Perempuan dan Politik (Studi Penetapan Kuota 30% Calon Anggota Legislatif Perempuan oleh PNI Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia di Kota Medan).

(1)

Skripsi

PEREMPUAN DAN POLITIK

(Studi Penetepan Kuota 30% Calon Anggota Legislatif Perempuan oleh Partai PNI Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia di Kota Medan)

D I S U S U N

Oleh :

Nama : Eka Parinduri A

Nim : 050906025

Dosen Pembimbing : Muryanto Amin, S.sos. M.SP Dosen Pembaca : Dra. T.Irmayani, M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

Perempuan dan Politik

(Studi Penetapan Kuota 30% Calon Anggota Legislatif Perempuan oleh PNI Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia di Kota Medan)

Nama : Eka Parinduri A Nim : 050906025 Departemen : Ilmu Politik

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRAK

Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian. Meskipun penyertaan 30% keterwakilan perempuan sudah dinyatakan dalam undang-undang sebagai persyaratan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu, namun masih ada juga partai politik yang dapat mengikuti pemilu meskipun tidak menyertakan 30% keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif. Hal ini terjadi pada Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia.

Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif dengan teknik analisis data berbentuk wawancara pengurus-pengurus partai supaya mengetahui mengapa PNI Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia tidak memenuhi kuota 30% perempuan pada pemilu legislatif.

Hasil yang diproleh dari penelitian ini adalah tidak terpenuhinya kuota 30% perempuan oleh PNI Marhaenisme dan Partai Serikat Indonesia karena perempuan yang telah direkrut dan dikader oleh partai masih cenderung terikat pada norma agama dan budaya patrirki yang menganggap bahwa perempuan itu tidak memiliki kodrat untuk memimpin. Selain itu perempuan juga cenderung tertutup dan tidak membuka diri untuk menunjukkan kemampuannya dalam upaya melakukan persaingan di dunia politik.


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAKSIi ... ii

DAFTAR ISI ... iii

Bab I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Kerangka Teori ... 10

E.1. Gender ... 10

E.2. Femenisme ... 13

E.2.1. Feminisme Liberal ... 15

E.2.2. Femenisme Radikal ... 20

E.2.3. Affirmative Action ... 24

F. Defanisi Konsep ... 25

F.1. Konsep Operasional ... 26

I. Keterwakilan Perempuan ... 26

II. Tindakan Affirmasi ... 27


(4)

G.1. Jenis Penelitian ... 28

G.2. Lokasi Penelitian ... ... 28

G.3. Teknik Pengumpulan Data ... ... 28

G.4. Teknik Analisa Data ... 29

G.5. Sistematika Penelitian ... ... 30

Bab II :KONTEKS HISTORIS PENETAPAN 30% KUOTA CALON LEGISLATIF PEREMPUAN A. Proses Keluarnya Penetapan 30% Kuota Perempuan ... 32

B. Sistem Zipper Dalam Penentuan Caleg ... 39

C. Keputusan Mahkamah (MK) Konstitusi Batalkan 30% Kuota Perempuan ... 43

Bab III: Pemahaman Tentang Kesetaraan dan Keadilan dari Penerapan Kuota 30% Perempuan A. Keterwakilan Perempuan ... 54

A.1. Budaya Masyarakat... 57

1. Adanya Klaim atau Pendapat Yang Mengatakan bahwa Perempuan sebagai Kaum Nomor Dua dan Laki-Laki Sebagai Kaum Nomor Satu ... 57


(5)

2. Adanya Anggapan yang Mengatakan bahwa Perempuan

sebagai Kaum yang Irrasional ... 61

3. Adanya Streotip bahwa Dunia Politik Milik Kaum Laki-Laki ... 64

A.2.Analisis Hambatan Partai Nasional Indonesia

Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia

dalam Memenuhi Kuota 30% Perempuan ... 67

B. Persepsi Tentang Kesetaraan dan Keadilan

Oleh Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

dan Partai Serikat Indonesia ... 75

C. Analisis Kesetaraan dan Keadilan Pemenuhan Kuota 30%

Perempuan oleh Partai Politik dalam aliran Femenisme ... 82

Bab IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 89


(6)

Perempuan dan Politik

(Studi Penetapan Kuota 30% Calon Anggota Legislatif Perempuan oleh PNI Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia di Kota Medan)

Nama : Eka Parinduri A Nim : 050906025 Departemen : Ilmu Politik

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRAK

Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian. Meskipun penyertaan 30% keterwakilan perempuan sudah dinyatakan dalam undang-undang sebagai persyaratan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu, namun masih ada juga partai politik yang dapat mengikuti pemilu meskipun tidak menyertakan 30% keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif. Hal ini terjadi pada Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia.

Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif dengan teknik analisis data berbentuk wawancara pengurus-pengurus partai supaya mengetahui mengapa PNI Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia tidak memenuhi kuota 30% perempuan pada pemilu legislatif.

Hasil yang diproleh dari penelitian ini adalah tidak terpenuhinya kuota 30% perempuan oleh PNI Marhaenisme dan Partai Serikat Indonesia karena perempuan yang telah direkrut dan dikader oleh partai masih cenderung terikat pada norma agama dan budaya patrirki yang menganggap bahwa perempuan itu tidak memiliki kodrat untuk memimpin. Selain itu perempuan juga cenderung tertutup dan tidak membuka diri untuk menunjukkan kemampuannya dalam upaya melakukan persaingan di dunia politik.


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Bahkan dalam Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 dijamin hak setiap warga negara dalam politik tanpa kecuali. Ketentuan perundang-undangan melindungi siapapun warga negara itu memiliki hak yang sama untuk menjadi seorang kandidat atau wakil rakyat (“right to vote and right to be candidate”)1. Hal ini dapat kita lihat dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28-D ayat (3) yang menyebutkan : “setiap warga negara berhak memproleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Perempuan pun memiliki hak sama besar dengan laki-laki dalam tiap peri kehidupan di Indonesia. Namun kenyataan yang ada dan berbagai hambatan sistemik maupun kultural jelas-jelas menghambat kemajuan peran perempuan untuk maju ke area publik, minimal untuk mewakili golongannya.

1

Dapat dilihat pada : http://kompas.com/2005/02.

Transisi demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, membangkitkan tuntutan yang lebih luas atas peningkatan kehidupan politik bagi setiap warganegara. Dalam kaitan ini terjadi tarik menarik dan proses negosiasi yang ketat antara ideologi politik dominan dengan aspirasi yang berkembang. Misalnya, saja dalam menetapkan wakil-wakil rakyat di setiap partai politik,


(8)

perempuan masih di tetapkan pada nomor paling bawah. Hal ini menandakan masih adanya hegemoni kaum laki-laki untuk tetap menguasai di parlemen.

Dunia politik di Indonesia identik dengan dunia laki-laki atau politik maskulin. Hal ini terjadi karena politik dianggap suatu kegiatan kekuasaan yang dianggap kotor, penuh intrik dan tidak pantas dimasuki oleh kaum perempuan. Politik menjadi suatu kegiatan yang identik dengan kekuasaan yang bersifat negatif, kesewenangan, kekerasan, pengerahan massa dan kompetisi, dimana kondisi-kondisi itu tidak melekat dalam diri perempuan yang mengutamakan perdamaian. 2

2

Harmona Daulay, Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan : USU Press, 2007, hal. 34.

Isu politik begitu penting untuk perempuan, tidak lain karena perempuan adalah bagian terbesar/mayoritas di negeri ini, sedangkan hak-hak mereka sebagai warga negara yang sah belum mendapat perhatian selayaknya, disamping itu mereka terus menerus dipinggirkan (dimarjinalkan) di dalam proses-proses pembuatan keputusan. Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan terhadap permasalahan politik sangatlah diperlukan. Hal ini disebabkan apabila keterwakilan di lembaga politik formal diserahkan kepada laki-laki sebagai wakil perempuan akan menghasilkan bias gender. Hal ini terjadi karena sangat kecil peluang laki-laki yang bisa memperjuangkan hak perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa yang dirasakan oleh perempuan.

Masalah keterwakilan politik ( political representativeness) bagi

perempuan adalah suatu hal yang sangat cukup penting, khususnya dalam peristiwa penting dan besar seperti pemilu. Alasan mendasar bagi tuntutan


(9)

representatif politik yang lebih adil ini seperti “Gender sebagai suatu kategori politik yang penting yang harus terwakili secara penuh dalam institusi-institusi pemerintahan” Apapun pilihan politiknya, kaum perempuan memiliki hak untuk diwakili hanya oleh perempuan. Keterwakilan perempuan hanya oleh perempuan adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar, karena laki-laki tidak akan pernah bisa memahami kepentingan dan nilai-nilai yang dipahami dan dipercaya oleh kaum perempuan.3

Rendahnya keterwakilan perempuan dalam struktur politik formal atau di arena pembuat keputusan publik disegala tingkatan di Indonesia menjadi persoalan penting bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingannya. Situasi ini dapat dicermati dari persentasi keterwakilan perempuan dilembaga legisltif periode 1999-2004 berturut-turut adalah DPR 8.8%, DPRD Propinsi 6%, dan DPRD Kabupaten/Kota 2%. Keterwakilan perempuan dalam Badan Perwakilan Desa (BPD) juga menunjukkan angka yang cukup rendah yaitu 2%.4

Pada Pemilu 2004 yang lalu dan telah membangkitkan gairah baru bagi perempuan untuk lebih lagi berkiprah dalam dunia politik. Gairah ini sebetulnya telah dimulai saat pemilu 1999 diselenggarakan, dimana berbagai kelompok perempuan telah berperan aktif dalam melakukan pendidikan pemilih yang antara lain mengkampanyekan agenda politik perempuan dan strategi dasar

3

Ani Widyani Sociepto, Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen, dikutip dari Alida Alida Brill A Rising Pulbic Voice : Women In Politics World Wide, New York : The Feminist, 1995. hal. 188-190, dalam Julia I. Suryakusumah, Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta : Yayasan API. 2001. hal. 235.

4

Indriyati Suparno, dkk., Masih Dalam Posisi Pinggiran, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal. 1.


