NEGARA Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta

perempuan itu semakin diperhitungkan juga di pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi kabinet sekarang. Ini dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki. Saat ini perempuan berada di bawah himpitan globalisasi, kapitalisme dan modernisasi. Tuntutan akan perubahan gaya hidup, tingginya kebutuhan akan keping-keping uang, konsumtivisme, memunculkan tekanan-tekanan hebat bagi individu dalam keluarga, yang berakhir dengan munculnya bermacam bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Demikian pula dengan persoalan yang dihadapi para buruh perempuan. Kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual dan PHK sepihak yang mereka alami, merupakan bentuk nyata penjajahan dari para pemilik modal

2. NEGARA

Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum, yang melalui pemerintahannya mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat serta harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya. 89 89 Sulistyowati Irianto, Ibid., hal.105. Negara baru mendapat legitimasi atau pengakuan setelah adanya pengakuan dari rakyat yang dikuasainya dan atau dari masyarakat internasional. Tanpa adanya pengakuan, negara tidak akan melahirkan wibawa dan kedaulatan dalam hal mengatur dan menata kehidupan rakyat di segala bidang guna mencapai masyarakat yang adil, makmur dan berkesejahteraan. Sesungguhnya, wewenang dan kekuasaan negara merupakan kelanjutan dari kewajiban negara untuk menyelenggarakan sesuatu yang diberikan oleh hukum yang berlaku. Kebijakan Negara terhadap Perempuan Bidang Hukum Undang-undang Dasar yang dirumuskan pada tahun 1945 sejak semula telah mencantumkan dalam Pasal 27 1 , 90 Negara Republik Indonesia yang dengan penuh kesadaran telah banyak melakukan ratifikasi perjanjian internasional, di mana salah satunya adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Hal ini dilakukan pemerintah karena tindakan dimaksud merupakan perwujudan dari tanggung bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi sejak tahun 1945 di negara kita prinsip kesetaraan pria dan wamita di depan hukum telah diakui. Pada dasarnya, Hukum adalah hasil pergulatan berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dan hukum mulai digunakan sejak era Kartini dan selanjutnya angkatan tahun 1928 sampai lahirnya UU Perkawinan pada tahun 1974 serta kebijakan lainnya yang berkaitan dengan perempuan. 90 UUD 1945 Pasal 27 1 jawab negara sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan dengan tegas bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, oleh karena itu segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan wajib dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang- undang Dasar. Negara berkewajiban mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk dan telah sepakat untuk melakukan segala cara yang tepat dan efektif guna menghapus tindakan diskriminasi terhadap perempuan dengan mencantumkan asas persamaan antara pria dan wanita di dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya guna menjamin realisasi dari asas yang ada dalam CEDAW. Selain itu ada ketentuan lain yang mengemukakan prinsip kesetaraan dan keadilan antara pria dan wanita seperti yang tertuang di dalam GBHN 1993- 1998 91 Sehingga diperlukan suatu upaya peningkatan peranan perempuan dalam berbagai bidang. Program peningkatan peranan wanita di Indonesia merupakan refleksi dan perwujudan dari proses emansipasi wanita tertuang dalam surat-surat Kartini melalui bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang” dalam menuju kesetaraan antara wanita dan pria. dapat dibaca sebagai berikut ini : “ Wanita, baik sebagai warga negara maupun sebagai sumber daya insani pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang“. 92 91 T.O.Ihromi, Ibid., hal.64. 