yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul, secara alami akan dapat memicu terjadinya bencana alam tanah longsor. Kekuatan tanah tergantung dari ikatan antara partikel penyusun tanah, sedangkan untuk batuan lebih banyak ditentukan oleh retakan pada batuan itu.

Air hujan dalam jumlah yang kecil menyebabkan tanah menjadi lembab dan mempunyai efek memperkuat tanah, namun apabila tanah menjadi jenuh air efeknya akan melemahkan ikatan partikel. Molekul air menyusup ke partikel tanah dan menjadi katalisator proses gelinciran antara partikel. Faktor ini yang menyebabkan tanah longsor banyak terjadi pada musim penghujan.

Bencana alam merupakan bentuk dari dampak buruk proses yang terjadi di alam terhadap kehidupan di bumi. Manusia melihat kejadian proses alamiah sebagai bencana karena dipandang merusak tatanan kehidupan, terutama kehidupan manusia yang sedang berlangsung. Mereka akhirnya dihadapkan pada satu kejadian alam yang tidak terhindarkan karena pada dasarnya manusia hidup di alam. Menggunakan segala daya upaya manusia berusaha menghindari dampak buruk dari proses alam yang memang akan selalu terjadi. Daya upaya didasarkan pada tingkat pemahaman terhadap proses alam itu sendiri. Pemahaman berkembang dari yang bersifat subyektif-emosional sampai kepada tingkat teknik-rasional.

Bencana diartikan sebagai suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh perang, alam, perbuatan manusia, dan penyebab lain yang dapat mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian, kerusakan serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.


(21)

commit to user

Jadi, peristiwa longsor maupun fenomena alam lainnya tidak selalu disebut sebagai bencana, jika tidak mengakibatkan korban jiwa atau gangguan terhadap penduduk sekitar. Akan tetapi, saat ini keadaan tersebut sulit berlaku di DAS-DAS hulu, termasuk di Kabupaten Pacitan.

Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah dataran yang di batasi oleh batas alam, seperti punggungan bukit atau gunung, maupun batas buatan, seperti jalan atau tanggul dimana air hujan yang turun pada daerah tersebut memberi kontribusi aliran ketitik control (outlet), Suripin (2002 : 183). Daerah Aliran Sungai sebagai suatu ekosistem dapat dibagi menjadi tiga, yaitu wilayah hulu, tengah,dan hilir yang memilki ketergantungan satu dengan yang lainnya, Asdak (1995 : 11).

DAS Grindulu adalah salah satu DAS yang terletak di Kabupaten Pacitan. Di bagian hulu, DAS tersebut memiliki ketinggian sekitar 700 m dpal dengan kemiringan lereng > 45%, sehingga mengisyaratkan bahwa sebagian daerahnya adalah dataran tinggi dengan banyak bukit dan gunung. DAS Grindulu hulu memiliki luas 8.300 ha.

Longsor dalam skala kecil maupun besar, selalu terjadi dari waktu ke waktu dan bahkan akhir-akhir ini semakin tinggi intensitasnya. Di Kabupaten Pacitan terdapat beberapa kecamatan yang rawan longsor, yaitu Kecamatan Tegalombo, Arjosari, Kebonagung, Nawangan, Bandar, dan Pacitan. Setiap daerah tersebut memiliki tingkat kerawanan longsor yang berbeda-beda. Hal tersebut ditentukan oleh perbedaan karakteristik lahan yang sekaligus sebagai parameter penyebab longsor, seperti kemiringan lereng, jenis tanah, kondisi batuan, hidrologi, iklim, penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi.

Kondisi fisik lahan yang didominasi bentuklahan pegunungan dan perbukitan dengan kemiringan lereng yang curam sampai terjal, menyebabkan wilayah sekitar sungai Grindulu potensi akan terjadinya longsor. Kejadian longsor tersebut juga ditunjang oleh keadaan batuan yang sudah mulai melapuk akibat disintegrasi oleh pengaruh panas dan hujan serta dekomposisi.

Analisis tingkat bahaya longsor tanah di masing-masing DAS hulu di Kabupaten Pacitan sangat diperlukan. Analisis tersebut dapat digunakan untuk


(22)

commit to user

penyusunan informasi penanggulangan bencana dan arahan konservasi yang digunakan sebagai masukan bagi perencanaan dan pembangunan wilayah maupun penyempurnaan tata ruang wilayah. Potensi terjadinya longsoran ini dapat diminimalkan dengan memberdayakan masyarakat untuk mengenali tipologi lereng yang rawan longsor tanah, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan. Sistem peringatan dini yang efektif sebaiknya dibuat berdasarkan prediksi, bilamana dan dimana longsor akan terjadi juga tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat bencana datang.

Disamping itu, selain diadakannya sistem peringatan dini dan beberapa usaha-usaha pencegahan, upaya konservasi lahan merupakan suatu keharusan untuk membuat lingkungan hidup lebih baik sesuai dengan fungsinya. Konservasi lahan ditujukan untuk memperoleh produksi maksimum suatu lahan secara berkelanjutan dengan mengupayakan agar laju gerakan tanah/ longsor lebih kecil atau paling tidak sama dengan laju pembentukan tanah di daerah itu. Ini berarti bahwa diperlukan langkah-langkah atau upaya untuk mengatur penggunaan lahan.

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian yang berjudul ”Tingkat Risiko Longsor dan Arahan Konservasi Lahan di DAS Grindulu Hulu Kabupaten Pacitan dan Ponorogo Tahun 2009”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dan karakteristik tipe longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu?

2. Bagaimanakah tingkat kerentanan dan risiko longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu?

3. Bagaimanakah cara penanganan dan arahan konservasi lahan yang dilakukan terhadap karakteristik tipe longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu?


(23)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dan karakteristik tipe longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu

2. Mengetahui tingkat kerentanan dan risiko longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu

3. Mengetahui cara penanganan dan arahan konservasi lahan yang dilakukan di DAS Grindulu hulu

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang geomorfologi dan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat digunakan untuk sosialisasi adanya potensi terjadinya longsoran sehingga segenap masyarakat dapat mengenali tipologi lereng yang rawan tanah longsor, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan, dengan menyertakan beberapa rekomendasi-rekomendasi yang diperoleh dari penelitian ini.

b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah agar memperhatikan lingkungan setempat terutama lingkungan DAS, serta upaya-upaya konservasi lahan yang seharusnya dilakukan.