(10)

meningkatkan keterwakilan perempuan dilembaga-lembaga pengambilan keputusan.5

Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,27%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%).

Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu mengamanatkan perlunya pendidikan politik dan memperhatikan kesetaraan gender. Hal demikian ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia.

Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, serta lingkungan, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian.

5

Himawan S. Pambudi, Menuju Demokrasi Terkonsilidasi, Yodyakarta : Lappera Pustaka Utama, 2003, hal 21


(11)

Sehubung dengan kesetaraan gender tersebut, pada UU No 2 Tahun 2008 telah ditentukan secara tegas mengenai porsi keterwakilan perempuan dalam kepengurusan suatu partai politik. Sementara pada UU No.10 Tahun 2008 memiliki prinsip yang sama, adanya affirmative action dimana minimal harus terdapat 30 persen perempuan calon legislatif. Dengan demikian dapat dikatakan UU No.2 Tahun 2008 dan UU No.10 Tahun 2008 merupakan media hukum yang revolusioner dibidang politik di Indonesia.

Lahirnya pengaturan prinsip keterwakilan perempuan atau bisa disebut juga sistem kuota perempuan, bersumber dari ketidakpuasan beberapa kalangan. Hal itu khususnya dari kelompok feminis ysng melihat betapa memprihatinkan porsi atau persentase kalangan perempuan di dunia politik dan partai politik. Kalangan perempuan dilingkungan atau bisa dikatakan dengan istilah feminis partai politik terdiri dari aktivis partai politik, pengurus partai politik, calon legislatif (caleg) dan anggota legislatif (parlemen) dari kaum perempuan.

Dengan sistem kuota sedikitnya 30% perwakilan perempuan Indonesia dalam pengambilan keputusan diharapkan akan membawa perubahan pada kualitas legislasi berperspektif perempuan dan gender yang adil; perubahan cara pandang dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara-cara anti kekerasan; perubahan kebijakan dan peratura undang-undang yang ikut memasukan kebutuhan kebutuhan perempuan sebagai bagian dari agenda nasional dan membuat perempuan berdaya untuk terlibat dalam berbagai permasalahan yang selama ini tidak mendapat perhatian di Indonesia, yang sensitif gender.


(12)

dalam Pemilu 2004, maka Pemilu 2009 dianggap penting dalam rangka tindakan affirmasi sekaligus memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan berkiprah dalam politik. Basis pemikiran lainnya adalah keyakinan bahwa sangatlah penting bagi perempuan untuk meningkatkan partisipasi politiknya baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Maju ke ruang publik dan menduduki tempat-tempat strategis pengambilan keputusan adalah satu-satunya cara agar kepentingan perempuan tercapai.

Dalam Pemilu calon legislatif 2009 yang telah diselenggarakan 9 April lalu, di Kota Medan terdiri dari 5 daerah pemilihan ( Dapil) yang diikuti oleh 38 partai nasional. Dari 38 partai yang ikut ada beberapa partai yang tidak mengikutkan perempuan dalam daftar calon legislatif bahkan ada partai yang ikut dalam pemilu namun tidak terdapat satu nama yang dicalonkan sebagai calon anngota legislatif kota Medan. Hal ini dapat kita lihat pada Partai Penegak Demokrasi Indonesia yang tidak mencalonkan satu namapun sebagi calon legislatif pada 5 daerah pemilihan kota Medan,sementara itu ada beberapa partai yang hanya mencalonkan laki-laki saja dalam beberapa daerah pemiliha seperti Partai Serikat Indonesia (Dapil 4 dan 5), Partai Kedaulatan (Dapem 1), Partai Persatuan Daerah (Dapil 5), dan PNI Marhaenisme (Dapil 1).6

Penetapan kuota 30% calon legislatif perempuan tahun 2009 di Kota Medan tidak tercapai, ini terlihat dari masih ada beberapa daerah pemilihan yang tidak terpenuhinya kuota 30% perempuan oleh partai politik di Kota Medan terutama oleh Partai PNI Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia. Maka dengan

6


(13)

demikian dapat dilihat implementasi kuota perempuan 30% Kota Medan belum tercapai.

B. Perumusan Masalah

Undang-undang no.10 Tahun 2008 tentang pemilu dalam pasal 8

menyatakan bahwa salah satu syarat partai politik untuk dapat mengikuti pemilu adalah menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik. Kemudian dalam pengajuan calon anggota legislatif, pada pasal 52 menyatakan bahwa partai politik harus memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.

Meskipun penyertaan 30% keterwakilan perempuan sudah dinyatakan dalam undang-undang sebagai persyaratan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu, namun masih ada juga partai politik yang dapat mengikuti pemilu meskipun tidak menyertakan 30% keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif. Hal ini terjadi pada Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia.

Berdasarkan data-data tersebut dapat kita lihat bahwa Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia yang masih kurang memperhatikan pentingnya peranana perempuan dalam politik. Selain itu juga dapat dilihat bahwa Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Dan Partai Sarikat Inonesia tidak mematuhi ketetapan 30% peran perempuan yang telah diatur oleh Undang-Undang No 10 tahun 2008 sebagi prasyarat partai politik untuk ikut dalam peserta pemilu 2009.


(14)

meneliti dan ingin mengetahui keputusan yang diambil oleh partai politik dalam menerapkan ketentuan 30% kuota perempuan yang ditetapkan dalam UU No.10 Tahun 2008, khususnya untuk calon anggota legislatif perempuan dalam pemilu.

Adapun yang menjadi rumusan pertanyaan penelitian yaitu :

1. Mengapa Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia Kota Medan tidak memenuhi 30% kuota perempuan calon legislatif pada pemilu 2009?

2. Bagaimana pandangan pimpinan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia tentang kesetaraan dan keadilan perempuan dalam politik?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui cara dan peran partai politik dalam menerapkan ketentuan 30% calon anggota legislatif perempuan dalam Pemilu 2009 untuk DPRD Kota Medan.

2. Untuk mengetahui tingkat komitmen partai politik dalam meningkatkan peran perempuan di partai politik.

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah

1. Secara akademisi, dapat menjelaskan fenomena tentang rekrutmen caleg perempuan yang dilakukan partai politik atas basis gender.


(15)

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang persoalan-persoalan yang muncul untuk meningkatkan peran perempuan dalam partai politik.

3. Secara umum penelitian ini berguna sebagai pengetahuan, wawasan, dan pengalaman dalam melihat sejauhmana sebenarnya fungsi dan peran perempuan dalam bidang politik.

E. Kerangka Teori

Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam penelitian adalah menyusun kerangka teori, karena teori berfungsi sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menerangkan dan menganalisa masalah yang dipilih.

Teori adalah rangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.7

E.1. Gender

Secara etimologis, gender berasal dari bahasa Latin ( Italia) yaitu Genus yang berarti tipe atau jenis. Perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan yang berproses pada budaya dan menciptakan perbedaan gender. Gender dapat diarikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, dan status antara laki-laki dan

Dalam hal ini, kerangka teori yang menjadi landasan befikir yang digunakan penulis dalam penelitian adalah :

7


(16)

perempuan yang tidak berdasarkan biologis tetapi berdasarkan pada relasi sosial-budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas.8

Sebagai contoh, pembagian kerja seksual dirumah tangga yang berlaku umum paling tidak ditingkat ideologi tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga, tugas laki-laki adalah mencari nafkah, berada dalam konteks gender. Dengan kata lain pembagian kerja seksual yang menempatkan perempuan hanya disektor domestik, sedangkan laki-laki disektor publik yang berada dalam lingkup

Perbedaan krusial antara seks dan gender adalah kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya dan psikologis, maka seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi fisik dan anatomi biologis. Istilah seks (dalam kamus bahasa Indonesia berarti “Jenis Kelamin” ) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologis seseorang, meliputi komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainya.

Sesuai dengan defenisi diatas, konsep gender tampak berlaku fleksibel, berbeda-beda dalam ruang dan waktu dan bisa diubah. Identitas gender diproleh melalui proses belajar, proses sosialisasi, dan melalui kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Karena itu tidak heran apabila identitas gender telah memberi label tentang jenis pekerjaan yang boleh atau layak dan tidak boleh atau tidak layak dilakukan oleh jenis kelamin tertentu.

8

Leo Agistino, Perihal Ilmu Politik; Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, hal.229


(17)

pemahaman gender. Peran gender yang seperti ini menimbulkan ketidakadilan terutama bagi perempuan.

Oakley ( 1972 ) menyatakan dalam Sex, Gender and Society memberi makna gender sebagai perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis jenis kelamin (sex) merupakan kodrat tuhan dan oleh karenanya secara permanen dan universal berbeda. Sementara Gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed yakni perbedan yang bukan kodrat atau bahkan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum lelaki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.

Hilary M. Lips, mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya : Perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri dan sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

Hilary M. Lips dan S.A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai fungsi yang sama. Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian, keharmonisan daripada persaingan. Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai peramu.

The Oxford Encyclopedia Of The Modern World (Esposito, 1995) menyatakan, gender adalah pengelompokan individu dalam tata bahasa yang digunakn untuk menunjukan ada tidaknya kepemilikan terhadap satu ciri jenis


(18)

kelamin tertentu.

E.2. Feminisme

Feminisme lahir akibat dari ketidakadilan dalam struktur sosial antara laki dan perempuan yang kemudian termanifestasikan melalui kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Aliran ini mempersoalkan ketidakadilan gender melalui analisis di berbagai bidang kehidupan secara kritis.9

Kesadaran akan adanya ketidakadilan terhadap kaum perempuan

sebenarnya telah lama terjadi. Kaum perempuan sudah lama melakukan perjuangan membebaskan diri dari ketidakadilan. Tetapi pada waktu itu belum ada istilah feminism (femenisme). Istilah itu mulai disosialisasikan oleh majalah Century pada musim semi pada tahun 1914.10

Kata feminisme yang berasal dari bahasa Perancis pertama kali digunakan pada tahun 1880-an, untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Hubertine Auclort adalah pendiri perjuangan politik perempuan yang pertama di Perancis, dalam salah satu publikasinya menggunakan kata femenisme dan femeniste. Sejak itulah feminisme tersebar diseluruh Eropa dan sampai AS, melalui New York pada tahun 1906. Gerakan femenisme di New York diwarnai oleh perjuangan menuntut hak-hak perempuan sebagai warga negara, hak perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi.11

9

A. Nunuk Prasetyo Muniarti,Emansipasi: Tinjauan dari Teologi Perempuan, Magelang: Indonesiatera, 1995, hal.24

10

A. Nunuk Prasetyo Muniarti, Getar Gender, Magelang : Indonesiatera, 2004, hal.XXVIII

11

Ibid.


