Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hasil Penelitian Yang Relevan

commit to user 4 penyusunan informasi penanggulangan bencana dan arahan konservasi yang digunakan sebagai masukan bagi perencanaan dan pembangunan wilayah maupun penyempurnaan tata ruang wilayah. Potensi terjadinya longsoran ini dapat diminimalkan dengan memberdayakan masyarakat untuk mengenali tipologi lereng yang rawan longsor tanah, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan. Sistem peringatan dini yang efektif sebaiknya dibuat berdasarkan prediksi, bilamana dan dimana longsor akan terjadi juga tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat bencana datang. Disamping itu, selain diadakannya sistem peringatan dini dan beberapa usaha-usaha pencegahan, upaya konservasi lahan merupakan suatu keharusan untuk membuat lingkungan hidup lebih baik sesuai dengan fungsinya. Konservasi lahan ditujukan untuk memperoleh produksi maksimum suatu lahan secara berkelanjutan dengan mengupayakan agar laju gerakan tanah longsor lebih kecil atau paling tidak sama dengan laju pembentukan tanah di daerah itu. Ini berarti bahwa diperlukan langkah-langkah atau upaya untuk mengatur penggunaan lahan. Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian yang berjudul ”Tingkat Risiko Longsor dan Arahan Konservasi Lahan di DAS Grindulu Hulu Kabupaten Pacitan dan Ponorogo Tahun 2009 ”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah Tingkat Bahaya Longsor TBL dan karakteristik tipe longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu? 2. Bagaimanakah tingkat kerentanan dan risiko longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu? 3. Bagaimanakah cara penanganan dan arahan konservasi lahan yang dilakukan terhadap karakteristik tipe longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu? commit to user 5

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui Tingkat Bahaya Longsor TBL dan karakteristik tipe longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu 2. Mengetahui tingkat kerentanan dan risiko longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu 3. Mengetahui cara penanganan dan arahan konservasi lahan yang dilakukan di DAS Grindulu hulu

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang geomorfologi dan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Dapat digunakan untuk sosialisasi adanya potensi terjadinya longsoran sehingga segenap masyarakat dapat mengenali tipologi lereng yang rawan tanah longsor, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan, dengan menyertakan beberapa rekomendasi- rekomendasi yang diperoleh dari penelitian ini. b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah agar memperhatikan lingkungan setempat terutama lingkungan DAS, serta upaya-upaya konservasi lahan yang seharusnya dilakukan. commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Longsor Longsoran menurut Sharpe 1938 dalam Thornbury 1969:46 adalah tipe gerakan masa batuan yang diamati dan melibatkan masa kering bahan rombakan bumi earth debris . Sharpe membagi tiga gerakan yang termasuk longsoran menjadi lima kategori, yaitu: a. Nendatan slump Nendatan adalah longsoran yang bergerak secara rotasi pada bidang gelincir yang diakibatkan oleh berkurangnya tahanan geser pada masa yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Ciri jenis longsoran ini adalah masa gelinciran bergerak secara rotasi dan cenderung ke arah dalam lereng dengan bagian atas gelinciran membentuk cekungan. b. Gelinciran bahan rombakan debris slide Gelinciran bahan rombakan merupakan tipe longsoran yang terjadi pada zona bagian terlapuk. Pada batuan terlapuk terbentuk masa rombakan yang berupa pecahan-pecahan ductile batuan yang terakumulasi pada lereng bukit dan memiliki potensi yang besar untuk bergerak terutama pada waktu hujan turun. Longsoran gelinciran merupakan bencana yang sering terjadi di indonesia dan intensif terjadi pada musim penghujan. Longsoran gelinciran ini dikenali dengan adanya retakan di permukaan. Pergerakan ini dikenali dengan bentuk permukaan berupa lingkaran atau bentuk sendok. Setelah terjadi kerusakan massa dengan adanya gawir longsoran di permukaan pada bagian mahkota longsoran, longsoran gelincir ini mulai bergerak dan akan membagi dalam beberapa blok yang terpisahkan oleh retakan. Pada daerah kepala blok ini akan menggelincir ke bawah dan membentuk daerah datar. Bagian paling bawah akan bergerak muncul ke atas membentuk lidah di permukaan. Gelinciran ini dapat terjadi dengan kecepatan beberapa centimeter per tahun hingga beberapa meter per bulan bahkan dapat terjadi tiga meter dalam satu detik. Rayapan tanah 6 commit to user 7 merupakan indikator adanya pergerakan longsoran gelinciran yang ditunjukkan dengan keadaan vegetasi yang membengkok. Daerah seperti ini semestinya tidak diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman penduduk. c. Jatuhan bahan rombakan debris fall Debris fall merupakan material kasar dan halus yang saling bercampur mixed yang bergerak jatuh bebas pada lereng yang vertikal akibat pengaruh gaya gravitasi. d. Gelinciran batuan rock slide Gelinciran batuan merupakan tipe longsoran yang masa batuannya menuruni lereng bukit akibat pengaruh dari struktur geologinya. e. Jatuhan batu rock fall Jatuhan adalah gerak bebas material yang berasal dari lereng curam seperti bukit. Tipe ini memiliki asal kata jatuh, yang membedakan dengan tipe lain adalah keadaan dimana material jatuh bebas dari lereng mengalami tumbukan berulang dengan lereng