92 M. Mansyhur Amin, Wanita dalam Percakapan Antara Agama Aktualisasi Dalam Pembangunan, Yogyakarta : LKPSM NU DIY, 1992, hal.15. Untuk meningkatkan peran perempuan Indonesia dalam pembangunan berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Hal ini tertuang dalam GBHN yang merupakan acuan pembangunan telah mengamanatkan peningkatkan kedudukan dan peran wanita dalam pembangunan ini sejak tahun 1978. Dalam bidang organisasi untuk menunjang program peningkatan peranan perempuan Indonesia dalam pembangunan, pemerintah telah membentuk berbagai organisasi perempuan secara garis besar dikategorikan menjadi 93 1. Para istri pegawai negeri dikelompokkan dalam Dharma Perempuan : 2. Para istri anggota ABRI dikelompokkan dalam Dharma Pertiwi 3. Para ibu rumah tangga di daerah pedesaan dan di kota yang bukan istri pegawai negeriistri ABRI diciptakan organisasi PKK yang secara eksplisit dinyatakan GBHN 1983 sebagai salah satu organisasi perempuan untuk mendorong partisipasi Indonesia dalam pembangunan 94 Usaha pemerintah untuk meningkatkan peranan perempuan Indonesia dalam pembangunan tidak hanya berhenti dalam pengelompokan perempuan Indonesia dalam organisasi perempuan yang telah ditentukan oleh pemerintah namun pemerintah juga telah menentukan pula peran yang seharusnya dilakukan oleh perempuan dalam pembangunan melalui apa yang kita kenal dengan Panca Tugas Perempuan, yaitu 1 Sebagai istri supaya dapat mendampingi suami, sebagai kekasih dan sahabat bersama-sama membina keluarga yang bahagia 2 Sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda supaya anak-anak dibekali kekuatan rohani dan jasmani dalam menghadapi segala 93 Loekman Soetrisno, Op.cit., hal.67. 94 Nursyahbani Katjasungkana, “ Domestikasi Perempuan dalam Karir,” dalam berkala Pesantren N0.2Vol.VI, 1989. tantangan zaman dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa 3 Sebagai ibu pengatur rumah tangga supaya rumah tangga merupakan tempat yang aman dan teratur bagi seluruh anggota keluarga 4 Sebagai tenaga kerja dan dalam profesi, bekerja di pemerintahan, perusahaan swasta, dunia politik, berwiraswasta dan sebagainya untuk menambah penghasilan keluarga 5 Sebagai anggota organisasi masyarakat terutama organisasi perempuan, badan sosial dan sebagainya, untuk menyumbangkan tenaga kepada masyarakat 95 Dalam GBHN 1993 program peningkatan kedudukan dan peran wanita dalam pembangunan jangka panjang tahap II PJPT II diarahkan pada sasaran umum yaitu meningkatkan kualitas wanita dan terciptanya iklim sosial budaya yang mendukung bagi wanita untuk mengembangkan diri dan meningkatkan perannya dalam berbagai dimensi kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Semua ketentuan undang-undang serta ketentuan dalam GBHN yang telah dikutip tadi menjadi bukti yang nyata, bahwa pembuat undang-undang negara kita memang menyetujui prinsip kesetaraan pria dan wanita. Untuk menindaklanjutinya maka dalam TAP MPR No: IVMPR1999 tentang GBHN di dalam Bab IV tertera arah kebijakan pembangunan nasional dalam bidang sosial dan budaya. 95 Nani Suwondo, 1989 dikutip oleh Nursyahbani Katjasungkana, “Domestikasi Perempuan dalam Karir,” dalam berkala Pesantren No.2Vol.VI, 1989, hal.45. Kebijakan dalam bidang ini meliputi tiga hal yaitu : 1. Kesehatan dan kesejahteraan social 2. Kebudayaan, kesenian dan parawisata 3. Kedudukan dan peranan perempuan. Sehubungan dengan kebijakan pembangunan dalam aspek sosial budaya ini maka yang menjadi persoalan adalah tentang kedudukan dan perempuan pada pembangunan yang telah berlangsung selama tiga dasawarsa di negara ini. Adapun lengkapnya kebijakan tersebut berbunyi sebagai berikut : a. Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadialan gender. b. Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historisperjuangan kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Hukum Perkawinan Pada tahun 1974 lahirlah Undang-undang Perkawinan yang pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Adapun beberapa prinsip yang terkandung di dalam Undang-undang Perkawinan yang penting diantaranya : a Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal b Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agamanya dan kepercayaan. c Undang-undang perkawinan berasaskan monogami d Undang-undang memberikan batas minimum bagi calon mempelai untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun perempuan e Hak dan kedudukan suami-istri adalah seimbang seperti pada Pasal 31 1 memuat kalimat-kalimat yang mengatakan, bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat. Kemudian ada lagi pasal dalam Undang-undang Perkawinan itu yang mengemukakan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama { Pasal 35 1 }, dan mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak {Pasal 36 1}. Ketentuan- ketentuan tersebut mengandung makna, bahwa terhadap isteri harus diberi penghargaan yang setara dengan suami. Bidang Politik Hak yang sama perempuan dan laki-laki dalam kehidupan politik dan publik yang dijamin dalam UUD 1945 Hasil Amandemen, UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan UU No.10 Tahun 2008. Prinsip kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki telah ditegaskan dalam konstitusi dan hukum dan dalam semua instrumen internasional. Namun, kenyataannya perempuan belum mencapai kesetaraan dan ketidaksetaraan mereka telah diperkuat oleh tingkat partisipasi mereka yang rendah dalam kehidupan politik dan publik. Kebijakan yang dirancang dan keputusan yang diambil hanya oleh laki-laki, mencerminkan hanya sebagian dari pengalaman dan potensi manusia. Pengaturan masyarakat yang adil dan efektif menuntut keterlibatan dan partisipasi semua anggotanya, laki-laki dan perempuan. Penghapusan kendala de-jure adalah penting. Tetapi hal ini tidak cukup. Kegagalan untuk mencapai partisipasi perempuan yang penuh dan setara, merupakan akibat dari praktek-praktek dan prosedur lama yang tidak sengaja memajukan laki-laki. Untuk mengatasi dominasi laki-laki selama berabad-abad di ranah publik, perempuan harus didorong dan mendapat dukungan dari sektor masyarakat untuk mencapai partisipasi penuh, dukungan yang harus diprakarsai oleh Negara serta partai-partai politik dan pejabat publik. Dari masa Orde Baru sampai dengan Reformasi telah mengalami pergeseran dan perubahan dalam hal pengaturan dan penempatan perempuan. Pada masa Orde Baru tidak terdapat pengaturan tentang penempatan perempuan di Parlemen, baru setelah Reformasi terdapat pengaturannya melalui Pasal 65 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD dan DPD, yang berupa pengaturan bagi partai politik pada pemilihan umum 2004 untuk dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sebesar 30 Hal-hal yang mempengaruhi adanya perubahan atau pergeseran dalam Pengaturan Penempatan dan Kedudukan Perempuan adalah: a Akibat dari pergeseran dan makna Konstitusi UUD 1945 sebelum amandemen yang bercirikan Negara Integralistik Totaliter yang diarsitek Soepomo, yang dilaksanakan oleh Orde Baru, menjadikan pemerintah Orde Baru menjadi Rezim yang sangat totaliter dan mendominasi. b Akibat implementasi Konstitusi sebagai groundnorm, maka Undang- undang Pemilihan Umum dan susduk pada saat Orde Baru menjadi UU yang mengikuti tafsir pemerintah, anti demokrasi dan HAM serta keadilan gender. c Konfigurasi Partai Politik yang berubah, yang semula didominasi Golkar, menjadi plural, juga sebab dari adanya pengaturan penempatan perempuan d Fungsi Legislasi DPR yang juga mengalami pergeseran dan perubahan menjadi lebih diberdayakan, juga menjadi sebab adanya perubahanpergeseran pengaturan penempatan dan kedudukan perempuan di Parlemen. Bidang Tenaga Kerja Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 14 Tahun 1969 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan adanya kesamaan hak tanpa diskriminasi antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan di pasar kerja Pasal 5 dan 6 . Salah satu program pengembangan sumberdaya manusia berkenaan dengan bidang ketenagakerjaan menyebutkan adanya kegiatan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan ekonomi, termasuk pengawasan dan perlindungan tenaga kerja perempuan. Upaya perlindungan hukum bagi tenaga kerja perempuan didasarkan pada peraturan perundang-undangan nasional juga standar ketenagakerjaan internasional yang telah diadopsi menjadi peraturan perundang-undangan nasional. Tujuannya adalah untuk meningkatkan perlindungan tenaga kerja perempuan. Contohnya, negara kita telah meratifikasi Konvensi ILO No.100, yaitu mengenai pengupahan yang sama untuk pria dan wanita pekerja untuk pekerjaan yang sama nilai, sehingga kita terikat untuk mengintegrasikannya ke dalam perundang-undangan kita. Pada dasarnya sifat kebijakan perlindungan tenaga kerja perempuan dapat dikategorikan menjadi tiga 3 hal, yaitu : 1. Protektif Kebijakan ini diarahkan pada perlindungan fungsi reproduksi bagi tenaga kerja perempuan, seperti pemberian istirahat haid, cuti melahirkan atau gugur kandung. 