(19)

kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya dan juga praktik keagamaan. Kemunculan gerakan emasipatoris yang menanggapi masalah ini, yakni gerakan feminisme itu merupakan upaya untuk mendudukkan relasi yang setara antara perempuan dan laki-laki. Aliran ini mempersoalkan ketidakadilan gender melalui analisis berbagai bidang kehidupan. Gerakan ini bertujuan untuk mencapai keadilan dan perdamaian dalam kehidupan masyarakat secara luas.

Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan

dirugikan dalam semua bidang dan di nomor duakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat trdisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan dan diluar rumah, sedangkan kaum perempuan (domestik). Inti pandangan femenisme adalah bahwa setiap perempuan juga perlu mempunyai hak untuk dapat memilih apa yang menurutnya baik bukan yang ditentukan kaum laki-laki atau orang lain baginya sebagai perempuan.12

Teori feminisme tidak hanya satu melainkan banyak. Namun, hampir dari semua teori tersebut menjelaskan tentang penindasan terhadap perempuan, menerangkan sebab dan akibat serta strategi pembebasannya. Ada 2 teori yang membahas tentang feminisme yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal yang akan diuraikan sebagai berikut :

12

Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam buku Kajian Wanita dalam Pembangunan, oleh T.O. Ihromi (penyuting),hal.15-16.


(20)

E.2.1. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal secara sederhana adalah episteme dan gerakkan politik yang berupaya untuk menempatkan perempuan guna memiliki kebebasan secara dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional yang sama. Akar ketertindasan dan keterbelakangan perempuan menurut logika mereka adalah karena disebabkan kesalahan perempuan itu sendiri.13

Aliran ini muncul akibat kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendeskrisikan kaum perempuan. Oleh karena itu jalan keluar yang ditawarkan oleh aliran ini adalah perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa atau mampu bersaing diberbagai aspek kehidupan dalam persaingan bebas, sehingga mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki.

14

13

Leo Agistino, Op.Cit., hal 237-238

14

Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal.81

Teori feminisme liberal pertama kali dirumuskan oleh Mary Woolstonecraft (1759-1799) dalam tulisan “The Vindication of The Right Of Woman” dan Jhon Stuart Mill dalam tulisannya “ The Subjection of Women “, kemudian Betty Frei dan dalam tulisannya “The Feminim Mystique” dan “The Second State”. Mereka menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum adat sehingga menghalangi perempuan untuk masuk ke


(21)

lingkungan publik.15

Oleh karena itu ketika menyoalkan mengapa kaum perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hal itu disebabkan oleh kesalahan “mereka sendiri”. Dengan kata lain jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan maka jika kaum perempuan tidak mampu bersaing dan kalah yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan itu sendiri.

Pada intinya kaum feminisme liberal menganggap bahwa perempuan dan

Akar pemikiran ini muncul dari pengalaman perempuan yang secara

pribadi tidak bebas menentukan hidupnya. Sejak lahir dalam keluarga, pribadi perempuan telah diatur tergantung kepada bapak, abang, suami atau laki-laki yang lain. Bahkan negara juga mengatur dan memgontrol setiap pribadi perempuan. Dalih melindungi kaum perempuan yang terjadi justru perempuan tidak bebas secara individu.

Asumsi dasar pemikiran liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk didalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu pembedaan kesempataan antara laki-laki dan perempuan.

15

Siti Hidayati Amal, Beberapa Perspektif Feminisme Dalam Menganalisa Permasalahan Perempuan, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1995, hal 86.


(22)

laki-laki memang diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama pula untuk memajukan dirinya dalam berbagai hal oleh sebab itu aliran ini berupaya mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan dalam bebagai bidang. Melalui suatu perdebatan terbentuklah teorisasi feminisme secara jelas dan meyakinkan perdebatan “ persamaan dan perbedaan”. Persamaan dan perbedaan, keduanya adalah istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri. Orang-orang yang berkepentingan dalam menggambarkan posisi idiologi telah memetakan pencarian persamaan kedalam bentuk-bentuk feminisme radikal atau sosialis dan mencari perbedaan ke dalam bentuk feminisme radikal atau kultural.16

Salah satu tokoh feminisme liberal adalah Naomi Wolf, menurutnya feminisme liberal adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Bahwa kebebasan (freedom)

Kritik paling utama bagi feminisme liberal adalah bahwa feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan ideologi patriarki dan sama sekali tidak bisa menjelaskan akar ketertindasan perempuan. Feminisme liberal dianggap hanya mengatakan permasalahan pada perempuan selama ini adalah pada perempuan sendiri dan jalan keluarnya ialah perempuan harus membekali diri sendiri dengan pendidikan dan pendapatan. Teori ini tidak bisa melihat bahwa justru kaum perempuanlah yang merupakan golongan yang paling minim untuk mendapatkan akses pendidikan, baik karena biaya pendidikan yang mahal ataupun bentuk diskriminasi yang kerap terjadi.

16

Terjemahan dari buku: Judith Squires, Gender in Political Theory, Polity Press; USA, 1999, hal.115.


(23)

dan kesamaan (equaliy) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Menurut Wolf setiap manusia memiliki kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional.

Untuk itu, perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan laki-laki. Perempuanlah yang harus membekali dirinya dengan bekal pendidikan dan pendapatan (ekonomi). Setelah perempuan mempunyai kekuatan dari segi pendidikan, pendapatan, perempuan harus terus menuntut persamaan (equality) haknya serta saatnya perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki.

Femenisme liberal ini muncul pada abad 18, gerakannya menuntut

persamaan pendidikan bagi kaum perempuan dan laki-laki. Dasar pemikirannya, perempuan tidak mengetahui hak-haknya dibidang hukum karena rendahnya pendidikan. Oleh sebab itu asumsinya, apabila pendidikan perempuan meningkat maka mereka akan mudah diajak untuk menyadari hak-haknya.

Gerakan ini berkembang pada abad 19 dan mulai memperjuangkan hak-hak sebagai warga negara dan hak-hak dibidang ekonomi. Mereka menuntut kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Pada abad 20, tuntutan mereka berkembang menjadi tuntutan perlakuan yang sama terhadap perempuan dan laki-laki, yakni dihapuskannya diskriminasi terhadap perempuan. Dalam tradisi feminisme liberal penyebab penindasan perempuan dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok. Cara pemecahan untuk mengubahnya yaitu menambah kesempatan bagi


(24)

perempuan terutama melalui institusi-intitusi pendidikan dan partisipasi perempuan.

E.2.2. Feminisme Radikal

Feminisme radikal ini muncul pertama kali sejak pertengahan tahun 1970an dimana aliran ini menawarkan ideologi perjuangan “separatisme perempuan” pada sejarahnya aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 1960an, kegiatan utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah datu fakta dalam sistem masyarakat yang ada sekarang. Gerakan ini sesuai dengan namanya yang “radikal” aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriaki.

Beberapa tokoh aliran ini seperti Allison Jaggar dan Paula Rothenberg mengatakan bahwa perempuan berada di tempat penindasan yang paling bawah. Situasi ini digambarkan pada perempuan dalam sejarah digambarkan sebagai kelompok yang tertindas, penindasan terhadap perempuan tersebar luas ke berbagai kehidupan sosial, penindasan terhadap perempuan adalah paling dalam, dan tidak dapat digeser oleh perubahan sosial antar kelas, penindasan perempuan menyebabkan penderitaan secara kantitatif dan kualitatif walaupun penderitaan ini tidak selalu diakui dan diasadari baik oleh pelaku maupun korban, dan penindasan terhadap perempuan dapat memberikan konseptual model untuk mengetahui


(25)

bentuk penindasan lainnya.17

Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual dan biologis. Sehingga dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarki. Dengan demikian kaum laki-laki secara biologis maupun politisi adalah bagian dari permasalahan. Dengan demikian aliran feminisme ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual adalah bentuk penindasan kaum laki-laki tehadap kaum perempuan.

Kelompok pertama penganut teori konflik adalah Feminisme Radikal yang sejarahnya justru muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau deskriminasi sosial atas jenis kelamin. Teori Feminisme radikal mempersoalkan fungsi reproduksi dan melahirkan (mothering), serta perbedaan seks dan gender yang merampas kekuasaan perempuan. Teori ini didasari pada pandangan bahwa perhatian analisis langsung pada cara laki-laki menguasai tubuh perempuan dan secara eksplisit teori ini mengkonstruksikan seksualitas sehingga perempuan melayani laki-laki sesuai dengan kebutuhan dan keinginan melalui lembaga keluarga.

18

17

A. Nunuk Prasetyo Muniarti, Op. Cit.,hal.127-128

18

Dr. Mansour Fakih, Op.Cit.,hal 85

Feminisme radikal bertujuan menghancurkan sistem klas jenis kelamin dan yang membuat aliran ini radikal adalah fokus utamanya pada akar dominasi dan klaim yang menyatakan bahwa segala bentuk penindasan adalah perpanjangan


(26)

dari supermasi laki-laki. Dalam kaitan dengan kekuasaan teori ini mempermasalahkan perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian di konstruksikan menjadi perbedaan gender oleh budaya patriarkhi. Akibat dari konstruksi ini perempuan teralieansi dari berbagai bidang kehidupan khususnya bidang politik yang mengatur masyarakat. Analisis perempuan dari sudut pandang politik menjadi pusat perhatian teori ini. Bagi perempuan politik tidak hanya mengatur kehidupan publik saja, melainkan juga kehiduipan domestik dan pribadi perempuan.19

Aliran ini menolak setiap jenis kerja sama dimana feminisme radikal ingin mengembangkan analisis feminis yang lebih nyata dan lebih merdeka. Dalam hal ini analisis sosialis Marx tersebut bermanfaat untuk melihat problem-problem ketidakadilan, ketidaksetaraan dan penindasan yang menjadi beban kaum perempuan. Dalam membahas teori tentang kesetaraan (equality), banyak orang yang mempelajari teory gender dan politik dari perspektif kesetaraan (equality) sangat menyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan jika dilihat secara politik atau dengan kata lain tidak berhubungan satu sama lain. Pada kenyataannya bahwa pria dan wanita pada umumnya dipahami bebeda dalam lingkungan politik.20

19

Leo Agistino, Op.Cit.,hal 239

20

Terjemahan dari buku: Judith Squires, Op.Cit., hal 116.