yang berada dibawahnya dengan kecepatan tinggi. Lebih mudahnya adalah adanya sebuah pecahan batuan yang jatuh dari sebuah lereng yang menggelinding dan menerjang serta merusakkan apa saja yang dilewatinya. Diantara tipe jatuhan ini adalah bukit curam, dimana bukit curam tersusun oleh batuan bersifat getas yang mengalami erosi gelombang laut pada bagian bawahnya yang menyebabkan terjadinya jatuhan. Perhatikan retakan pada permukaan atasnya yang merupakan gejala sebelum terjadi jatuhan. Tipe longsoran jatuhan ini juga harus diwaspadai pada daerah pemukiman yang berada dibawah lereng yang memiliki batu-batu besar dan terpisah-pisah. Antisipasi yang dapat dilakukuan adalah membangun pagar-pagar kawat, atau dengan mengikat batu yang membahayakan tersebut. Dalam longsoran yang sebenarnya, gerakan ini terdiri dari peregangan secara geser dan peralihan sepanjang suatu bidang atau beberapa bidang gelincir yang dapat nampak secara visual. Gerakan ini dapat bersifat progresif yang berarti bahwa keruntuhan geser tidak terjadi seketika pada seluruh bidang gelincir commit to user 8 melainkan merambat dari suatu titik. Masa yang bergerak menggelincir di atas lapisan batuantanah asli dan terjadi pemisahan dari kedudukan semula. Sifat gerakan biasanya lambat hingga amat lambat. Longsoran berdasarkan bentuk bidang gelincirnya dapat dibagi menjadi : Schutcer dan Raimond, 1978:13 a. Longsoran Rotasi rotasional slides Longsoran rotasi adalah yang paling sering dijumpai oleh para rekayasawan sipil. Longsoran jenis ini dapat terjadi pada batuan maupun tanah. Pada kondisi tanah homogen, longsoran rotasi dapat berupa busur lingkaran, tetapi dalam kenyataan sering dipengaruhi oleh diskontinuitas oleh adanya sesar, lapisan lembek dan lain-lain. b. Longsoran Translasi translational slides Dalam longsoran translasi, longsoran bergerak sepanjang bidang gelincir berbentuk bidang rata. Perbedaan terhadap longsoran rotasi dan translasi merupakan kunci penting dalam penanggulannya. Gerakan dari longsoran translasi umumnya dikendalikan oleh permukaan yang lembek. Longsoran translasi ini dapat bersifat menerus, luas, dan dapat pula dalam blok. Dalam http:merapi.vsi.esdm.go.id mengungkapkan ada 6 jenis longsoran, yaitu: a. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Gambar 1: Longsor Translasi commit to user 9 b. Longsoran Rotasi Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung. Gambar 2: Longsor Rotasi c. Pergerakan Blok Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu. Gambar 3: Pergerakan Blok d. Runtuhan batu Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah. commit to user 10 Gambar 4: Runtuhan Batu e. Rayapan Tanah Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah. Gambar 5: Rayapan Tanah f. Aliran Bahan Rombakan Aliran bahan rombakan terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di DAS sekitar gunung api. Aliran tanah dapat menelan korban cukup banyak. commit to user 11 Gambar 6: Aliran Bahan Rombakan Landslides are rock, earth, or debris flows on slopes due to gravity. They can occur on any terrain given the right conditions of soil, moisture, and angle of slope. Integral to the natural process of the earth’s surface geology, landslides serve to redistribute soil and sediments in a process that can be in abrupt collapses or in slow mud flows, debris flows, earth failures, slope failures, etc Figure 7. Landslides can be triggered by rains, floods, earthquakes, and other natural causes as well as human-made causes, such as grading, terrain cutting and filling, excessive development, etc. Because the factors affecting landslides can be geophysical or human-made, they can occur in developed or undeveloped areas, or any area where the terrain was altered for roads, houses, utilities, and even for lawns in one’s backyard USGS, Planning Research. Gambar 7. Perbedaan Tipe Longsor commit to user 12 The principal driving force for any landslide is the gravitational force Figure 8 and the tendency to move of this mass will be proportional to the hill slope angle. The resisting forces preventing the mass from sliding down the slope are inversely proportional to the same hill slope angle and proportional to the friction angle of the material. As seen in Figure 9 the stability of the material resting on a slope will be reduced with an increased slope angle. In addition, the resisting forces can be significantly reduced in case of rain or earthquake vibrations. Gambar 8. Efek Gaya Gravitasi pada Sebuah Massa Gambar 9. Penurunan Sudut Lereng yang Disebabkan Gelinciran Material Longsor. The speed at which the different types of landslides occur varies greatly. From Figure 10 it can be observed that the failure speed of rock falls is much higher than the one observed in slumps or soil creeping. The speed of the commit to user 13 landslide will make an even more or less avoidable and therefore, more or less risky. Gambar 10. Kecepatan Kerusakan Relatif pada Masing-Masing Tipe Longsor. Penetapan klasifikasi longsoran dimaksudkan untuk menyeragamkan istilah,memudahkan pengenalan tipe longsoran, membantu dalam menentukan penyebab longsoran dan pemilihan cara penanggulangannya. Klasifikasi longsoran ditetapkan berdasarkan : 1. Jenis material dan batuan dasarnya. 