(24)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Longsor

Longsoran menurut Sharpe (1938) dalam Thornbury (1969:46) adalah tipe gerakan masa batuan yang diamati dan melibatkan masa kering bahan rombakan bumi (earth debris). Sharpe membagi tiga gerakan yang termasuk longsoran menjadi lima kategori, yaitu:

a. Nendatan (slump)

Nendatan adalah longsoran yang bergerak secara rotasi pada bidang gelincir yang diakibatkan oleh berkurangnya tahanan geser pada masa yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Ciri jenis longsoran ini adalah masa gelinciran bergerak secara rotasi dan cenderung ke arah dalam lereng dengan bagian atas gelinciran membentuk cekungan.

b. Gelinciran bahan rombakan (debris slide)

Gelinciran bahan rombakan merupakan tipe longsoran yang terjadi pada zona bagian terlapuk. Pada batuan terlapuk terbentuk masa rombakan yang berupa pecahan-pecahan (ductile) batuan yang terakumulasi pada lereng bukit dan memiliki potensi yang besar untuk bergerak terutama pada waktu hujan turun. Longsoran gelinciran merupakan bencana yang sering terjadi di indonesia dan intensif terjadi pada musim penghujan. Longsoran gelinciran ini dikenali dengan adanya retakan di permukaan. Pergerakan ini dikenali dengan bentuk permukaan berupa lingkaran atau bentuk sendok. Setelah terjadi kerusakan massa dengan adanya gawir longsoran di permukaan pada bagian mahkota longsoran, longsoran gelincir ini mulai bergerak dan akan membagi dalam beberapa blok yang terpisahkan oleh retakan. Pada daerah kepala blok ini akan menggelincir ke bawah dan membentuk daerah datar. Bagian paling bawah akan bergerak muncul ke atas membentuk lidah di permukaan. Gelinciran ini dapat terjadi dengan kecepatan beberapa centimeter per tahun hingga beberapa meter per bulan bahkan dapat terjadi tiga meter dalam satu detik. Rayapan tanah


(25)

commit to user

merupakan indikator adanya pergerakan longsoran gelinciran yang ditunjukkan dengan keadaan vegetasi yang membengkok. Daerah seperti ini semestinya tidak diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman penduduk.

c. Jatuhan bahan rombakan (debris fall)

Debris fall merupakan material kasar dan halus yang saling bercampur (mixed) yang bergerak jatuh bebas pada lereng yang vertikal akibat pengaruh gaya gravitasi.

d. Gelinciran batuan (rock slide)

Gelinciran batuan merupakan tipe longsoran yang masa batuannya menuruni lereng bukit akibat pengaruh dari struktur geologinya.

e. Jatuhan batu (rock fall)

Jatuhan adalah gerak bebas material yang berasal dari lereng curam seperti bukit. Tipe ini memiliki asal kata "jatuh", yang membedakan dengan tipe lain adalah keadaan dimana material jatuh bebas dari lereng mengalami tumbukan berulang dengan lereng yang berada dibawahnya dengan kecepatan tinggi. Lebih mudahnya adalah adanya sebuah pecahan batuan yang jatuh dari sebuah lereng yang menggelinding dan menerjang serta merusakkan apa saja yang dilewatinya. Diantara tipe jatuhan ini adalah bukit curam, dimana bukit curam tersusun oleh batuan bersifat getas yang mengalami erosi gelombang laut pada bagian bawahnya yang menyebabkan terjadinya jatuhan. Perhatikan retakan pada permukaan atasnya yang merupakan gejala sebelum terjadi jatuhan. Tipe longsoran jatuhan ini juga harus diwaspadai pada daerah pemukiman yang berada dibawah lereng yang memiliki batu-batu besar dan terpisah-pisah. Antisipasi yang dapat dilakukuan adalah membangun pagar-pagar kawat, atau dengan mengikat batu yang membahayakan tersebut.

Dalam longsoran yang sebenarnya, gerakan ini terdiri dari peregangan secara geser dan peralihan sepanjang suatu bidang atau beberapa bidang gelincir yang dapat nampak secara visual. Gerakan ini dapat bersifat progresif yang berarti bahwa keruntuhan geser tidak terjadi seketika pada seluruh bidang gelincir


(26)

commit to user

melainkan merambat dari suatu titik. Masa yang bergerak menggelincir di atas lapisan batuan/tanah asli dan terjadi pemisahan dari kedudukan semula. Sifat gerakan biasanya lambat hingga amat lambat.

Longsoran berdasarkan bentuk bidang gelincirnya dapat dibagi menjadi : (Schutcer dan Raimond, 1978:13)

a. Longsoran Rotasi (rotasional slides)

Longsoran rotasi adalah yang paling sering dijumpai oleh para rekayasawan sipil. Longsoran jenis ini dapat terjadi pada batuan maupun tanah. Pada kondisi tanah homogen, longsoran rotasi dapat berupa busur lingkaran, tetapi dalam kenyataan sering dipengaruhi oleh diskontinuitas oleh adanya sesar, lapisan lembek dan lain-lain.

b. Longsoran Translasi (translational slides)

Dalam longsoran translasi, longsoran bergerak sepanjang bidang gelincir berbentuk bidang rata. Perbedaan terhadap longsoran rotasi dan translasi merupakan kunci penting dalam penanggulannya. Gerakan dari longsoran translasi umumnya dikendalikan oleh permukaan yang lembek. Longsoran translasi ini dapat bersifat menerus, luas, dan dapat pula dalam blok. Dalam http://merapi.vsi.esdm.go.id mengungkapkan ada 6 jenis longsoran, yaitu:

a. Longsoran Translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.


(27)

commit to user b. Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.

Gambar 2: Longsor Rotasi

c. Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.

Gambar 3: Pergerakan Blok

d. Runtuhan batu

Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.


(28)

commit to user

Gambar 4: Runtuhan Batu

e. Rayapan Tanah

Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.

Gambar 5: Rayapan Tanah

f. Aliran Bahan Rombakan

Aliran bahan rombakan terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di DAS sekitar gunung api. Aliran tanah dapat menelan korban cukup banyak.


(29)

commit to user

Gambar 6: Aliran Bahan Rombakan

Landslides are rock, earth, or debris flows on slopes due to gravity. They can occur on any terrain given the right conditions of soil, moisture, and angle of

slope. Integral to the natural process of the earth’s surface geology, landslides

serve to redistribute soil and sediments in a process that can be in abrupt collapses or in slow mud flows, debris flows, earth failures, slope failures, etc (Figure 7). Landslides can be triggered by rains, floods, earthquakes, and other natural causes as well as human-made causes, such as grading, terrain cutting and filling, excessive development, etc. Because the factors affecting landslides can be geophysical or human-made, they can occur in developed or undeveloped areas, or any area where the terrain was altered for roads, houses, utilities, and

even for lawns in one’s backyard (USGS, Planning Research).


(30)

commit to user

The principal driving force for any landslide is the gravitational force (Figure 8) and the tendency to move of this mass will be proportional to the hill slope angle. The resisting forces preventing the mass from sliding down the slope are inversely proportional to the same hill slope angle and proportional to the friction angle of the material. As seen in Figure 9 the stability of the material resting on a slope will be reduced with an increased slope angle. In addition, the resisting forces can be significantly reduced in case of rain or earthquake vibrations.

Gambar 8. Efek Gaya Gravitasi pada Sebuah Massa

Gambar 9. Penurunan Sudut Lereng yang Disebabkan Gelinciran Material Longsor.

The speed at which the different types of landslides occur varies greatly. From Figure 10 it can be observed that the failure speed of rock falls is much higher than the one observed in slumps or soil creeping. The speed of the


(31)

commit to user

landslide will make an even more or less avoidable and therefore, more or less risky.