Selain kesetaraan (equality), keadilan (justice) pada dasarnya juga menyangkut akan masalah gender dan kaum perempuan. Adapun literatur mengenai gender dalam teori politik biasanya disamakan dengan yang namanya etika keadilan. Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Apa yang telah muncul dalam teori feminis yang dilambangkan sebagai


(27)

perspektif, etika keadilan adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral. Adapun ide dasar dari feminisme adalah kesetaraan (equality), kedudukan laki-laki dan perempuan yang dibangun atas dasar kesetaraan (equality) dan keadilan (justice) hak-hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.21

21

Ibid,hal. 142.

Bagi gerakan feminisme radikal revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil reaksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki. Lain halnya dengan feminisme liberal yang lebih menekankan akan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, aliran feminisme radikal menekankan pada perbedaan antara kaum wanita dan kaum laki-laki.. Seperti halnya wanita dan laki-laki dalam mengkonseptualisasikan kekuasaan secara berbeda, dimana bila laki-laki berusaha mendominasi dan mengontrol orang lain, maka maka wanita lebih tertarik untuk berbagi dan merawat kekuasaan.

Pada dasarnya ajaran feminisme radikal menyatakan “the personal is political” yang merupakan slogan yang kerap digunakan oleh kaum feminisme radikal. Yang artinya bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan kesengsaraan oleh para wanita dianggap sebagai masalah-masalah personal. Pada hakikatnya feminisme radikal menganggap bahwa isu-isu politik yang membuat ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki. Aliran feminisme radikal juga menolak sistem hirarki yang berstrata berdasarkan garis gender dan klas, yang sebagaimana hal tersebut diterima oleh aliran feminisme liberal.


(28)

E.2.3. Affirmative Action

Affirmative action adalah hukum dan kebijakan yang dikenakan kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Affirmative action merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) atau langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum. Karena jaminan pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan UU.22

Tindakan affirmatif adalah langkah khusus sementara yang dilakukan untuk mencapai persamaan dan kesempatan serta perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu tindakan affirmatif adalah dengan penetapan sistem kuota 30% dalam institusi-intitusi pembuat kebijakan negara. Meskipun belum berkorerasi positif namun tindakan affirmatifi ini patut dicoba dalam menjalankan sistem demokrasi yang sesungguhnya.

Kebijakkan affirmatif agar perempuan terlibat aktif dalam arena politik formal adalah upaya merebut inti demokrasi yang terus direduksi menjadi angka dan politik massa. Kebijakkan affirmatif melalui mekanisme kuota sekurang-kurangnya 30% perempuan bukan hanya diatur dalam pencalegkan dalam pemilu, tetapi juga intervensi di hulu, sejak pembentukkan partai dan pengaturan dalam kepengurusan partai di semua tingkatan.23

22

Dapat dilihat pada : http://www.nurularifin.com.

23

Harian Kompas, Merebut Esensi Demokrasi : 1 April 2009.,hal.6


(29)

F. Defenisi Konsep

Defenisi konsep merupakan hal yang penting dalam penelitian. Dalam penelitian, seorang menggunakan istilah yang khusus untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak ditelitinya. Inilah yang disebut dengan konsep yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak: kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan defenisi konsep sebagai berikut:

1. Keterwakilan perempuan adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi perempuan untuk melaksanakan peranannya dalam jabatan publik baik yang dipilih dari pengangkatan maupun melalui pemilihan.

2. Affirmasi (affirmative action) adalah kegiatan proaktif yang bersifat sementara untuk mengatasi kesenjangan sehingga kelompok minoritas bisa berkompetisi dengan adil. Dengan adanya tindakan affirmasi lebih memungkinkan kaum perempuan memainkan perannya dalam masyarakat sesuai kemampuan dan talentanya. Dalam dunia politik diberi kesempatan secara luas bagi kaum perempuan untuk dapat menjadi anggota parlemen.

F.1 Operasional Konsep

Adapun defenisi operasional konsep yang digunakan adalah keterwakilan perempuan dan tindak affirmasi.


(30)

Untuk melihat keterwakilan perempuan dapat dilihat dari indikator sebagai berikut:

1. Keadilan yang berarti proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Agar proses menjadi adil terwujud diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan hal-hal yang secara sosial dan sejarah menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasilnya. Indikator keadilan yaitu :

a. Adanya klaim atau pendapat yang mengatakan bahwa perempuan itu sebagai kaum nomor dua dan laki-laki sebagai kaum terdepan.

b. Adanya anggapan bahwa perempuan irasional, sehingga perempuan

dianggap tidak tepat menjadi pemimpin dan menyudutkan perempuan dalam posisi yang tidak penting.

2. Kesetaraan yang berarti laki-laki dan perempuan mendapatkan penilaian yang setara, status yang sama dan kondisi yang sama untuk merealisasikan hak-haknya sebagai manusia dan kemampuan untuk menyumbang dalam pembangunan baik politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan, kesehatan dan lainnya. Indikator kesetaraan yaitu :

a. Adanya dan sadarnya akan pentingnya peningkatan kwalitas hidup perempuan dalam bidang politik, pendidikan, sosial, budaya, dan agama.

b. Adanya streotip bahwa politik itu milik kaum laki-laki, karena laki-lakilah yang mendominasi dan menformulasikan aturan main dunia politik.


(31)

II. Tindakan Affirmasi

Untuk melihat tindakan affirmasi dapat dilihat dari indikator sebagai berikut:

a. Adanya pemberian akses pada perempuan untuk duduk di parlemen

melalui pelaksanaan quota 30%.

b. Adanya perhatian akan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik yang diatur dalam UU No 2 Tahun 2008 tentang partai politik.

G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian

Untuk mengetahui serta menguraikan bagaimana sebenarnya penetapan 30% calon legislatif perempuan oleh partai politik di Kota Medan, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penelitian deskriptif (descriptive research) adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti .24

G.2. Lokasi Penelitian

Untuk mendapatkan informasi yang mencakup masalah, maka penulis

24

Ronny Kountur, Metode Penelitian: Untuk penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM,2003, hal.105


(32)

melakukan penelitian secara langsung di Kantor Partai PNI Marhaenisme yang berlokasi di jalan Kejaksaan Medan dan Partai Serikat Indonesia di jalan Gagak Hitam Sunggal Medan.

G.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis melakukan beberapa teknik pengumpulan data yaitu data primer dan data sekunder :

1. Data Primer

Dalam hal ini untuk mendapatkan data harus melakukan penelitian

lapangan yang didasarkan pada peninjauan lansung dengan objek yang akan diteliti. Untuk pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam yaitu: dengan mengadakan pembicaraan atau tanya jawab secara langsung antara penulis dengan informan dilokasi penelitian. Informan adalah orang yang diduga mengetahui fakta dan kejadian atas masalah yang diteliti. Informan kunci dalam penelitian ini adalah ketua-ketua partai atau pengurus-pengurus partai dalam hal ini, Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme, dan Ketua Partai Serikat Indonesia.

2. Data Sekunder

Tinjauan kepustakaan (library research), yaitu mempelajari buku-buku, laporan penelitian, dokumen lembaga serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penulisan ini..


(33)

G.4. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan penulis adalah menggunakan jenis data kualitatif, yaitu tanpa menggunakan alat bantu rumus statistik. Penelitian ini bersifat deskripsi dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi atau kejadian yang terjadi. Data-data yang terkumpul melalui wawancara dan dokumentasi akan ditampilkan dalam bentuk uraian lalu dianalisis dengan cara menjelaskan fenomena yang akan ditentukan dalam proses pengumpulan data kemudian dieksplorasikan secara mendalam selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

G.5. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih terperinci, serta untuk mempermudah pemahaman isi daripada skripsi ini, maka penulis membagi dalam empat bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, uraian teoritis, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : KONTEKS HISTORIS PENETAPAN 30% KUOTA

PEREMPUAN


(34)

perempuan, penetuan sistem zipper serta pasca keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)

BAB III : PEMAHAMAN TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN DARI PENETAPAN KUOTA 30% PEREMPUAN

Bab ini akan menjabarkan secara garis besar tentang persepsi keterwakilan perempuan, kemudian tanggapan dan pandangan partai politik tentang kesetaraan dan keadilan 30% kuota perempuan dalam berpolitik melalaui prosese tindakan affirmasi.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil pembahasan pada bab- bab sebelumnya, serta berisi saran-saran yang berguna bagi penulisan secara khusus dan berguna bagi masyarakat secara umum.


(35)

BAB II

Konteks Historis Penetapan 30% Kuota Calon Legislatif Perempuan

A. Proses Keluarnya Penetapan 30% Kuota Perempuan

Dari berbagai pemberitaan tentang perempuan Indonesia, banyak dijumpai masalah. Seperti banyaknya perempuan yang berpendidikan yang rendah terutama di pedesaan, masalah tindakan kekerasan terhadap perempuan, eksploitasi dan pornografi, TKW dan perdagangan perempuan dan lainnya. Padahal peranan perempuan sama pentingnya bagi pembangunan pembangunan nasional disamping laki-laki.

Dalam kenyataannya saat ini peran perempuan, kehidupan publik kaum perempuan dapat dilihat data ststistik berikut ini:

1. Bidang politik dan legeslatif perempuan sebagai politisi masih sangat sedikit, karena konon profesi ini sangat memerlukan waktu dan tenaga dan pikiran yang penuh sehingga menyulitkan bagi perempuan untuk melakukannya.

