dipilih melalui proses pemilihan umum dituntut harus dapat melaksanakan apa yang menjadi kehendak rakyat. Jadi dalam hal ini pemerintah bertindak sesuai
dengan apa yang menjadi keinginan rakyat yang telah memilihnya.
2. KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP PEREMPUAN 2.1.DISKRIMINASI PEREMPUAN
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial penting yang perlu ditangani negara dan juga sangat membutuhkan partisipasi dari semua elemen
masyarakat untuk terlibat menanganinya. Dalam arti yang luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain, seperti rendahnya kesempatan kerja dan
berusaha, lemahnya kapasitas sumber daya manusia, situasi rentan yang membuat orang jatuh miskin, lemahnya dukungan kelembagaan, atau lemahnya akses
mengartikulasikan suara dan kepentingannya dalam proses-proses politik.
40
Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda. Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap
kehidupan laki-laki juga berbeda daripada perempuan. Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya
patriarki, yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memosisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai
subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara dan menjadi sumber
Dalam hal ini, situasi kemiskinan sebenarnya dapat dialami oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
40
Muhadjir , Op.cit.,hal.161.
pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan
dan sistem distribusi risorsis yang bias gender. Muara dari masalah kultural ini adalah kecenderungan terjadinya pelecehan, diskriminasi,
marginalisasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan.
41
1. Marginalisasi Pemiskinan ekonomi perempuan
Proses marginalisasi pemiskinan ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang seperti
penggusuran dari kampung halamannya, eksplotasi dan lain sebagainya. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan karena jenis
kelaminnya adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin
akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan pada laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis
kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki oleh laki-laki. Selain itu, perkembangan teknologi
telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
Sebaliknya, banyak pula lapangan pekerjaan yang menutup pintu bagi laki-laki karena anggapan bahwa mereka kurang teliti dalam melakukan pekerjaan yang
memerlukan kecermatan dan kesabaran.
41
Muhadjir, Ibid., hal.166.
2. Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya.
Banyak kasus bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan diberbagai kehidupan. Sebagai contoh, apabila seorang
istri yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak bepergian ke luar negeri, ia harus mendapat izin dari suami. Tetapi apabila suami yang akan pergi, ia bisa
mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat izin dari istri. Kondisi semacam ini telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting
sehingga karena kemampuannya perempuan bisa menempati posisi penting sebagai pemimpin, bawahannya yang berjenis kelamin laki-laki seringkali merasa
tertekan.
3. Pandangan Stereotip
Pelabelan atau penadaan stereotip yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang
melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender, karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin
tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau
tugas domestik, sebagai akibatnya ketika berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan
dan negara hanyalah merupakan ’perpanjangan’ peran domestiknya itu.
4. Kekerasan
Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata ” kekerasan ” yang merupakan terjemahan
dari ” violence ” artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya menyangkut
serangan fisik saja seperti pemerkosaan, pemukulan dan penyiksaan tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga
secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan baik di ranah domestik maupun di ranah publik, dapat lebih parah manakala negara tidak mempunyai
keberpihakan yang kuat terhadap perempuan. Ketika negara secara tidak disadari terbangun oleh kultur patriarkis yang sejak lama telah mengakar di masyarakat,
negara menjadi tidak sensitif terhadap fenomena kekerasan yang dialami oleh perempuan. Hukum negara yang patriarkis cenderung memberi sanksi yang lebih
ringan kepada pelaku kekerasan terhadap dan tidak memberi perlindungan serta pelayanan yang memadai kepada perempuan korban kekerasan.
Sistem pemerintahan yang hirarkis, hegemonis dan patriarkis telah meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kebijakan,
program dan lembaga yang tidak responsif gender. Data statistik tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan – laki-
laki sehingga kebijakan, program dan lembaga yang dirancang menjadi buta gender gender blind dan menimbulkan kesenjangan
gender di berbagai bidang kehidupan. Peminggiran perempuan oleh
negara ini pada gilirannya akan dapat menghambat optimalisasi pencapaian kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
42
Peraturan perundang-undangan bias gender adalah peraturan perundang- undangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak mentransformasikan
Banyak masalah sosial yang terkait dengan kesejahteraan perempuan bermuara pada kultur patriarki. Untuk menyebut diantaranya adalah angka
kematian ibu yang masih tinggi, keluarga berencana dan aborsi yang tidak aman, ketidakcukupan konsumsi nutrisi perempuan, khususnya perempuan hamil dan
menyusui, pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan seksual, perdagangan perempuan dan buruknya sanitasi air bersih.
Masalah-masalah tadi tidak akan terpecahkan dengan baik jika akar permasalahannya yaitu ketidakadilan dan ketimpangan gender di masyarakat,
tidak di atasi terlebih dahulu.
2.2.TINJAUAN KEBIJAKAN
Apabila konsep gender telah dipahami, maka kriteria peraturan perundang- undangan yang berwawasan gender adalah kriteria yang tidak bias gender yang
dimana salah satu jenis kelamin tidak dirugikan karena pemberlakukan sistem danatau struktur tersebut. Peraturan perundang-undangan bias gender adalah
peraturan perundangan-undangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak mentransformasikan keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah
pihak yang berhak atas keadilan tersebut.
42
Muhadjir, Ibid.,hal.167.
keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah pihak yang berhak atas keadilan tersebut.
Untuk menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan tersebut bias gender tertentu diperlukan pengkajian yang komprehensif obyektif dengan
menggunakan tolak-ukur minimal sebagai berikut : 1.
