Analisis Risiko Dan Arahan Mitigasi Longsor Di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat

(1)

ANALISIS RISIKO DAN ARAHAN MITIGASI LONGSOR

DI KABUPATEN AGAM PROVINSI SUMATERA BARAT

VIONA PRAMITA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Risiko dan Arahan Mitigasi Longsor di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016 Viona Pramita Sari NIM A153120021


(4)

RINGKASAN

VIONA PRAMITA SARI. Analisis Risiko dan Arahan Mitigasi Longsor di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. Dibawah bimbingan BOEDI TJAHJONO dan KHURSATUL MUNIBAH.

Indonesia merupakan negara yang tergolong sangat rawan terhadap bencana alam. Hal ini dibuktikan dengan sering terjadinya berbagai bencana di beberapa wilayah yang disebabkan baik oleh proses alam atau pun oleh ulah manusia. Berdasarkan data dari UNISDR disebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama untuk bencana longsor yang kemudian disusul oleh negara lain, seperti India, Cina, dan Filipina. Di Pulau Sumatera, salah satu wilayah yang sering dilanda bencana longsor adalah Kabupaten Agam di Provinsi Sumatera Barat. Salah satu bencana longsor besar yang pernah terjadi di kabupaten ini adalah pada tahun 2009 yang dipicu oleh kejadian gempabumi dan curah hujan yang tinggi. Longsor tersebut menghancurkan lebih kurang empat dusun dengan korban jiwa yang banyak, yaitu 80 orang meninggal, 90 orang luka berat, dan 47 orang luka ringan. Kejadian longsor diperkirakan masih akan terjadi di waktu mendatang, oleh karenanya penelitian terkait longsor di Kabupaten Agam dan mitigasinya masih sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap kerentanan (vulnerability) dan risiko (risk) longsor di Kabupaten Agam serta menyusun arahan mitigasi untuk menurunkan risiko. Adapun analisis bahaya longsor (landslide hazard) telah dilakukan oleh Fransiska (2014) dan hasilnya dipakai dalam penelitian ini.

Metode yang digunakan untuk analisis kerentanan adalah analisis multi kriteria yang mengacu pada kriteria BNPB (2012) melalui pemberian skor dan pembobotan, namun pembobotan dalam penelitian ini diambil dari hasil analisis AHP. Untuk analisis risiko digunakan formulasi BNPB (2012) dengan sedikit modifikasi (tidak memasukkan unsur kapasitas), yaitu R = H x V. Sementara itu untuk membangun arahan mitigasi digunakan analisis matriks (antara unsur bahaya longsor dan kerentanan) yang bertujuan untuk menurunkan tingkat risiko. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer (wawancara dengan narasumber dan observasi lapangan) serta data sekunder (yang mencakup data sosial ekonomi masyarakat maupun kondisi lingkungan), sedangkan teknik analisis yang digunakan bersifat spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerentanan longsor tertinggi di Kabupaten Agam mencakup wilayah seluas 2.135,99 ha atau 0,86% dari total luas kabupaten. Secara administrasi Kecamatan Palupuh merupakan lokasi dengan kerentanan tinggi yang terluas yaitu 656,38 ha atau 0.26% dari total luas kabupaten, kemudian diikuti oleh Kecamatan Palembayan seluas 474,04 ha atau 0,19%. Tingginya tingkat kerentanan di Kecamatan Palupuh lebih dikarenakan oleh tingginya kepadatan bangunan dan nilai PDRB. Dari hasil analisis risiko, didapatkan bahwa lokasi yang mempunyai tingkat risiko tinggi terluas adalah Kecamatan Palupuh (4.390,66 ha atau 1,77% dari total luas kabupaten) yang diikuti pula oleh Kecamatan Palembayan (seluas 1.492,32 ha atau 0,60 %). Tingginya tingkat risiko di kedua kecamatan ini disebabkan oleh tingginya nilai bahaya longsor maupun


(5)

kerentanan. Untuk arahan mitigasi bencana longsor dalam penelitian ini hanya dipilih untuk lokasi-lokasi yang mempunyai tingkat risiko longsor sedang dan tinggi.

Arahan untuk menurunkan tingkat bahaya longsor mencakup pencegahan secara vegetatif maupun teknik sipil, dimana yang pertama, terdiri dari beberapa pilihan seperti menanami wilayah bahaya dengan tanaman tahunan atau membiarkan ditumbuhi semak-belukar untuk wilayah-wilayah yang mempunyai tingkat bahaya sedang, adapun yang kedua, terdiri dari beberapa pilihan, seperti membuat teras bronjong untuk meningkatkan stabilitas lereng, yaitu untuk wilayah-wilayah yang mempunyai tingkat bahaya tinggi. Sementara itu untuk menurunkan tingkat kerentanan antara lain perlu dilakukan sosialisasi terkait bahaya longsor dan cara penanggulangannya kepada masyarakat lokal.

Key words :Kabupaten Agam, kerentanan, longsor, mitigation, risiko


(6)

SUMMARY

VIONA PRAMITA SARI. Landslide Risk Analysis And Its Recomendation For Mitigation West Sumatera. Supervised by BOEDI TJAHJONO and KHURSATUL MUNIBAH.

Indonesia is a country considered to possess a high susceptibility to disasters. It is proved by the frequent occurrence of various disasters in some areas that caused by either natural processes or by human activities. Based on UNISDR data, Indonesia has been classified to be the first rank in landslide disasters, followed by India, China, and the Philippines. In Sumatra Island, one of the areas frequently hit by landslides was Agam Regency, located in West Sumatra Province. One of the major landslide disasters occurred in this regency (in 2009) triggered by an earthquake and heavy rainfall. The landslide destroyed approximately four villages with many casualties, namely 80 people died, 90 people were seriously injured, and 47 people were slightly injured. The landslide however predicted recur in the future, therefore, related research to landslides and mitigation in Agam Regency is needed. This study aims to assess the vulnerability and risk of landslide in Agam Regency and to develop mitigation recommendation to reduce the risk. The analysis of landslide hazard has been elaborated by Fransiska (2014) and the results were used in this study.

The method to assess vulnerability was the multi-criteria analysis which refers to the criteria of Indonesian National Board for Disaster Management or BNPB (2012) using scoring and weighting, but the weighting in this study were drawn from the Analytical Hierachi Process (AHP). Risk formulation of BNPB (2012) was used with slight modifications (ignoring elements of capacity), namely R = H x V, mean while to build the recommendation of mitigation, analysis of matrices (between elements of hazards and vulnerability) has been used for reducing the risk, by either lowering the level of hazard or vulnerability. The data used for the study included primary data (interviews and field observations) and secondary data (socio-economic and environmental), as for the analytical techniques are spatially by using Geographical Information System (GIS).

The results showed that the highest landslide susceptibility in Agam Regency covers an area of 2135.99 ha, or 0.86% of regency area. Administratively, Palupuh District owned a widest area of high vulnerability, covering 656.38 ha of area or 0:26% of regency area, followed by the Palembayan District (474.04 ha, or 0.19 %). The high degree of vulnerability in Palupuh District was caused by a high density of buildings and the value of GDP. According to risk analysis results, it was found that the most extensive area of high risk level located in Palupuh District (4390.66 ha or 1.77% of regency area) which is followed by Palembayan District (1492.32 ha or 0.60%). The highly risk of both districts due to the high value of landslide hazard and vulnerability. As for the recommendation for mitigation in this study area intended only to medium and high risk areas and aims to reduce the level of risk (by either reducing of hazard and/or vulnerability).


(7)

The selected recommendation for this goal include prevention vegetative and civil engineering, such as planting in medium hazard areas with annual crops or let overgrown bushes, or making gabion terraces (bronjong) in high hazard areas to improve slope stability. Meanwhile, to reduce the level of vulnerability, among others need to be disseminated about landslide hazards and the ways to overcome them to the local community.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

ANALISIS RISIKO DAN ARAHAN MITIGASI LONGSOR

DI KABUPATEN AGAM PROVINSI SUMATERA BARAT

VIONA PRAMITA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(10)

ji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Drajat Martianto, MS


(11)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari- Juli 2015 ini ialah longsor, dengan judul Analisis Risiko Dan Arahan Mitigasi Longsor di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat.

Penulisan karya ilmiah ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Dr Boedi Tjahjono, MSc dan Bapak Dr Khursatul Munibah, MSc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan yang diberikan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan perbaikan dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.

3. (Alm) Dr Ir Komarsa Gandasasmita atas masukan yang beliau berikan kepada penulis.

4. Papa (H. Rudi Purjono), Mama (Hj. Sufiati), suami (Muh. Fitrah Irawan), adek-adekku yang banyak membantu (Ayukaray, Agung, Icining) dan ananda tercinta (Adiba) atas doa yang senantiasa dipanjatkan, serta motivasi dan dukungan yang diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini menjadi sumbangsih penulis terhadap ilmu pengetahuan dan berguna bagi semua pihak yang membutuhkan. Terima kasih.

Bogor, Agustus 2016 Viona Pramita Sari


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xvii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

ManfaatPenelitian 2

Kerangka Pikir 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Tanah Longsor 4

Bahaya (Hazard) 5

Kerentanan (Vulnerability) 5

Kapasitas (Capasity) 6

Risiko (Risk) 6

Konsep Dasar Himpunan Fuzzy 7

METODE 13

Lokasi dan Waktu Penelitian 13

Bahan dan Alat Penelitian 14

Tahap Pengolahan Data 14

Tahap Analisis Kerentanan Longsor 15

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17

Karakter Fisik Lokasi Penelitian 25

HASIL DAN PEMBAHASAN 29

Bahaya Longsor 29

Analisis Kerentanan dan Risiko Tanah Longsor 31

Arahan Mitigasi Tanah Longsor 56

SIMPULAN DAN SARAN 65

Simpulan 65

Saran 65

DAFTAR PUSTAKA 66

LAMPIRAN 69


(14)

DAFTAR TABEL

1 Luas wilayah menurut kecamatan di Kabupaten Agam 15 2 Matriks hubungan antara Tujuan, Jenis Data, Sumber data, Metode

analisis dan Output 16

3 Skala nilai kepentingan untuk perbandingan berpasangan

(pairwise comparison) 17

4 Nilai RI pada berbagai tingkat order 18

5 Indikator dalam menentukan Kerentanan Fisik di Kabupaten Agam

(BNPB 2012) 20

6 Indikator dalam menentukan Kerentanan Sosial di Kabupaten Agam

(BNPB 2012) 22

7 Indikator dalam menentukan Kerentanan Ekonomi di Kabupaten Agam

(BNPB 2012) 23 8 Indikator dalam menentukan Kerentanan Lingkungan di Kabupaten Agam