2. Perempuan yang menjadi anggota DPR dari periode ke periode kuantitasnya menurun terlihat dari angka pada tahun 1992 sebanyak 12%, 1997 sebanyak 11,2% sedangkan 1999 hanya sebanyak 8,8%.

3. Lembaga ekskutif perempuan yang terlibat di pemerintahan masih sangat sedikit, walaupun stigma masyarakat terhadap pembagian kerja di pemerintahan sudah berubah, namun pandangan masyarakat terhadap suatu jabatan atau posisi tertentu masih bias gender. Semakin tinggi eselon semakin


(36)

sedikit yang dijabat perempuan seperti: eselon V ada 17%, eselon IV ada 14%, eselon III ada 8%, eselon II dan I kurang dari 5%. Jabatan menteri pun sangat terbatas, dalam kabinet hanya ada 2 orang menteri yang dijabat perempuan. Begitu pula duta besar dan konjen tidak sampai 0,5% yang dijabat perempuan.

4. Lembaga yudikatif hakim agung perempuan hanya 13%, sedangkan hakim perempuan ada 25%, dan jaksa perempuan 20,3%.

5. Jurnalistik, wartawan perempuan ada sekitar 10,9%

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan sebenarnya merupakan isu politik yang masih harus diperjuangkan oleh kaum perempuan. Para pemerhati perempuan sangat yakin dan optimis bahwa dengan melibatkan perempuan dalam pengambilan kebijakan, akan sangat berdampak pada kesdilan politik itu sendiri karena perempuan lebih sensitif pada kepentingan keluarga, anak, dan perempuan. Namun impian keadilan politik itu masih sangat jauh untuk dapat diraih mengingat kesadaran hak politik perempuan masih sangat rendah.

Akses informasi yang dapat menambah wawasan perempuan untuk

mengetahui dan menyadari hak-hak politiknya masih sangat kecil. Rendahnya kesadaran politik bagi perempuan menyebabkan terjadinya manipulasi suara perempuan pada pemilu yang lalu, dimana perempuan memilih partai politik tidak berdasarkan atas pilihannya sendiri. Dengan kata lain, kontrol perempuan terhadap hak pilihnya dalam pemilu, masih sangat lemah.

Adanya streotip bahwa politik itu urusan laki, karena selama ini laki-laki yang mendominasi arena politik, memformulasikan aturan main dan


(37)

mendefenisikan standar evaluasi yang mempersulit posisi perempuan. Oleh karena itu perempuan dapat dikatakan bahwa perempuan menjadi kelompok marginal dalam gelanggang politik, membutuhkan perhatian untuk diperjuangkan.

Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 tentang

Pengharustamaan Gender merupakan indikator bahwa isu gender yang terus bergulir belum mendapatkan perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk pembangunan politik yang bewawasan gender.

Ketidakadilan mengertian, kurangnya empati, dan kurangnya perhatian para personel negara yang kebanyakan laki-laki terhadap persoalan perempuan maupun kesejahteraan rakyat yang berwawasan gender. Jumlah perempuan anggota dalam pembuatan kebijakan dan hukum-hukum formal negara Indonesia yang sangat minim untuk dapat mempengaruhi sistem.25

Dalam Perpres No. 7 Th. 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional th 2004/2009 salah satu sasaran utama untuk mencapai Indonesia yang adil dan demokratis adalah: Penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk termasuk diskriminasi dibidang hukum dengan menegakan hukum secara adil serta mengahapus peraturan yang diskriminatif, ketidakadilan gender serta melanggar prinsip keadilan agar setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam bidang hukum.26

25

http://www.uninus.ac.id

26

Peraturan Presiden No.7 Th 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Thn 2004/2009.

Pembangunan nasional dalam era demokratisasi ini perempuan dan laki-laki merupakan suatu sistem, dimana perempuan dan laki-laki-laki-laki punya fungsi dan


(38)

perananya masing-masing yang saling mengisi. Jika perempuan tidak berperan secara optimal, tentu bangsa Indonesia lambat untuk menjadi bangsa yang besar dalam menghadapi globalisasi, apalagi untuk bersaing dengan bangsa lain. Agar kesempatan itu terisi secara optimal, maka untuk situasi tertentu perlu diberlakukannya kuota. Artinya kuota ini diberlakukan tidak lain adalah untuk mempersiapkan bangsa kita dalam pembangunan.

Kuota ini pun bukan berarti ancaman bagi laki-laki dan bukan berarti hanya mengutamakan jumlah perempuan, namun dalam pengisian kuota itu kualitaspun wajib menjadi persyaratan. Bila sudah sampai saatnya perempuan mencukupi syarat minimal, kuota sudah tidak diperlukan dan dapat dicabut. Jadi kuota diperlukan selama perempuan sedang mempersiapakan dirinya.

Kuota ini sangat diperlukan pada beberapa tempat, jika memperjuangkan agar jumlah perempuan meningkat, dan calon legisltif dari setiap partai perlu diberlakukan kuota. Sehingga nanti dalam pengambilan keputusan diharapkan mereka kan memperjuangkan perempuan. Tepatnya, pengisian kuota ini harus hati-hati, sebab belum tentu perempuan memperjuangkan perempuan dan belum ada atau masih jarang pula laki-laki yang memperjuangkan perempuan.

Kendati berbagai perangkat hukum telah melegetimasi partisipasi politik bagi perempuan sampai saat ini antara perempuan dengan dunia politik masih merupakan dua hal yang tidak mudah dipertautkan satu dengan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik dan lembaga-lembaga politik formal jumlahnya masih sangat rendah dibandingkan dengan


(39)

laki-laki. Dunia politik selalu diasosiasikan dengan ranah publik yang relatif dekat dengan laki-laki, mengingat kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari akar budayanya dimana mayoritas masyarakat di dunia masih kental dengan ideologi patriarki.

Budaya patriarki memosisikan perempuan pada peran-peran domestik

seperti pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral. Sementara itu, peranan laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah. Perpanjangan dari berbagai peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut maka arena politik yang sarat dengan peranan pengambilan kebijakan terkait erat dengan isu-isu kekuasaan identik dengan dunia laki-laki. Apabila perempuan masuk ke panggung politik kerap dianggap sesuatu yang kurang lazim atau tidak pantas bahkan arena politik dianggap dunia keras sarat dengan persaingan bahkan terkesan sangat membius.

Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik ditataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif sebagai badan yang memegang peran kunci menetapkan kebijakan publik, mengambil keputusan dan menyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki.

Perjuangan aktivis perempuan dalam mengeleminasi segala bentuk

diskriminasi terhadap perempuan adalah dengan melakukan tindakan affirmasi (affimattive action). Salah satu tindakan affirmasi adalah dengan penetapan sistem kuota sedikitnya 30% dalam institusi-institusi pembuat kebijakan negara.27

27

ibid

Berkat perjuangan gigih koalisi para aktivis permasalahan perempuan dan koalisi


(40)

perempuan anggota parlemen, ditengah berseminya alam demokrasi dan keterbukaan di era reformasi ini secara menagerial implementasi tindakan affirmasi ini dalam hal perwakilan perempuan di parlemen dan partai politik telah berhasil di undangkan secara fundamental dalam pasal 65 UU pemilu No.12 tahun 2003.

Pasal tersebut adalah 65 ayat (1) dan (2) yang dikenal dengan sebutan kuota untuk perempuan berbunyi: (1) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. (2) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan.

Sementara itu dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2008 kuota 30%

perwakilan perempuan diatur dalam pasal 53 yang berbunyi: Daftar bakal calon sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Dengan adanya sistem kuota sedikitnya 30% perwakilan perempuan Indonesia dalam pengambilan keputusan diharapkan akan membawa perubahan pada kualitas legalisasi berperspektif perempuan dan gender yang adil; perubahan cara pandang dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara-cara anti kekerasan, perubahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ikut memasukan kebutuhan-kebutuhan perempuan sebagai bagian dari agenda-agenda nasional.


(41)

oleh partai politik sendiri tentang ketidak tersediaan sumber daya manusia perempuan yang memadai untuk dijadikan calon legislatif dari partai politik. Sangatlah diskriminatif mempermasalahkan kelangkaan sumber daya manusia perempuan yang berkualitas padahal pada kenyataan selama ini bahwa laki-laki yang tidak.berkualitas yang duduk di kursi legeslatif.

B. Sistem Zipper Dalam Penentuan Calon Legeslatif

UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu ini merupakan kado tahun baru bagi kalangan aktivis perempuan yang sudah berjuang cukup lama untuk UU Partai politik dan UU Pemilu yang lebih ramah perempuan. Tapi, perjuangan memang belum berakhir, dan kalangan aktivis perempuan kembali berkepentingan untuk mewarnainya agar sistem pemilu yang nanti digunakan juga ramah terhadap keterwakilan perempuan. Tulisan Ani Soetjipto (Media Indonesia, 11/2/08) mempromosikan sistem zipper (zebra) sebagai bentuk tindakan afirmatif (affirmative action) atau kuota terhadap perempuan dalam pencalonan mereka sebagai kandidat yang diusung partai politik.

Zipper sistem adalah sistem penentuan legislatif secara selang-seling. Penentuan seperti retsleting secara selang-seling dianggap dapat mewujudkan keterwakilan perempuan dalam lembaga politik. Indonesia tidak menganut sistem zipper murni. Menurut Ferry Mursyidan Baldan sistem zipper yang akan diterapkan di Indonesia adalah sistem zipper yang telah dimodifikasi. Sistem


(42)

zippper murni mengatur bahwa antara pria dan wanita ditempatkan secara berselingan..28

Zipper system adalah sistem yang mengatur adanya minimal 30% perempuan di parlemen. Jadi, jika sebuah partai mendapat 3 kursi, maka salah satunya harus diberikan kepada caleg perempuan yang mendapatkan suara terbanyak. KPU harus melaksanakan zipper system tersebut berdasarkan pasal 53 UU No 10/2008 yang mengatur 30% kuota perempuan di parlemen.29

Mengenai sistem keterwakilan perempuan menurut UU No 10 Tahun 2008, dapat dilihat pada pasal 53 sampai dengan pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. Pasal 52 mengatur penyusunan bakal calon legislatif (caleg). Pasal 52 ini menentukan bahwa bakal caleg disusun dalam daftar bakal calon oleh partai politik masing-masing (ayat1). Selanjutnya ditentukan secara tegas bahwa di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimakksud pada pasal 1 (satu), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.