Faktor Akses Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses dan dapat
mempergunakannya dengan cara yang sama pula dalam implementasi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
2. Faktor Kontrol
Apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol penguasaan yang sama terhadap sumber-sumber daya guna implementasi danatau
pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan. 3.
Faktor Partisipasi Apakah partisipasi atau peran serta perempuan dan laki-laki telah dibuka
dengan peluang-peluang yang sama sejak rumusan awal rancangan , pembahasan, pengesahan dan kemudian pelaksanaan peraturan perundang-
undangan tersebut. 4.
Faktor Manfaat Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh danatau menikmati manfaat
yang sama dengan pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Metode Penafsiran Peraturan Perundang-undangan yang Berperspektif
Gender adalah tool atau alat yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan.
A. MASA SOEKARNO
Kepedulian negara terhadap perempuan dapat dirunut sejak masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno. Pada masa itu,
perempuan telah diakui haknya dalam Politik, baik hak pilih dalam pemilihan umum 1955, maupun untuk duduk sebagai anggota parlemen. Sesudah
kemerdekaan, pemilihan umum mula-mula diatur dalam UU No.27 Tahun 1948
43
Keputusan 19 Tahun 1952 berhubung dengan UU No.12 Tahun 1949 kemudian dalam UU No.7 Tahun
1953 tentang Pemilihan Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
DPR .
Hasil Pemilihan Umum 1955 :
Anggota : DPR
17 Wanita; 255 Pria
Konstituante 30 Wanita; 490 Pria
44
Pada masa itu juga telah ada Undang-undang yang bernuansa keadilan
gender, yaitu UU No.80 Tahun 1958.
tentang Tunjangan Pensiun diberikan dua kali bagi janda-jandanya yang tidak lebih dari empat 4 orang.
45
43
Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984, hal.159-160.
44
Muhadjir, Op.cit., hal.47.
45
Muhadjir, Ibid., hal.47.
Undang-undang tersebut menentukan prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama. Perempuan dan laki-
laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.
UU NO.68 Tahun 1958 tentang Hak Politik Perempuan
46
Undang-undang Kerja No. 12 Tahun 1948
Pasal 1 menetapkan bahwa: Wanita mempunyai hak untuk memilih dalam semua pemilihan atas dasar
yang sama dengan pria tanpa diskriminasi Pasal 2 menentukan bahwa :
Wanita mempunyai hak untuk dipilih dalam semua “ publicly elected bodies “ yang dibentuk berdasarkan perundang-undangan nasional, atas
dasar yang sama dengan pria, tanpa diskriminasi apa pun. Pasal 3 menentukan bahwa :
Wanita mempunyai hak untuk duduk dalam jabatan pemerintahan dan melaksanakan semua fungsi pemerintahan, tanpa diskriminasi apa pun,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional.
47
46
Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan, Jakarta : Yayasan Obor, 2007, hal.198.
47
Nani Soewondo, Op.cit., hal.296-298.
Republik Indonesia yang
kemudian dinyatakan berlaku dengan Undang-undang No.1 Tahun 1951. Disamping itu ditetapkan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1954 tentang
pernyataan berlakunya beberapa pasal dari Undang-undang Kerja Tahun 1948 untuk seluruh Indonesia. Adapun pasal-pasal tentang pekerjaan wanita adalah :
Pasal 7 UUK : Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam
hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh seorang wanita.
Pasal 8 UUK : Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam
tambang, lubang di dalam tanah atau tempat lain untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari tanah.
Pasal 9 UUK : Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya
bagi kesehatan atau keselamatan, demikian pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi
kesusilaannya. Pasal 13 ayat 1 UUK :
Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua haid datang bulannya
Mengenai hal itu majikan dianggap tidak mengetahui tentang keadaan haid dari buruhnya wanita, bilamana yang berkepentingan tidak memberitahukan hal itu
kepadanya. Pasal ayat 1 PP No.4 Tahun 1954 . Pasal 13 Ayat 2 UUK :
Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan
melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur kandungan.
Pasal 13 Ayat 3 UUK : Waktu istirahat sebelum saat pekerja menurut
perhitungan akan melahirkan anak, dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan,
jikalau di dalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga
kesehatannya. Pasal 1 Ayat 4 PP No.4 Tahun 1954 : Kepada wanita yang diberi istirahat
menurut aturan-aturan tersebut diberi upah penuh
untuk waktu istirahat itu, kecuali jika dalam pada itu untuk wanita tadi berlaku peraturan khusus tentang
kedudukan dan gaji pegawaipekerja negeri.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata buku ketiga titel 7A
48
1. Terhadap perjanjian kerja yang diadakan oleh seorang wanita yng
bersuami sebagai buruh, undang-undang menganggap bahwa ia telah mendapat izin dari suaminya.
tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan terdapat pasal-pasal sebagai berikut:
2. Oleh karena itu, ia dapat melakukan sendiri semua tindakan yang
berkenaan dengan perjanjian itu, termasuk pula memberi tanda pelunasan dan menghadap di pengadilan tanpa bantuan suaminya.
3. Ia berhak menggunakan apa yang diterimanya atau apa yang ia berhak
menuntut berdasarkan perjanjian kerja tersebut, guna kepentingan keluarga Pasal 1601 f
Namun berbeda lagi kebijakan terhadap pegawai wanita atau kata lain pekerja wanita yang terpelajar. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diperlakukan satu aturan untuk semua pegawai negeri wanita di
seluruh Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 1951.
48
Nani Soewondo, Ibid., hal.299.