2. Jenis gerakanmeknisme longsoran dengan diskripsi lengkap mengenai bentuk bidang longsorgelincir. Adapun klasifikasi longsoran dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut: commit to user 14 Tabel 1. Klasifikasi Longsoran JENIS GERAKAN JENIS MATERIAL BATU TANAH BUTIR KASAR BUTIR HALUS Runtuhan Runtuhan batu Runtuhan bahan rombakan Runtuhan tanah Jungkiran Jungkiran batu Jungkiran bahan rombakan Jungkiran tanah Gelin ciran Rotasi Sedikit Nendatan batu Nendatan bahan rombakan Nendatan tanah Translasi Banyak Gelincir bongkahan batu Gelincir bongkah bahan rombakan Gelincir bongkah tanah Gerakan Laterial Gelincir batu Gelincir bahan rombakan Gelincir tanah Aliran Gerakan Laterial batu Gerakan laterial bahan rombakan Gerakan laterial Aliran batu Aliran bahan rombakan Aliran tanah rayapan tanah Majemuk Gabungan dua atau lebih tipe gerakan Sumber: Varness: 1978 dalam Suranto, 2008 : 28. Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sementara, gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah dan batuan. Faktor-faktor penyebab gerakan tanah antara lain: a. Hujan Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam commit to user 15 jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah. b. Lereng terjal Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar. c. Tanah yang kurang padat dan tebal Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas. d. Batuan yang kurang kuat Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan liat umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. commit to user 16 e. Jenis tata lahan Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama. f. Getaran Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak. g. Susut muka air danau atau bendungan Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan. h. Adanya beban tambahan Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya relatif lembah. i. Pengikisanerosi Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai relative tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal. j. Adanya material timbunan pada tebing Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah commit to user 17 asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah. k. Bekas longsoran lama Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri-cirisebagai berikut: 1 Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda 2 Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur 3 Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai 4 Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah 5 Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama 6 Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil 7 Longsoran lama ini cukup luas l. Adanya bidang diskontinuitas bidang tidak sinambung Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri: 1 Bidang perlapisan batuan 2 Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar 3 Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat. 4 Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air kedap air. 5 Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat. 6 Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor. commit to user 18 m. Penggundulan hutan Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang. Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memilki ciri: 1 Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda. 2 Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur. 3 Daerah badan longsor bagian atas umumnya relative landai. 4 Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah. 5 Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama. 6 Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil. Longsoran lama ini cukup luas. n. Daerah pembuangan sampah Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan guyuran hujan. 2. Tingkat Kerentanan dan Risiko Longsor Gerakan tanah atau tanah longsor merupakan fenomena alam yang lazim terdapat di Indonesia. Sejak lama fenomena ini sudah dikenal, yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa fenomena ini bertambah sering dan dimensinya pun bertambah menjadi besar. Pertambahan baik kualitas maupun kuantitas dari proses gerakan tanah ini justru bersamaan dengan meningkatnya pembangunan di Indonesia. Karena itu perlu adanya suatu bentuk informasi mengenai tingkat kerentanan suatu daerah untuk terkena atau terjadi gerakan tanah. Bentuk informasi ini diwujudkan dalam suatu peta zona kerentanan gerakan tanah. Sehingga informasi tentang kerentanan gerakan tanah dapat digunakan sebagai commit to user 19 informasi awal untuk analisa resiko terjadinya bencana dan analisa penanggulangan bencana sebagai acuan dasar untuk pengembangan wilayah berikut pembangunan instruktur. Lingkup kegitan dalam pemetaan zona kerentanan tanah Varnes, 1978 dalam keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No.1452K10MEM2000 meliputi: a. Persyaratan Tehnik, yaitu: Persyaratan peta dimana peta tematik dan peta sebaran gerakan tanah disyaratkan mempunyai skala yang sama, dan ter digitasi dalam bentuk polygon . Pembagian zona kerentanan gerakan tanah, zona kerentanan gerakan tanah dapat dibagi sebanyak-banyaknya menjadi 3 tiga yaitu: zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah, menengah dan tinggi. b. Metode pemetaan zona kerentanan gerakan tanah. Metode analisis yang dipergunakan adalah metode analisis gabungan antara pemetaan tidak langsung dan pemetaan langsung. Pekerjaan ini menggunakan SIG. Aspek yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan longsor adalah karakteristik lingkungan fisik alamiah dari obyek penelitian, dikaitkan dengan aspek yang memiliki kemungkinan untuk terkena dampak atas terjadinya bencana alam tersebut. Karakteristik lingkungan fisik alamiah yaitu yang dicerminkan oleh parameter yang