Gambar 10. Kecepatan Kerusakan Relatif pada Masing-Masing Tipe Longsor. Penetapan klasifikasi longsoran dimaksudkan untuk menyeragamkan istilah,memudahkan pengenalan tipe longsoran, membantu dalam menentukan penyebab longsoran dan pemilihan cara penanggulangannya. Klasifikasi longsoran ditetapkan berdasarkan :

1. Jenis material dan batuan dasarnya.

2. Jenis gerakan/meknisme longsoran dengan diskripsi lengkap mengenai bentuk bidang longsor/gelincir.


(32)

commit to user

Tabel 1. Klasifikasi Longsoran

JENIS GERAKAN JENIS MATERIAL

BATU TANAH

BUTIR KASAR

BUTIR HALUS Runtuhan

Runtuhan batu Runtuhan bahan rombakan Runtuhan tanah Jungkiran Jungkiran batu Jungkiran bahan rombakan Jungkiran tanah Gelin ciran

Rotasi Sedikit

Nendatan batu Nendatan bahan rombakan

Nendatan tanah

Translasi Banyak

Gelincir bongkahan batu Gelincir bongkah bahan rombakan Gelincir bongkah tanah

Gerakan Laterial Gelincir batu Gelincir bahan rombakan Gelincir tanah Aliran Gerakan Laterial batu Gerakan laterial bahan rombakan Gerakan laterial Aliran batu Aliran bahan rombakan Aliran tanah (rayapan tanah)

Majemuk Gabungan dua atau lebih tipe gerakan

Sumber: (Varness: 1978 dalam Suranto, 2008 : 28).

Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sementara, gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah dan batuan.

Faktor-faktor penyebab gerakan tanah antara lain: a. Hujan

Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam


(33)

commit to user

jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah.

b. Lereng terjal

Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.

c. Tanah yang kurang padat dan tebal

Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.

d. Batuan yang kurang kuat

Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan liat umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.


(34)

commit to user e. Jenis tata lahan

Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

f. Getaran

Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak.

g. Susut muka air danau atau bendungan

Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.

h. Adanya beban tambahan

Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya relatif lembah.

i. Pengikisan/erosi

Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai relative tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.

j. Adanya material timbunan pada tebing

Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah


(35)

commit to user

asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.

k. Bekas longsoran lama

Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri-cirisebagai berikut:

1) Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda

2) Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur

3) Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai 4) Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah 5) Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas

longsoran kecil pada longsoran lama

6) Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil

7) Longsoran lama ini cukup luas

l. Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung) Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri:

1) Bidang perlapisan batuan

2) Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar 3) Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan

yang kuat.

4) Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air).

5) Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.

6) Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.


(36)

commit to user m. Penggundulan hutan

Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang. Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memilki ciri:

1) Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda.

2) Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur.

3) Daerah badan longsor bagian atas umumnya relative landai. 4) Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah. 5) Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas

longsoran kecil pada longsoran lama.

6) Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil. Longsoran lama ini cukup luas.

n. Daerah pembuangan sampah

Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan guyuran hujan.

2. Tingkat Kerentanan dan Risiko Longsor

Gerakan tanah atau tanah longsor merupakan fenomena alam yang lazim terdapat di Indonesia. Sejak lama fenomena ini sudah dikenal, yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa fenomena ini bertambah sering dan dimensinya pun bertambah menjadi besar. Pertambahan baik kualitas maupun kuantitas dari proses gerakan tanah ini justru bersamaan dengan meningkatnya pembangunan di Indonesia. Karena itu perlu adanya suatu bentuk informasi mengenai tingkat kerentanan suatu daerah untuk terkena atau terjadi gerakan tanah. Bentuk informasi ini diwujudkan dalam suatu peta zona kerentanan gerakan tanah. Sehingga informasi tentang kerentanan gerakan tanah dapat digunakan sebagai


(37)

commit to user

informasi awal untuk analisa resiko terjadinya bencana dan analisa penanggulangan bencana sebagai acuan dasar untuk pengembangan wilayah berikut pembangunan instruktur.

Lingkup kegitan dalam pemetaan zona kerentanan tanah (Varnes, 1978

dalam keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral

No.1452/K/10/MEM/2000) meliputi: a. Persyaratan Tehnik, yaitu:

Persyaratan peta dimana peta tematik dan peta sebaran gerakan tanah disyaratkan mempunyai skala yang sama, dan terdigitasi dalam bentuk polygon.

Pembagian zona kerentanan gerakan tanah, zona kerentanan gerakan tanah dapat dibagi sebanyak-banyaknya menjadi 3 (tiga) yaitu: zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah, menengah dan tinggi.

b. Metode pemetaan zona kerentanan gerakan tanah. Metode analisis yang dipergunakan adalah metode analisis gabungan antara pemetaan tidak langsung dan pemetaan langsung. Pekerjaan ini menggunakan SIG.

Aspek yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan longsor adalah karakteristik lingkungan fisik alamiah dari obyek penelitian, dikaitkan dengan aspek yang memiliki kemungkinan untuk terkena dampak atas terjadinya bencana alam tersebut. Karakteristik lingkungan fisik alamiah yaitu yang dicerminkan oleh parameter yang merupakan variable-variabel pengaruh bahaya longsor. Adapun aspek yang kemungkinan terkena dampak atas terjadinya bencana longsor tersebut adalah berupa elemen permukiman, prasarana fisik dan sosial ekonomi, serta aktivitas ekonomi (mata pencaharian) penduduk atau merupakan elemen yang berisiko (Carrara et al., 1992 dalam Mustapa, 2003:64).

Tingkat risiko longsor dapat ditunjukkan oleh nilai risiko totalnya. Risiko total gerakan tanah adalah nilai yang menggambarkan tingkat risiko total dan jumlah kerugian jiwa serta harta benda yang disebabkan oleh kejadian longsor.


(38)

commit to user

Risiko spesifik adalah nilai yang menunjukkan derajat kehilangan jiwa serta harta benda yang berkaitan dengan bahaya longsor. Risiko spesifik tersusun dari kombinasi aspek bahaya longsor dengan magnitude. Adapun elemen yang berisiko adalah informasi tentang fasilitas public dan aspek aktivitas ekonomi.

3. Penanggulangan dan Pengendalian Longsor

Penerapan tehnik pengendalian longsor didasarkan atas konsep pengelolaan DAS. Dalam hal ini kawasan longsor dibagi ke dalam tiga zona (Gambar 11), yaitu: (1) hulu, zona paling atas dari lereng yang longsor, (2) punggung, zona longsor yang berada di antara bagian hulu dan kaki kawasan longsor, dan (3) kaki, zona bawah dari lereng yang longsor dan merupakan zona penimbunan atau deposisi bahan yang longsor. Pengelolaan masing-masing segmen ditunjukkan dalam Tabel 2. Pada masing-masing zona diterapkan teknik penanggulangan longsor dengan pendekatan vegetatif atau mekanis.

Gambar 11. Skema yang Menggambarkan Zona Hulu, Punggung, dan Kaki dari Wilayah Longsor.


(39)

commit to user

Tabel 2. Perlakuan Pengendalian Longsor pada Setiap Segmen (Bagian) dari Area Longsor.

Zona/ wilayah longsor Perlakuan Pengendalian

Hulu Mengidentifikasi permukaan tanah yang retak atau

rekahan pada punggung bukit dan mengisi kembali rekahan/permukaan tanah yang retak tersebut dengan tanah.