Adapun Pokok-pokok Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 1951 ialah sebagai
berikut
49
1. Pegawai wanita yang telah kawin dan bekerja pada jabatan negeri
maupun dalam jabatan tetap atau sementara, yang telah bekerja sedikit-dikitnya 1 tahun lamanya, dapat diberikan istirahat karena
hamil dengan syarat, bahwa pegawai itu berjanji siap sedia akan bekerja kembali setelah istirakatnya berakhir. Istirahat tersebut hanya
akan diberikan kepada pegawai wanita yang pada waktu permulaan hamil telah kawin dengan cara yang sah.
:
2. Lamanya istirahat itu adalah 1
1
2 bulan sebelum tiba waktunya melahirkan anak dan 1
1
2 bulan sesudah melahirkan anak atau gugur kandung
3. Selama waktu istirahat itu pegawai wanita yang bersangkutan
mendapat gaji penuh serta penghasilan-penghasilan yang sah 4.
Bila pegawai wanita yang bersangkutan mengabaikan perjanjiannya dan tidak bekerja kembali dalam masa 6 bulan setelah istirahatnya
berakhir, maka semua gaji dan penghasilan lain yang telah diterimanya selama masa istirahat itu, dengan tidak bersyarat ditagih
kembali dan istirahatnya itu dianggap seolah-olah diberikan sebagai istirahat di luar tanggungan negeri.
49
Nani Soewondo, Ibid., hal.302-303.
MASA SOEHARTO ORDE BARU
Pada masa Soeharto ada juga kemajuan penting yang dicapai perempuan. Salah satu kemajuan yang perlu dicatat adalah dijadikannya masalah perempuan
sebagai masalah publik dan adanya kebijakan-kebijakan publik yang secara eksplisit bertujuan untuk menangani masalah-masalah perempuan. Adapun salah
satu bentuk kebijakan atau respon negara terhadap perempuan selama masa
pemerintahan Soeharto adalah terbentuknya Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
50
50
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.175.
Adapun di dalam Pasal 9 Ayat 2 menyatakan bahwa “ Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri
maupun keluarga. “ Pasal ini sudah sangat maju, yang menentukan hak, kesempatan dan manfaat yang
sama dan adil, mengenai pemilikan dan pemanfaatan tanah, bagi perempuan dan laki-laki.
Pekerjaan kaum ibu akan bertambah berat jika banyak anak yang harus diurusnya dan dididik. Karena itu kesehatan ibu sangat mempengaruhi kesehatan
keturunannya. Dalam usaha memperbaiki kesehatan maka pemerintah pada masa Soeharto telah mengaturnya dalam suatu bentuk kebijakan.
Dalam Undang-undang Pokok Kesehatan No.9 Tahun 1960 telah
ditetapkan sebagai berikut
51
• Pasal 1 :
Tiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan perlu diikutsertakan dalam
usaha kesehatan pemerintah :
• Pasal 2 :
Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan, rohaniah mental dan sosial dan bukan hanya keadaan yang bebas
dari penyakit, cacat dan kelemahan Masalah-masalah kesehatan yang memerlukan perhatian kaum ibu ialah
masalah Gizi dan ASI.
Instruksi Presiden RI Nomor 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu
Makanan Rakyat
52
Program meningkatkan pemanfaatan ASI adalah salah satu usaha yang terbentuk dalam Inpres No.14 Tahun 1974 tentang perbaikan menu makanan
rakyat. Namun sisi lain ada yang perlu diperhatikan dimana terlampau cepat atau
berturut-turut melahirkan anak. Maka Keluarga Berencana KB sangat
diperlukan untuk mengatur dan jika perlu membatasi kelahiran anak, supaya tidak membahayakan kesehatan ibu dan anak.
menyebutkan bahwa : dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan berbagai
usaha yang bertujuan untuk mengadakan perbaikan menu makanan rakyat, dengan lebih menganekaragamkan jenis dan meningkatkan mutu gizi,
makanan rakyat baik kualitas dan kuantitas.
51
Nani Soewondo, Op.cit., hal.284.
52
Nani Soewondo, Ibid., hal.285.
Selain itu terbentuk juga undang-undang lain sebagai suatu bentuk
perjuangan perempuan yaitu Undang-undang Perkawinan Tahun 1974. Sangat
penting bahwa keluarga mendapat perlindungan menurut undang-undang. Ketentaraman jiwa kaum ibu sangat mempengaruhi kebahagiaan hidup Rumah
Tangga. Kaum wanita tidak dapat hidup tenang, bila mereka sewaktu-waktu mereka dapat dicerai meskipun tidak bersalah apapun juga seperi yang sering
terjadi. Maka dibentuklah Undang-undang Perkawinan. Pokok-pokok Undang-undang Perkawinan
53
a Peraturan yang berlaku dalam perkawinan
:
Hukum perkawinan diatur dalam Undang-undang Perkawinan yang disahkan pada akhir tahun 1973 dan diundangkan sebagai Undang-undang No.1
Tahun 1974. Dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Perkawinan ditetapkan pula Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang kewajiban pegawai
pencatat nikah dan tata kerja peradilan agama dan Petunjuk Mahkamah Agung MAPemb080775.
b Dasar dan tujuan Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Pasal 1 UUP c
Sahnya perkawinan dan Pencatatan Perkawinan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu Pasal 2 ayat 1 UUP .
53
Nani Soewondo, Ibid., hal.107-110.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 2 ayat 2 UUP .
d Poligami beristri lebih dari satu
Meskipun diakui asas monogami, tetapi pengadilan dapat memberi izin untuk poligami atas permintaan yang bersangkutan Pasal 3 UUP .