Pembicaraan tentang sistem zipper ini belum banyak dibicarakan di Indonesia. Secara sederhana, pengertian dari sistem zipper, yang merupakan salah satu variasi dari kuota, adalah mendaftarkan kandidat perempuan dan laki-laki secara selang-seling dalam daftar pencalonan yang diajukan partai (party list). Soal selang-selingnya antara laki-laki dan perempuan tinggal berdasarkan kesepakatan saja, apakah 1:1 atau 1:2 atau 1:3. Tujuannya untuk membantu

28

http://fatahilla.blogspot.com/2009/02/zipper-sistem-dan-eksistensi-peran.html 29


(43)

memastikan perempuan tidak dicalonkan dalam urutan sepatu, dan sebaliknya, memberikan kemungkinan perempuan bisa terpilih dalam pemilu legislatif.

Jika kita melihat peningkatan presentasi perempuan melalui pengalaman negara-negara lain yang sudah menjalankannya sistem zipper maka akan memungkinkan keterwakilan perempuan di Indonesia meningkat. Menurut Women’s Environment and Development Organization, sebuah organisasi internasional yang memonitor keterwakilan perempuan di parlemen di seluruh dunia, ada sekitar 13 negara yang menggunakan sistem elektoral representasi proporsional (sistem daftar) dengan sistem kuota zipper.

Dan ternyata, dalam waktu yang relatif singkat, negara-negara tersebut berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan melampaui angka critical mass (30%). Menariknya, negara-negara tersebut tidak hanya mewakili negara-negara maju yang sudah mapan sistem politiknya (seperti Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark), tapi juga negara-negara berkembang yang masih bermasalah dengan kehidupan politik dan ekonominya (seperti Rwanda, Argentina, Mozambik, dan Afrika Selatan).30 Sebagai perbandingan dapat kita lihat dari tabel berikut:

30


(44)

Tabel 1

Negara yang berhasil menggunakan Sistem Kuota Zipper

Negara Persentase Perempuan yang lolos di Parlemen

Belanda 50%

Argentina 30%

Swedia 47,3%

Rwanda 30%

Afrika Selatan 30%

Mozambik 34,8%

Sumber: http//www.prakarsa-rakyat.org/artikel

Sistem zipper hanya akan efektif jika dikombinasikan dengan sistem pemilu tertentu. Dalam klasifikasi sistem pemilu yang terkenal di dunia sistem zipper hanya bisa dikombinasikan lewat sistem proporsional model tertutup atau terbuka terbatas. Zipper tidak akan relevan jika yang diadopsi adalah sistem pemilu majortarian atau sistem sistem proporsional terbuka murni.

Sebelum dikelurkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22/PUU-IV/2008, Indonesia masih mengadopsi sistem pemilu 2004 yaitu sistem proporsional daftar terbuka terbatas yang membuka peluang untuk mengadopsi sistem zipper di Indonesia. Sistem zipper sebagai instrumen untuk mejadikan partai politik lebih demokratis, profesional, modern, dan akuntabel. Sistem pemilu berkerelasi sangat erat dengan sistem kepartaian seperti apa yang hendak


(45)

dibangun kedepan di Indonesia. Partai sebagai salah satu pilar demokrasi saat ini menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat.

Adopsi sistem zipper lewat Undang-undang pemilu adalah pilihan strategis dibandingka adopsi melalui internal partai politik . Desakan lewat undang-undang pemilu akan menjadi dorongan positif bagi perubahan internal di partai politik dalam waktu yang tidak terlalu lama. Model ini adalah fast track menuju pencapaian critical number dalam waktu yang singkat.

C. Keputusan Mahkamah (MK) Konstitusi Batalkan 30% Kuota Perempuan Wanita dalam kancah politik sering kali dipandang sebelah mata. Pada masa sebelum reformai sangatlah sulit bagi seorang wanita untuk menjadi seorang anggota legislatif. Diskriminasi terhadap kaum wanita ini memang sering terjadi. Di negara patriarkhi ini peran wanita dalam kancah politik memang terbilang kurang. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh budaya politik Indonesia.

Pasca reformasi angin segar berhembus mendorong pada pembaharuan positif. Amandemen yang dilakukan sampai empat kali membawa perubahan signifikan pada sistim politik dan ketatanegaraan di negeri ini. Pengaruh paling besar adalah dengan diaturnya hak-hak dasar warga negara untuk berpolitik pada pasal 28 H (2) UUD 1945 yang telah di amandemen.

Selanjutnya perubahan mendasar mulai semakin kuat ketika

Undang-Undang Partai Politik No.2 Tahun 2008 dan Undang-Undang-Undang-Undang Pemilu tentang pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD. Melalui kedua undang-undang tersebut eksistensi peranan kaum wanita mulai diangkat. Dalam pasal 213


(46)

Undang-undang No. 10 tahun 2008 memungkinkan wanita untuk memperoleh posisi perwakilan. Dalam UU tersebut diatur kuota keterwakilan perempuan adalah 30 persen.

Angin segar yang sudah ditetapkan oleh UU No.10 Tahun 2008 mengenai peluang perempuan dengan sistem zig-zag, kemudian MK telah memutuskan harapan kaum perempuan dengan menetapkan bahwa kemenangan caleg dalam Pemilu 2009 ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak (Putusan No.22/PUU-IV/2008). Dengan adanya keputusan tersebut, maka sejumlah pasal dalam UU Pemilu No.10/2008 yang mengatur tentang keterwakilan perempuan menjadi tidak bermanfaat. Diantaranya, pasal 8 ayat d mensyaratkan partai untuk mencantumkan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai tingkat pusat. Pasal 52 menyebutkan, jumlah repersentasi kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislative. Dan pasal 55 ayat 2 mengatakan bahwa setiap tiga daftar caleg harus terdapat di dalamnya satu perempuan.

Hal ini berarti menghapuskan sistem nomor urut (sistem terbuka sangat terbatas) dalam penentuan anggota legislatif. Sistem nomor urut digantikan dengan sistem suara terbanyak. Sebelum keluarnya MK yang mementahkan sistem nomor urut dalam penentuan anggota legislatif penerapan sistem zipper sangatlah mudah. Dalam implementasinya partai dapat menentukan nomor urut satu dan dua diisi oleh caleg pria. Kemudian urutan tiga diisi oleh caleg wanita. Penempatan tersebut dilakukan sampai nomor urut seterusnya.

Namun masalah muncul ketika putusan MK NO.22/PUU-IV/2008 tentang suara terbanyak lahir. Sistem ini tidak dapat diberlakukan seperti pada awalnya. Hal ini menjadi kontroversi ketika sebuah partai mendapat banyak suara, namun


(47)

suara tersebut diperoleh dari suara kaum pria. Banyak caleg pria yang menolak untuk memberikan posisinya setelah mendapatkan suara dan digantikan oleh caleg wanita.

Dampak dari keputusan MK pada tanggal 23 Desember 2008 pada

keterwakilan perempuan yaitu: pasal 214 UU No.10 Tahun 2008 merupakan landasan yang dapat dijadikan untuk menyusun penempatan caleg sebagaimana yang telah disepakati oleh setiap partai politik peserta pemilu. Dalam daftar itu, penempatan caleg perempuan tentunya diberlakukan dengan sistem zipper atau zig-zag method. Kemudian berdasarkan keputusan MK maka sistem zipper atau zig-zag sebagai upaya yang ditempuh untuk pemberdayaan politik perempuan melalui tindakan affirmasi menjadi tidak efektif.

Namun dengan sistem proporsional murni setelah keputusan MK, para caleg perempuan harus berjuang lebih ekstra sama dengan para caleg lainnya. Karena yang dibutuhkan pada sistem pemilu ini adalah setiap caleg berusaha untuk sebanyak-banyak memproleh suara dari konstituennya (rakyat pemilih). Karena dengan batalnya pasal 214 UU No.10 Tahun 2008, calon legislatif terpilih tidak lagi berdasarkan suara 30% bilangan pembagi pemilih (BPP), melainkan berdasarkan suara terbanyak.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menbatalkan salah satu pasal UU No.10 Tahun 2008 dengan menggugurkan prioritas nomor urut dan memutuskan penentuan calon anggota legeslatif berdasarkan suara terbanyak menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat.

Sebagian aktivis perempuan tidak dapat menerima suara terbanyak karena bisa merugikan caleg perempuan. Realitas sekarang ini belum memungkinkan


(48)

perempuan berkompetisi secara terbuka, termasuk dengan pria. Sekat-sekat kultural dan politik masih menghadang. Budaya patiarki masih sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat dan kondisi perempuan masih termarginalkan, serta berbagai keterbatasan lainnya.

Asas persaingan bebas tentu tidak adil bagi perempuan karena ruang pertarungan dan kompetisi yang tidak seimbang. Ibarat bertanding tinju dengan kaki terikat, Tampaknya, lebih bijaksana sekiranya mengedepankan asas keterwakilan, proporsioanalitas, dan perlindungan terhadap perempuan.

Dampak suara terbanyak secara tidak langsung telah memandulkan

tindakan affirmasi peningkatan keterwakilan 30% perempuan di parlemen, sebagaimana diamanahkan pasal 53 dan pasal 55 UU pemilu. Padahal sebelumnya yang telah mendapatkan apresiasi yang baik dari setiap partai politik menempatkan caleg berdasarkan zipper method atau metode zig-zag dimana setiap tidak caleg terdapat satu perempuan.