Membuat saluran pengelak dan saluran drainase untuk mengalihkan air dari punggung bukit, untuk menghindari adanya kantong-kantong air yang menyebabkan penjenuhan tanah dan menambah massa tanah.

Memangkas tanaman yang terlalu tinggi yang berada di tepi (bagian atas) wilayah rawan longsor.

Punggung (bagian

lereng yang meluncur)

Membangun atau menata bagian lereng yang menjadi daerah bidang luncur, di antaranya dengan membuat teras pengaman (trap terasering).

Membuat saluran drainase (saluran pembuangan) untuk menghilangkan genangan air.

Membuat saluran pengelak di sekeliling wilayah longsor.

Membuat penguat tebing dan check dam mini. Menanam tanaman untuk menstabilkan lereng.

Kaki (zona penimbunan bahan yang longsor)

Membuat/membangun penahan material longsor menggunakan bahan-bahan yang mudah didapat, misalnya dengan menancapkan tiang pancang yang dilengkapi perangkap dari dahan dan ranting kayu atau bambu.

Membangun penahan material longsor seperti bronjong atau konstruksi beton.

Menanam tanaman yang dapat berfungsi sebagai penahan longsor.

Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-III.pdf Teknik Pengendalian Longsor

a. Vegetatif

Pengendalian longsor dengan pendekatan vegetatif pada prinsipnya adalah mencegah air terakumulasi di atas bidang luncur. Sangat dianjurkan menanam jenis tanaman berakar dalam, dapat menembus lapisan kedap air, mampu


(40)

commit to user

merembeskan air ke lapisan yang lebih dalam, dan mempunyai massa yang relatif ringan. Jenis tanaman yang dapat dipilih di antaranya adalah sonokeling, akar wangi, Flemingia, kayu manis, kemiri, cengkeh, pala, petai, jengkol, melinjo, alpukat, kakao, kopi, teh, dan kelengkeng.

b. Mekanis/sipil teknis

Ada beberapa pendekatan mekanis atau sipil teknis yang dapat digunakan untuk mengendalikan longsor, sesuai dengan kondisi topografi dan besar kecilnya tingkat bahaya longsor. Pendekatan mekanis pengendalian longsor meliputi: (1) pembuatan saluran drainase (saluran pengelak, saluran penangkap, saluran pembuangan), (2) pembuatan bangunan penahan material longsor, (3) pembuatan bangunan penguat dinding/tebing atau pengaman jurang.

1) Saluran drainase

Tujuan utama pembuatan saluran drainase adalah untuk mencegah genangan dengan mengalirkan air aliran permukaan, sehingga kekuatan air mengalir tidak merusak tanah, tanaman, dan/atau bangunan konservasi lainnya. Di areal rawan longsor, pembuatan saluran drainase ditujukan untuk mengurangi laju infiltrasi dan perkolasi, sehingga tanah tidak terlalu jenuh air, sebagai faktor utama pemicu terjadinya longsor. Bentuk saluran drainase, khususnya di lahan usahatani dapat dibedakan menjadi: (a) saluran pengelak; (b) saluran teras; dan (c) saluran pembuangan air, termasuk bangunan terjunan. Letak masing-masing saluran ditunjukkan pada Gambar 12.


(41)

commit to user

Gambar 12. Letak Saluran Pengelak dan Saluran Pembuangan Air pada Suatu Bukit (Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-III.pdf)

2) Bangunan penahan material longsor

Konstruksi bangunan penahan material longsor bergantung pada volume longsor. Jika longsor termasuk kategori „kecil‟, maka konstruksi bangunan penahan dapat menggunakan bahan yang tersedia di tempat, misalnya bambu, batang dan ranting kayu (Gambar 13). Apabila longsor termasuk kategori „besar', diperlukan konstruksi bangunan beton penahan yang permanen (Gambar 14). Beton penahan ini umumnya dibangun di tebing jalan atau tebing sungai yang rawan longsor.

Gambar 13. Bangunan Penahan Longsor dari Anyaman Bambu untuk Menahan Longsor Kategori Kecil. (Sumber:


(42)

commit to user

Gambar 14. Bangunan Konstruksi Beton Penahan Longsor Kategori Besar. (Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-III.pdf)

3) Bangunan penguat tebing

Bangunan ini berguna untuk memperkuat tebing-tebing yang rawan longsor, berupa konstruksi beton (Gambar 15) atau susunan bronjong (susunan batu diikat kawat). Konstruksi bangunan menggunakan perhitungan teknik sipil kering.

Gambar 15. Bangunan Penguat Tebing/Bronjong. (Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-III.pdf)

4. Konservasi Lahan

Konservasi lahan adalah usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan memperhatikan kelas kemampuannya dan dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah agar lahan dapat digunakan secara lestari.


(43)

commit to user Tujuan Usaha Konservasi:

a. Mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan aliran permukaan b. Memperbaiki tanah yang rusak/kritis

c. Mengamankan dan memelihara produktivitas tanah agar tercapainya produksi setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas

d. Meningkatkan produktivitas lahan usahatani

Usaha konservasi lahan ini biasanya dilakukan salah satunya dengan kultur teknis atau vegetasi yaitu dengan:

1. Penambahan Tanaman Penutup Tanah

Tanah penutup berfungsi untuk mencegah erosi, menambah bahan organik tanah dan memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan yang jatuh. Jenis tanaman penutup tanah yaitu : Jenis merambat (Colopogonium mucunoides, Centrosema Sp, Pueraria Sp), jenis perdu (Crotolaria Sp), jenis pohon (Lamtoro gung, Lamtoro lokal, Gamal, esliandia grandiflora),dan jenis kacang-kacangan.

2. Penanaman Rumput.

Rumput memegang peranan penting dalam usahatani konservasi terutama lahan-lahan kering yang berlereng (3%). Berbagai jenis rumput dapat berfungsi:

a. sebagai pelindung tanaman dan penahan air b. memperbaiki kesuburan tanah

c. sebagai hijau makanan ternak

d. meningkatkan nilai usahatani atau pendapatan petani 3. Penanaman dalam strip

Adalah suatu sistem bercocok tanam dengan cara menanam beberapa jenis tanaman dalam strip-strip yang berselang seling pada bidang tanah dan disusun memotong lereng atau menurut kontur. Tanaman yang digunakan adalah tanaman pangan atau tanaman semusim yang ditanam berbaris diselingi strip-strip tanaman-tanaman yang lebih rapat berupa tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah.


(44)

commit to user 4. Pergiliran tanaman

Cara penting lainnya untuk konservasi tanah dan air ialah dengan pergiliran tanaman yaitu sistem penanaman berbagai tanaman secara bergilir dalam urutan waktu tertentu pada suatu bidang lahan. Pada lahan kering yang berlereng atau tanahnya miring pergiliran tanaman yang efektif untuk mencegah erosi adalah antara tanaman penghasil bahan pangan dengan tanaman penutup tanah untuk pupuk hijau. Selain mencegah erosi keuntungan lain dari pergiliran tanaman adalah:

a. Memberantas hama dan penyakit tanaman melalui siklus hidupnya. b. Memberantas tumbuhan pengganggu atau gulma.

c. Mempertahankan sifat fisik tanah dengan cara mengembalikan sisa-sisa tanah kedalam tanah.