Pengadilan hanya dapat memberi izin demikian kepada suami, jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat melahirkan keturunan Pasal 4 UUP.
Suami harus mengajukan permohonan dengan terlebih dahulu memenuhi syarat- syarat: persetujuan istri istri-istri; suami mampu menjamin keperluan hidup istri-
istri dan anak-anak mereka serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak Pasal 4, 5 UUP .
e Hak dan Kewajiban Suami Istri
Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing berhak
untuk melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga Pasal 31 UUP
f Harta Benda dalam Perkawinan
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah dan warisan, adalah dibawah penguasaan masing- masing sepanjang pihak yang bersangkutan tidak menentukan lain Pasal 35
UUP. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
g Perceraian
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak Pasal 39 ayat 1 UUP . Pada masa pemerintahan Soeharto ada suatu kebijakan meningkatkan
peranan wanita yang diatur dalam Ketetapan MPRNo.IVMPR1973 tentang GBHN, BAB IV, Pola Umum Pelita Kedua, mengenai Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan Teknologi dan Pembinaan Generasi Muda,
54
Peranan wanita tersebut dalam proses pembangunan selanjutnya memperoleh perhatian pemerintah sejak keikutsertaan Indonesia dalam
Konferensi I Perserikatan Bangsa-bangsa tentang perempuan di Mexico pada tahun 1975. Sebagai tindak lanjutnya, pada tahun 1978
sub 8 di cantumkan sebagai berikut : “ Pembinaan keluarga yang sejahtera adalah sarana bagi
pembinaan Generasi Muda. Untuk pembinaan keluarga yang demikian itu maka hak-hak wanita dijamin serta kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat
dilindungi.”
55
54
Nani Soewondo, Ibid., hal.305.
55
Muhadjir, Op.cit., hal.72.
telah ditunjuk seorang
Menteri Muda Urusan Peranan Wanita sebagai anggota Kabinet Pembangunan
III.
Selanjutnya Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN , Ketetapan MPR No. IVMPR1978 antara lain menyatakan mengenai Keluarga
Berencana dan Kependudukan, dalam hubungannya pula dengan masalah pembangunan sebagai berikut
56
“ Erat hubungannya dengan masalah kependudukan adalah pelaksanaan program KB yang dalam Pelita Kedua telah menunjukkan hasil-hasilnya.
Program tersebut perlu diperluas dan diintensifkan agar dalam jangka panjang benar-benar dapat menjamin terkendalikannya pertumbuhan
: “ Agar pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat dapat
terlaksana dengan cepat, harus dibarengi dengan pengaturan pertumbuhan jumlah penduduk melalui program Keluarga Berencana, yang mutlak harus
dilaksanakan dengan berhasil, karena kegagalan pelaksanaan KB akan mengakibatkan hasil usaha pembangunan menjadi tidak berarti dan dapat
membahayakan generasi yang akan datang. Pelaksanaan KB ditempuh dengan cara-cara sukarela, dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama dan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu diperlukan pula usaha penyebaran penduduk yang lebih wajar melalui transmigrasi sebagai
sarana dalam meningkatkan kegiatan pembangunan secara merata di seluruh tanah air.” GBHN BAB III,B,8
Kemudian dalam Pola Umum Pelita Ketiga telah dicantumkan juga sebagai
berikut :
56
Nani Soewondo, Op.cit., hal. 174.
penduduk Indonesia dan dapat menciptakan keluarga yang sejahtera.” GBHN, BAB IV, D, 21 .
Selain mengatur tentang kependudukan pemerintah juga meningkatkan Peranan Wanita dalam Pembangunan dan Pembinaan Bangsa berdasarkan
Ketetapan MPR No.IVMPR1978 tentang GBHN, BAB IV, Pola Umum Pelita Ketiga
57
a Pembangunan yang menyeluruh mensyaratkan ikut sertanya pria maupun
wanita secara maksimal di segala bidang. Oleh karena itu, wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk
ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembangunan. :
b Peranan wanita dalam pembangunan tidak mengurangi peranannya dalam
pembinaan keluarga sejahtera umumnya dan pembinaan generasi muda khususnya dalam rangka pembinaan manusia Indonesia seutuhnya.
c Untuk lebih memberikan peranan dan tanggung jawab kepada kaum
wanita dalam pembangunan, maka pengetahuan dan keterampilan wanita perlu ditingkatkan di berbagai bidang yang sesuai dengan kebutuhannya.
Pada tahun 1981, pemerintah mengeluarkan kebijakan lain diantaranya
Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981 sebagai pelaksanaan dari Undang- undang No.80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi
Perburuhan Internasional No.100 mengenai Pengupahan yang sama bagi Buruh laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
58
57
Nani Soewondo, Ibid., hal. 305.
58
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.247.
Pasal 3 menentukan bahwa : Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi
antara buruh laki-laki dan buruh perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Selanjutnya dalam GBHN, Ketetapan MPR No.IIMPR1983 Pelita Keempat ditegaskan kembali mengenai Kependudukan dan Keluarga Berencana
sebagai berikut
59
a Kebijaksanaan kependudukan yang menyeluruh dan terpadu perlu
dilanjutkan dan makin ditingkatkan serta diarahkan untuk menunjang peningkatan taraf hidup, kesejahteraan dan kecerdasan bangsa serta tujuan-
tujuan pembangunan lainnya. :
b Pelaksanaan kebijaksanaan dan program-program kependudukan yang
meliputi antara lain pengendalian kelahiran, penurunan tingkat kematian terutama tingkat kematian anak-anak, perpanjangan harapan hidup,
penyebaran penduduk dan tenaga kerja yang lebih serasi dan seimbang perlu lebih ditingkatkan.
c Program Keluarga Berencana bertujuan ganda, ialah untuk meningkatkan
kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera
dengan pengendalian kelahiran, dan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk Indonesia.