merupakan variable-variabel pengaruh bahaya longsor. Adapun aspek yang kemungkinan terkena dampak atas terjadinya bencana longsor tersebut adalah berupa elemen permukiman, prasarana fisik dan sosial ekonomi, serta aktivitas ekonomi mata pencaharian penduduk atau merupakan elemen yang berisiko Carrara et al., 1992 dalam Mustapa, 2003:64. Tingkat risiko longsor dapat ditunjukkan oleh nilai risiko totalnya. Risiko total gerakan tanah adalah nilai yang menggambarkan tingkat risiko total dan jumlah kerugian jiwa serta harta benda yang disebabkan oleh kejadian longsor. commit to user 20 Risiko spesifik adalah nilai yang menunjukkan derajat kehilangan jiwa serta harta benda yang berkaitan dengan bahaya longsor. Risiko spesifik tersusun dari kombinasi aspek bahaya longsor dengan magnitude. Adapun elemen yang berisiko adalah informasi tentang fasilitas public dan aspek aktivitas ekonomi. 3. Penanggulangan dan Pengendalian Longsor Penerapan tehnik pengendalian longsor didasarkan atas konsep pengelolaan DAS. Dalam hal ini kawasan longsor dibagi ke dalam tiga zona Gambar 11, yaitu: 1 hulu, zona paling atas dari lereng yang longsor, 2 punggung, zona longsor yang berada di antara bagian hulu dan kaki kawasan longsor, dan 3 kaki, zona bawah dari lereng yang longsor dan merupakan zona penimbunan atau deposisi bahan yang longsor. Pengelolaan masing-masing segmen ditunjukkan dalam Tabel 2. Pada masing-masing zona diterapkan teknik penanggulangan longsor dengan pendekatan vegetatif atau mekanis. Gambar 11. Skema yang Menggambarkan Zona Hulu, Punggung, dan Kaki dari Wilayah Longsor. commit to user 21 Tabel 2. Perlakuan Pengendalian Longsor pada Setiap Segmen Bagian dari Area Longsor. Zona wilayah longsor Perlakuan Pengendalian Hulu Mengidentifikasi permukaan tanah yang retak atau rekahan pada punggung bukit dan mengisi kembali rekahanpermukaan tanah yang retak tersebut dengan tanah. Membuat saluran pengelak dan saluran drainase untuk mengalihkan air dari punggung bukit, untuk menghindari adanya kantong-kantong air yang menyebabkan penjenuhan tanah dan menambah massa tanah. Memangkas tanaman yang terlalu tinggi yang berada di tepi bagian atas wilayah rawan longsor. Punggung bagian lereng yang meluncur Membangun atau menata bagian lereng yang menjadi daerah bidang luncur, di antaranya dengan membuat teras pengaman trap terasering. Membuat saluran drainase saluran pembuangan untuk menghilangkan genangan air. Membuat saluran pengelak di sekeliling wilayah longsor. Membuat penguat tebing dan check dam mini. Menanam tanaman untuk menstabilkan lereng. Kaki zona penimbunan bahan yang longsor Membuatmembangun penahan material longsor menggunakan bahan-bahan yang mudah didapat, misalnya dengan menancapkan tiang pancang yang dilengkapi perangkap dari dahan dan ranting kayu atau bambu. Membangun penahan material longsor seperti bronjong atau konstruksi beton. Menanam tanaman yang dapat berfungsi sebagai penahan longsor. Sumber: http:www.litbang.deptan.go.idregulasione12fileBAB-III.pdf Teknik Pengendalian Longsor

a. Vegetatif

Pengendalian longsor dengan pendekatan vegetatif pada prinsipnya adalah mencegah air terakumulasi di atas bidang luncur. Sangat dianjurkan menanam jenis tanaman berakar dalam, dapat menembus lapisan kedap air, mampu commit to user 22 merembeskan air ke lapisan yang lebih dalam, dan mempunyai massa yang relatif ringan. Jenis tanaman yang dapat dipilih di antaranya adalah sonokeling, akar wangi, Flemingia , kayu manis, kemiri, cengkeh, pala, petai, jengkol, melinjo, alpukat, kakao, kopi, teh, dan kelengkeng.

b. Mekanissipil teknis

Ada beberapa pendekatan mekanis atau sipil teknis yang dapat digunakan untuk mengendalikan longsor, sesuai dengan kondisi topografi dan besar kecilnya tingkat bahaya longsor. Pendekatan mekanis pengendalian longsor meliputi: 1 pembuatan saluran drainase saluran pengelak, saluran penangkap, saluran pembuangan, 2 pembuatan bangunan penahan material longsor, 3 pembuatan bangunan penguat dindingtebing atau pengaman jurang. 1 Saluran drainase Tujuan utama pembuatan saluran drainase adalah untuk mencegah genangan dengan mengalirkan air aliran permukaan, sehingga kekuatan air mengalir tidak merusak tanah, tanaman, danatau bangunan konservasi lainnya. Di areal rawan longsor, pembuatan saluran drainase ditujukan untuk mengurangi laju infiltrasi dan perkolasi, sehingga tanah tidak terlalu jenuh air, sebagai faktor utama pemicu terjadinya longsor. Bentuk saluran drainase, khususnya di lahan usahatani dapat dibedakan menjadi: a saluran pengelak; b saluran teras; dan c saluran pembuangan air, termasuk bangunan terjunan. Letak masing-masing saluran ditunjukkan pada Gambar 12. commit to user 23 Gambar 12. Letak Saluran Pengelak dan Saluran Pembuangan Air pada Suatu Bukit Sumber: http:www.litbang.deptan.go.idregulasione12fileBAB-III.pdf 2 Bangunan penahan material longsor Konstruksi bangunan penahan material longsor bergantung pada volume longsor. Jika longsor termasuk kategori „kecil‟, maka konstruksi bangunan penahan dapat menggunakan bahan yang tersedia di tempat, misalnya bambu, batang dan ranting kayu Gambar 13. Apabila longsor termasuk kategori „besar, diperlukan konstruksi bangunan beton penahan yang permanen Gambar 14. Beton penahan ini umumnya dibangun di tebing jalan atau tebing sungai yang rawan longsor. Gambar 13. Bangunan Penahan Longsor dari Anyaman Bambu untuk Menahan Longsor Kategori Kecil. Sumber: http:www.litbang.deptan.go.idregulasione12fileBAB-III.pdf commit to user 24 Gambar 