5. Menambah tanaman penguat teras

Tanaman yang memenuhi syarat sebagai penguat teras adalah:

a. Mempunyai sistem perakaran intensif, sehingga mampu mengikat air. b. Tahan pangkas sehingga tidak menaungi tanaman utama.

c. Bermanfaat dalam menyuburkan tanah maupun sebagai penghasil makanan ternak.

Tanaman penguat teras yang dianjurkan ditanam antara lain lamtorogung, gamal, akasia, kaliandra, rumput gajah dan rumput benggala.

Gambar 16. Letak Penanaman Rumput Berselang-seling


(45)

commit to user 6. Penggunaan bahan organik dan mulsa

Salah satu cara untuk memperbaiki struktur tanah, mempertinggi kemampuan tanah dalam menyerap air yaitu dengan menggunakan pupuk organik berupa pupuk hijau atau pupuk kandang serta penggunaan sisa-sisa tanaman yang diletakkan di atas tanah sebagai serasah (mulsa) sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah. Dengan cara ini penguapan air tanah dapat diperkecil sehingga air tanah tetap tersedia bagi tumbuhnya tanaman.

Gambar 18. Penampang Teras Bangku dan Bagan yang Ditanami Rumput

Gambar 19. Penampang Saluran Pembuang Air yang Ditanami Rumput 5. Daerah Aliran Sungai

a. Pengertian Daerah Aliran Sungai

Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan dasar dari semua perencanaan hidrologi. Secara umum DAS dapat di definisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggungan bukit atau gunung, maupun batas buatan seperti jalan atau tanggul dimana titik hujan yang turun di daerah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik keluaran (outlet). Menurut Asdak (1995:4) Daerah Aliran Sungai (DAS) diartikan sebagai daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh di daerah


(46)

commit to user

tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil di sungai utama.

Menurut kamus webster DAS juga didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya oleh pemisah alam topografi, seperti punggung bukit atau gunung dan menerima air hujan, menampung, dan mengalirkannya melalui sungai utama ke laut/danau. Apapun definisi yang kita anut, DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem maka setiap ada masukan ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari ekosistem tersebut. Komponen masukan dari ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan keluaran berupa debit air dan muatan sedimen. Komponen-komponen DAS yang berupa vegetasi, tanah dan saluran air dalam hal ini bertindak sebagai prosessor.

Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktivitas dalam DAS yang mengakibatkan perubahan ekosistem, misalnya tata guna lahan, khususnya di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir yang mengakibatkan perubahan fluktuasi debit air dan muatan sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan antara masukan dan keluaran pada suatu DAS dapat dijadikan dasar untuk mengetahui dampak suatu tindakan atau aktifitas bangunan di dalam DAS terhadap lingkungan, khusunya tanah. Sebagai pertimbangan berikut ini gambar model siklus hidrologi yang menjelaskan proses memutarnya alur air.


(47)

commit to user b. Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Tanah longsor, bencana banjir dan kekeringan silih berganti terjadi di suatu wilayah merupakan dampak negatif kegiatan manusia pada suatu DAS. Keadaan sosial ekonomi penduduk setempat berpengaruh mutlak dalam berlangsungnya ekosistem DAS, rendahnya taraf ekonomi masyarakat memaksa lahan disekitarnya untuk dijadikan lahan produktif. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan manusia telah menyebabkan DAS gagal menjalankan fungsinya sebagai penampung air hujan yang jatuh dari langit, menyimpan dan mendistribusikan air tersebut ke saluran-saluran atau sungai.

Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini, antara lain dari segi fungsi tata air. Keterikatan antara hulu dan hilir menurut (Asdak, 1995:572) dapat dipakai sebagai satuan monitoring dan evaluasi pengelolaan sumberdaya air. Fungsi Pemantauan (monitoring) didefinisikan sebagai aktifitas pengamatan yang dilakukan secara terus-menerus atau secara periodik terhadap pelaksanaan salah satu atau beberapa program pengelolaan DAS untuk menjamin bahwa rencana-rencana kegiatan yang diusulkan, jadwal kegiatan, hasil-hasil yang diinginkan dan kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Sedangkan fungsi evaluasi didefinisikan sebagai suatu proses yang berusaha untuk menentukan relevansi, efektifitas dan nampak dari aktifitas-aktifitas yang dilaksanakan untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan (Asdak, 1995:573).

c. Pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS)

DAS yang sering disebut juga dengan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir (Asdak, 1995:11). Seperti dijelaskan pada gambar berikut.


(48)

commit to user

Gambar 21. Penampang 3 Dimensi Struktur Memanjang Sungai (www.buffer.foresty.iastate.edu)

1) Daerah hulu

Derah hulu mempunyai ciri-ciri :

a). Proses pendalaman lembah sepanjang aliran sungai b). Laju erosi lebih cepat daripada pengendapan c). Merupakan daerah konservasi.

d). Mempunyai kerapatan drainase yanng lebih tinggi. e). Pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase. f). Lereng terjal

g). Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “V” 2) Daerah tengah

Bagian tengah DAS merupakan daerah peralihan antara bagian hulu dengan bagian hilir dimana masih terdapat sedikit proses erosi dan mulai terjadi pengendapan. Dicirikan dengan daerah yang relatif datar.

3) Daerah hilir

Bagian hilir dicirikan dengan : a). Merupakan daerah deposisional b). Kerapatan drainase kecil.

c). Merupakan daerah dari kemiringan lereng landai. d). Potensi bahan galian golongan C

e). Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “U”


(49)

commit to user

g). Pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan) dan mulai terbentuk delta serta meander.

Kondisi topografi suatu daerah akan mempengaruhi pola dan bentuk DAS sebagai contoh pada daerah dengan topografi pegunungan akan menjadikan bentuk DAS berpola radial, berbeda dengan dengan pola DAS pada daerah topografi perbukitan karst. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai bagian hulu akan berpengaruh pada ekosistem pada bagian hilir. Oleh karenanya DAS bagian hulu merupakan daerah yang sangat penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, jadi apabila terjadi pengelolaan yang tidak benar terhadap bagian hulu maka dampak yang ditimbulkan akan dirasakan juga pada bagian hilir. Dalam pengelolaan DAS digunakan tiga pendekatan analisis yaitu : (Asdak,1995 : 537 )

a. Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi erat berkaitan.

b. Pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan sebagai alat implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan dan terkait.

c. Pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik.

6. Satuan Lahan

Satuan lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan persamaan karakteristiknya. Dalam penelitian ini satuan lahan berperan sebagai satuan analisis. Satuan lahan diperoleh dengan menumpangsusunkan (overlay) Peta Tanah, Peta Geologi, Peta Lereng, dan Peta Penggunaan Lahan. Setiap satuan lahan dilakukan pengenalan sifat morfologi tanah dan karakteristik lingkungan fisik dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data-data tersebut meliputi jenis tanah, formasi batuan, kelerengan, kedalaman efektif, solum tanah, singkapan batuan, banyaknya kerikil dan batuan, dinding terjal, kenampakan erosi, banjir, struktur tanah, drainase, konservasi, jenis dan kerapatan vegetasi, permeabilitas karakteristik kimia tanah, serta luas daerah pada setiap satuan lahan.


(50)

commit to user

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

Mustapa Ali Mohamad (2003) melakukan penelitian dengan judul “Kajian Zona Kerentanan, Tingkat Bahaya dan Risiko Gerakan Tanah Berdasarkan Penggunaan Lahan untuk Permukiman, Persawahan dan Jalan Terhadap RTRW Kabupaten Kulun Progo”. Penelitian tersebut bertujuan untuk menentukan zone kerentanan, tingkat bahaya dan risiko bencana alam gerakan tanah berdasarkan penggunaan lahan untuk permukiman, persawahan dan jalan di Kabupaten Kulon Progo.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey, analisis data primer dan data sekunder serta weighted methode atau pengkelasan terhadap tiap aspek dan skoring untuk setiap parameter dari keseluruhan variabel.

Hasil yang diperoleh yaitu : 1). Terdapat 3 kelas zone kerentanan gerakan tanah yaitu tinggi, sedang, rendah. 2) Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi adalah tinggi pada penggunaan lahan permukiman yang terdapat di 4 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. 3) Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan permukian adalah sedang dan rendah, Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan persawahan adalah sedang dan rendah, dan Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan jalan adalah sedang dan rendah.

Agung Hartono (2008) mengadakan penelitian dengan judul “Arahan

Konservasi Daerah Aliran Sungai Samin Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006”. Penelitian tersebut bertujuan untuk (1) mengetahui persebaran satuan lahan dengan pengenalan karakteristik lingkungan fisik, (2) mengetahui tingkat bahaya erosi, (3) mengetahui tingkat bahaya longsor, (4) mengetahui kemampuan lahan, (5) mengetahui kesesuaian lahan, (6) menentukan prioritas penanganan konservasi tanah, dan (7) menentukan cara penanganan dalam arahan konservasi tanah di Daerah Aliran Sungai Samin.

Penelitian tersebut menggunakan metode survei yang disertai analisis data sekunder. Populasi dalam penelitian adalah seluruh satuan lahan di DAS Samin yang berjumlah 152 satuan. Sampel yang diamati sebanyak 45 titik dengan menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data satuan lahan dengan menggunakan analisi dokumentasi. Data untuk menghitung tingkat bahaya erosi,


(51)

commit to user

tingkat bahaya longsor, kemampuan lahan, kesesuaian lahan, menentukan prioritas penanganan, dan menentukan arahan konservasi diperoleh dengan wawancara, observasi lapangan, analisis laboratorium, dan analisis dokumentasi dengan instrumen lembar pertanyaan dan checklist.

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) DAS Samin tersusun dari 15 jenis tanah, 8 formasi batuan penyusun, 5 kelas kemiringan lereng, 5 jenis penggunaan lahan yang kemudian membentuk 152 satuan lahan, (2) Tingkat Bahaya Erosi di DAS Samin terbagi ke dalam 5 kelas yaitu Sangat Ringan (SR), Ringan (R), Sedang (S), Berat (B), dan Sangat Berat (SB) dengan luas secara berurutan 22163,786 ha (68,487%), 3719,420 ha (11,493%), 2330,879 ha (7,202%), 2639,904 ha (8,157%), dan 1508,143 ha (4,660%), (3) Tingkat Bahaya Longsor dibagi menjadi 5 kelas yaitu Sangat Ringan (SR), Ringan (R), Sedang (S), Berat (B), dan Sangat Berat (SB) yang secara berurutan memiliki luas 8472,69 ha (26,18%), 6363,4 ha (19,66%), 10557,07 ha (32,62%), 6337,181 ha (19,58%), dan 631,79 ha (1,95%), (4) klasifikasi kelas kemampuan lahan daerah penelitian sebagian besar berupa subkelas kemampuan lahan VIIIw dengan luas 15349,21 ha (47,3%) yang diikuti sub kelas Vw, VIIs, VIIes, IVe, VIe, VIIIe, VIIe yang secara berurutan memiliki luas 8145,48 ha (25,17%), 3208,7 ha (9,91%), 964,31 ha (2,97%), 826,3 ha (2,53%), 2327,94 ha (7,19%), 656,10 ha (2,02%), 272,82 ha (0,84%), 30,55 ha (0,09%). Faktor penghambat untuk klasifikasi kemampuan lahan adalan ancaman erosi, drainase, dan hambatan yang berada pada daerah perakaran. (5) Berdasarkan kondisi fisik di lapangan maka sebagian besar (57,11%) lahan-lahan di daerah penelitian dinilai tidak layak secara aktual utnuk pengembangan secara langsung dari jenis tanamn padi, jagung, dan ketela pohon. Faktor penghambat yang domiann adalah kondisi perakaran, ketersediaan hara, potensi mekanisasi dan tingkat bahaya erosi. (6) prioritas penanganan konservasi tanah sebagian besar mempunyai prioritas penanganan 4 dengan luas 19378,18 ha (59,88%) yang diikuti oleh prioritas 2, 3, 5, 1 yang masing-masing memilki luas 5959,88 ha (18,42%), 2663,56 ha (8,23%), 2366,78 ha (7,31%), dan 1993,73 ha (6,16%). Artinya bahwa lahan-lahan di daerah penelitian perlu mendapatkan perhatian yang serius. (7) secara vegetatif pada lahan yang


(52)

commit to user

mempunyai kemiringan lereng curam – sangat curam diarahkan sebagai penggunaan lahan hutan lindung, sedangkan pada lereng datar- sedang diarahkan sebagai wanatani (agroforesty). Secara teknik alternatif arahan konservasinya sebagian besar berupa pembuatan dan penyempurnaan bentuk teras yang sudah ada.

Deny Asih Maulina (2009) melakukan penelitian dengan judul Analisis Tingkat Kerawanan Longsorlahan di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Meneliti tentang kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo, dengan tujuan untuk mengetahui tipe longsorlahan dan agihan tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo.

Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Gejala yang diamati dalam penelitian ini adalah kondisi geologi, curah hujan, kemiringan lereng, tingkat erosi, permeabilitas tanah, tekstur tanah dan penggunaan lahan. Penelitian dilakukan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga akan diketahui keadaan yang akan datang dengan kondisi tanpa perubahan dan tindakan apa yang seyogyanya diambil untuk mengantisipasi terjadinya longsorlahan (Sumantri, 2004: 30).

Hasil yang diperoleh adalah 1) Tipe longsorlahan di Kecamatan Cepogo adalah tipe nendatan tanah (slump) dan runtuhan material campuran (debris fall). Tipe longsorlahan yang paling banyak dijumpai di Kecamatan Cepogo adalah tipe runtuhan material campuran sebanyak 21 lokasi yang tersebar hampir merata di Kecamatan Cepogo dan paling sedikit adalah tipe nendatan tanah sebanyak 3 lokasi yaitu di Desa Genting, Desa Cepogo dan Desa Gedangan 2) Agihan tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo terbagi dalam tiga klas kerawanan longsorlahan dengan tujuh kelas prioritas pengelolaan lahan.