59
Nani Soewondo, Op.cit., hal. 176.
d Dalam rangka mengendalikan pertumbuhan penduduk perlu diambil
langkah-langkah untuk mempercepat turunnya tingkat kelahiran. e
Jumlah peserta keluarga berencana perlu makin ditingkatkan kesadaran dan secara sukarela dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama dan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. f
Penerangan dan pendidikan mengenai masalah kependudukan bagi seluruh lapisan masyarakat baik wanita maupun pria, terutama generasi muda,
perlu ditingkatkan dan lebih diperluas agar makin disadari mendesaknya masalah kependudukan serta pentingnya keluarga kecil sebagai cara hidup
yang layak dan bertanggung jawab.
Terdapat juga didalamnya adanya peningkatan posisi Menteri menjadi
Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Men UPW serta adanya Ketetapan MPR No.IIMPR1983 tentang GBHN, BAB IV, Pola Umum
Pelita Keempat, peranan wanita dalam pembangunan bangsa adalah
60
a Pembangunan yang menyeluruh mensyaratkan ikut sertanya pria maupun
wanita secara maksimal di segala bidang. Dalam rangka ini wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk
ikut serta dalam segala kegiatan pembangunan. :
b Peranan wanita dalam pembangunan berkembang selaras dan serasi
dengan perkembangan tanggung jawab dan peranannya dalam mewujudkan dan mengembangkan keluarga sehat dan sejahtera, termasuk
60
Nani Soewondo, Ibid., hal. 306.
pembinaan generasi muda anak-anak remaja dan anak-anak di bawah lima tahun, dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
c Peranan dan tangung jawab wanita dalam pembangunan makin
dimantapkan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan di berbagai bidang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
d Dalam rangka mendorong partisipasi wanita dalam pembangunan perlu
makin dikembangkan kegiatan wanita dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga antara lain melalui organisasi Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga PKK
Indonesia meratifikasi Konvensi Perempuan dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
61
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women dengan persyaratan
resevation terhadap Pasal 29 ayat 1.
62
61
Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
62
Pasal 29 ayat 1 Konvensi Perempuan: “Setiap perselisihan antara dua atau lebih negara mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui
perundingan, diajukan untuk arbitrasi atas permohonan salah satu diantara Negara-negara tersebut. Jika enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrasi pihak-pihak tidak dapat bersepakat
mengenai penyelenggaraan arbitrasi itu, salah satu dari pihak-pihak tersebut dapat menyerahkan perselisihan itu kepada Mahkamah Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan
peraturan Mahkamah itu.
Maka dari ratifikasi suatu konvensi internasional dengan undang-undang ialah suatu perjanjian internasional treaty
yang menciptakan kewajiban dan akuntabilitas Negara yang meratifikasinya. Ratifikasi oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat DPR
menjadikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan Konvensi sebagai hukum formal dan bagian dari hukum nasional.
Konsekuensi dari ratifikasi Konvensi internasional ialah bahwa Negara Peserta peratifikasi konvensi memberikan komitmen, mengikatkan diri untuk
menjamin melalui peraturan perundang-undangan, kebijakan, program dan tindakan khusus sementara, mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki
dan perenpuan, serta terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. 1. Prinsip-prinsip Konvensi Perempuan
Konvensi Perempuan menekankan pada persamaan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki equality and equity, yaitu persamaan hak dan
kesempatan serta penikmatan mamfaat disegala bidang kehidupan dan segala kegiatan.
Konvensi Perempuan mengakui bahwa : •
Ada perbedaan biologis atau kodrati antara perempuan dan laki-laki •
Ada perbedaan perlakuan yang berbasis gender yang mengakibatkan kerugian pada perempuan. Kerugian itu berupa subordinasi kedudukan
dalam keluarga dan masyarakat, maupun pembatasan kemampuan dan kesempatan dalam memamfaatkan peluang yang ada. Peluang itu dapat
berupa peluang untuk tumbuh kembang secara optima, secara menyeluruh dan terpadu, peluang untuk menikmati manfaat yang sama dengan laki-
laki dari hasil-hasil pembangunan untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
• Ada perbedaan kondisi dan posisi antara perempuan dan laki-laki, dimana
perempuan ada dalam komdisi dan posisi yang lebih lemah karena mengalami diskriminasi atau menanggung akibat karena perlakuan
diskriminatif dimasa lalu, atau karena lingkungan, keluarga dan masyarakat tidak mendukung kemandirian perempuan.
Dengan memperhatikan keadaan dan kondisi itu, Konvensi Perempuan menetapkan prinsip-prinsip serta ketentuan-ketentuan untuk menghapus
kesenjangan, subordinasi serta tindakan yang merugikan hak dan kedudukan perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat.
Prinsip-prinsip yang dianut oleh Konvensi sebagai alat untuk advokasi. Prinsip-prinsip tersebut merupakan pula kerangka untuk merumuskan strategi
pemajuan dan penegakan hak perempuan. Prinsip-prinsip Konvensi Perempuan dapat digunakan pula sebagai alat untuk menguji apakah suatu kebijakan, aturan
atau ketentuan mempunyai dampak, dalam jangka pendek atau jangka panjang, yang merugikan perempuan.