Sangat beralasan jika kekhawatiran mendalam bahwa putusan tersebut memangkas jumlah perempuan di parlemen. Padahal peran penting perempuan di legislatif masih sangat dibutuhkan. Kehadiran perempuan di DPR sekarang ini sangat minimal mampu mengangkat aspirasi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel 2

Jumlah Perempuan di DPR (1982 – 2009)

Masa Kerja DPR Jumlah Kursi Anggota Perempuan


(49)

1982 – 1987 460 39 8,5%

1987 – 1992 500 65 13%

1992 – 1997 500 62 12,5%

1997 – 1999 500 54 10,8%

1997 – 1999 500 45 9%

2004 – 2009 550 61 11,09%

2009-2014 560 101 18,04%

Sumber: CENTRO, berdasarkan data KPU 2004 dan 2009

Data nasional memang mencerahkan. Caleg perempuan tercatat 3.894 dari 11.225 (34,70 persen). Sekilas jumlah ini memenuhi amanat Pasal 52 yang menyatakan memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan, apalagi terlihat dari data KPU bahwa ada enam partai politik yang tidak memenuhi bakal caleg sekurang-kurangnya 30%. Dari hasil diberlakukanya keputusan Mahkamah Konstitusi pada pemilu legislatif 2009 yang lalu, harapan akan tercapainya kuota 30% perempuan di parlemen tidaka tercapai meskipun ada kenaikan jumlah perempuan sebanyak 7,96% dari pemilu 2004.

Sementara itu dapat juga kita lihat peningkatan keterwakilan perempuan di DPRD tingkat I Sumatera Utara tidak tercapai sebanyak 30% kuota perempuan yang diharapkan, meskipun adanya peningkatan keterwakilan perempuan di DPRD tingkat I Sumatera Utara sebanyak 4,6% dari pemilu 2004.

Tabel 3

Daftar Caleg Terpilih DPRD Provinsi Sumatera Utara (1999-2009)


(50)

Perempuan

1997-2004 80 5 6,25%

2004-2009 85 8 9,4%

2009-20014 100 14 14%

Sumber:

Tidak tercapainya harapan kuota 30% keterwakilan perempuan di DPR-RI dan DPRD tingkat I Sumatera Utara juga terjadi untuk DPRD tingkat II Kota Medan bahkan peningkatan yang terjadi sangat sedikit. DPRD tingkat II Kota medan hanya mengalami kenaikan 2% dari hasil pemilu 2004 yang lalu.

Tabel 4

Daftar Caleg Terpilih DPRD Kota Medan

Periode 1999-2009

Masa Kerja DPR Jumlah Kursi Anggota Perempuan

Persentase

1997-1999 50 4 8%

2004-2009 50 5 10%

2009-2014 50 6 12%

Sumber:

Enam partai politik dalam skala nasional yang tidak memenuhi, yaitu Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai


(51)

Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Republika Nusantara (PRN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Patriot (PP). Dan untuk Kota Medan sendiri terdapat enam partai politik juga yang tidak memenuhi diantaranya yaitu: Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Sarikat Indonesia, Partai Persatuan Daerah, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, dan Partai Kedaulatan

Tabel 5

Daftar Nama Calon Anggota Legislatif Oleh Partai Politik di Kota Medan

NO. Nama Partai Jumlah Caleg Laki-Laki

Jumlah Caleg Perempuan

Total

1. Partai Hati Nurani Rakyat

35 20 55

2. Partai Karya Peduli Bangsa

15 15 30

3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia

11 12 23

4. Partai Peduli Rakyat Nasional

42 12 54

5. Partai Gerakan Indonesia Raya

28 10 38

6. Partai Barisan Nasional 25 10 35

7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

15 9 24

8. Partai Keadilan Sejahtera

37 22 59

9. Partai Amanat Nasional 30 18 48


(52)

11. Partai Kedaulatan 9 4 13

12. Partai Persatuan Daerah 21 8 29

13. Partai Kebangkitan Bangsa

18 11 29

14. Partai Pemuda Indonesia

18 13 31

15. PNI Marhaenisme 19 9 28

16. Partai Demokrasi Pembaruan

17 13 30

17. Partai Karya Perjuangan 20 10 30

18. Partai Matahari Bangsa 19 7 26

19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia

6 8 14

20. Partai Demokrasi Kebangsaan

28 11 39

21. Partai Republikan 23 10 33

22. Partai Pelopor 19 17 36

23. Partai Golongan Karya 38 19 57

24. Partai Persatuan Pembangunan

36 17 43

25. Partai Damai Sejahtera 40 17 57

26. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia

20 11 31

27. Partai Bulan Bintang 34 15 49

28 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

33 14 47

29. Partai Bintang Reformasi

33 19 52

30. Partai Patriot 18 10 28

31. Partai Demokrat 41 17 58


(53)

Indonesia 33. Partai Indonesia

Sejahtera

24 12 36

34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama

19 8 27

41 Partai Merdeka 15 4 19

42. Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia

15 9 24

43. Partai Sarikat Indonesia 4 3 7

44. Partai Buruh 25 12 37

TOTAL

915 463 1378

Sumber: KPU Kota Medan

Tentu sangat disayangkan jika pemilu 2009 ini tidak mampu melahirkan jumlah anggota legislatif perempuan sebagaimana yang ditargetkan, apalagi turun drastis. Memang tidak mengurangi kwalitas pelaksanaan pemilu, tetapi bisa mempengaruhi kesempurnaan suatu bangunan demokrasi sebagaimana urgensi keterwakilan unsur-unsur terpenting masyarakat termasuk perempuan dalam ranah politik.

Pembangunan demokrasi yang menjadi harapan rakyat menghendaki hal tersebut . Apalagi keterlibatan perempuan dalam ruang wilayah politik dengan output kebijakanya, tentu sangat strategi bagi perubahan mendasar gerakan perempuan dan demokrasi masa depan. Tetapi tidak sedikit aktivis perempuan yang mendukung dari keputusan MK tersebut dengan argumentasi pada penguatan demokrasi sejati yang selama ini dicita-citakan selama ini. Perempuan janganlah seperti kucing dalam karung yang selama ini disajikan oleh partai politik. Semangat berikhtiar, berkompetisi, dimiliki semua caleg secara terbuka,


(54)

bukan hanya antar partai, melainkan antara caleg dalam satu partai.

Terlepas dari pro dan kotra, sistem suara terbanyak hendaknya tidak menutup peluang bagi caleg perempuan bisa lebih survival. Tetap diberikan keistimewaan dan kemudahan sebagaimana komitmen awal. Keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sura terbanyak dalam menentukan caleg terpilih tidak serta merta menghiraukan semangat affirmasi yang selama ini diperjuangkan oleh aktivis perempuan dan gender. Semangat tersebut harus tetap menjadi bagian penting kebijakan politik dan hukum yang mendorong perempuan terlibat dan berperan penting. Disisi lain putusan suara terbanyak juga tidak boleh dihadang, harus tetap terlaksana sebagai bagian dari penguatan agenda substansial

demokrasi.


(55)

BAB 3

Pemahaman Tentang Kesetaraan dan Keadilan dari Penerapan Kuota 30% Perempuan

A. Persepsi Keterwakilan Perempuan

Rendahnya keterwakilan perempuan di dunia politik karena sejumlah rambu-rambu yang didesain untuk menjegal atau menghalangi perempuan tampil sebagai pemimpin publik. Ironisnya sebagian masyarakat menganggap hal ini sebagai bukti ketidakmampuan perempuan bertempur diranah publik. Rendahnya keterwakilan perempuan di dunia politik merupakan hal yang natural (takdir ketidakmampuan) saja. Tidak ada kesadaran bahwa rendahnya keterwakilan itu karena sejarah keberadaan perempuan sebagai mahkluk yang memiliki hak yang selalu dinafikan (tidak dihitung) oleh kultur atau tradisi maupun oleh struktur sosial-politik.

Jika pandangan ini masih betah menetap dalam mindset (pola pikir) bangsa Indonesia maka hak perempuan yang bebas berpartisipasi akan sangat sulit diwujudkan. Karena kondisi tercabutnya hak-hak perempuan Indonesia bukan karena tidak ada deretan undang-undang yang memayungi. Problem terbesar bukan pada undang-undang (beyond konstitusi) tetapi karena hak itu tidak diberikan atau bahkan dirampas.


(56)

Penting keterwakilan politik bagi perempuan disebabkan masalah

partisipasi politik sangat berkaitan langsung dengan masalah-masalah lainya dalam kehidupan politik perempuan. Ketika hak politik perempuan terenggut maka hak-hak lainnya akan mengikuti karena politik adalah ranah yang sangat fundamental bagi pemenuhan hak-hak yang lainnya. Hal ini pula yang mengingatka kita bahwa kekejaman politik adalah kekejaman yang paling menyengsarakan perempuan karena implikasi yang disebabkan sangat besar yaitu dapat mengilas hak-hak perempuan di bidang lain seperti pendidikan, kesehatan dan aktivitas sosial lainnya. Hal ini sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ibu Dra.Susy Damanik,MM

“Ibu Susy Damanik menyatakan bahwa, perempuan memang harus memiliki wakil perempuan dalam parlemen, karena dengan adanya wakil-wakil perempuan di parlemen diharapkan mampu membawa perkembangan baik bagi aspirasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan perempuan terutama aspek politik. Selama ini yang menyebabkan perempuan lambat untuk mengalami kemajuan adalah karena hak-hak politik politik perempua telah terenggut. Hak-hak politik sangat sensitif hubungannya dengan kemajuan aspek kehidupan lainnya bagi perempuan.

Dalam partai politik seringkali perempuan dan kepentingan yang berkaitan dengan perempuan diabaikan. Anggapan ini berangkat dari persoalan terkait perempuan bukanlah persoalan penting untuk dipecahkan bahkan tidak dianggap sebagai persoalan. Pandangan ini berangkat dari pemahaman atau budaya yang tidak peka terhadap kesetaraan dan keadilan sebagai akibat dari partai politik merupakan produk kepentingan mayoritas laki-laki. Meskipun dalam struktur partai ada divisi pemberdayaan perempuan, namun devisi tersebut tidak berjalan


(57)

secara maksimal. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ibu Ennika Diana, SE.