(BNPB 2012) 23 9 Penentuan Arahan Teknik Mitigasi Longsor Kabupaten Agam 24 10 Luas Wilayah Berdasarkan Kelas Bahaya Longsor Pada Masing-Masing

Kecamatan Di Kabupaten Agam 30 11 Matriks penilaian komposit pada bobot sub-indikator Ketersediaan

Fasilitas Transportasi di daerah penelitian 33 12 Matriks penilaian komposit pada bobot indikator KerentananFisik

di daerah penelitian 35 13 Hasil Perhitungan Error Analysis Distribusi Populasi Menggunakan

Root Mean Square Error (Rmse) Dan Population Distribution Error (Pde) 37 14 Matriks Penilaian Komposit Pada Bobot Indikator Kerentanan Sosial

di Daerah Penelitian 45 15 Estimasi Perhitungan Nilai Luas Lahan Produktif dan PDRB

di Kabupaten Agam 48 16 Matriks Penilaian Komposit Pada Bobot Indikator Kerentanan Ekonomi

di Daerah Penelitian 48 17 Matriks Penilaian Komposit Pada Bobot Indikator Kerentanan Lingkungan di

Daerah Penelitian 51 18 Luas Kelas Kerentanan Tanah Longsor Pada Masing-Masing Kecamatan

di Kabupaten agam 52 19 Matriks Penilaian Komposit Pada Bobot Indikator Kerentanan

(Sosial, Fisik, Ekonomi, dan Lingkungan 53 20 Luas Kelas Risiko Tanah Longsor Pada Masing-Masing Kecamatan

di Kabupaten Agam 55 21 Arahan Teknik Penanggulangan Bencana Longsor Pada


(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir 3

2 Representasi Linear Naik 8

3 Representasi Linear Turun 9

4 Kurva Segitiga 9

5 Kurva Trapesium 10

6 Daerah Bahu Pada Variabel Temperatur 10

7 Himpunan Fuzzy dengan Kurva S : PERTUMBUHAN (Cox, 1994) 11 8 Himpunan Fuzzy dengan Kurva S : PENYUSUTAN ( Cox, 1994) 11

9 Karakter Fungsional Kurva PI 12

10 Karakter Fungsional Kurva BETA 12

11 Karakter Fungsional Kurva GAUSS 13

12 Lokasi Penelitian 14

13 Representasi Kurva Naik 19

14 Ilustrasi Line Density 20

15 Peta Curah Hujan Daerah Penelitian 25

16 Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian 26

17 Peta Jenis Batuan Daerah Penelitian 27

18 Peta Jenis Tanah daerah Penelitian 28

19 Peta Penggunaan Lahan Daerah Penelitian 29

20 Peta Bahaya Kabupaten Agam 30

21 Zonasi Fasilitas Transportasi Dan Penggunaan Lahan (Lahan Terbangun) di Daerah Penelitian. (a) Jalan Primer (b) Jalan Sekunder 32

22 Peta Kerentanan Fasilitas Transportasi (ST) 33

23 (a) Zonasi Parameter Penggunaan Lahan (Areal Terbangun),

(b) Zoom In Lokasi yang Diberi Kotak 35

24 Zonasi Kerentanan Fisik (VF) Kabupaten Agam Dari Penggabungan Parameter Sarana Tansportasi

dan Penggunaan Lahan 36

25 (a) Zonasi Pemetaan Dasymetric Jumlah Penduduk di Daerah Penelitian

(b) Zoom in Lokasi yang Diberi Kotak 38

26 (a) Zonasi Pemetaan Dasymetric Jenis Kelamin di Daerah Penelitian

(b) Zoom in Lokasi yang Diberi Kotak 39

27 (a) Zonasi Pemetaan Dasymetric Rasio Cacat di Daerah Penelitian

(b) Zoom in Lokasi yang Diberi Kotak 41

28 (a) Zonasi Pemetaan Dasymetric Rasio Kelompok Umur

di Daerah Penelitian (b) Zoom in Lokasi yang Diberi Kotak 43 29 (a) Zonasi Kerentanan Sosial (VS) Kabupaten Agam dari

Penggabungan Total Indikator Jumlah Penduduk, Rasio Cacat,

Jenis Kelamin, Kelompok Umur, (b) Zoom in Lokasi yang Diberi Kotak 44 30 Estimasi Luas Lahan Produktif (a) Tanaman Perkebunan,

(b) Tanaman Pangan Kabupaten Agam 46


(16)

32 Zonasi Perhitungan Total Kerentanan Ekonomi (VE) Kabupaten Agam dari Penggabungan Total Indikator

Luas Lahan Produktif (LP) dan PDRB di Daerah Penelitian 49 33 Zonasi Indikator Estimasi Kelas Luas Hutan Alam Dalam Penentuan

Kerentanan Lingkungan (VL) di Daerah Penelitian 50 34 Zonasi Indikator Estimasi Kelas Luas Hutan Lindung Dalam Penentuan

Kerentanan Lingkunan (VL) di Daerah Penelitian 50 35 Zonasi Perhitungan Total (VL) dari Penggabungan Kelas Hutan Alam dan

Kelas Hutan Lindung di Daerah Penelitian 51

36 Peta Kerentanan Terhadap Longsor Berdasarkan Penggabungan

Parameter Fisik, Sosial, Ekonomi, Lingkungan di Kabupaten Agam 53

37 Peta Risiko Longsor Kabupaten Agam 56

38 Peta Arahan Mitigasi Longsor Kabupaten Agam 59

39 Pepohonan Berkanopi Lebat, Berakar Dalam

Sebagai Pengendali Longsor Yang Efektif 60

40 Flemingia, salah satu jenis semak pengendalian longsor 60 41 Vetiver yang Ditanam Rapat Sebagai Pengendali Longsor 61

42 Bangunan Penguat Tebing 62

43 Bronjong Batu 62

44 Bronjong Silinder 63

45 Trap-trap Terasering 63

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Agam 68 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Kecamatan Agam 68

3 Luasan Kemiringan Lereng Kabupaten Agam 69

4 Luasan Sebaran Jenis Batuan Kabupaten Agam 69

5 Luas Sebaran Jenis Tanah Kabupaten Agam 69

6 Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Agam 69

7 Kuisioner Analisis Hirarki Proses Berdasarkan Para Ahli 70

8 Kuestioner Untuk Masyarakat 76

9 Kuestioner Untuk Pemerintah Daerah 78


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang tergolong sangat rawan terhadap bencana. Hal ini dibuktikan dengan sering terjadinya berbagai bencana di beberapa wilayah yang disebabkan baik oleh proses alam ataupun oleh ulah manusia. Dalam hal ini masyarakat harus selalu siap untuk menghadapinya karena bencana dapat merugikan kehidupan manusia baik jiwa maupun harta benda (Bakornas PBP, 1998; Utomo, 2006; Darmawan, 2008). Berdasarkan data dari United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNSDR) disebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama untuk bencana longsor yang kemudian disusul oleh India, Cina, dan Filipina.

Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia dan umumnya terjadi di wilayah pegunungan serta pada musim hujan. Bencana ini terjadi berkaitan erat dengan kondisi alam, seperti jenis tanah, jenis batuan, curah hujan, kemiringan lereng, serta penutupan lahan. Selain itu faktor manusia juga sangat menentukan terjadinya bencana longsor, seperti alih fungsi lahan yang tidak bijak, penggundulan hutan, atau pembangunan permukiman pada wilayah dengan topografi yang curam. Persebaran kejadian tanah longsor hampir terjadi di seluruh kepulauan di Indonesia, terutama di daerah yang memiliki relief perbukitan dan pegunungan. Di Pulau Sumatera, salah satu wilayah yang sering dilanda bencana tanah longsor adalah di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat.

Kabupaten Agam adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yang terdapat danau besar dan dikenal oleh masyarakat bernama Danau Maninjau. Danau ini dicirikan oleh tebing-tebing yang curam di sekelilingnya yang berbentuk melingkar. Tebing-tebing ini sering mengalami longsor, sebaliknya dataran di lereng kakinya sering mengalami banjir bandang. Bencana longsor yang cukup besar pernah terjadi pada tahun 1980 yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Sesudah itu terjadi lagi longsor pada tahun 2009 dipicu yang oleh gempa bumi dan curah hujan yang tinggi, yang menghancurkan lebih kurang empat dusun dengan korban jiwa yang banyak yaitu 80 orang meninggal dunia, 90 orang luka berat, dan 47 orang luka ringan (Martia et al. 2012).

Sering terjadinya bencana tanah longsor dan dampak negatif yang ditimbulkan di Kabupaten Agam tersebut menyebabkan munculnya suatu interpretasi publik terkait kurangnya kewaspadaan dan kesiapan Pemerintah dan Masyarakat untuk menghadapi ancaman bencana. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman Pemerintah dan Masyarakat terhadap karakteristik bahaya (hazards), sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas sumberdaya alam serta kurangnya informasi/peringatan dini (early warning) yang menyebabkan ketidaksiapan dan ketidakberdayaan/ketidakmampuan masyarakat (vulnerability) dalam menghadapi ancaman bencana serta masih belum sesuainya pengembangan kegiatan pembangunan dengan karakteristik kawasannya.


(18)

Oleh karena itu penelitian ini bermaksud melakukan pemetaan risiko bencana tanah longsor di Kabupaten Agam berdasarkan peta bahaya longsor (landslide hazard map) yang ada dan penilaian kerentanan (vulnerability) masyarakat dan lingkungan di Kabupaten Agam.

Perumusan Masalah

Pemicu terjadinya longsor selain curah hujan, juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia di suatu wilayah serta diikuti oleh beberapa faktor lainnya yaitu kondisi lereng, faktor tanah, dan faktor geologi. Kabupaten Agam merupakan salah satu daerah di Provinsi Sumatera Barat yang sering dilanda kejadian tanah longsor. Berdasarkan data geologi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tercatat bahwa di Sumatera Barat dalam kurun waktu 1979-2009 telah terjadi longsor yang menelan korban 766 korban jiwa. Kemudian pada tahun 2013 di Kecamatan Tanjung Raya, 11 orang meninggal dunia, terdiri dari 4 laki-laki dan 7 perempuan, dan selanjutnya pada tahun 2015 terjadi lagi tanah longsor di Jorong Mudik Palupuh Nagari Koto Rantang Kecamatan Palupuh, dimana 1 rumah warga tertimbun, serta menutup jalan provinsi yang menghubungkan antara Medan dengan Bukittinggi.

Mengingat tingginya potensi longsor di Kabupaten Agam, serta belum adanya data terkait risiko tanah longsor di Kabupaten tersebut maka kajian persebaran lokasi-lokasi risiko tanah longsor sangat diperlukan. Informasi yang dihasilkan diharapkan dapat membantu pemerintah daerah maupun masyarakat dalam memanfaatkan lahan secara arif (efektif dan efisien), khususnya dalam memilih lokasi-lokasi yang aman dari ancaman tanah longsor.