Konvensi perempuan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : •
Prinsip Persamaan Substantif, yaitu persamaan hak, kesempatan, akses dan penikmatan mamfaat.
• Prinsip Non-Diskriminasi
• Prinsip Kewajiban Negara
Prinsip-prinsip tersebut yang berasaskan kemanusiaan lihat Mukadimah Konvensi merupakan suatu kesatuan, saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-
pisahkan.
a. Prinsip persamaan substantif Secara ringkas, prinsip persamaan substantif yang dianut Konvensi
Perempuan adalah : •
Langkah tindak untuk merealisasi hak perempua yang ditujukan untuk mengatasi adanya perbedaan, disparitaskesenjangan atau keadaan yang
merugikan perempuan. •
Langkah-tindak melakukan perubahan lingkungan, sehingga perempuan mempunyai kesempatan dan akses yang sama dengan laki-laki serta
mempunyai manfaat yang sama. •
Konvensi Perempuan mewajibkan negara untuk mendasarkan kebijakan dan langkah-tindakpada prinsip-prinsip : a kesempatan yang sama bagi laki-laki,
b akses yang sama bagi perempuan dan laki-laki, c perempuan dan laki- laki menikmati manfaat yang sama dari hasil-hasil menggunakan kesempatan
dan akses tersebut. •
Hak hukum yang sama bagi perempuan dan laki-laki i dalam kewarganegaraan,ii dalam wadah perkawinan dan hubungan keluarga, iii
dalam perwalian anak. •
Persamaan kedudukan dalam hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
b. Prinsip non-diskriminasi Definisi mengenai diskriminasi terhadap perempuan dimuat dalam Pasal 1
Konvensi Perempuan: ”Istilah diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapus
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan”
Pasal 1 Konvensi Perempuan merupakan definisi kerja arti diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 1 digunakan untuk melakukan identifikasi kelemahan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan formal atau netral.
63
- Langkah-tindak khusus sementara, Pasal 4 1 Konvensi Perempuan, yaitu
langkah-tindak yang dilakukan untuk mencapai persamaan kesempatan dan perlakuan bagi perempuan dan laki-laki, dan mempercepat persamaan de facto
antara laki-laki dan perempuan. Dikenal sebagai affirmative action, tetapi sekarang dikenal sebagai langkah-langkah-tindak atau tindakan khusus
sementara, temporary special measure.
Yang tidak dianggap sebagai diskriminasi ialah:
- Perlindungan kehamilan Pasal 4 2, dan kehamilan sebagai fungsi sosial Pasal
52 Konvensi Perempuan. Sebaliknya suatu tidakan proaktif, seperti melarang perempuan melakukan
suatu jenis pekerjaan tertentu dapat dianggap sebagai suatu tindak diskriminatif, karena dalam jangka panjang dapat bertentangan dengan kepentingan perempuan.
63
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.138.
c. Prinsip kewajiban negara Menurut Konvensi Perempuan prinsip dasar kewajiban negara meliputi
hal-hal sebagai berikut: -
Menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan, serta menjamin hasilnya.
- Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah-tindak atau aturan
khusus sementara, menciptakan kondisi yang kondusif untuk meningkatkan kesempatan dan akses perempuan pada peluang yag ada, dan menikmati
manfaat yang samaadil dari hasil menggunakan peluang itu. -
Negara tidak saja menjamin tetapi juga merealisasi hak perempuan. -
Tidak saja menjamin secara de jure tetapi juga secara de facto. -
Negara tidak saja harus bertanggung jawab dan mengaturnya di sektor publik, tetapi juga melaksanakanya terhadap tindakan orang-orang dan lembaga di
sektor privat keluarga dan sektor swasta. Dalam pasal 2-5 Konvensi Perempuan :
Pasal 2 mewajibkan Negara :
• Mengetuk diskriminasi, melarang segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan melalui peraturan perundang-undangan dan kebijakan serta pelaksanaannya.
• Menegakkan perlindungan hukum terhadap perempuan melalui peradilan
nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, serta perlindungan yang efektif bagi perempuan dari setiap tindakan
diskriminasi.
• Mencabut semua aturan dan kebijaksaan dan praktik yang diskriminatif
terhadap perempuan.
Selanjutnya Pasal 3 menentukan kewajiban Negara untuk melakukan
langkah-langkah proaktif di semua bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, serta menciptakan lingkungan dan kondisi yang menjaminkan pengembangan dan
kemajuan perempuan.
Pasal 4 mewajibkan Negara untuk melakukan langkah-tindak khusus
sementara untuk mempercepat persamaan de-facto, serta mencapai perlakuan dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Peraturan dan tidakan
khusus yang ditujukan untuk melindungi kehamilan tidak dianggap sebagai diskriminasi ayat 2
Dan Pasal 5 mewajibkan Negara melakukan langkah-tindak yang tepat
untuk: • Mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan
dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka dan kebiasan dan segala praktik lainnya yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas
salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe bagi laki-laki dan perempuan • Menjamin bahwa pendidikan keluarga memberikan pengertian yang tepat
mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam membesarkan anak-anak mereka, dan
bahwa anak-anak adalah pertimbangan utama dalam segala hal.
Perhatikan Pasal 23 Konvensi Perempuan yang menentukan bahwa : ”Apapun dalam konvensi ini tidak akan mempengaruhi ketentuan manapun
yang lebih baik bagi tercapainya persamaan antara pria dan wanita, yang mungkin terdapat :
a dalam perundang-undangan suatu Negara Peserta, atau
b dalam Konvensi, perjanjian atau persetujuan internasional maupun
yang berlaku bagi negara itu”.