“Ibu Ennika Diana menyakan bahwa, sekalipun ada divisi pemberdayaan perempuan dalam partai politik, tidak digunakan secara maksimal untuk mengangkat perempuan ke panggung politik. Perempuan pada akhirnya hanya sebagai “gincu” oleh partai politik untuk mendulang dukungan politik. Ketika pengarustamaan kesetaraan dan keadilan relasi perempuan demikian deras, maka partai politik buru-buru merekrut perempuan sebagai kader semata-mata hanya sebagai tameng atau gincu agar menarik simpati masyarakat.”31

A.1 Budaya Masyaratkat

Bukan berangkat dari kepercayaan dan kesadaran bahwa memberdayakan perempuan berkaitan langsung dengan masa depan bangsa dan berkaitan langsung dengan masalah-masalah negeri yang terbelakang karena mengabaikan hak warga negaranya. Perberdayaan perempuan dan tercapainya kesetaraan serta keadilan realasi antara laki-laki dan perempuan merupakan masalah hak asasi manusia dan ketidakadilan sosial dan karena itu salah apabila dipersepsikan hanya sebagai isu

perempuan saja

Akan tetapi keterwakilan perampuan dilegislatif saja tidak cukup. Fakta menunjukkan bahwa di Indonesia sering adanya inkensistensi (sifat tidak konsisten) antara legislatif dan eksekutif. Apa yang diamanatkan oleh legislatif sebagai wujud keterwakilan rakyat kerap diabaikan oleh eksekutif (pemerintah). Kondisi ini mengakibatkan pokok-pokok tujuan pembangunan dan perlindungan hak terabaikan. Dengan demikian keterwakilan perempuan juga jangan mengabaikan panggung eksekutif.

31

Wawancara dengan Ibu Ennika Diana,SE, Bendahara Partai Serikat Indonesia Medan, di kantor Sekretariat PSI Medan, pada tanggal : 24 Agustus 2009


(58)

1. Adanya Klaim atau Pendapat Yang Mengatakan bahwa Perempuan sebagai Kaum Nomor Dua dan Laki-Laki Sebagai Kaum Nomor Satu

Klaim bahwa perempuan sebagai kaum nomor dua adalah hal yang tidak asing untuk didengar oleh semua kalangan, hal ini terjadi karna masih kuatnya budaya patriarki dan nilai-nilai agama yang cenderung terlihat menyatakan bahwa perempuan adalah kaum nomor dua dan laki-laki adalah kaum nomor satu sehingga segala kebijakan yang ada merupakan keputusan dari kaum laki-laki.

Klaim atau anggapan bahwa perempuan sebagai kaum nomor dua dan laki-laki sebagai kaum nomor satu bukanlah hambatan bagi Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dalam pemenuhan kuota 30% perempuan pada pemilu legislatif 2009 yang lalu. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme tidak setuju adanya klaim bahwa perempuan adalah kaum nomor dua. Pada hakikatnya manusia itu memiliki hak yang sama serta tidak ada pengkategorisasian nomor antara kaum laki-laki dan perempuan. Dasar klaim yang mengatakan bahwa perempuan adalah kaum nomor dua merupakan hal yang sangat tidak masuk diakal karena dasar untuk menomor duakan kaum perempuan tidak ada. Dan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme tidak pernah setuju dengan adanya klaim tersebut. Hal ini sebagai mana yang telah disampaikan oleh Bapak Hitller Siahaan.

“Bapak Hitler menyatakan bahwa, kedudukan antara laki-laki dan perempuan didalam Undang-Undang yang memberi perlindungan secara yuridis di Indonesia adalah sama. Klaim atau anggapan bahwa perempuan adalah kaum nomor dua dan laki-laki sebagai kaum nomor satu adalah budaya yang tertanam dalam kehidupan masyarakat berdasarkan pemahaman yang salah nilai-nilai ajaran agama dan adapt istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Akan tetapi, di mata Negara keberdaan laki-laki dan perempuan adalah sama serta tidak ada


(1)

perempuan tidak perlu berpolitik. Pandangan-pandangan ini barangkali membuat perempuan tidak mau memasuki dunia politik.

Akan tetapi dalam pelaksanaanya Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia tidak konsisten dengan keadaann nyata di lapangan. Unkonsistennya kedua partai tersebut yaitu kedua partai sama-sama menyatakan hambatan dalam tidak terpenuhinya kuota 30% calon legislatif perempuan bukan dari partai namun dalam diri perempuan. Tetapi dalam pelaksanaan partai tidak berusaha untuk meningkatkan kemampuan perempuan berpolitik sehingga perempuan benar-benar siap dan mampu untuk bersaing dengan kaum laki-laki dalam dunia politik.


(2)

BAB IV

Kesimpulan Dan Saran

Dunia politik di Indonesia identik dengan dunia laki-laki atau politik maskulin. Hal ini terjadi karena politik dianggap suatu kegiatan kekuasaan yang dianggap kotor, penuh intrik dan tidak pantas dimasuki oleh kaum perempuan. Persoalan perwakilan perempuan menjadi penting manakala kita sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita melihat perempuan tidak secara proporsional terlibat dalam pengambilan keputusan

Masalah keterwakilan politik ( political representativeness) bagi perempuan adalah suatu hal yang sangat cukup penting, khususnya dalam peristiwa penting dan besar seperti pemilu. Rendahnya keterwakilan perempuan dalam struktur politik formal atau di arena pembuat keputusan publik disegala tingkatan di Indonesia menjadi persoalan penting bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingannya. Dari sinilah kemudian gerakan perempuan memperjuangkan kedudukan perempuan dalam politik dimulai.

Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Namun ketetapan kuota ini tidak juga menjamin upaya memperjuangkan keterwakilan perempuan. Kemudian perjuangan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan ini memdapat perhatian kembali dari pemerintah dengan dikeluarkannya UU


(3)

No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Di dalam upaya memenuhi kuota 30% perempuan untuk calon anggota legislatif, secara empirik dan faktual terdapat kendala yang menyebabkan keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat sangat rendah yakni masih adanya anggapan bahwa dunia politik adalah dunianya laki-laki, di mana sistem dan struktur sosial patriakhi telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sejajar dengan laki-laki, masih sedikitnya perempuan yang terjun kedunia politik dan rendahnya pengetahuan perempuan tentang politik, serta dukungan partai politik yang belum besungguh-sungguh terhadap perempuan.

Hal ini juga terjadi dalam pemilu legislative di Kota Medan dimana masih terdapat partai politik yang tidak memenuhi kuota 30% perempuan . Dalam penelitian ini partai yang tidak memenuhi kuota 30% perempuan adalah Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia. Dalam tanggapannya kedua partai ini sepakat bahwa tidak terpenuhinya kuota 30% perempuan pada pemilu legislative 2009 yang lalu bukan karena kurangnya dukungan partai terhadap keterwakilan perempuan, akan tetapi disebabkan hambatan yang ada dalam diri perempuan itu sendiri.

Perempuan yang telah direkrut dan dikader oleh Partai Nasional Indonesia Perjuangan dan Partai Sarikat Indonesia cenderung terikat pada norma agama dan budaya patrirki yang menganggap bahwa perempuan itu tidak memiliki kodrat untuk memimpin. Selain itu perempuan juga cenderung tertutup dan tidak membuka diri untuk menunjukkan kemampuannya dalam upaya melakukan persaingan di dunia politik.


(4)

Kesetaraan dan Keadilan perempuan sangat perlu bagi peningkatan kualitas kehidupan perempuam dalam aspek kehidupan politik, karena apabila kesetaraan dan keadilan kaum perempuan tercapai dalan kehidupan politik maka aspek kehidupan yang lainya seperti ekonomi, pendidikan,social budaya akan tercapai dengan sendirinya. Ini disebabkan kehidupan politik sangat menentukan pencapaian kesetaraan dan keadilan berbagai aspek kehidupan setiap individu baik laki-laki dan perempuan.

Saran

1. Perempuan hendaknya tidak pasif terhadap partai politik. Mereka perlu terlibat aktif di kepengurusan partai politik untuk mengembangkan diri, partai politik, dan membangun bangsa.

2. Partai politik sebaiknya memberikan kesempatan lebih luas kepada kaum perempuan untuk terlibat di dalam pengurusan partai politik. Jika perlu partai politik melakukan tindakan affirmasi untuk mendorong banyak perempuan menduduki jabatan di partai politik.

3. Kalangan perempuan yang terlibat dalam partai politik perlu dibimbing secara profesional dan proporsional, sehingga menjadi SDM yang berkualitas.


(5)

Daftar Pustaka

Amal, Siti Hidayati, Beberapa Perspektif Femenisme Dalam Menganalisis Permasalahan Perempuan, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta 1995

Daulay, Harmona, Perempuan dalam Kemelut Gender, USU Press: Medan,2007

Agustino, Leo, Perihal Ilmu Politik; Sebuah Bahasan memahamiIlmu Politik, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2007

Muniarti, A Nunuk Prasetyo, Emansipasi: Tinjauan dari Teologi Perempuan, Indonesiatera: Magelang, 1995

Muniarti, A Nunuk Prasetyo, Getar Gender, Indonesiatera: Magelang, 2004

Pambudi, Himawan S, Menuju Demokrasi Terkonsilidasi, Lappera Pustaka Utama: Yogyakarta, 2003

Sadli, Saparinah, Pengantar tentang Kajian Wanita, dalam buku Kajian Wanita dalam Pembangunan, oleh T.O. Irhomi (Penyuting)

Suparno, Indryati,dkk, Masih dalam Posisi Pinggiran, Pustaka Pelajar: Yogyakarta,2004

Squires, Judith, Gender In Political Theory, Polity Press, USA, 1999

Widyani, Ani Sociepto, Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen, dikutip dari Alida Brill A Rising Public Voice: Wnoman In Politics World Wide, New York: The Feminist dalam Julia I, Yayasan Api: Jakarta,2001

Kountur Ronny, Metode Penelitian: Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, PPM: Jakarta, 2003


(6)

Peraturan Presiden No.7th 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Thn 2004/2009

KPU Kota Medan

Undang-Undang

Undang-Undang Politik, 2003, UU No.12 Tentang Pemilu, Fokus Media Bandung, 2003 Undang-Undang Politik, 2008, UU No.10 Tentang Pemilu, Fokus Media Bandung, 2008

Situs Internet

hhtp://www.kompas.com hhtp://www.uninus.ac.id hhtp:/www./fatahilla.com http://www.prakarsa-rakyat.com http://www.kpusumut.com http://www.kpumedan.com