Berdasarkan perumusan masalah di atas, berikut dapat dirumuskan beberapa pertanyaan riset sebagai berikut:

1. Bagaimana kerentanan masyarakat di Kabupaten Agam? 2. Bagaimana risiko tanah longsor?

3. Bagaimana arahan mitigasi longsor di Kabupaten Agam?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di seluruh wilayah Kabupaten Agam dan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Melakukan analisis kerentanan objek terhadap longsor 2. Melakukan analisis risiko longsor

3. Menyusun arahan mitigasi bencana

Manfaat Penelitian

Manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai bahan masukan kepada pemerintah daerah dalam menyusun sebuah program mitigasi bencana di Kabupaten Agam dan dapat digunakan untuk membantu menentukan kebijakan dan keputusan dalam menajemen risiko bencana di daerah penelitian.


(19)

Kerangka Pikir

Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Fransiska (2014) menghasilkan peta bahaya tanah longsor yang menyajikan penyebaran wilayah bahaya tanah longsor di Kabupaten Agam. Untuk menyusun peta risiko tanah longsor di Kabupaten Agam, maka diperlukan data lain yaitu data tingkat kerentanan masyarakat dan lingkungan di wilayah penelitian. Menurut BNPB (2012) peta risiko tanah longsor dapat dihasilkan dari perkalian antara faktor bahaya tanah longsor dengan faktor kerentanan masyarakat dan lingkungan. Tinggi rendahnya tingkat risiko tergantung kepada nilai dari hasil perkalian tersebut.

Yang dimaksud dengan bahaya menurut BNPB (2012) adalah frekuensi (kemungkinan) bencana tertentu cenderung terjadi dengan intensitas tertentu pada lokasi tertentu, sedangkan kerentanan (sosial dan lingkungan) adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana. Adapun faktor-faktor yang dinilai untuk kerentanan meliputi sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan.

Adapun kajian risiko bencana adalah mekanisme terpadu untuk memberikan gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana di suatu daerah dengan menganalisis tingkat ancaman, tingkat kerugian, dan kapasitas daerah (BNPB, 2012). Dalam upaya mitigasi bencana, peta risiko sangat diperlukan untuk menyusun program-program pengendalian dan pengurangan kerusakan atau kerugian (mitigasi) yang dihasilkan oleh proses alam, seperti tanah longsor di Kabupaten Agam. Oleh karena itu upaya pengurangan risiko bencana tidak berhenti pada hasil analisis risiko bencana saja namun diperlukan pula sebuah kebijakan yang tertuang dalam bentuk arahan mitigasi bencana yang nantinya akan sangat bermanfaat untuk penyusunan maupun evaluasi dokumen kebencanaan suatu wilayah. Secara ringkas, kerangka pikir pada penelitian ini disajikan Pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Risiko Longsor

(H x V) BNPB, 2012

Tingkat Kerentanan terhadap longsor (Sosial,ekonomi,fisik,dan lingkungan)

Bahaya Longsor (Fransisika,2014)

Arahan Mitigasi Longsor Dalam Upaya Meminimalkan Dampak Akibat Longsor


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah Longsor Definisi Tanah Longsor

Tanah longsor adalah gerakan tanah berkaitan langsung dengan berbagai sifat fisik alami seperti struktur geologi, bahan induk, tanah, pola drainase, lereng/bentuk lahan, hujan maupun sifat-sifat non-alami yang bersifat dinamis seperti penggunaan lahan dan infra-struktur (Barus 1999).

Menurut Sitorus (2006) dalam Iqra (2012) tanah longsor di Indonesia sering terjadi di malam atau pagi hari pada lahan yang berlereng. Dan tanah longsor sebenarnya merupakan fenomena alam yang mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya sehingga menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser (shear strength) serta peningkatan tegangan geser tanah.

Dari penjelasan Zhou et al. (2002) dalam Taroniarta (2012) ada beberapa faktor-faktor penyebab tanah longsor, yang pertama yaitu curah hujan yang tinggi. Hujan yang turun terus menerus dengan intensitas yang besar pada suatu daerah menyebabkan terjadinya longsor, karena semakin lama infiltrasi akan menyebabkan tanah menurun. Faktor longsor kedua yaitu jenis tutupan lahan (vegetasi), vegetasi berfungsi untuk menjaga kestabilan lereng dari bahaya longsor. Jenis vegetasi dapat membantu meningkatkan kestabilan lereng terhadap longsor, vegetasi yang mempunyai akar kuat dan besar seperti kayu dapat memperbesar laju infiltrasi tanah. Daerah dengan banyak vegetasi seperti semak belukar dan tegalan apabila dibandingkan dengan vegetasi berkayu cenderung mempunyai potensi longsor yang lebih besar. Menurut Vohora dan Donoghue (2009) dalam Taroniarta (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor lainnya yaitu lereng yang curam, bebatuan yang mudah melapuk, dan iklim tropis yang lembab. Berdasarkan uaraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor longsor antara lain adalah curah hujan, jenis tutupan lahan, kemiringan lereng, jenis bebatuan, dan iklim.

Ditambahkan oleh Sitorus (2006) dalam Hermon (2009) penyebab terjadinya bencana longsor secara umum dapat dibedakan atas 3, yakni: (1) kondisi alam yang bersifat statis, seperti kondisi geografi, topografi, dan karakteristik sungai, (2) peristiwa alam yang bersifat dinamis, seperti perubahan iklim global, pasang-surut, land subsidence, sedimentasi, dan sebagainya, serta (3) aktivitas sosial-ekonomi manusia yang sangat dinamis, seperti deforestasi (penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung, pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk perumahan, pemanfaatan wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, keterbatasan prasarana dan sarana pengendali banjir dan sebagainya. Bencana longsor dan banjir yang terjadi belakangan ini banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang besar. Selain itu, menyisakan pula berbagai permasalahan, seperti: (1) menurunnya tingkat kesehatan masyarakat akibat penyebaran wabah penyakit menular (waterborne diseases), (2) munculnya berbagai kerawanan sosial, dan (3) menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.


(21)

Bahaya (Hazard)

Bahaya merupakan suatu peristiwa yang akan mungkin terjadi di masa depan yang disebabkan oleh faktor fisik alam maupun akibat ulah manusia yang dapat merugikan masyarakat menurut white et al. (1973) dalam Cardona, O.D et al (2012). Pengertian dari bahaya dan risiko ini mempunyai kesamaan dan keterkaitan dimana bahaya merupakan suatu peristiwa yang sebagian besar disebabkan oleh degradasi lingkungan dan campur tangan manusia, tanah longsor dan banjir merupakan salah satu contoh bahaya yang disebabkan oleh sosio-alami yang terjadi akibat dari perubahan lingkungan dan perubahan iklim ( Lavell 1996 ,1999a ) dalam Cardona, O.D et al (2012).

Bahaya (hazard) merupakan ancaman yang dihadapi masyarakat yang berasal dari peristiwa alam (seperti banjir, gempa bumi dan lain-lain) yang bersifat ekstrim yang dapat berakibat buruk atau keadaan yang tidak menyenangkan seperti yang ditunjukkan dengan tingkat kerusakan pada suatu lokasi tertentu (Bollin et al. 2003; Noor 2011 dalam Silviani,2013). Dalam buku Metode Pemetaan Risiko Bencana Provinsi DIY (Bappenas-Bappeda Provinsi DIY-UNDP 2008), bahaya (hazard) didefinisikan sebagai suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan. Jenis-jenis kejadian yang termasuk dalam bahaya dapat dibagi menjadi lima aspek, yaitu:

1. Bahaya beraspek geologi, antara lain gempa bumi, tsunami, gunungapi, gerakan tanah (mass movement) atau sering dikenal sebagai tanah longsor. 2. Bahaya beraspek hidrometeorologi, antara lain: banjir, kekeringan, angin

topan, gelombang pasang.

3. Bahaya beraspek biologi, antara lain: wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman dan hewan/ternak.

4. Bahaya beraspek teknologi, antara lain: kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, kegagalan teknologi.

5. Bahaya beraspek lingkungan, antara lain: kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah.

Kerentanan ( Vulnerability)

Menurut (BNPB, 2012) kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana. ISDR (International Strategy for Disaster Reduction) 2002 dalam Bollin et al. (2003) mendefinisikan kerentanan sebagai serangkaian kondisi dan proses yang dihasilkan dari faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan, yang menyebabkan rawannya suatu komunitas atau masyarakat terhadap ancaman bahaya.

Indikator yang digunakan dalam analisis kerentanan terutama adalah informasi keterpaparan. Dalam dua kasus informasi disertakan pada komposisi paparan (seperti kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur). Sumber informasi yang digunakan untuk analisis


(22)

kerentanan terutama berasal dari laporan BPS (Provinsi/Kabupaten Dalam Angka, PODES, dan PDRB) dan informasi peta dasar dari Bakosurtanal (penggunaan lahan, jaringan jalan dan lokasi fasilitas umum). Informasi tabular dari BPS idealnya sampai tingkat desa/kelurahan. Sayangnya tidak ada upaya menyampaikan informasinya untuk sampai level desa, sehingga akhirnya informasi desa dirangkum pada level kecamatan sebelum dapat disajikan dalam peta tematik.

Peta kerentanan masyarakat dan lingkungan tingkat wilayah digunakan untuk melakukan analisis dan pemetaan risiko longsor. Pemetaan kerentanan diperoleh dengan melakukan operasi tumpang tindih (overlay) antara kerentanan fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Keempat parameter tersebut menggambarkan potensi kerugian dari bahaya yang akan timbul. Pemberian nilai kerentanan ini diberikan berdasarkan pertimbangan logis. Dalam hal ini, semakin tinggi skor, menunjukkan pengaruhnya semakin besar terhadap kerentanan, dan semakin rendah skor, menunjukkan semakin rendah pengaruhnya terhadap kerentanan.

Kapasitas (Capasity)

Kapasitas merupakan elemen penting dalam penentuan penilaian tingkat risiko selain dari penentuan tingkat kerentanan. Hal ini mengacu dari bagaimana karakteristik masyarakat agar dapat mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bahaya tertentu. Hal ini berarti bahwa meningkatkan kapasitas bertujuan sebagai upaya dalam mengurangi risiko Sharma dan Patwardhan (2008) dalam Cardona, O.D et al (2012). Banyak pendekatan untuk menilai tingkat kerentanan yang memerlukan penilaian kapasitas sebagai dasar untuk memahami bagaimana kerentanan masyarakat dalam menghadapi bahaya tertentu. Menurut Bohle et al. (2001) kerentanan adalah kebalikan dari kapasitas, sehingga meningkatkan kapasitas berarti mengurangi kerentanan, dan kerentanan yang tinggi berarti kapasitas rendah.

Menurut Bollin et al (2003) dalam Iqra (2012) kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat risiko atau dampak dari bencana. Kapasitas merupakan penilaian untuk mengukur tindakan pencegahan, persiapan, respon dalam tanggap darurat serta upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dalam menghadapi bencana. Selain kapasitas pemerintah, populasi, sektor swasta, media organisasi masyarakat dan perguruan tinggi juga sangat penting dalam penilaian risiko.

Risiko Bencana (Risk)

Risiko bencana adalah potensi kerugian/kemungkinan dampak yang berbahaya yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan


(23)

masyarakat yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara alam dan aktivitas manusia (UNDP 2010; Setneg 2007b dalam Silviani, 2013). Menurut ( UNDRO et al, 1980) dalam Cardona, O.D et al (2012) Risiko bencana merupakan sesuatu kejadian yang mungkin akan terjadi di masa depan yang disebabkan baik dari proses sosial maupun lingkungan. Risiko tidak hanya ditentukan oleh bahaya saja melainkan ditentukan oleh kerentanan dan eksposur masyarakat dan oleh sistem sosial-ekologi.

Pada tatanan pemerintah, hasil dari kajian risiko bencana digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana. Kebijakan ini nantinya merupakan dasar bagi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana yang merupakan mekanisme untuk mengutamakan penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 tahun 2012 (BNPB 2012) tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, kajian risiko bencana dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut:

Penting untuk dicatat bahwa pendekatan ini tidak dapat disamakan dengan rumus matematika. Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan antara ancaman, kerentanan, dan kapasitas yang membangun perspektif tingkat risiko bencana suatu kawasan. Berdasarkan pendekatan tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana amat bergantung pada:

a. Tingkat ancaman bahaya kawasan;

b. Tingkat kerentanan kawasan yang terancam;

Upaya pengkajian risiko tersebut pada dasarnya adalah menentukan besaran 3 (tiga) komponen risiko dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun non spasial agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana dapat digunakan sebagai landasan penyelenggaraan penanggulangan bencana di suatu kawasan. Penyelenggaraan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana. Upaya pengurangan risiko bencana berupa:

a. Memperkecil ancaman bahaya kawasan;

b. Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam;

Konsep dasar himpunan fuzzy ( fuzzy set)

Dalam hidup sehari-hari, banyak hal-hal yang saling berpasangan, seperti hitam dengan putih, ya dengan tidak, benar dengan salah, tua dengan muda, panas dengan dingin, pendek dengan tinggi, dan lain-lain. Contoh kategori-kategori pasangan diatas dapat kita bentuk ke dalam bilangan 0 dan 1 ditulis singkat dengan (0,1). Namun, dalam menyebutkan suatu kondisi termasuk ke dalam kategori mana, tidak selalu sederhana. Sebagai contoh, selain warna hitam dan putih, juga ada warna abu, yakni hasil kombinasi warna hitam dengan warna putih.

Risiko = Bahaya x Kerentanan Kapasitas


(24)

Kadang-kadang juga disebutkan warna-warna agak putih, agak hitam. Contoh lain adalah suhu temperatur. Ada kategori suhu hangat yakni suatu kondisi dimana suhu tidak terlalu dingan dan tidak terlalu panas. Hal ini dicerminkan dalam bilangan yakni bilangan dengan interval 0 dan 1 ditulis singkat dengan [0,1]. Kondisi himpunan seperti ini merupakan konsep yang pertama kali dikenalkan oleh Profesor Lotfi Zadeh, seorang pengajar dari Universitas Berkeley, USA dalam sebuah tulisan dengan judul "fuzzy sets" pada tahun 1965 (Chevrie, 1998) . Dengan kata lain, konsep dasar fuzzy sets atau disingkat dengan fuzzy adalah konsep menggambarkan sebuah himpunan ke dalam bilangan dengan inversal 0 dan 1 ditulis dengan singkat [0,1]

Fungsi Keanggotaan (Membership Function)

Sri Kusumadewi (2010) mengatakan fungsi kenanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai keanggotaan adalah dengan melalui pendekatan fungsi. Beberapa fungsi tersebut seperti :

a. Representasi Linear

Pada representasi linear, pemetaan input ke derajat keanggotaannya digambarkan sebagai suatu garis lurus. Bentuk ini paling sederhana dan menjadi pilihan yang baik untuk mendekati suatu konsep yang kurang jelas. Ada 2 keadaan himpunan fuzzy yang linear (Gambar 2). Pertama, kenaikan himpunan dimulai pada nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan nol [0] bergerak ke kanan kenuju ke nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan lebih tinggi.

Gambar 2. Representasi Linear Naik Fungsi Keanggotaan :


(25)

Kedua, merupakan kebalikan yang pertama. Garis lurus dimulai dari nilai domain dengan derajat keanggotaan tertinggi pada sisi kiri, kemudian bergerak menurun ke nilai domain yang memiliki derajat kenaggotaan lebih rendah dapat disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Representasi Linear Turun Fungsi Keanggotaan :

b. Representasi Kurva Segitiga

Kurva segitiga pada dasarnya merupakan gabungan antara 2 garis (linear). Dapat disajikan pada gambar berikut (Gambar 4) :

Gambar 4. Kurva segitiga Fungsi Keanggotaan :

c. Representasi Kurva Trapesium

Kurva Segitiga pada dasarnya seperti bentuk segitiga, hanya saja ada beberapa titik yang memiliki nilai keanggotaan 1. Berikut disajikan pada gambar dibawah (Gambar 5):


(26)

Gambar 5. Kurva Trapesium Fungsi Keanggotaan :

d. Representasi Kurva Bentuk Bahu

Daerah yang terletak di tengah-tengah suatu variabel yang direpresentasikan dalam bentuk segitiga, pada sisi kanan dan kirinya akan naik dan turun (misalkan : DINGIN bergerak ke SEJUK bergerak ke HANGAT dan bergerak ke PANAS). Tetapi terkadang salah satu sisi dari variabel tersebut tidak mengalami perubahan. Sebagai contoh, apabila telah mencapai puncak kondisi PANAS, kenaikan temperatur akan tetap berada pada kondisi PANAS. Himpunan fuzzy bahu, bukan segitiga, digunakan untuk mengakhiri variabel suatu daerah fuzzy. Bahu kiri bergerak dari benar ke salah, demikian juga kanan juga bergerak dari salah ke benar. (Gambar 6) di bawah akan memperlihatkan TEMPERATUR dengan daerah bahunya.

Gambar 6. Daerah 'Bahu' pada variabel TEMPERATUR e. Representasi Kurva-S

Kurva PERTUMBUHAN dan PENYUSUTAN merupakan kurva-S atau sigmoid yang berhubungan dengan kenaikan dan penurunan permukaan secara tak linear. Kurva-S untuk PERTUMBUHAN akan bergerak dari sisi paling kiri (nilai


(27)

keanggotaan = 0) ke paling kanan (nilai kenaggotaan =1). Fungsi keanggotaannya akan tertumpu pada 50% nilai keanggotaannya yang sering disebut dengan titik infleksi, terlihat pada gambar 7 berikut :

Gambar 7. Himpunan Fuzzy dengan Kurva-S : PERTUMBUHAN (Cox, 1994) Kurva-S untuk PENYUSUTAN akan bergerak dari sisi paling kanan (nilai keanggotaan =1) ke sisi paling kiri (nilai keanggotaan = 0) dapat dilihat pada gambar 8 berikut :

Gambar 8. Himpunan Fuzzy dengan Kurva-S : PENYUSUTAN (Cox, 1994) Fungsi Keanggotaan pada kurva PERTUMBUHAN :

Fungsi Keanggotaan pada kurva PENYUSUTAN :

f. Representasi Kurva Bentuk Lonceng (Bell Curve) 1) Kurva PI

Kurva PI berbentuk lonceng dengan derajat keanggotaan 1 terletak pada


(28)

Fungsi keanggotaan :

2) Kurva Beta

Seperti halnya kurva PI, kurva BETA juga berbentuk lonceng namun lebih rapat. Kurva ini juga didefinisikan dengan 2 parameter,yaitu nilai pada domain yang menunjukkan pusat kurva ( ), dan setengah lebar kurva ( ) seperti terlihat pada gambar 10.

Fungsi keanggotaan :

Gambar 9. Karakteristik fungsional kurva PI


(29)

3) Kurva GAUSS

Jika kurva PI dan BETA menggunakan 2 parameter yaitu ( ) dan (k), kurva GAUSS juga menggunakan ( ) untuk menunjukkan nilai domain pada pusat kurva, dan (k) yang menunjukkan lebar kurva. Dapat dilihat pada gambar 11. Fungsi keanggotaan :

Gambar 11. Karakteristik Fungsional Kurva GAUSS (Cox,1994)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat yang dikenal sebagai lokasi rawan longsor. Penelitian ini memakan waktu 6 bulan, mulai dari Maret sampai Agustus 2014. Lokasi penelitian (Gambar 12) secara geografis terletak di antara 00001’ γ4” – 000β8’4γ” LS dan λλ046’ γλ” –

1000γβ’ 50” BT dengan luas 247.952 ha yang terdiri dari 14 Kecamatan (Gambar


(30)

Gambar 12. Lokasi Penelitian

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi literatur yang berkaitan dengan mitigasi bencana tanah longsor dan managemen kebencanaan, peta tematik, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), citra satelit Landsat 2013, kuesioner, serta bahan-bahan lain yang menunjang penelitian. Adapun alat-alat penelitian yang digunakan antara lain adalah komputer yang dilengkapi dengan Microsoft Office, ArcGIS, software ERDAS IMAGINE, Envi 4.5, sedangkan untuk kerja lapang digunakan Global Positioning system (GPS), kamera digital, dan alat tulis menulis.

Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan pada penelitian ini adalah data hasil kerja lapang melalui wawancara maupun observasi morfologi wilayah. Data sekunder terdiri dari data spasial dan data tabular. Tabel 2 berikut menyajikan matrik hubungan antara tujuan dengan jenis data dan metode yang digunakan dalam tahap analisis.