Demikian pula Pasal 24 yang menentukan bahwa :
”Negara-negara Peserta mengusahakan untuk mengambil segala langkah yang perlu pada tingkat nasional yang ditujukan pada tercapainya
perwujudan sepenuhnya dari hak-hak yang diakui dalam konvensi itu”. Konvensi mewajibkan negara mewujudkan persamaan substansif antara
perempuan dan laki-laki dalam bidang-bidang
64
Kehidupan politik dan publik Pasal 7
:
Mewakili negara di tingkat internasional dan berpartisipasi dalam
pekerjaan organisasi internasional Pasal 8
Memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya
Pasal 9
Pendidikan, termasuk turut serta dalam kurikulum dan ujian yang sama
serta staf pengajar, gedung dan peralatan sekolah dengan mutu yang
sama Pasal 10
Ketenagakerjaan, termasuk bekerja sebagai hak asasi manusia, hak atas
kesempatan kerja yang sama, secara bebas memilih profesi dan pekerjaan, upah yang sama termasuk tunjangan dan perlakuan yang sama
sehubungan dengan pekerjaan yang sama nilainya maupun hak atas jaminan sosial, perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja dan
perlindungan fungsi reproduksi Pasal 11
Pemeliharaan kesehatan, termasuk hak untuk mendapatkan pelayanan
yang berkaitan dengan keluarga berencana, kehamilan dan menyusui
Pasal 12
64
Achie Sudiarti Luhulima, Ibid., hal. 141-142.
Hak atas tunjangan keluarga, pinjaman bank dan bentuk-bentuk lain
kredit permodalan, kegiatan rekreasi, olahraga dan lain-lain Pasal 13
Perkawinan dan keluarga, termasuk hak untuk memasuki jenjang
perkawinan, memilih pasangan serta hak dan kewajiban yang sama sebagai orangtua dalam urusan yang berkaitan dengan anak-anak mereka
Pasal 16
Konvensi memberikan perhatian pada masalah-masalah khusus yang
dihadapi oleh perempuan pedesaan dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan sehingga mereka dapat turut serta dalam
dan menikmati manfaat dari pembangunan desa Pasal 14
Menjamin persamaan hak perempuan dan laki-laki di muka hukum,
kecakapan hukum yang sama dan menghormati mobilitas orang-orang
serta pilihan tempat tinggal dan domisili Pasal 15
Dapat juga diperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women serta Lampiran Undang-Undang Republik
Indonesia No.7 tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984.
65
65
Hak Asasi Perempuan, Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Kelompok Kerja Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia,
Jakarta, 2004, hal. 1-34. Lihat pula instrument hukum lainnya dalam buku tersebut. Lihat pula Achie Sudiarti Luhulima, Kovensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita ,
dalam Prof. Dr. Tapi Omas Ihroni, SH, MA, dkk Penyunting. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Penerbit Alumni, 2000, Bandung, hal. 24-62.
Pada tahun 1992 adanya suatu perlindungan negara terhadap tenaga kerja
yang diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
66
Pada tanggal 23 September diundangkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 3 Ayat 2 menentukan bahwa : Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja.
Pasal 7 Ayat 2 menentukan bahwa : Jaminan sosial tenaga kerja berlaku pula untuk keluarga tenaga kerja.
MASA REFORMASI
67
maka adanya jaminan atau
perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita yang terdapat pada Bagian Kesembilan.
Pasal 45 : “ Hak wanita dalam undang-undang ini adalah hak asasi manusia.” Hak Pekerja Wanita
Pasal 38 menentukan bahwa : 1 Setiap warga negara sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan
berhak atas pekerjaan yang layak 2 Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan
berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil
66
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.249.
67
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 45-51.
Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pasal 49
2 Wanita berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan dan profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam
keselamatan dan kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita 3 Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi
reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum Bidang Kewarganegaraan
Pasal 47 menentukan bahwa seorang wanita :
• Yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak
secara otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya. •
Mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti atau memperoleh status kewarganegaraannya.
Bidang Politik Pasal 23 1 menentukan bahwa :
Setiap orang bebas memilih dan mempunyai keyakinan politiknya Pasal 43 1 menentukan bahwa :
Setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, berdasarkan persamaan hak, melalui pemungutan suara yang langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 46 menentukan bahwa : Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan
sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
Pasal 49 1 menentukan bahwa : Wanita berhak memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan
profesi dan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Bidang Pendidikan
Pasal 11 menentukan bahwa : Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan
berkembang secara layak Pasal 12 menentukan bahwa :
Setiap orang behak atas perlindungan bagi penegmbangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan meningkatkan kualitas
hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi
manusia. Pasal 48 menentukan bahwa :
Wanita berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan. Pasal 51 1 menentukan bahwa :
Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hak yang berkenaan dengan
kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya dan hak pemilikan serta pengelolaan hak bersama.
Pasal 51 2 menentukan bahwa ” Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung
jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak. Pasal 51 3 menentukan bahwa :
Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta
bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.
Bidang Perdagangan Perempuan Pasal 20 menentukan bahwa :
1. Tidak seorangpun boleh diperbudak dan diperhamba
2. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan
wanita dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya, serupa, dilarang
Pasal 65 menentukan bahwa : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kegiatan ekspolitasi dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikoterapi dan zat adiktif lainnya.
Selanjutnya dalam GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan
Pemberdayaan Perempuan
68
1. Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yan diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan
keadilan gender. yakni :
2. Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan
dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan perempuan dalam rangka melanjutkan usaha
pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan Gender KKG merupakan komitmen bangsa
Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan.