(53)

Tabel 3. Penelitian yang Relevan

Peneliti Mustapa Ali Mohamad (2003)

Agung Hartono (2008)

Denny Asih Maulina (2009)

Intan Fatmasari (2010)

Judul Kajian Zona Kerentanan, Tingkat Bahaya dan Risiko Gerakan Tanah Berdasarkan Penggunaan Lahan untuk Permukiman, Persawahan dan Jalan Terhadap RTRW Kabupaten Kulun Progo

Arahan Konservasi Daerah Aliran Sungai Samin Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006

Analisis Tingkat Kerawanan Longsorlahan di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali

Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dan Arahan Konservasi Lahan di DAS Grindulu hulu Kabupaten Pacitan Tahun 2009

Tujuan menentukan zone kerentanan, tingkat bahaya dan risiko bencana alam gerakan tanah berdasarkan penggunaan lahan untuk permukiman, persawahan dan jalan di Kabupaten Kulon Progo.

mengetahui persebaran satuan lahan dengan pengenalan karakteristik lingkungan fisik mengetahui tingkat bahaya erosi

mengetahui tingkat bahaya longsor mengetahui kemampuan lahan mengetahui kesesuaian lahan

menentukan prioritas penanganan konservasi tanah

menentukan cara penanganan dalam arahan konservasi tanah di Daerah Aliran Sungai Samin.

Mengetahui tipe longsorlahan yang terdapat di Kecamatan Cepogo Mengetahui agihan tingkat kerawanan longsor di Kecamatan Cepogo

Mengetahui karakteristik tipe longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu

Mengetahui Tingkat Bahaya Longsor (TBL) di DAS Grindulu hulu

Mengetahui tingkat kerentanan dan risiko longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu

Mengetahui cara penanganan dan arahan konservasi lahan yang dilakukan terhadap karakteristik tipe longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu

Metode penelitian

Metode survei dan analisis data primer dan data sekunder

metode survei yang disertai analisis data sekunder

Metode observasi lapangan dan analisis data primer dan sekunder

Hasil penelitian

Terdapat 3 kelas zone kerentanan gerakan tanah yaitu tinggi, sedang, rendah.

Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi

DAS Samin tersusun dari 15 jenis tanah, 8 formasi batuan penyusun, 5 kelas kemiringan lereng, 5 jenis penggunaan lahan yang kemudian membentuk 152 satuan lahan

Tipe longsorlahan di Kecamatan Cepogo adalah tipe nendatan tanah (slump) dan runtuhan material campuran (debris fall).


(54)

adalah tinggi pada penggunaan lahan permukiman yang terdapat di 4 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo.uhan.

Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan permukian adalah sedang dan rendah, Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan persawahan adalah sedang dan rendah, dan Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan jalan adalah sedang dan rendah.

Tingkat Bahaya Erosi di DAS Samin terbagi ke dalam 5 kelas yaitu Sangat Ringan (SR), Ringan (R), Sedang (S), Berat (B), dan Sangat Berat (SB) dengan luas secara berurutan 22163,786 ha (68,487%), 3719,420 ha (11,493%), 2330,879 ha (7,202%), 2639,904 ha (8,157%), dan 1508,143 ha (4,660%) Tingkat Bahaya Longsor dibagi menjadi 5 kelas yaitu Sangat Ringan (SR), Ringan (R), Sedang (S), Berat (B), dan Sangat Berat (SB) yang secara berurutan memiliki luas 8472,69 ha (26,18%), 6363,4 ha (19,66%), 10557,07 ha (32,62%), 6337,181 ha (19,58%), dan 631,79 ha (1,95%)

klasifikasi kelas kemampuan lahan daerah penelitian sebagian besar berupa subkelas kemampuan lahan VIIIw dengan luas 15349,21 ha (47,3%) yang diikuti sub kelas Vw, VIIs, VIIes, IVe, VIe, VIIIe, VIIe yang secara berurutan memiliki luas 8145,48 ha (25,17%), 3208,7 ha (9,91%), 964,31 ha (2,97%), 826,3 ha (2,53%), 2327,94 ha (7,19%), 656,10 ha (2,02%), 272,82 ha (0,84%), 30,55 ha (0,09%). Faktor penghambat untuk klasifikasi kemampuan lahan adalan ancaman erosi, drainase, dan hambatan yang berada pada daerah perakaran Berdasarkan kondisi fisik di lapangan maka sebagian besar (57,11%) lahan-lahan di daerah penelitian dinilai tidak layak secara aktual utnuk pengembangan secara langsung dari jenis tanamn padi, jagung, dan ketela pohon. Faktor penghambat yang domiann adalah kondisi perakaran, ketersediaan hara, potensi

Tipe longsorlahan yang paling banyak dijumpai di Kecamatan Cepogo adalah tipe runtuhan material campuran sebanyak 21 lokasi yang tersebar hampir merata di Kecamatan Cepogo dan paling sedikit adalah tipe nendatan tanah sebanyak 3 lokasi yaitu di Desa Genting, Desa Cepogo dan Desa Gedangan

Agihan tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo terbagi dalam tiga klas kerawanan longsorlahan dengan tujuh klas prioritas pengelolaan lahan.


(55)

mekanisasi dan tingkat bahaya erosi

prioritas penanganan konservasi tanah sebagian besar mempunyai prioritas penanganan 4 dengan luas 19378,18 ha (59,88%) yang diikuti oleh prioritas 2, 3, 5, 1 yang masing-masing memilki luas 5959,88 ha (18,42%), 2663,56 ha (8,23%), 2366,78 ha (7,31%), dan 1993,73 ha (6,16%). Artinya bahwa lahan-lahan di daerah penelitian perlu mendapatkan perhatian yang serius

secara vegetatif pada lahan yang mempunyai kemiringan lereng curam – sangat curam diarahkan sebagai penggunaan lahan hutan lindung, sedangkan pada lereng datar- sedang diarahkan sebagai wanatani (agroforesty). Secara teknik alternatif arahan konservasinya sebagian besar berupa pembuatan dan penyempurnaan bentuk teras yang sudah ada.


(56)

commit to user

C. Kerangka Pemikiran

Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan, atau kombinasinya sering terjadi pada lereng-lereng dan sebenarnya merupakan proses alami. Longsor berkaitan erat dengan kemampuan daya dukung lahan dan besaran gangguan pada lahan. Semakin tinggi kemampuan daya dukung lahan dan semakin kecil besaran gangguan maka tingkat bahaya longsornya semakin kecil dan sebaliknya.

Dari kenampakan di lapangan, longsor dapat dibagi dalam beberapa tipe menurut jenis materialnya dan parameter yang mempengaruhinya meliputi nendatan (slump), debris slide, debris fall, longsoran perlapisan, guguran batu.

Longsor dapat terjadi akibat faktor dari dalam yaitu tebal solum tanah, tekstur tanah dan permeabilitas tanah. Sedangkan faktor dari luar meliputi kemiringan lereng, erosi, penggunaan lahan dan penutupan lahan. Faktor-faktor tersebut dapat berdiri sendiri atupun dapat saling menunjang satu sama lainnya untuk memberikan kontribusi terhadap terjadinya longsor.