(31)

Tabel 1. Luas wilayah menurut kecamatan di Kabupaten Agam

No Kecamatan Luas (Ha)

1 Ampek Nagari 32042

2 Banuhampu 8032

3 Baso 11842

4 Candung 6167

5 IV Koto 9443

6 Kamang Magek 10262

7 Lubuk Basung 31170

8 Malalak 12840

9 Matur 10950

10 Palembayan 39650

11 Palupuh 28578

12 Tanjung Mutiara 24223

13 Tanjung Raya 16210

14 Tilatang Kamang 6542

Total Luas 247.952

Sumber : BPS Kabupaten Agam 2013

Tahap Analisis Kerentanan dan Risiko Longsor

Dalam tahap analisis kerentanan bencana longsor ini dilakukan dengan menggunakan metode spasial Analisis Multi Kriteria (AMK), yang mengacu pada peraturan BNPB (2012) dimana AMK merupakan penggabungan dari beberapa kriteria yang didasarkan pada nilai masing-masing kriteria (Saaty 1988; Saaty dan Sodenkamp 2008). Pengambilan keputusan spasial yang dilakukan merujuk pada aplikasi analisis multi kriteria yang berkaitan dengan konteks elemen berdimensi spasial (Kasim 2011; Sulma 2012 dalam Yulianto (2014). Parameter yang termasuk dalam penentuan kerentanan longsor versi BNPB (2012) diuraikan sebagai berikut :

a. Analisis Kerentanan Longsor

Indikator yang digunakan dalam menentukan kerentanan longsor dalam penelitian ini mengacu pada Peraturan Kepala (BNPB) No. 02 Tahun 2012, tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana di Indonesia. Secara umum, potensi kerentanan tersebut dapat disajikan dalam persamaan 1 (BNPB 2012). Landslide_vulnb = w * VF + w * VS + w*VE +w*VL...(1)

Dimana : Landslide_Vulnb adalah kerentanan longsor yang terdiri atas penggabungan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. VF adalah kerentanan dalam aspek fisik. VS adalah kerentanan dalam aspek sosial. VE adalah kerentanan eknomi. VL adalah kerentanan dalam aspek lingkungan. w adalah bobot pada masing-masing kriteria kerentanan.


(32)

Tabel 2. Matriks hubungan antara Tujuan, Jenis Data, Sumber data, Metode analisis dan Output

No Tujuan Jenis Data Input Sumber Data Metode Analisis Data Output yang

diharapkan 1 Menganalisis

Kerentanan longsor di Kabupaten Agam

1. Data topografi 2. Landuse 3. Demografi 4. Persepsi Pakar

RBI BAPPEDA KDA Kuisioner

1. Analisis Spasial

2. Analisis Multi Kriteria (AMK).

Peta Kerentanan Longsor

2 Menganalisis Risiko 1. Peta Bahaya

2. PetaKerentanan longsor

Fransiska,2014 Hasil tujuan 1

1.Overlay SIG

Formula :R = (HxV) (BNPB,2012)

Peta risiko Longsor

3 Menyusun Arahan

mitigasi bencana longsor

1. Peta Bahaya 2. Peta Kerentanan

Fransiska,2014 Hasil tujuan 1

Analisis Deskriptif Arahan mitigasi bencana longsor


(33)

Pembobotan (w)

Pembobotan (w) pada masing-masing kriteria dilakukan dengan menggunakan metode Perbandingan Berpasangan (PB) dalam Analisis Hirarki Proses (AHP). Metode tersebut telah dikembangkan oleh Saaty (1970) dan digunakan sebagai alat bantu (tools) dalam pengambilan sebuah keputusan. AHP merupakan suatu metode pengukuran melalui matriks perbandingan berpasangan untuk mendapatkan skala prioritas (Tabel 3).

Tabel 3. Skala nilai kepentingan untuk perbandingan berpasangan (pairwise comparison)

Skala Intensitas

Kepentingan Keterangan

1 Sama penting Kedua elemen sama pentingnya

3 Sedikit lebih penting Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya.

5 Lebih penting Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya.

7 Sangat penting Satu elemen jelas sangat lebih penting daripada elemen

lainnya dan memiliki dominasi nyata

9 Mutlak penting Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya dan

dipilih secara tegas.

2,4,6,8 Nilai menengah Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi

di antara 2 pilihan.

1/n Kebalikan (reciprocals) Nilai untuk kebalikan perbandingan. Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka disbanding dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i.

Dalam penelitian ini, perbandingan antara masing-masing kriteria tersebut dilakukan berdasarkan jawaban kuisioner yang diberikan kepada tim ahli (pakar). Tim ahli terdiri dari 5 orang dimana 2 orang pakar dari akademisi, 1 orang pakar dari kementrian ESDM, dan 2 orang pakar dari Kementerian Pertanian. Tujuan kuisioner adalah untuk membuat penilaian tentang bobot kepentingan relatif dari masing-masing pasangan kriteria (BNPB 2012). Pada penelitian ini 5 (lima) pakar memberikan penilaian terhadap besarnya bobot dalam menentukan kerentanan longsor. Setelah melakukan pemberian bobot tersebut, maka secara spesifik karakteristik kerentanan longsor di daerah penelitian dapat dipetakan.

Penggunaan skala penilaian dalam penelitian ini menggunakan metode PB dalam AHP seperti yang disajikan dalam Tabel 3. Skala penilaian diletakkan bersama dalam suatu matriks dengan semua indikator di sepanjang baris dan kolom. Faktor pembobotan diperoleh dengan menghitung eigenvektor dari matriks dan kemudian dinormalisasi hasilnya dengan nilai total 1.

Penilaian konsistensi hasil dari kepentingan relatif secara berpasangan, digunakan rasio konsistensi/consistency ratio (CR), hal ini agar dalam perhitungan eigenvektor tidak mengalami gangguan (Marinoni 2004; Seniarwan 2013; Yulianto 2014). Saaty (1988) mendefinisikan CR sebagai rasio antara consistency index (CI) terhadap suatu average consistency index (RI) berdasarkan persamaan berikut Saaty & Sodenkamp (2008):


(34)

�� =�� ... (2)

� =� ��−�

�−1 ... (3)

dimana max adalah vektor prioritas dikalikan dengan masing-masing jumlah

kolom; dan n adalah jumlah kriteria. Nilai CR<0.1 disebut konsisten.

RI atau juga disebut indeks acak (random index), dihitung oleh Saaty dan Sodenkamp (2008) dalam Seniarwan (2013) sebagai konsistensi rata-rata matriks persegi pada berbagai n yang di-order yang diisi dengan masukan acak. Nilai RI pada berbagai tingkat order disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai RI pada berbagai tingkat order

Order 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

RI 0 0 0.52 0.89 1.11 1.25 1.35 1.40 1.45 1.49 1.52 1.54 1.56 1.58 1.59 Proses akhir dari penentuan bobot masing-masing kriteria dilakukan dengan menggabungkan nilai bobot dari masing-masing responden menjadi satu nilai, dengan menggunakan metode rata-rata geometrik. Hasil dari perhitungan rata-rata geometrik terhadap bobot masing-masing kriteria akan dilakukan perhitungan kembali dengan metode pairwise comparison (Marimin 2008; Seniarwan 2013 dalam Yulianto 2014). Adapun rumus yang digunakan dalam perhitungan rata-rata geometrik yaitu sebagai berikut:

�̅� = √∏ ��=1 ... (4)

Dimana �̅ adalah rata-rata geometrik; n adalah jumlah responden; dan Xi adalah penilaian oleh responden ke-i.

Fuzzy Membership (FM)

Fungsi Fuzzy Membership (FM) dilakukan untuk mengkonversi nilai hasil perhitungan pada setiap indikator kerentanan yang dipergunakan dalam penelitian ini. Hal tersebut bertujuan agar setiap parameter mempunyai batas keseragaman dan standarisasi skala nilai yang sama. Setiap parameter yang terstandarisasi dalam pendekatan fungsi FM memiliki nilai absolut yang terletak pada rentang nilai minimal 0 dan maksimal 1.

FM adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai keanggotaan adalah dengan melalui pendekatan fungsi. Ada beberapa fungsi yang digunakan salah satunya dalam penelitian ini yaitu representasi secara linear dengan fungsi kenaikan himpunan. Pada representasi secara linear, pemetaan input ke derajat keanggotannya digambarkan sebagai suatu garis lurus. Bentuk ini paling sederhana dan menjadi pilihan yang baik untuk mendekati suatu konsep yang kurang jelas. Kenaikan himpunan dimulai


(35)

pada nilai domain (Gambar 13) yang memiliki derajat keanggotaan nol [0] bergerak ke kanan menuju ke nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan lebih tinggi (Kusumadewi dan Hartati 2010).

Gambar 13. Representai Linear Naik � � = { � − / − ; ; ��

; �

Dimana μ (x) = derajat keanggotaan

x = nilai yang akan diketahui keanggotaannya a = nilai minimum

b = nilai maksimum

Penentuan Kelas Interval

Dalam penelitian ini metode Natural Breaks digunakan sebagai metode klasifikasi standar. Metode ini menentukan titik pada data dengan melihat pengelompokan dan pola data. Arcgis menggunakan formula statistik khusus untuk perhitungan natural break. Data yang digunakan mempunyai jangkauan dari yang terkecil sampai yang terbesar. Data kemudian dibagi dalam kelas-kelas dengan batas-batas yang ditentukan berdasarkan nilai jangkauan terbesar (Esri, 2010).

1. Kerentanan Fisik

Indikator yang digunakan untuk menentukan kerentanan fisik, terdiri atas: inftrastuktur fasilitas kritis (dalam penelitian ini diwakili oleh parameter sarana transportasi yaitu jaringan jalan primer, jalan sekunder), dan kepadatan bangunan (dalam kategori lahan terbangun/permukiman) pada (Tabel 5). Data yang digunakan adalah data yang telah di potong berdasarkan peta bahaya longsor. Untuk dapat melakukan zonasi terhadap indikator kerentanan fisik dapat dilakukan dengan analisis spasial fungsi jarak dengan metode line density dari tools ArcGis. Untuk kepadatan bangunan data yang digunakan yaitu data pemukiman yang diambil dari penggunaan lahan yang bersumber dari interpretasi citra Landsat 2013, yang selanjutnya dilakukan penghitungan luas pemukiman dalam satuan hektar, kemudian dilakukan normalisasi, dimana semakin luas pemukiman maka hasilnya mendekati 1 dan sebaliknya mendekati 0.


(36)

Tabel 5. Indikator dalam menentukan Kerentanan Fisik di Kabupaten Agam (BNPB 2012)

Indikator Sub indikator Keterangan

Fasilitas Kritis Jaringan jalan primer, Semakin banyak fasilitas

Jaringan jalan sekunder transportasi yang dimiliki maka tingkat kerentanan semakin tinggi

Penggunaan Lahan Lahan terbangun Semakin besar,luas dan

(Pemukiman) banyak lahan terbangun

maka akan semakin tinggi tingkat kerentanannya Untuk dapat melakukan zonasi terhadap indikator Kerentanan Fisik dapat dilakukan dengan analisis spasial fungsi jarak dengan metode Line Density. Line density menghitung kerapatan dari fitur linear di lingkungan masing-masing output sel raster. Kerapatan dihitung dalam satuan panjang per satuan luas. Line density disebut juga sebagai jalur kerapatan. Secara konseptual, lingkaran akan muncul di sekitar masing-masing pusat sel raster dengan menggunakan radius pencarian. Panjang bagian dari setiap baris yang ada di dalam lingkaran dikalikan dengan kolom nilai populasinya. Angka-angka tersebut dijumlahkan dan jumlah tersebut dibagi dengan luas lingkaran. Konsep ini akan disajikan pada Gambar 14. berikut :

Gambar 14. Ilustrasi Line Density

Dalam ilustrasi di atas, sel raster ditunjukkan dengan lingkungan yang melingkar. Garis L1 dan L2 merupakan panjang bagian dari setiap baris yang ada di dalam lingkaran. Nilai-nilai yang tidak sesuai bidang populasi yaitu V1 dan V2.