2. Korektif Kebijakan ini diarahkan pada peningkatan kedudukan tenaga kerja perempuan, seperti larangan pemutusan hubungan kerja bagi tenaga kerja perempuan karena menikah, hamil atau melahirkan. 3. Non-diskriminasi Kebijakan diarahkan pada tidak adanya perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap tenaga kerja perempuan di tempat kerja. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional PROPENAS 2000-2004, dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender perlu dikembangkan kebijakan Nasional yang responsif gender. Salah satu strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah strategi pengarusutamaan gender dalam pembangunan. Hal ini dipertegas dengan terbitnya Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa seluruh Departemen maupun Lembaga Pemerintah Non- departemen dan pemerintah propinsi dan kabupatenkota harus melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program pembangunan. Kedudukan Perempuan dalam Negara Proses panjang tentang perjuangan perempuan di wilayah publik dimulai pada Kongres Wanita Indonesia pada tahun 1928, yang membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan perempuan merupakan tonggak sejarah karena berperan dalam meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam politik. Keikutsertaan perempuan dalam dunia politik terlihat dalam hasil pemilihan umum pertama pada tahun 1955, dimana 6,5 dari anggota parlemen adalah perempuan. Hal ini kemudian, mengalami pasang surut dan mencapai angka tertinggi sebesar 13,0 pada tahun 1987. Saat ini, jumlah perempuan mencapai 8,8 dari seluruh anggota perwakilan terpilih. Minimnya keterwakilan perempuan dalam parlemen disebabkan banyaknya hambatan yang membatasi mereka untuk berkembang termasuk dalam mengembangkan diri dalam dunia politik yang memang lebih dikuasai oleh kaum adam. Menyoal keterwakilan perempuan dalam kondisi politik normal, pemilihan umum di Indonesia diadakan setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum pertama diadakan sepuluh tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan pada tahun 1955, di bawah pemerintahan Sukarno. Pemilihan umum kedua tidak dilaksanakan karena Konstituante yang bertugas mengamandemen UUD 1945 tidak dapat menyelesaikan tugasnya, sehingga pada tahun 1959 pemerintah mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Indonesia menjadi Negara demokrasi terpimpin. Pada tahun 1965 terjadi peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru, tanpa melalui proses pemilihan umum. Setelah transisi ini, pemilihan umum secara berturut-turut diadakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Semua pemilihan ini terjadi pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Suharto. Peralihan dari pemerintahan Suharto ke B.J. Habibie setelah pemilihan umum 1997 diikuti oleh satu pemilihan yang dipercepat pada tahun 1999. Pada saat ini, rakyat yang dimotori oleh mahasiswa, menuntut reformasi, yang memainkan peranan besar dalam mengantarkan seorang pemimpin baru nasional, Abdurrahman Wahid, pemimpin dari sebuah partai baru. Perubahan dalam cara penyelenggaraan pemilihan umum, dengan jumlah partai politik yang cukup besar di bawah pemerintahan Orde Lama, menjadi tiga partai di bawah rezim Orde Baru, kemudian berkembang menjadi 48 partai di era reformasi, menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pola representasi perempuan dalam berbagai lembaga Negara, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat DPR , pada berbagai tingkatan administrasi pemerintahan. Meskipun secara nasional, sejak pemilihan umum 1955, unsur perempuan selalu terwakili di Dewan Perwakilan Rakyat dan di Majelis Permusyawaratan MPR , persentase keterwakilan mereka menunjukkan perbedaan. Kongres Wanita Indonesia pertama pada tahun 1928 menjadi tonggak sejarah bagi wanita Indonesia dalam upaya memperluas peran publik mereka, khususnya dalam politik. Kemunculan dan perkembangan organisasi-organisasi ini memainkan peran penting dalam meningkatkan kualitas diri perempuan, seperti meningkatkan kemampuan manajemen, memperluas wawasan dan mengembangkan jaringan. Namun demikian, pada masa perjungan kemerdekaan, kebutuhan akan kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka kesempatan luas bagi para wanita untuk berkiprah di luar lingkup domestik dengan tanggung jawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan menghargai para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pendidikan, dalam pengobatan dan dalam pengelolaan logistik. Pada pemilihan umum 1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat DPR mencapai 17 orang, empat diantaranya dari organisasi Gerakan Wanita Indonesia dan lima diantaranya dari muslimat NU. Pemilihan umum pertama dinilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam organisasi-organisasi partai. Berbeda dengan periode Orde Lama Era Sukarno , pada masa Orde Baru Era Suharto dengan konsep partai mayoritas tunggal, representase perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh para pemimpin partai di tingkat pusat, sejumlah elit tertentu. Akibatnya, sebagian perempuan yang menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem pemilihan mengalami perubahan yang cukup berarti dimana rekruitmen kandidat partai untuk lembaga legislatif, termasuk perempuan harus disetujui oleh daerah, para pengambil keputusan partai di daerah. Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi dalam proses pemilihan umum, antara lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi, ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilihan umum. Menurut catatan antara tahun 1945-1950 dan tahun 1962-1966 pernah ada 4 empat menteri wanita, tetapi sejak tahun 1966 tidak ada lagi. Baru dalam tahun 1978 diangkat lagi seorang Menteri Muda Urusan Wanita dalam Kabinet Pembangunan III. Sedangkan tahun 1983 ini diangkat seorang wanita menjadi Menteri Sosial. Selanjutnya oleh Nani Soewondo 96 Sejak pemerintahan Habibie 1998-1999 , telah terjadi peningkatan semangat keterbukaan dalam sistem politik, jumlah organisasi non-pemerintah ornop telah meningkat dan pembatasan-pembatasan terhadap aktifitas partai- partai politik juga telah dihapuskan. Kondisi ini telah membawa pengaruh positif terhadap perempuan. Berbagai ornop yang aktif di bidang hak-hak perempuan telah meningkatkan kegiatan mereka. Pada masa Abdurrahman Wahid, muncul sebuah kaukus politik perempuan, yang terdiri dari sebuah organisasi anggota- dicatat pula bahwa pernah ada seorang duta besar wanita antara tahun 1959-1964 dan 1967-1970 dan baru pada tahun 1980 ada lagi seorang. 96 Nani Soewondo, Hukum dan Kependudukan di Indonesia, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1982, hal.144. anggota parlemen dan Pusat Pemberdayaan Politik Perempuan, sebuah jaringan organisasi-organisasi wanita. Organisasi-organisasi ini tampil untuk membangun sebuah jaringan antara perempuan di parlemen, diantara pimpinan partai politik, diantara pimpinana organisasi-organisasi massa dan pihak-pihak terkait lainnya untuk meningkatkan dan memperkuat upaya keras mereka. Secara umum, organisasi-organisasi ini setuju untuk memperjuangkan kuota bagi representase perempuan. Kemudian, dengan tampilnya Megawati di panggung politik dan berhasil menjadi presiden juga bukan serta merta menunjukkan panggung politik kita sudah permisif terhadap perempuan. Apalagi ditambah dengan keberhasilan memasukkan kuota 30 perempuan dalam lembaga politik formal suatu proses perjuangan yang telah dicapai. Kuota 30 perempuan diatur dalam Pasal 65 ayat 1 UU No.12 Tahun 2003 yang tujuannya adalah perubahan sosial agar partai mau mencantumkan anggota perempuannya. Dengan dicantumkannya anggota perempuan dari suatu partai, mau tidak mau partai itu sebelumnya harus memberdayakan dan meningkatkan kualitas anggota perempuannya. Bukan hanya itu saja selama pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono sudah empat 4 perempuan menjabat sebagai menteri diantaranya, Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan, Menteri Peranan Wanita, Menteri Industri dan Perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan sangat besar bagi pembangunan suatu bangsa. Perempuan pada masa ini sudah bisa berkiprah di berbagai sektor karena perempuan mempunyai potensi yang tidak kalah jauh dari kaum laki-laki. Perempuan bisa menikmati fasilitas-fasilitas yang diberikan negara tanpa ada suatu pendiskriminasian. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan