BAB III ANALISIS
1. GENDER
Perempuan sebagai komponen bangsa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan komponen-komponen yang ada di negara ini. Kaum
perempuan dimanapun di dunia ini telah terlanjur dijadikan manusia kelas dua dalam bidang kehidupan. Sudah terlalu banyak contoh yang dibeberkan mengenai
diskriminasi terhadap perempuan, mulai dari tidak diberi suara dalam pemilihan umum hingga mendapat upah kerja yang lebih kecil dari pada jumlah yang
diterima oleh lawan jenisnya untuk pekerjaan yang sama. Upaya untuk mencapai kesetaraan dalam berbagai bidang kehidupan telah banyak dilakukan namun
hasilnya masih jauh dari harapan. Dalam wacana perempuan dan analisis tentang isu-isu hubungan antara
pria dan perempuan dalam mengupayakan terwujudnya hasil-hasil pembangunan nasional, telah lahir kebutuhan untuk menggunakan suatu istilah yaitu gender.
Secara historis, konsep Gender pertama kali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley yaitu ia membedakan antara gender dan seks. Perbedaan seks
berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Perbedaan gender adalah
perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak
selalu identik dengannya. Jadi kelihatan di sini gender lebih mengarah kepada simbol-simbol sosial yang diberikan pada suatu masyarakat tertentu.
83
83
Harmona Daulay, Op.cit., hal.3-4.
Banyak orang menjadi racun setelah membaca definisi tentang berbagai pengertian gender. Sebenarnya, gender sebagai konstruksi sosial tidak perlu
dipermasalahkan kalau itu tidak menimbulkan diskriminasi dan ketidak-adilan terhadap salah satu jenis kelamin manusia. Namun pada kenyataannya acapkali
pembedaan terhadap laki-laki dan perempuan melahirkan peran gender, yaitu pembagian tugas yang lebih banyak merugikan perempuan di dalam masyarakat.
Padahal pembatasan dan pembagian peran gender tidak menunjukkan suatu kejelasan yang pasti tentang manakah yang seharusnya menjadi peran dan tugas
untuk laki-laki karena sebenarnya pembagian peran dan tugas itu bisa dilakukan oleh keduanya.
Dengan adanya pembagian tugas yang baik dan seimbang tidak mengabaikan hak baik perempuan maupun laki-laki gender tidak menjadi suatu
masalah, sebab peran perempuan dan laki-laki akan menguntungkan kedua belah pihak.
Gender menjadi masalah antara lain apabila :
• Perempuan tidak bisa berkembang karena hanya diberi peran dalam urusan
rumah tangga dan tidak diberi kesempatan serta peluang untuk peluang untuk peran-peran yang produktif.
• Laki-laki dibebani pekerjaan, tugas, tanggungjawab yang terlalu berat dan
dituntut untuk lebih mampu dan lebih kuat dalam banyak hal.
• Anak perempuan tidak memdapat pendidikan formal yang sama tingginya
seperti yang diterima oleh anak laki-laki dengan berbagai macam alasan.
• Perempuan menjadi tergantung kepada nafkah suami sehingga tidak
memiliki ketrampilan dan pengalaman yang sebanding dengan laki-laki.
• Dalam keluarga kurang mampu, perempuan melakukan pekerjaan ganda
baik mengurusi pekerjaan rumah tangga maupun mencari nafkah dengan keterampilan dan pengetahuan yang terbatas.
• Potensi dan bakat yang dimiliki perempuan kurang mendapatkan
wadahnya.
• Menimbulkan ketidak-adilan dan diskriminasi terhadap perempuan
maupun laki-laki.
• Belum memasyarakatkannya konsep pemikiran tentang perlunya
kesetaraan dan keadilan gender.
• Masih terdapat kebiajkan perangkat hukum dan perundang-undangan yang
bias gender Kondisi sebagaimana disebutkan di atas telah menimbulkan diskriminasi
baik terhadap perempuan maupun laki-laki sehingga mengakibatkan terjadinya pembakuan peran gender di dalam masyarakat serta terjadinya ketidak-adilan
yang berbentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan dan beban kerja ganda yang dialami oleh kedua jenis kelamin mausia itu.
Dalam mengkaji profil perempuan Indonesia dan permasalahannya, sebenarnya ada tiga hal yang perlu kita perhatikan.
84
84
Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, Yogyakarta : Kanisius, 1997, hal.62.
Pertama, bahwa Indonesia adalah suatu negara yang pluralistik dari segi etnik dan kebudayaannya. Kedua,
adanya pluralisme etnik dan kebudayaan itu maka tidak mungkin kita secara ad hoc membuat suatu pendapat yang menggeneralisasi bahwa perempuan Indonesia
sejak semula memiliki kedudukan yang rendah tanpa kita mempelajari kedudukan perempuan dalam konteks kebudayaan dari tiap-tiap suku bangsa yang hidup di
bumi nusantara ini. Ketiga, situasi dilematis saat ini dihadapi oleh perempuan Indonesia merupakan hasil dari suatu proses interaksi dari berbagai faktor sosial
dan politik yang berkembang di negara kita.
1.1. Gender Pada Masa Orde Lama
Berkat cambukan Sukarno sendiri, sehingga kaum perempuan Indonesia giat berpartisipasi dalam perang kemerdekaan nasional. Namun sesudah
kemerdekaan tercapai, berlangsunglah proses pemulihan kembali kekuasaan kaum laki-laki. Selama tahun-tahun pertama pemerintahan Sukarno, kaum perempuan
selalu menjadi subjek yang vokal di tengah percaturan politik Indonesia, dengan menyerang hak prerogatif laki-laki berpoligini. Perjuangan mereka kalah, karena
tak lain Presiden Sukarno sendiri yang menuntut hak beristri lebih dari satu orang. Kedua, sebagian dari gerakan ini, itulah Gerakan Wanita Indonesia, menuntut
tempat di tengah gelanggang politik bagi kaum perempuan. Pada masa Sukarno, tampak adanya suatu diskriminatif dalam bidang
tenaga kerja seperti yang tertuang dalam Undang-undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948 yang berhubungan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 yaitu:
Adanya larangan kerja pada malam hari. Larangan ini menunjukkan bahwa peran perempuan masih mendominasi sebagai ibu rumah tangga. Namun, larangan ini
juga bersifat perlindungan bagi perempuan.
1.2. Gender Pada Masa Orde Baru
Pada masa kekuasaan Suharto, negara menjadi sponsor berdirinya organisasi-organisasi yang dapat mengatur peran perempuan dalam desain yang
telah disediakan oleh negara. Organisasi-organisasi baru seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga PKK didirikan untuk
menomor-duakan kembali kedudukan kaum perempuan. Peran gender yang memilah-milah peran perempuan dan laki-laki pada kenyataannya telah dibakukan
oleh negara dalam berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah Orde Baru. Kebijakan-kebijakan tersebut pada akhirnya hanya menyisakan
ketidakadilan pada perempuan. Dengan demikian, melalui hukum, negara melakukan peran gender. Hukum, dengan demikian, dipandang sebagai agen yang
menguatkan nilai-nilai gender yang dianut oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan negara untuk menjaga dan menjamin kepentingannya.
Kebijakan-kebijakan yang membakukan peran gender diantaranya adalah:
Pada masa Revolusi Hijau, yaitu pada Repelita I Tahun 1969-1974 dimana muncul kebijakan yang memarginalkan kaum perempuan pedesaan yang
awalnya memiliki peran penting sebagai petani kemudian digeser dengan munculnya alat-alat pertanian modern yang diasosiasikan dengan keahlian jenis
kelamin laki-laki. Revolusi hijau sebagai implementasi dari modernisasi pertanian telah
banyak merusak tatanan masyarakat dipedesaan. Pandangan ini apabila disikapi dari isu gender bahwa pembangunan pertanian telah menciptakan perubahan
struktur masyarakat. Jika sebelum modernisasi pertanian diintrodusir ke tengah masyarakat pedesaan pola hubungan antara pria dan perempuan bersifat hubungan
kesetaraan gender atau keseimbangan gender tetapi setelah modernisasi diterapkan maka dalam perspektif sosiologis hubungan struktural berubah menjadi
ketimpangan gender. Artinya adanya hubungan dominasi dan subordinasi antara pria dan perempuan didalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat termasuk
dalam aktivitas pertanian. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa revolusi hijau telah mendatangkan
kemajuan yaitu tercapainya produksi pertanian yang mencapai puncaknya yaitu swasembada pangan. Namun dibalik kesuksesan ini semua harus dibayar dengan
penderitaan para petani yang sangat diuntungkan oleh pembangunan ini selebihnya banyak petani miskin yang tersingkir karena tidak siap menerima
perubahan yang ditimbulkan oleh modernisasi. Adapun modernisasi di bidang pertanian dengan revolusi hijaunya telah
menyebabkan beberapa masalah di dunia ketiga, khususnya Indonesia seperti : 1.Peningkatan jumlah pengangguran.
2. Merosotnya nilai-nilai tradisional dan bentuk ikatan lainnya. 3. Norma-norma saling membutuhkan dan ketergantungan yang hidup dipedesaan
mulai menghilang. 4. Terjadinya polarisasi sosial dan
5. Terjadinya penurunan status wanita di pedesaan.
Pada tahun 1974 negara mulai mengatur perempuan baik lewat perangkat ideologi, hukum dan kelembagaan yang menunjukkan kaum perempuan pada
tatanan sosial yang diskriminatif dan eksploratif, hukum juga mencerminkan suatu standart nilai dan moral tertentu dari masyarakat yang bersangkutan pada
saat hukum itu diciptakan. Integrasi konsep pembakuan peran dalam kebijakan
tentang perkawinan yaitu melalui UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal-pasal yang bersifat diskriminasi terhadap perempuan :
Tentang Poligami
85
• Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
Pasal 3 2 , Pasal 4 dan 5 UUP tentang izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang poligami yang hanya dapat dilakukan dengan izin
pengadilan. Dalam Pasal 4 2 ditentukan bahwa izin hanya diberikan kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila:
• Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
• Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 3 2 jelas bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 3 1 yang menentukan bahwa asas perkawinan adalah monogami. Perkawinan poligami
mengakibatkan konsekuensi emosional dan finansial pada perempuan dan anak- anak terutama apabila perempuan tidak mempunyai penghasilan sendiri.
Perkawinan poligami bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi yang ditentukan dalam Pasal 1 Konvensi Wanita. Pasal 4 2 UUP jelas merupakan
suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan, karena hanya dibebankan kepada perempuan. Pengaturan mengenai poligami ini tidak hanya menunjukkan bahwa
institusi perkawinan posisi tawar perempuan lebih rendah dibanding laki-laki tetapi juga menunjukkan bahwa negara jelas-jelas telah melegitimasi nilai-nilai
gender perempuan yang hidup dalam masyarakat.
85
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.303.
Dan berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam prakteknya Pasal 5 1 tidak dilaksanakan secara konsekuen oleh suami. Akibatnya ialah
keterlantaran keluarga, fisik, emosional dan finansial, terutama dampak pada perkembangan anak-anaknya. Tidak ada sanksi bagi seorang suami yang ingkar
melakukan kewajibannya berlaku adil dan menjamin kehidupan istri istri-istri dan anak-anak.
Dalam praktek, pada Pasal 31 3 mempunyai dampak yang merugikan perempuan. Beberapa contoh: a di dunia kerja, perempuan kawin dan
berkeluarga dianggap sebagai lajang, sehingga ia tidak mendapat tunjangan keluarga dan dalam banyak hal tidak menikmati fasilitas yang diberikan
perusahaan bagi laki-laki yang kawin dan berkeluarga; b perempuan kawin dan berusaha tidak mudah mendapat pinjaman modal dari bank, kecuali apabila ia
disertai oleh suaminya; c pemilikan atas tanah dan properti. Pasal 31 3 seharusnya dilihat sebagai peran dan kedudukan yang
seimbang. Ayat ini seharusnya tidak dilihat terpisah dari ayat 1 dan 2 , tetapi harus dilihat secara holistik.
Selain itu, misalnya pasal-pasal yang ada dalam hukum perdata yang berkaitan dengan perempuan. Jika dilihat pada pasal-pasal tersebut akan tampak
dengan jelas bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata tersebut didasarkan pada pandangan bahwa perempuan adalah lemah.
86
Bahkan, anak yang dilahirkannya pun dapat diingkari oleh suaminya. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa hukum telah sepenuhnya memberikan
Karena itu, harus dilindungi oleh suaminya sehingga ia pun harus selalu patuh kepada kehendak suaminya.
86
T.O.Ihromi, Op.cit., hal.83.
hak dan perlindungan kepada kaum perempuan. Beberapa ketentuan di dalamnya jelas telah mengadopsi nilai-nilai budaya patriarki dan mendiskriminasikan
perempuan tidak saja terhadap laki-laki, tetapi juga terhadap sesama perempuan dan anak-anak dilahirkannya.
Dalam KUH Pidana khususnya dalam ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perempuan, kaum perempuan hanya dilihat secara parsial, yakni hanya
melindungi bagian-bagian tertentu dari tubuhnya baca : vaginanya . Bahkan, beberapa pasalnya berangkat dari suatu asumsi bahwa perempuan itu lemah dan
berada dalam satu tarikan nafas dengan anak-anak laki-laki. Suami adalah pelindung dan perempuan harus selalu patuh kepada keinginan seksual
suaminya. Perempuan juga tidak punya kontrol terhadap tubuhnya sendiri. Masyarakat juga menjaga agar virginitas dan kesuciannya tetap terpelihara.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan
Perceraian Pegawai Negeri Sipil, peraturan pemerintah ini merupakan peraturan
pelaksana dari Undang-undang Perkawinan yang khusus diberlakukan kepada Pegawai Negeri Sipil dan merupakan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983. Peraturan Pemerintah ini lebih menegaskan asas monogami terbuka. Akan tetapi, secara tidak konsisten Peraturan Pemerintah
melarang perempuan pegawai negeri sipil menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat dengan asumsi akan merusak citranya sebagai pegawai negeri sipil dan
perempuan.
Ketentuan dalam hukum pajak misalnya Undang-undang No.7 Tahun 1991
mengemukakan bahwa penghasilan suami dan isteri dikenakan pajak secara terpisah bila suami dan isteri tinggal terpisah atau bila ada perjanjian waktu
mereka akan melaksanakan pernikahan mereka tentang pemisahan harta antara mereka. Dalam hal-hal di luar kondisi itu, seorang wanita kawin yang menjadi
pengusaha harus melaporkan pajak penghasilannya melalui nomor pokok wajib pajak NPWP suaminya.
87
Ketentuan ini tidak mendorong wanita pengusaha untuk dapat mengembangkan usahanya secara maksimal. Ini sering juga tidak memungkinkan wanita pengusaha
membuka rekening koran atas nama sendiri, karena ada syarat pemegang rekening harus mempunyai NPWP. Aturan lain, yang dalam kenyataan diberlakukan oleh
hampir semua unit usaha adalah wanita kawin yang bekerja diberi status lajang. Akibatnya, wanita tidak menerima tunjangan-tunjangan seperti yang akan
diterimanya bila dia seorang pria.
Sepanjang GBHN 1978-1998, kata ‘kodrat’ tetap hadir dalam teks. Dengan konsep peran ganda yang dianut negara, dapat disimpulkan bahwa ’kodrat’
dimaknai tidak hanya sebatas kemampuan biologis perempuan tetapi juga peran-peran reproduksi sosial. Jadi, dapat dideteksi adanya gagasan-gagasan
mengenai pembakuan peran gender dalam GBHN. Oleh karena itu, pelestarian konsep kodrat sebagai dasar kebijaksanaan pengembangan kehidupan
perempuan Indonesia selain tidak valid lagi juga terasa sebagai suatu konsep yang elitis.
87
http:lbh-apik.or.idpenelitian-pembakuan-peran.htm , diakses 30 September 2008.
Adanya beberapa ketentuan yang rumusannya secara jelas mengindikasikan
adanya pembedaan terhadap tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan
88
a Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1967- sistem pengupahan bagi
tenaga kerja di perusahaan menyatakan bahwa istri dan anak-anak diakui sebagai tanggungan tenaga kerja laki-laki. Oleh sebab itu,
tenaga kerja perempuan yang menikah dianggap lajang sedangkan suami tidak dianggap sebagai tanggungan.
:
b Peraturan Menteri No.2PMMining tahun 1971 menyatakan
bahwa seluruh perempuan menikah yang bekerja di perusahaan pertambangan negara dan perusahaan pertambangan asing diakui
sebagai lajang dan seluruh penghasilan akan diberikan kepada mereka dan bukan kepada keluarganya. Perempuan menikah akan
dianggap sebagai pencari nafkah utama hanya bila dinyatakan sebagai janda atau jika suaminya tidak mampu untuk bekerja.
1.3. Gender Pada Masa Reformasi
Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya
pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di
sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dibanding masa-masa akhir rezim Orde Baru. Namun, secara kualitatif, peran
88
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan Gender, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal.457.
perempuan itu semakin diperhitungkan juga di pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi kabinet sekarang. Ini dapat digunakan untuk
menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki.
Saat ini perempuan berada di bawah himpitan globalisasi, kapitalisme dan modernisasi. Tuntutan akan perubahan gaya hidup, tingginya kebutuhan akan
keping-keping uang, konsumtivisme, memunculkan tekanan-tekanan hebat bagi individu dalam keluarga, yang berakhir dengan munculnya bermacam bentuk
kekerasan dalam rumah tangga. Demikian pula dengan persoalan yang dihadapi para buruh perempuan. Kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual
dan PHK sepihak yang mereka alami, merupakan bentuk nyata penjajahan dari para pemilik modal
2. NEGARA