Kepadatan = ((L1 * V1) + (L2 * V2)) / (area_of_circl A)...(5)

Jika kolom populasi yang digunakan selain NONE, panjang dari garis dianggap sebagai nilai panjang sebenarnya dari bidang populasi untuk baris itu (ESRI, 2010).


(37)

2. Kerentanan Sosial

Kerentanan sosial diartikan sebagai suatu kondisi dimana tingkat kerapuhan sosial masyarakat dalam menghadapi bencana. Potensi ini dapat dianalisis dengan memasukan indikator jumlah penduduk, yang berkaitan dengan distribusi penduduk di daerah penelitian. Data demografi yang berkaitan dengan jumlah penduduk pada umumnya diperoleh dalam bentuk tabel statistik dan disajikan secara spasial mengacu pada batas unit administrasi suatu daerah. Berdasarkan hal tersebut kemudian dilakukan pemetaan penduduk dengan metode dasymetric. Pemetaan dasymetric merupakan salah satu metode pemetaan tematik berbasis wilayah yang menghasilkan informasi spasial lebih rinci (Khomarudin 2010). Pemetaan dasymetric memiliki keunggulan dalam menghasilkan peta distribusi populasi yang lebih realistis jika dibandingkan dengan pemetaan choropleth. Hal ini dapat dilakukan dengan proses tumpang susun (overlay) antara data sensus penduduk, batas administrasi wilayah dengan informasi penggunaan lahan atau penutup lahan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) (Bajat et al. 2010; Linard et al. 2013 (dalam Yulianto 2014). Selanjutnya, selain jumlah penduduk, parameter lain untuk menilai kerentanan sosial adalah: rasio jenis kelamin, rasio kelompok umur, dan rasio orang cacat yang dinilai sesuai dengan Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana melalui Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 02 tahun 2012, (Tabel 6).

Data sensus penduduk yang dipakai adalah tahun 2013 diambil dari data Kabupaten Dalam Angka 2014 Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Agam. Adapun batas administrasi wilayah diambil dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Estimasi distribusi penduduk secara spasial dapat dilakukan berdasarkan formula yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Khomarudin et al. 2010 (dalam Yulianato, 2014). Adapun formula untuk melakukan estimasi distribusi penduduk secara spasial disajikan dengan persamaan berikut :

Xd = ∑�=1Pi...(6)

P = ∑ Pij...(7)

P =

=1 ∗ Xd...(8)

Dimana: Xd adalah jumlah orang dalam unit administrasi. Pi adalah jumlah orang dalam area permukiman. Pij adalah jumlah orang dalam poligon permukiman j dan dalam area permukiman i. Sij adalah ukuran poligon permukiman j dan dalam area permukiman i. Adapun n adalah jumlah poligon permukiman dalam area permukiman di unit administrasi tingkat kecamatan.

Setiap metode tentunya mempunyai nilai potensi kesalahan (error). Perhitungan tingkat kesalahan tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan Population Distribution Error (PDE). Data referensi yang dihitung tingkat kesalahannya adalah data Potensi Desa (PODES) yang terdapat pada setiap kecamatan, karena ketersediaan data PODES tersebut pada setiap kecamatan tidaklah sama (hanya terdapat pada beberapa kecamatan di daerah penelitian). Asumsi dari penggunaan data PODES ini adalah populasi penduduk yang terdapat


(38)

pada satu wilayah desa dianggap sebagai jumlah sesungguhnya penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Perhitungan PDE dapat disajikan dalam persamaan (Khomarudin 2010 dalam Yulianto 2014).

... (9)

Dimana: PDE adalah persentase kesalahan distribusi populasi penduduk. Pij adalah jumlah populasi penduduk dalam poligon permukiman (model). PijRQ adalah jumlah populasi penduduk dalam poligon permukiman (referensi).

Tabel 6. Indikator dalam menentukan Kerentanan Sosial di Kabupaten Agam (BNPB 2012)

Indikator Keterangan

Jumlah Penduduk Semakin banyak jumlah

penduduk yang tinggal di suatu wilayah maka kerentanannya dalam menghadapi bencana akan semakin tinggi

Rasio Jenis Kelamin Perbandingan

wanita terhadap jumlah penduduk dalam suatu wilayah. Penduduk wanita menggambarkan kemampuan yang relatif rendah atau lebih rentan dalam menghadapi suatu bencana.

Rasio Orang Cacat Persentasi perbandingan jumlah

penduduk yang menderita sakit atau cacat dengan jumlah penduduk dalam kondisi sehat.

Rasio Kelompok Umur Tingginya persentasi penduduk

usia anak dan usia lanjut menggambarkan kemampuan fisik relatif lebih rendah,

karena mempunyai ketergantungan pada penduduk usia produktif dan kecenderungan memiliki kemampuan mobilitas yang terbatas saat menghadapi bencana

3. Kerentanan Ekonomi

Kerentanan Ekonomi merupakan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi masyarakat dalam suatu daerah pada saat menghadapi bencana. Indikator dalam menentukan potensi Kerentanan Ekonomi dapat disajikan dalam (Tabel 7), yang terdiri atas: penggunaan lahan pada kategori lahan produktif untuk kawasan budidaya dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).


(39)

Tabel 7. Indikator dalam menentukan Kerentanan Ekonomi di Kabupaten Agam (BNPB 2012)

Indikator Keterangan

Penggunaan lahan (Lahan Semakin luas lahan produktif

Produktif untuk budidaya) dan semakin besar kontribusinya

terhadap ekonomi suatu wilayah, maka kerentanan akan semakin tinggi

Produk Domestik Semakin besar kontribusi terhadap PDRB

Regional Bruto per sektor maka keretanan semakin tinggi

4. Kerentanan Lingkungan

Kerentanan Lingkungan merupakan suatu kondisi tingkat kerapuhan lingkungan pada suatu wilayah yang rawan terhadap bencana. Indikator dalam analisis kerentanan lingkungan dalam penelitian ini dapat disajikan dalam Tabel 8, yang terdiri atas kawasan hutan lindung dan hutan alam.

Tabel 8. Indikator dalam menentukan Kerentanan Lingkungan di Kabupaten Agam (BNPB 2012)

Indikator Keterangan

Hutan Lindung Semakin luas hutan lindung maka tingkat

kerentananakan semakin tinggi

Hutan Alam Semakin luas hutan alam maka tingkat kerentanan

semakin tinggi

b. Analisis Risiko (Risk)

Risiko longsor dapat dihitung berdasarkan persamaan umum BNPB (2012) yang dimodifikasi (tanpa aspek kapasitas):

� = × � ... (10)

Dimana : R adalah risiko (risk); H adalah bahaya (hazard); dan V adalah kerentanan (vulnerability).

c. Arahan Mitigasi Bencana Longsor Kabupaten Agam

Dalam menganalisis arahan mitigasi longsor pada penelitian ini digunakan teknik analisis kualitatif. Pada teknik analisis kualitatif data yang disajikan berwujud kata dan bukan rangkaian angka (Miles dan Huberman (1992) dalam Suranto (2008). Data itu telah dimunculkan dalam berbagai macam cara yaitu intisari dokumen, observasi dan wawancara yang diproses terlebih dahulu sebelum digunakan melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan atau alih tulis. Teknik analisis kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) tahap proses kegiatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu: reduksi data,


(40)

penyajian data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan sebelum penyajian data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang lebih menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Penyajian data merupakan bagian analisis yang berupa deret dan kolom sebuah matriks untuk data kualitatif dan memutuskan jenis dan bentuk data yang harus dimasukkan ke dalam kotak matriks merupakan kegiatan analisis yang memberi kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Penelitian ini pada dasarnya mengadopsi ketiga alat analisis kualitatif tersebut diatas, namun penggunaannya disesuaikan dengan kondisi yang ada. Penelitian ini lebih banyak berupaya mengemukakan dan memberikan penjelasan (deskripsi) mengenai fenomena yang terkait dengan variabel penelitian, sehingga proses pelaksanaannya lebih banyak menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Dimana dalam mendeskripsikan hasil arahan teknik mitigasi longsor didasarkan kepada landasan teori yang berkaitan dengan teknik-teknik fisik yang akan dilakukan dalam upaya penurunan risiko bencana longsor.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta bahaya longsor yang dihasilkan oleh Fransiska (2014) dan peta kerentanan longsor yang didapat dari hasil penelitian penulis. Setelah data tersebut disiapkan langkah selanjutnya adalah mereduksi data untuk mengarahkan supaya dapat menarik kesimpulan dari analisis ini. Proses reduksi kali ini adalah dalam bentuk melakukan pembatasan wilayah bahaya dan kerentanan dari bahaya sedang hingga tinggi, selanjutnya mendeskripsi peta bahaya dan peta kerentanan tanah longsor berdasarkan tipologi daearah baik secara fisik, sosial, ekonomi, maupun lingkungan lokasi penelitian dan membuat langkah antisipasi atau penurunan risiko longsor berdasarkan teknik-teknik mitigasi yang telah disampaikan pada landasan teori. Teknik mitigasi longsor dalam hal ini dibagi menjadi 3 yaitu (a) secara teknik sipil meliputi (1) pembuatan bangunan penguat tebing, (2) bronjong (3) sumbat jurang bronjong silinder (4) dam pengendali sistem bangunan permanen (5) saluran pengelak (b) secara vegetatif meliputi (1) menanam tanaman tahunan (2) membiarkan semak (3) menanam rerumputan (c) teknik sosial. Langkah akhir adalah pembuatan kesimpulan berupa tabel dalam menyajikan data hasil analisis agar terlihat rapi dan mudah dipahami. Berikut akan ditampilkan Tabel 9 proses analisis kualitatif dalam penentuan arahan teknik mitigasi bencana longsor di Kabupaten Agam :

Tabel 9. Penentuan Arahan Teknik Mitigasi Longsor Kabupaten Agam

Bahaya Kerentanan Arahan Teknik Mitigasi

Sedang Sedang Vegetatif &T. Sipil

Sedang Tinggi Vegetatif, T. Sipil, T. Sosial

Rendah Tinggi Vegetatif & T. Sosial

Tinggi Rendah T. Sipil

Tinggi Sedang T. Sipil


(41)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Karakter Fisik Lokasi Penelitian Curah Hujan

Berdasarkan peta curah hujan yang bersumber dari Stasiun Klimatologi dan Geofisika Kabupaten Agam, serta Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Sumatera Barat, didapatkan bahwa curah hujan di Kabupaten Agam tergolong sangat tinggi, yaitu > 3.000 mm/thn berada di sekitar pegunungan yang berada di sekitar Danau Maninjau Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam (Gambar 15).

Keadaan iklim, terutama curah hujan seperti yang dikemukakan oleh Elza (2000), menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Agam mempunyai curah hujan yang tinggi. Sepanjang pantai barat, meliputi areal yang cukup luas mulai dari Kecamatan-kecamatan Tanjung Mutiara, Ampek Nagari, Lubuk Basung, sampai Palembayan mempunyai curah hujan antara 4000-5000 mm/th. Untuk wilayah tengah dan selatan kabupaten serta sebagian kecil sebelah timur mempunyai curah hujan antara 3000-4000 mm/th, sedangkan curah hujan antara 2000-3000 mm/th meliputi wilayah tengah dan utara. Pada umumnya wilayah Agam tidak mempunyai bulan kering, kecuali di daerah bayangan hujan yang sempit di beberapa Kecamatan-kecamatan, seperti Tilatang Kamang, IV Angkat Canduang, Kamang Magek dan Palupuh bagian selatan.


(42)

Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng dalam penelitian ini diturunkan dari data SRTM dengan resolusi spasialnya 30 meter, kemudian dikelaskan menjadi 5 kelas, yaitu kelas kemiringan lereng 0% - 8% (datar hingga landai), kelas kemiringan lereng 8% - 15% (agak curam), kelas kemiringan lereng 15% - 30% (curam), kelas kemiringan lereng 30% - 45% (sangat curam), dan kelas kemiringan lereng diatas 45% (terjal). Hasil Pemetaan kemiringan lereng di Kabupaten Agam disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16.Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian

Kemiringan 0 – 8%, terletak di daerah datar hingga landai seluas 86.777,46 Ha, meliputi kawasan bagian Barat Wilayah Kabupaten Agam (Kecamatan Tanjung Mutiara, Lubuk Basung, Ampek Nagari dan sebagian Tanjung Raya). Kemiringan 8-45%, berada di daerah berombak, berbukit sampai terjal seluas 104.537,49 Ha tersebar di bagian Tengah dan Timur Wilayah Kabupaten Agam (Kecamatan Baso, Ampek Angkek, Canduang, Tilatang Kamang, Kamang Magek, Banuhampu, Sungai Pua, IV Koto, Matur). Adapun untuk kemiringan > 45%, tersebar daerah kemiringan sangat terjal seluas 32.538,6 Ha yang tersebar di kawasan bagian Selatan dan Tenggara Wilayah Kabupaten Agam, daerah Bukit Barisan, sekitar Gunung Marapi dan Gunung Singgalang (Kecamatan Malalak, Palembayan, Palupuah, sebagian Sungai Pua, Canduang, Banuhampu, Tanjung Raya, IV Koto dan Matur).

Jenis Batuan

Berdasarkan Peta Geologi skala 1 : 250.000 yang bersumber dari Puslitbang Geologi Bandung, Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) terlihat bahwa Kabupaten Agam tersusun oleh formasi batuan vulkanik, batuan sedimen dan batuan aluvial (Gambar 17).


(43)

Gambar 17. Peta Jenis Batuan Daerah Penelitian

Wilayah Kabupaten Agam didominasi oleh batuan andesit dari Gunung Marapi, Gunung Singgalang, Gunung Tandikek, Danau Maninjau, dan Gunung Talamau seluas 152.709,3 ha. Batuan sedimen yang ada terutama dengan jenis batu kapur meliputi area seluas 10.110,96 ha, adapun untuk batuan endapan alluvium mencapai luas 60.988,32 ha.

Menurut Peta Geologi Lembar Padang (Kastowo, dkk., 1996 dalam Mubekti et,al 2006) umur formasi geologi wilayah Kabupaten Agam digolongkan dalam era Kuarter, Tersier, Mesozoikum dan Paleozoikum yang terdiri atas endapan permukaan, batuan gunungapi, batuan sedimen, batuan metamorf, dan batuan terobosan.

Formasi batuan Pra Tersier, Tersier, dan Kuarter terdiri dari batuan endapan permukaan, sedimen, metamorfik, vulkanik dan intrusi. Batuan induk yang berasal dari zaman Pra Tersier terdiri dari batuan sedimen, vulkanik, dan intrusi. Batuan yang berasal dari zaman Tersier atau peralihan Tersier ke Kuarter berupa batuan vulkanik yang terdiri dari lahar, aglomerat dan koluvium. Adapun batuan dari zaman Kuarter terdiri dari endapan permukaan dan vulkanik seperti batuan vulkanik yang terdapat di Gunung Merapi, Gunung Singgalang, dan Danau Maninjau.

Jenis Tanah

Berdasarkan peta tanah skala 1:250.000 (Puslittanak, 1990), jenis tanah di Kabuapaten Agam, umumnya terbentuk dari bahan induk tuff andesit, abu vulkan, dan alluvium. Sebaran jenis tanah di Kabupaten Agam disajikan pada Gambar 18.


(44)

Gambar 18. Peta Jenis Tanah daerah Penelitian

Terlihat areal dengan untuk jenis tanah Mediteran mempunyai luas sebesar 9.338 Ha, sedangkan untuk jenis tanah terluas adalah Andosol yaitu 116.895 Ha yang tersebar hampir di seluruh Kecamatan Kabupaten Agam, yaitu meliputi Kecamatan Palembayan, Kecamatan Ampek Nagari, Kecamatan Lubuk Basung, Kecamatan Malalak, Kecamatan IV Koto, Kecamatan Banuhampu, Kecamatan Canduang, Kecamatan Kamang Magek.

Penggunaan Lahan

Berdasarkan peta penggunaan lahan dari interpretasi citra Landsat 8 pada tahun 2013 jenis penggunaan lahan yang ada di Kabupaten Agam terdiri dari hutan, perkebunan, ladang/tegalan, pemukiman, sawah, semak belukar dan tubuh air (Gambar 19)

Berdasarkan peta tersebut, penggunaan lahan yang paling dominan di Kabupaten Agam adalah sawah, yaitu seluas ±119.860,1 Ha atau sekitar 53.54 % dari luas wilayah. Kemudian Hutan seluas 78.528,33Ha atau sekitar 35.07 % yang merupakan daerah konservasi air yang berfungsi memberikan perlindungan bagi daerah di bawahnya. Kebun menempati urutan ketiga, yaitu ±24.238,98 ha dan 10.83 % dari total luas wilayah, luasan Perkebunan ini relatif cukup tinggi jika mengingat bahwa Kabupaten Agam seharusnya berfungsi sebagai kawasan lindung dan kawasan pertanian.


(45)

Gambar 19. Peta Penggunaan Lahan Daerah Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahaya Longsor

Bahaya (hazard) merupakan ancaman yang dihadapi masyarakat yang berasal dari peristiwa alam (seperti banjir, gempa bumi dan lain-lain) yang bersifat ekstrim dan dapat berakibat buruk atau dapat menciptakan keadaan yang tidak menyenangkan seperti yang ditunjukkan dengan tingkat kerusakan pada suatu lokasi tertentu (Bollin et al. 2003; Noor 2011, dalam Silviani 2013). Adapun tanah longsor merupakan salah satu dari peristiwa alam yang dapat terjadi karena kondisi-kondisi tertentu dari kemiringan lereng, geologi, tanah, hidrologi, dan penggunaan lahan. Dengan demikian bahaya longsor adalah ancaman terjadinya tanah longsor di waktu mendatang yang berpotensi merusak atau membawa korban. Longsor dapat terjadi karena proses alami seperti curah hujan, getaran bumi, dan non alami seperti aktifitas manusia, ataupun kombinasi dari keduanya. Pemetaan bahaya longsor merupakan upaya dasar yang sangat penting untuk mendukung program-program pembangunan, seperti perencanaan wilayah, mitigasi bencana, pengelolaan DAS dan sebagainya. Pemetaan bahaya longsor untuk Kabupaten Agam telah dilakukan oleh Fransiska (2014) dan akan dipakai dalam penelitian ini. Peta tersebut disajikan pada Gambar 10. Berikut akan di tampilkan luas bahaya dan peta bahaya longsor Kabupaten Agam yang mengacu pada Fransiska (2014) pada Gambar 20 dan Tabel 10.


(46)

Tabel 10. Luas wilayah berdasarkan kelas bahaya longsor pada masing-masing Kecamatan Kabupaten Agam

Kecamatan di Kabupaten Agam

Bahaya Rendah

Bahaya

Sedang Bahaya Tinggi

Tidak

Bahaya Total

Ampek Nagari 2.242,97 3.383,09 346,85 21.166,52 27.139,44

Banuhampu 2.287,75 1.354,29 734,21 2.441,07 6.817,33

Baso 5.956,57 1.491,52 2.083,37 547,34 10.078,79

Candung 1.866,50 1.787,47 1.136,44 464,96 5.255,36

IV Koto 2.771,01 2.140,73 1.092,57 2.032,16 8.036,47

Kamang Magek 3.239,06 1.001,99 3.982,11 519,27 8.742,43

Lubuk Basung 716,23 871,53 45,07 24.756,03 26.388,85

Malalak 2.482,80 3.864,03 488,93 4.059,54 10.895,30

Matur 2.575,06 1.855,09 2.105,74 2.777,44 9.313,32

Palembayan 5.132,45 6.800,94 2.517,30 19.201,01 33.651,70

Palupuh 4.574,80 6.785,74 7.077,57 5.859,97 24.298,09

Tanjung Mutiara 14,91 47,52 0,18 20.363,10 20.425,72

Tanjung Raya 1.866,98 5.520,99 1.898,17 4.463,55 13.749,69

Tilatang Kamang 4.389,50 317,89 735,35 130,25 5.572,98

Total 4.0116,6 37.222,8 24.243,9 108.782 210.365,48


(47)

Kelas Bahaya Longsor di Kabupaten Agam

Peta bahaya longsor (Gambar 10) dihasilkan dari penilaian melalui pendekatan bentang lahan (landscape), dimana satuanlahan (land unit) digunakan sebagai satuan analisis untuk menilai bahaya longsor. Satuan lahan tersebut dihasilkan dari kombinasi antara peta bentuk lahan, peta kemiringan lereng, dan peta penutupan/penggunaan lahan (Fransiska,2014). Hasil penelitian Fransiska (2014) menunjukkan bahwa kelas bahaya rendah di Kabupaten Agam mempunyai luas ± 40.116,6 ha, kelas bahaya sedang 37.222,8 ha. Kelas bahaya longsor tinggi mempunyai luas ± 24.243,9 ha. Dari Tabel 9 terlihat bahwa Kecamatan Palupuh, Kamang Magek, dan Tanjung Raya perlu mendapatkan perhatian utama karena mempunyai kelas bahaya longsor sedang dan tinggi yang relatif luas.