14. Bangunan Konstruksi Beton Penahan Longsor Kategori Besar. Sumber: http:www.litbang.deptan.go.idregulasione12fileBAB-III.pdf 3 Bangunan penguat tebing Bangunan ini berguna untuk memperkuat tebing-tebing yang rawan longsor, berupa konstruksi beton Gambar 15 atau susunan bronjong susunan batu diikat kawat. Konstruksi bangunan menggunakan perhitungan teknik sipil kering. Gambar 15. Bangunan Penguat TebingBronjong. Sumber: http:www.litbang.deptan.go.idregulasione12fileBAB-III.pdf 4. Konservasi Lahan Konservasi lahan adalah usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan memperhatikan kelas kemampuannya dan dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah agar lahan dapat digunakan secara lestari. commit to user 25 Tujuan Usaha Konservasi: a. Mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan aliran permukaan b. Memperbaiki tanah yang rusakkritis c. Mengamankan dan memelihara produktivitas tanah agar tercapainya produksi setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas d. Meningkatkan produktivitas lahan usahatani Usaha konservasi lahan ini biasanya dilakukan salah satunya dengan kultur teknis atau vegetasi yaitu dengan: 1. Penambahan Tanaman Penutup Tanah Tanah penutup berfungsi untuk mencegah erosi, menambah bahan organik tanah dan memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan yang jatuh. Jenis tanaman penutup tanah yaitu : Jenis merambat Colopogonium mucunoides, Centrosema Sp, Pueraria Sp, jenis perdu Crotolaria Sp, jenis pohon Lamtoro gung, Lamtoro lokal, Gamal, esliandia grandiflora,dan jenis kacang-kacangan. 2. Penanaman Rumput. Rumput memegang peranan penting dalam usahatani konservasi terutama lahan-lahan kering yang berlereng 3. Berbagai jenis rumput dapat berfungsi: a. sebagai pelindung tanaman dan penahan air b. memperbaiki kesuburan tanah c. sebagai hijau makanan ternak d. meningkatkan nilai usahatani atau pendapatan petani 3. Penanaman dalam strip Adalah suatu sistem bercocok tanam dengan cara menanam beberapa jenis tanaman dalam strip-strip yang berselang seling pada bidang tanah dan disusun memotong lereng atau menurut kontur. Tanaman yang digunakan adalah tanaman pangan atau tanaman semusim yang ditanam berbaris diselingi strip- strip tanaman-tanaman yang lebih rapat berupa tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah. commit to user 26 4. Pergiliran tanaman Cara penting lainnya untuk konservasi tanah dan air ialah dengan pergiliran tanaman yaitu sistem penanaman berbagai tanaman secara bergilir dalam urutan waktu tertentu pada suatu bidang lahan. Pada lahan kering yang berlereng atau tanahnya miring pergiliran tanaman yang efektif untuk mencegah erosi adalah antara tanaman penghasil bahan pangan dengan tanaman penutup tanah untuk pupuk hijau. Selain mencegah erosi keuntungan lain dari pergiliran tanaman adalah: a. Memberantas hama dan penyakit tanaman melalui siklus hidupnya. b. Memberantas tumbuhan pengganggu atau gulma. c. Mempertahankan sifat fisik tanah dengan cara mengembalikan sisa-sisa tanah kedalam tanah. 5. Menambah tanaman penguat teras Tanaman yang memenuhi syarat sebagai penguat teras adalah: a. Mempunyai sistem perakaran intensif, sehingga mampu mengikat air. b. Tahan pangkas sehingga tidak menaungi tanaman utama. c. Bermanfaat dalam menyuburkan tanah maupun sebagai penghasil makanan ternak. Tanaman penguat teras yang dianjurkan ditanam antara lain lamtorogung, gamal, akasia, kaliandra, rumput gajah dan rumput benggala. Gambar 16. Letak Penanaman Rumput Berselang-seling Gambar 17. Penampang Guludan yang Ditanami Rumput commit to user 27 6. Penggunaan bahan organik dan mulsa Salah satu cara untuk memperbaiki struktur tanah, mempertinggi kemampuan tanah dalam menyerap air yaitu dengan menggunakan pupuk organik berupa pupuk hijau atau pupuk kandang serta penggunaan sisa-sisa tanaman yang diletakkan di atas tanah sebagai serasah mulsa sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah. Dengan cara ini penguapan air tanah dapat diperkecil sehingga air tanah tetap tersedia bagi tumbuhnya tanaman. Gambar 18. Penampang Teras Bangku dan Bagan yang Ditanami Rumput Gambar 19. Penampang Saluran Pembuang Air yang Ditanami Rumput 5. Daerah Aliran Sungai a. Pengertian Daerah Aliran Sungai Konsep Daerah Aliran Sungai DAS merupakan dasar dari semua perencanaan hidrologi. Secara umum DAS dapat di definisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggungan bukit atau gunung, maupun batas buatan seperti jalan atau tanggul dimana titik hujan yang turun di daerah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik keluaran outlet. Menurut Asdak 1995:4 Daerah Aliran Sungai DAS diartikan sebagai daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh di daerah commit to user 28 tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil di sungai utama. Menurut kamus webster DAS juga didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya oleh pemisah alam topografi, seperti punggung bukit atau gunung dan menerima air hujan, menampung, dan mengalirkannya melalui sungai utama ke lautdanau. Apapun definisi yang kita anut, DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem maka setiap ada masukan ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari ekosistem tersebut. Komponen masukan dari ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan keluaran berupa debit air dan muatan sedimen. Komponen-komponen DAS yang berupa vegetasi, tanah dan saluran air dalam hal ini bertindak sebagai prosessor . Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktivitas dalam DAS yang mengakibatkan perubahan ekosistem, misalnya tata guna lahan, khususnya di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir yang mengakibatkan perubahan fluktuasi debit air dan muatan sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan antara masukan dan keluaran pada suatu DAS dapat dijadikan dasar untuk mengetahui dampak suatu tindakan atau aktifitas bangunan di dalam DAS terhadap lingkungan, khusunya tanah. Sebagai pertimbangan berikut ini gambar model siklus hidrologi yang menjelaskan proses memutarnya alur air. Gambar 20. Siklus Hidrologi Sumber: www.buffer.foresty.iastate.edu commit to user 29 b. Fungsi Daerah Aliran Sungai DAS Tanah longsor, bencana banjir dan kekeringan silih berganti terjadi di suatu wilayah merupakan dampak negatif kegiatan manusia pada suatu DAS. Keadaan sosial ekonomi penduduk setempat berpengaruh mutlak dalam berlangsungnya ekosistem DAS, rendahnya taraf ekonomi masyarakat memaksa lahan disekitarnya untuk dijadikan lahan produktif. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan manusia telah menyebabkan DAS gagal menjalankan fungsinya sebagai penampung air hujan yang jatuh dari langit, menyimpan dan mendistribusikan air tersebut ke saluran-saluran atau sungai. Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini, antara lain dari segi fungsi tata air. Keterikatan antara hulu dan hilir menurut Asdak, 1995:572 dapat dipakai sebagai satuan monitoring dan evaluasi pengelolaan sumberdaya air. Fungsi Pemantauan monitoring didefinisikan sebagai aktifitas pengamatan yang dilakukan secara terus-menerus atau secara periodik terhadap pelaksanaan salah satu atau beberapa program pengelolaan DAS untuk menjamin bahwa rencana-rencana kegiatan yang diusulkan, jadwal kegiatan, hasil-hasil yang diinginkan dan kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Sedangkan fungsi evaluasi didefinisikan sebagai suatu proses yang berusaha untuk menentukan relevansi, efektifitas dan nampak dari aktifitas-aktifitas yang dilaksanakan untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan Asdak, 1995:573. c. Pembagian Daerah Aliran Sungai DAS DAS yang sering disebut juga dengan Daerah Pengaliran Sungai DPS terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir Asdak, 1995:11. Seperti dijelaskan pada gambar berikut. commit to user 30 Gambar 21. Penampang 3 Dimensi Struktur Memanjang Sungai www.buffer.foresty.iastate.edu 1 Daerah hulu Derah hulu mempunyai ciri-ciri : a. Proses pendalaman lembah sepanjang aliran sungai b. Laju erosi lebih cepat daripada pengendapan c. Merupakan daerah konservasi. d. Mempunyai kerapatan drainase yanng lebih tinggi. e. Pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase. f. Lereng terjal g. Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “V” 2 Daerah tengah Bagian tengah DAS merupakan daerah peralihan antara bagian hulu dengan bagian hilir dimana masih terdapat sedikit proses erosi dan mulai terjadi pengendapan. Dicirikan dengan daerah yang relatif datar. 3 Daerah hilir Bagian hilir dicirikan dengan : a. Merupakan daerah deposisional b. Kerapatan drainase kecil. c. Merupakan daerah dari kemiringan lereng landai. d. Potensi bahan galian golongan C e. Pola penggerusan tubuh sungai berbentuk huruf “U” f. Pengaturan air sebagian besar ditentukan oleh bangunan irigasi commit to user 31 g. Pada beberapa tempat merupakan daerah banjir genangan dan mulai terbentuk delta serta meander. Kondisi topografi suatu daerah akan mempengaruhi pola dan bentuk DAS sebagai contoh pada daerah dengan topografi pegunungan akan menjadikan bentuk DAS berpola radial, berbeda dengan dengan pola DAS pada daerah topografi perbukitan karst. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai bagian hulu akan berpengaruh pada ekosistem pada bagian hilir. Oleh karenanya DAS bagian hulu merupakan daerah yang sangat penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, jadi apabila terjadi pengelolaan yang tidak benar terhadap bagian hulu maka dampak yang ditimbulkan akan dirasakan juga pada bagian hilir. Dalam pengelolaan DAS digunakan tiga pendekatan analisis yaitu : Asdak,1995 : 537 a. Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi erat berkaitan. b. Pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan sebagai alat implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan dan terkait. c. Pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik. 6. Satuan Lahan Satuan lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan persamaan karakteristiknya. Dalam penelitian ini satuan lahan berperan sebagai satuan analisis. Satuan lahan diperoleh dengan menumpangsusunkan overlay Peta Tanah, Peta Geologi, Peta Lereng, dan Peta Penggunaan Lahan. Setiap satuan lahan dilakukan pengenalan sifat morfologi tanah dan karakteristik lingkungan fisik dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data-data tersebut meliputi jenis tanah, formasi batuan, kelerengan, kedalaman efektif, solum tanah, singkapan batuan, banyaknya kerikil dan batuan, dinding terjal, kenampakan erosi, banjir, struktur tanah, drainase, konservasi, jenis dan kerapatan vegetasi, permeabilitas karakteristik kimia tanah, serta luas daerah pada setiap satuan lahan. commit to user 32

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

Mustapa Ali Mohamad 2003 melakukan penelitian dengan judul “Kajian Zona Kerentanan, Tingkat Bahaya dan Risiko Gerakan Tanah Berdasarkan Penggunaan Lahan untuk Permukiman, Persawahan dan Jalan Terhadap RTRW Kabupaten Kulun Progo ”. Penelitian tersebut bertujuan untuk menentukan zone kerentanan, tingkat bahaya dan risiko bencana alam gerakan tanah berdasarkan penggunaan lahan untuk permukiman, persawahan dan jalan di Kabupaten Kulon Progo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey , analisis data primer dan data sekunder serta weighted methode atau pengkelasan terhadap tiap aspek dan skoring untuk setiap parameter dari keseluruhan variabel. Hasil yang diperoleh yaitu : 1. Terdapat 3 kelas zone kerentanan gerakan tanah yaitu tinggi, sedang, rendah. 2 Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi adalah tinggi pada penggunaan lahan permukiman yang terdapat di 4 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. 3 Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan permukian adalah sedang dan rendah, Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan persawahan adalah sedang dan rendah, dan Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan jalan adalah sedang dan rendah. Agung Hartono 2008 mengadakan penelitian dengan judul “Arahan Konservasi Daerah Aliran Sungai Samin Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006”. Penelitian tersebut bertujuan untuk 1 mengetahui persebaran satuan lahan dengan pengenalan karakteristik lingkungan fisik, 2 mengetahui tingkat bahaya erosi, 3 mengetahui tingkat bahaya longsor, 4 mengetahui kemampuan lahan, 5 mengetahui kesesuaian lahan, 6 menentukan prioritas penanganan konservasi tanah, dan 7 menentukan cara penanganan dalam arahan konservasi tanah di Daerah Aliran Sungai Samin. Penelitian tersebut menggunakan metode survei yang disertai analisis data sekunder. Populasi dalam penelitian adalah seluruh satuan lahan di DAS Samin yang berjumlah 152 satuan. Sampel yang diamati sebanyak 45 titik dengan menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data satuan lahan dengan menggunakan analisi dokumentasi. Data untuk menghitung tingkat bahaya erosi, commit to user 33 tingkat bahaya longsor, kemampuan lahan, kesesuaian lahan, menentukan prioritas penanganan, dan menentukan arahan konservasi diperoleh dengan wawancara, observasi lapangan, analisis laboratorium, dan analisis dokumentasi dengan instrumen lembar pertanyaan dan checklist. Hasil penelitian menunjukan bahwa 1 DAS Samin tersusun dari 15 jenis tanah, 8 formasi batuan penyusun, 5 kelas kemiringan lereng, 5 jenis penggunaan lahan yang kemudian membentuk 152 satuan lahan, 2 Tingkat Bahaya Erosi di DAS Samin terbagi ke dalam 5 kelas yaitu Sangat Ringan SR, Ringan R, Sedang S, Berat B, dan Sangat Berat SB dengan luas secara berurutan 22163,786 ha 68,487, 3719,420 ha 11,493, 2330,879 ha 7,202, 2639,904 ha 8,157, dan 1508,143 ha 4,660, 3 Tingkat Bahaya Longsor dibagi menjadi 5 kelas yaitu Sangat Ringan SR, Ringan R, Sedang S, Berat B, dan Sangat Berat SB yang secara berurutan memiliki luas 8472,69 ha 26,18, 6363,4 ha 19,66, 10557,07 ha 32,62, 6337,181 ha 19,58, dan 631,79 ha 1,95, 4 klasifikasi kelas kemampuan lahan daerah penelitian sebagian besar berupa subkelas kemampuan lahan VIIIw dengan luas 15349,21 ha 47,3 yang diikuti sub kelas Vw, VIIs, VIIes, IVe, VIe, VIIIe, VIIe yang secara berurutan memiliki luas 8145,48 ha 25,17, 3208,7 ha 9,91, 964,31 ha 2,97, 826,3 ha 2,53, 2327,94 ha 7,19, 656,10 ha 2,02, 272,82 ha 0,84, 30,55 ha 0,09. Faktor penghambat untuk klasifikasi kemampuan lahan adalan ancaman erosi, drainase, dan hambatan yang berada pada daerah perakaran. 5 Berdasarkan kondisi fisik di lapangan maka sebagian besar 57,11 lahan-lahan di daerah penelitian dinilai tidak layak secara aktual utnuk pengembangan secara langsung dari jenis tanamn padi, jagung, dan ketela pohon. Faktor penghambat yang domiann adalah kondisi perakaran, ketersediaan hara, potensi mekanisasi dan tingkat bahaya erosi. 6 prioritas penanganan konservasi tanah sebagian besar mempunyai prioritas penanganan 4 dengan luas 19378,18 ha 59,88 yang diikuti oleh prioritas 2, 3, 5, 1 yang masing-masing memilki luas 5959,88 ha 18,42, 2663,56 ha 8,23, 2366,78 ha 7,31, dan 1993,73 ha 6,16. Artinya bahwa lahan-lahan di daerah penelitian perlu mendapatkan perhatian yang serius. 7 secara vegetatif pada lahan yang commit to user 34 mempunyai kemiringan lereng curam – sangat curam diarahkan sebagai penggunaan lahan hutan lindung, sedangkan pada lereng datar- sedang diarahkan sebagai wanatani agroforesty . Secara teknik alternatif arahan konservasinya sebagian besar berupa pembuatan dan penyempurnaan bentuk teras yang sudah ada. Deny Asih Maulina 2009 melakukan penelitian dengan judul Analisis Tingkat Kerawanan Longsorlahan di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Meneliti tentang kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo, dengan tujuan untuk mengetahui tipe longsorlahan dan agihan tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Gejala yang diamati dalam penelitian ini adalah kondisi geologi, curah hujan, kemiringan lereng, tingkat erosi, permeabilitas tanah, tekstur tanah dan penggunaan lahan. Penelitian dilakukan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga akan diketahui keadaan yang akan datang dengan kondisi tanpa perubahan dan tindakan apa yang seyogyanya diambil untuk mengantisipasi terjadinya longsorlahan Sumantri, 2004: 30. Hasil yang diperoleh adalah 1 Tipe longsorlahan di Kecamatan Cepogo adalah tipe nendatan tanah slump dan runtuhan material campuran debris fall . Tipe longsorlahan yang paling banyak dijumpai di Kecamatan Cepogo adalah tipe runtuhan material campuran sebanyak 21 lokasi yang tersebar hampir merata di Kecamatan Cepogo dan paling sedikit adalah tipe nendatan tanah sebanyak 3 lokasi yaitu di Desa Genting, Desa Cepogo dan Desa Gedangan 2 Agihan tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo terbagi dalam tiga klas kerawanan longsorlahan dengan tujuh kelas prioritas pengelolaan lahan. Tabel 3. Penelitian yang Relevan Peneliti Mustapa Ali Mohamad 2003 Agung Hartono 2008 Denny Asih Maulina 2009 Intan Fatmasari 2010 Judul Kajian Zona Kerentanan, Tingkat Bahaya dan Risiko Gerakan Tanah Berdasarkan Penggunaan Lahan untuk Permukiman, Persawahan dan Jalan Terhadap RTRW Kabupaten Kulun Progo Arahan Konservasi Daerah Aliran Sungai Samin Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006 Analisis Tingkat Kerawanan Longsorlahan di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali Tingkat Bahaya Longsor TBL dan Arahan Konservasi Lahan di DAS Grindulu hulu Kabupaten Pacitan Tahun 2009 Tujuan menentukan zone kerentanan, tingkat bahaya dan risiko bencana alam gerakan tanah berdasarkan penggunaan lahan untuk permukiman, persawahan dan jalan di Kabupaten Kulon Progo. mengetahui persebaran satuan lahan dengan pengenalan karakteristik lingkungan fisik mengetahui tingkat bahaya erosi mengetahui tingkat bahaya longsor mengetahui kemampuan lahan mengetahui kesesuaian lahan menentukan prioritas penanganan konservasi tanah menentukan cara penanganan dalam arahan konservasi tanah di Daerah Aliran Sungai Samin. Mengetahui tipe longsorlahan yang terdapat di Kecamatan Cepogo Mengetahui agihan tingkat kerawanan longsor di Kecamatan Cepogo Mengetahui karakteristik tipe longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu Mengetahui Tingkat Bahaya Longsor TBL di DAS Grindulu hulu Mengetahui tingkat kerentanan dan risiko longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu Mengetahui cara penanganan dan arahan konservasi lahan yang dilakukan terhadap karakteristik tipe longsor yang terjadi di DAS Grindulu hulu Metode penelitian Metode survei dan analisis data primer dan data sekunder metode survei yang disertai analisis data sekunder Metode observasi lapangan dan analisis data primer dan sekunder Hasil penelitian Terdapat 3 kelas zone kerentanan gerakan tanah yaitu tinggi, sedang, rendah. Tingkat Bahaya Longsor yang terjadi DAS Samin tersusun dari 15 jenis tanah, 8 formasi batuan penyusun, 5 kelas kemiringan lereng, 5 jenis penggunaan lahan yang kemudian membentuk 152 satuan lahan Tipe longsorlahan di Kecamatan Cepogo adalah tipe nendatan tanah slump dan runtuhan material campuran debris fall. adalah tinggi pada penggunaan lahan permukiman yang terdapat di 4 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo.uhan. Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan permukian adalah sedang dan rendah, Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan persawahan adalah sedang dan rendah, dan Tingkat Risiko untuk penggunaan lahan jalan adalah sedang dan rendah. Tingkat Bahaya Erosi di DAS Samin terbagi ke dalam 5 kelas yaitu Sangat Ringan SR, Ringan R, Sedang S, Berat B, dan Sangat Berat SB dengan luas secara berurutan 22163,786 ha 68,487, 3719,420 ha 11,493, 2330,879 ha 7,202, 2639,904 ha 8,157, dan 1508,143 ha 4,660 Tingkat Bahaya Longsor dibagi menjadi 5 kelas yaitu Sangat Ringan SR, Ringan R, Sedang S, Berat B, dan Sangat Berat SB yang secara berurutan memiliki luas 8472,69 ha 26,18, 6363,4 ha 19,66, 10557,07 ha 32,62, 6337,181 ha 19,58, dan 631,79 ha 1,95 klasifikasi kelas kemampuan lahan daerah penelitian sebagian besar berupa subkelas kemampuan lahan VIIIw dengan luas 15349,21 ha 47,3 yang diikuti sub kelas Vw, VIIs, VIIes, IVe, VIe, VIIIe, VIIe yang secara berurutan memiliki luas 8145,48 ha 25,17, 3208,7 ha 9,91, 964,31 ha 2,97, 826,3 ha 2,53, 2327,94 ha 7,19, 656,10 ha 2,02, 272,82 ha 0,84, 30,55 ha 0,09. Faktor penghambat untuk klasifikasi kemampuan lahan adalan ancaman erosi, drainase, dan hambatan yang berada pada daerah perakaran Berdasarkan kondisi fisik di lapangan maka sebagian besar 57,11 lahan-lahan di daerah penelitian dinilai tidak layak secara aktual utnuk pengembangan secara langsung dari jenis tanamn padi, jagung, dan ketela pohon. Faktor penghambat yang domiann adalah kondisi perakaran, ketersediaan hara, potensi Tipe longsorlahan yang paling banyak dijumpai di Kecamatan Cepogo adalah tipe runtuhan material campuran sebanyak 21 lokasi yang tersebar hampir merata di Kecamatan Cepogo dan paling sedikit adalah tipe nendatan tanah sebanyak 3 lokasi yaitu di Desa Genting, Desa Cepogo dan Desa Gedangan Agihan tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo terbagi dalam tiga klas kerawanan longsorlahan dengan tujuh klas prioritas pengelolaan lahan. mekanisasi dan tingkat bahaya erosi prioritas penanganan konservasi tanah sebagian besar mempunyai prioritas penanganan 4 dengan luas 19378,18 ha 59,88 yang diikuti oleh prioritas 2, 3, 5, 1 yang masing-masing memilki luas 5959,88 ha 18,42, 2663,56 ha 8,23, 2366,78 ha 7,31, dan 1993,73 ha 6,16. Artinya bahwa lahan-lahan di daerah penelitian perlu mendapatkan perhatian yang serius secara vegetatif pada lahan yang mempunyai kemiringan lereng curam – sangat curam diarahkan sebagai penggunaan lahan hutan lindung, sedangkan pada lereng datar- sedang diarahkan sebagai wanatani agroforesty. Secara teknik alternatif arahan konservasinya sebagian besar berupa pembuatan dan penyempurnaan bentuk teras yang sudah ada. commit to user 38

C. Kerangka Pemikiran