Penelitian ini menggunakan satuan lahan sebagai satuan analisisnya. Satuan lahan diperoleh dari menumpangsusunkan (overlay) peta tanah, peta geologi, peta lereng, dan peta penggunaan lahan dengan menggunakan program SIG. Peta satuan lahan tersebut digunakan dalam mengambil sampel di lapangan yang diambil dengan teknik area sampling. Besarnya Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dilakukan dengan memberikan pengharkatan terhadap parameter penentu longsor. Tingkat Bahaya Longsor kemudian diklasifikasikan berdasarkan total skor dari parameter di setiap satuan lahan. Setelah dilakukan penskoran dan diketahui Tingkat Bahaya Longsornya, maka dapat diketahui pula tingkat kerentanan longsor yang terjadi di daerah penelitian tersebut melalui data kependudukan yang ada di daerah penelitian. Kemudian melalui Tingkat Bahaya Longsor dan Tingkat Kerentanan Longsor dapat dihubungkan melalui matrik sehingga dapat menghasilkan Tingkat Risiko Longsor yang terjadi di daerah penelitian. Dengan mengetahui tipe longsoran, Tingkat Bahaya Longsor (TBL), Tingkat Kerentanan Longsor dan Tingkat Risiko Longsor, maka dapat dilakukan


(57)

commit to user

langkah penanggulangan dan arahan konservasi lahan pada daerah penelitian tersebut. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam diagram alur sebagai berikut:

Gambar 22. Diagram Alur Kerangka Pemikiran LONGSOR

Karakteristik Lahan:

- Curah hujan - Penggunaan lahan - Kedalaman pelapukan - Solum tanah

- Permeabilitas - Tekstur tanah - Relief - Miring tanah - Drainase - Vegetasi - Erosi

Tingkat Bahaya Longsor (TBL)

Tipe longsor:

- Nendatan (Slump) - Debris slide - Debris fall

- Longsor perlapisan

- Guguran batu

Data Kependudukan + (geometri lereng, morfologi, struktur geologi, iklim, sifat fisik dan mekanik, air tanah, air hujan)

KERENTANAN

Penanggulangan dan Arahan Konservasi Lahan RISIKO


(58)

commit to user

40 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Grindulu bagian hulu. Secara administratif DAS Grindulu hulu terletak di dua kecamatan yaitu Kecamatan Bandar dan Kecamatan Tegalombo, Kabupaten Pacitan.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dimulai sejak pengajuan proposal sampai dengan penelitian laporan hasil penelitian, yakni selama 10 bulan dimulai Bulan November 2009 sampai dengan Bulan Agustus 2010. Waktu penelitian dirangkum dalam Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Waktu Penelitian

Waktu Kegiatan

Penyusunan Proposal Penyusunan Instrumen Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data Penulisan Laporan Pelaporan Hasil Penelitian T h . 2009

November v

Desember v

T h . 2 0 1 0

Januari v

Februari v

Maret v

April v

Mei v

Juni v

Juli v

Agustus v

B. Metode Penelitian

Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan dalam penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode diskriptif spasial.


(1)

commit to user IV.R

V(4,6,7,8,11,12) T(6,9,13,14)

Pada prioritas I, II, III, IV ini seluruh arahan konservasi lahan baik secara vegetatif maupun teknik dapat digambarkan dengan beberapa sketsa dan gambar sebagai berikut:

Gambar 34. Vetiver yang Ditanam Rapat sebagai Pengendali Longsor

Gambar 35. Saluran Pengelak yang Dipotong dengan Rorak

Gambar 35. Saluran Teras Bangku Gambar 36. Saluran Teras Bangku


(2)

commit to user

Gambar 37. Saluran Pembuangan Air (SPA)

Gambar 38. Bangunan Terjunan dari Bambu

Berdasarkan analisis prioritas penanganan tersebut diatas, maka persebaran arahan konservasi lahan pada masing-masing prioritas penanganan dapat dilihat dalam peta 11. sebagai berikut.


(3)

commit to user


(4)

commit to user BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan hasil analisis data dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tipe Longsoran Nendatan berada pada morfologi bergelombang, yang terdapat pada kelas TBL rendah hingga sedang dan tersebar di 8 desa dengan luas keseluruhan 5617,8 Ha. Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran berada pada morfologi bergelombang hingga berbukit, yang terdapat pada kelas TBL tinggi dan tersebar di 8 desa dengan luas keseluruhan 2877,4 Ha. Tipe Longsoran Jatuhan Batu berada pada morfologi bergunung, yang terdapat pada kelas TBL sangat tinggi dan tersebar di 2 desa dengan luas keseluruhan 35,2 Ha.

2. Tingkat kerentanan tertinggi/ sangat rentan berada di Desa Gemaharjo dengan luas 492,3 Ha (30,1%) dan Tingkat kerentanan terendah/ tidak rentan berada di Desa Ploso dengan luas 839,9 Ha (18,3%). Sementara itu untuk tingkat risiko tertinggi berada di Desa Gemaharjo dengan luas 699,5 Ha (40,9%) dan tingkat risiko terendah berada di Desa Ploso dengan luas 1378,6 Ha (33,9%).

3. Di DAS Grindulu hulu terdapat 32 arahan konservasi lahan dengan 4 prioritas penanganan. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan III memiliki luasan terbesar yaitu 3197,7 Ha (42,6%) dan Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan II memiliki luasan terkecil yaitu 462,9 Ha (6,1%).

B.Implikasi

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil implikasi hasil penelitian sebagai berikut :

1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan penggunaan lahan, supaya lahan dapat digunakan sesuai dengan kemampuannya. Apabila lahan digunakan sesuai dengan kemampuannya maka lahan dapat lestari dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan penduduk.


(5)

commit to user

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam mengatasi bahaya longsor di daerah penelitian.

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dan masukan dalam mewaspadai bahaya longsor di daerah penelitian.

4. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran di sekolah tingkat menengah khususnya pada mata pelajaran geografi dalam sub pokok bahasan kerusakan sumberdaya alam kelas XI semeter 1, sehingga dari ini diharapkan siswa mempunyai kemampuan memprediksi persebaran sumberdaya alam dan pemafaatannya berdasarkan prinsip berwawasan lingkungan dan berkelanjutan serta dapat memberi contoh pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan prinsip ekoefisien.

C.Saran Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan:

1. Untuk penelitian selanjutnya dapat lebih digali lagi mengenai metode yang diterapkan untuk penentuan longsor.

2. Permukiman yang terletak di kelas kemiringan lereng curam hingga sangat curam yang rawan longsor disarankan dibangun penguat lereng untuk mengantisipasi terjadinya bencana longsor.

3. Melakukan tebang pilih dan menggalakkan penghijauan dengan menanam vegetasi permanen terhadap hutan atau kebun campuran yang menjadi milik masyarakat daerah penelitian.

4. Menghindari “cutting slope” atau pemotongan lereng untuk dijadikan lahan

hunian.

Untuk ketiga saran tersebut dapat disajikan ke dalam peta 12 yaitu Rekomendasi Penanganan Longsor DAS Grindulu Hulu Kabupaten Pacitan dan Ponorogo Tahun2009.


(6)

commit to user