Analisis Kerentanan dan Risiko Tanah Longsor

Analisis Kerentanan

Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana (BNPB, 2012). Dalam hal ini kerentanan dapat dibedakan menjadi kerentanan fisik, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, dan kerentanan lingkungan. Dalam penelitian ini, analisis tingkat kerentanan di daerah-daerah bahaya dilakukan pada wilayah bahaya rendah sedang dan tinggi sedangkan di daerah tidak berbahaya tidak di nilai. Hasil analisis terhadap kerentanan tersebut akan dibahas sebagai berikut :

1. Kerentanan Fisik

Kerentanan Fisik (VF) ditentukan berdasarkan parameter ketersediaan Fasilitas Kritis (FK), dan Penggunaan Lahan (PL). Untuk penggunaan lahan data yang diperlukan adalah data permukiman atau lahan terbangun, sedangkan untuk Fasilitas Kritis (FK), data yang diperlukan adalah data jalan primer dan jalan sekunder. Data jalan didapat dari Peta RBI Kabupaten Agam tahun 2006 dan digunakan untuk menghitung kerapatan jalan. Jarak antar jalan dihitung dengan menggunakan fungsi jarak Line Distance seperti terlihat pada Gambar 21. Wilayah cakupan untuk kerentanan fisik telah dipotong berdasarkan peta bahaya longsor tingkat sedang dan tinggi.

Proses selanjutnya dilakukan normalisasi dengan menggunakan fungsi Fuzzy Membership (FSM) agar setiap parameter mempunyai batas keseragaman dan standarisasi skala nilai yang sama. Setiap parameter yang terstandarisasi dalam pendekatan fungsi FSM memiliki nilai absolut yang terletak pada rentang nilai minimal 0 dan maksimal 1.


(48)

(a)

(b)

Gambar 21. Zonasi fasilitas transportasi dan penggunaan lahan (lahan terbangun/permukiman) di daerah penelitian. (a) Jalan Primer (b) Jalan Sekunder.


(49)

Pembobotan terhadap parameter fasilitas kritis dilakukan dengan AHP melalui metode Perbandingan Berpasang (PB) berdasrkan pendapat beberapa pakar (responden). Pendapat pakar yang dianalisis menghasilkan bobot pada setiap variabel seperti yang disajikan dalam Tabel 11. Dari hasil pembobotan pada Tabel 10, terlihat bahwa Jalan Primer mempunyai bobot tertinggi dengan nilai 0.77 pada skala maksimal 1. Urutan selanjutnya adalah Jaringan jalan Sekunder berturut-turut mempunyai nilai bobot sebesar 0.23.

Hasil zonasi kerapatan jalan fasilitas kritis dalam analisis spasial disajikan dalam Gambar 22. Gambar tersebut menunjukkan zonasi pada (a) variabel fasilitas jalan primer, (b) fasilitas jalan sekunder. Makna zonasi tersebut adalah bahwa, semakin rapat sarana transportasi yang tersedia di daerah penelitian, maka konstribusi kerentanan sarana transportasi semakin tinggi yaitu dengan nilai absolut mendekati 0, dan begitu pula sebaliknya dengan nilai absolut mendekati 1. Tabel 11. Matriks penilaian komposit pada bobot sub-indikator ketersediaan

Fasilitas Kritis di daerah penelitian

JP JS Bobot

JP 1 3.32 0.77

JS 0.30 1 0.23

Keterangan: JP: jalan primer, JS: rasio jenis sekunder.

Berdasarkan mekanisme pembobotan tersebut, maka analisis kerentanan terhadap Fasilitas Transportasi (FT) di daerah penelitian diperhitungkan dengan menggunakan formula FK = (0.77 * JP) + (0.23 * JS).


(50)

Gambar 22 menunjukkan bahwa beberapa lokasi yang memiliki konstribusi kerentanan Fasilitas Transportasi yang tinggi meliputi beberapa kecamatan, yaitu : Palupuh, Kamang Magek, Tilatang Kamang, Baso, IV Koto, Canduang, Banuhampu. Adapun, lokasi yang memiliki konstribusi kerentanan Fasilitas Transportasi yang rendah meliputi kecamatan-kecamatan, seperti: Kecamatan Malalak, Ampek Nagari, Tanjung Raya, Matur, Palembayan.

Parameter berikutnya untuk menilai kerentanan fisik adalah penggunaan lahan dalam hal ini berupa penggunaan lahan permukiman (lahan terbangun). Penggunaan lahan pemukiman (areal terbangun) seperti yang tersaji pada Gambar 23 menunjukkan lokasi keberadaan segala bentuk aktivitas utama dari penduduk di suatu wilayah. Dengan demikian penggunaan lahan ini merupakan representasi dari kawasan budidaya terbangun di daerah penelitian. Data yang digunakan pada penelitian ini didapatkan dari Fransiska (2014) yang diperoleh dari hasil intrepetasi citra landsat TM 7 Tahun 2013. Lahan terbangun sebagai lokasi aktivitas penduduk dalam kerentanan dijustifikasi sebagai berikut : semakin besar area permukiman maka akan memberikan konstribusi tingkat Kerentanan Fisik yang semakin tinggi dengan nilai absolut mendekati 1, sebaliknya semakin kecil permukiman maka akan memberikan konstribusi tingkat kerentaran fisik yang semakin rendah dengan nilai absolut mendekati 0.

A


(1)

a. Ya b. Tidak

7. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tempat pengungsian jika terjadi bencana?

a.

Ya b. Tidak

D.

Pengalaman mengenai kebencanaan

1. Apakah Bapak/Ibu pernah mengalami bencana terutama tanah longsor? a. Pernah b. Tidak

2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui resiko bencana terutama tanah longsor? a. Ya b. Tidak

3. Apakah Bapak/Ibu mengetahui lokasi sekitar yang beresiko terhadap bencana terutama tanah longsor?

a. Ya, sebutka ……… b. Tidak

c. Tidak perduli

E.

Pelatihan kebencanaan

1. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar atau mengetahui Pencegahan bencana?

a. Per ah, dari a a………

b. Tidak

2. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti sosialisasi/penyuluhan tentang kebencanaan terutama tanah longsor?

a. Pernah b. Tidak

3. Apakah Bapak/Ibu mengetahui atau pernah mendengar peta bahaya longsor? a. Ya b. Tidak

4. Jika jawaba di atas, Ya apakah peta tersebut udah di e gerti? a. Ya b. Tidak

5. Jika jawaba di atas, Tidak ditunjukan peta bahaya yang dibuat) apakah peta tersebut mudah dimengerti?

a. Ya b. Tidak

6. Apakah peta bahaya tanah longsor sesuai dengan keadaan dilapangan? a. Sesuai b. Tidak Sesuai

7. Apakah Bapak/Ibu mengetahui upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi bencana terutama tanah longsor?

a. Ya b. Tidak

8. Apakah ada upaya dalam pencegahan bencana terutama tanah longsor? a. Ya, sebutka upaya apa da siapa ya g elakuka ………. b. Tidak

Hal lain yang dapat digali dari responden:

………

………

………

………

………

………..


(2)

Hal yang perlu disampaikan dalam upaya pencegahan bencana terutama tanah

longsor?

………

………

………

………

………

………

Lampiran 9.

KUISTIONER UNTUK PEMERINTAH DAERAH

Hari/tanggal

:

Posisi (koordinat) :

Instansi :

F.

Identitas Responden

6. Nama responden : 7. Pendidikan : 8. Umur : 9. Alamat : 10. Jabatan :

G.

Program Penanggulangan Bencana

1. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti rapat/sosialisasi/pelatihan/seminar mengenai kebencanaan?

d. Pernah e. Tidak pernah

8. Apa yang menjadi faktor penyebab bencana terutama tanah longsor? 6. Manusia

7. Alam 8. Lingkungan

9. Interaksi ketiganya 10. Tidak tahu

9. Apakah instansi Bapak/Ibu mempunyai tugas dalam mensosialisasikan wilayah yang berbahaya terhadap bencana?

a. Ya b. Tidak

10. Jika Ya, bagaimana cara mensosialisakannya? a. Penyuluhan


(3)

c. Talkshow radio d. Pelatihan

e. Lai ya, sebutka ………

11. Apakah pernah dilakukan penelitian/kajian untuk wilayah yang berpotensi bencana?

a. Sudah b. Belum d. Tidak tahu

Program dalam penanggulangan bencana yang telah direncanakan:

………

………

………

………

………

………

H.

Pendanaan Kebencanaan

1. Apakah Pemerintah Daerah mempunyai pendanaan dalam kebencanaan? a. Ya b. Tidak

2. Apakah Pemerintah Daerah mempunyai program kerja khusus dalam pencegahan kebencanaan?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah Pemerintah Daerah mempunyai pendanaan khusus jika terjadi bencana (kondisi emergency)?

b. Ya b. Tidak

Hal lain yang dapat digali dari responden:

………

………

………

………

………

………..

I.

Pelatihan kebencanaan

1. Apakah Bapak/Ibu mengetahui mengenai mitigasi bencana? a. Ya b. Tidak

2. Apakah Pemerintah Kota Ternate telah membuat perda/standart pelayanan minimum mengenai kebencanaan?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah sudah terdapat pemaduan program pengurangan risiko bencana ke dalam rencana pembangunan daerah?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah pemerintah Kota Ternate telah melakukan penguatan terhadap masyarakat pada daerah rawan tersebut?


(4)

a. Ya b. Tidak

5. Apakah terdapat organisasi yang bereaksi cepat terhadap bencana? a. Ya b. Tidak

6. Apakah pemerintah daerah membangun sistem jaringan kebencanaan dengan lembaga masyarakat, swasta serta stakeholder lainnya?

a. Ya b. Tidak

Hal lain yang dapat digali dari responden:

………

………

………

………

………

………..

Hal yang perlu disampaikan dalam upaya pencegahan bencana terutama tanah

longsor?

………

………

………

………

………

………


(5)

Lampiran 10.

Dokumentasi

IV koto

Matur

Malalak

Palupuh


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumba Barat/NTT pada tanggal 10 Mei 1989 sebagai

anak pertama dari pasangan Rudy Purjono dan Sufiati. Pendidikan sarjana

ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas

(UNAND), lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis mendapatkan

kesempatan untuk melanjutkan studi pascasarjana pada Program Studi Mitigasi

Bencana Kerusakan Lahan (MBK) di Institut Pertanian Bogor (IPB). Beasiswa

pendidikan pascasarjana diperoleh dari DIKTI.