Sesuai dengan dua arah kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun
daerah, yang pelaksanaannyadapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.
Berdasarkan arah kebijakan yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk butir pemberdayaan perempuan, Propenas 2000-2004 yang diatur dalam
UU NO. 25 Tahun 2000 telah melakukan mainstreaming kebijakan dan program
pembangunan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya Propenas telah dirumuskan
68
Muhadjir, Op.cit., hal.79.
secara lebih rinci setiap tahun ke dalam Rencana Pembangunan Tahunan Repeta , untuk tahun 2001 Repeta 2001 .
Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender PUG. Instruksi Presiden ini sesuai dengan amanat GBHN serta Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas yaitu dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Pengarusutamaan Gender merupakan salah satu
strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan
permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan pelaksanaan dan pemantauan serta evaluasi dari seluruh kebijakan program, proyek dan berbagai
kegiatan bidang kehidupan dan pembangunan.
Kemudian adanya Tujuan Pembangunan Millenium Millenium Development Goals – MDGs tahun 2000 mengenai pendidikan
69
69
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.233.
, maka : Tujuan 2 :
Mencapai pendidikan dasar secara universal Target 3 :
Menjamin bahwa pada tahun 2015, semua anak dimana saja, laki-laki dan perempuan dapat menyelesaikan
pendidikan dasar. Tujuan 3 :
Meningkatkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan
Target 4 : Menghapuskan kesenjangan gender dalam pendidikan dasar
dan menengah pada tahun 2005 dan pada seluruh jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015
UU NO.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja Serikat Buruh
70
Selanjutnya dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan Renstra 2001-2004, program yang disusun terdiri dari program
dalam rangka pembangunan perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan upaya peningkatan kemampuan, mencakup Program
Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Pemberdayaan Perempuan; Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan; Program Peningkatan Peran Masyarakat
sebagai pelaksanaan dari UU No.18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi
Perburuhan Internasional No.98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari Hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama.
Pasal 12 menentukan bahwa : Serikat PekerjaSerikat Buruh, federasi dan konfederasi, serikat
pekerjaserikat buruh harus terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku, bangsa dan jenis kelamin.
Pada tahun 2001 dirumuskan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
70
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja, Pasal 12.
Pemampuan Kelembagaan Pengarasutamaan Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; Program Sumber Daya, Sarana dan
Prasarana. Dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui program
yang peka akan permasalahan gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah bekerjasama dengan UNFPA dalam melaksanakan serangkaian kegitan
Mainstreaming Gender Issues in Reproduktive Health and Population Policies and Programmes. Tujuan utama program ini adalah tercapainya perbaikan status
kesehatan reproduksi kaum perempuan dan laki-laki melalui kebijakan program kesehatan reproduksi dan kependudukan yang sensitif gender. Hal ini akan dicapai
melalui penguatan kapasitas nasional untuk melakukan pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi konsep gender dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan
dan program untuk kesehatan reproduksi dan kependudukan. Upaya mengaktualisasikan dan memanifestasikan dan mengakselerasikan
PUG di sektor strategis, propinsi dan kabupatenkota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah melaksanakan program dan langkah konkrit antara lain :
• Program pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan
perempuan serta serangkaian koordinasi telah dilakukan dalam upaya perbaikan undang-undang yang masih bias gender seperti UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan UU No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.
• Program peningkatan peran serta masyarakat dan penguatan
kelembagaan PUG dilakukan melalui sosialisasi, advokasi dan pelatihan analisis gender baik di tingkat pusat, propinsi dan kabupatenkota
• Pengembangan modul sosialisasiadvokasi gender
• Pengembangan alat untuk analisis gender yang digunakan dalam
perencanaan program dan dikenal dengan Gender Analysis Pathway GAP dan Problem Base Analysis PROBA
• Pengembangan Homepage untuk penyediaan data dan informasi
program pembangunan pemberdayaan perempuan, konsep kesetaraan dan keadilan gender dan jaringan informasi dengan website
• Penyusunan profil gender untuk 26 propinsi
• Fasilitas bantuan teknis kepada daerah propinsi, kabupaten dan kota
• Tersedianya data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin
secara berskala dan berkesinambungan dari propinsi dan kabupatenkota mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah
Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2002 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
71
a Santunan kematian diberikan sebesar Rp 5.000.000,- Lima Juta
Rupiah Pasal 22 Ayat 1 menentukan bahwa :
Jaminan kematian dibayar sekaligus kepada janda atau duda atau anak dan meliputi :
b Biaya pemakaman sebesar Rp 1.000.000,- Satu Juta Rupiah
71
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Pasal 22 Ayat 1.
Undang-undang No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
72
Keputusan Presiden No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Trafiking Perempuan dan Anak terdapat pada
Pasal 7e menentukan bahwa : Partai politik berfungsi sebagai sarana : Rekruitmen politik dalam proses
pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperlihatkan kesetaraan gender.
Pasal 10 Ayat 2 menentukan bahwa : Keanggotaan partai politik bersifat sukarela, terbuka dan tidak diskriminastif
bagi setiap warga negara Indonesia yang menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang bersangkutan.
Pasal 13 Ayat 3 menentukan bahwa : Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis
melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan
gender.
73
Pada tanggal 30 Desember 2002, diterbitkan Keputusan Presiden No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan
Traffiking Perempuan dan Anak. Keputusan Presiden ini lahir karena didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai kasus trafiking yang terjadi
di Indonesia. Hal ini terbukti dalam Trafficking in Persons Report Juli 2001 yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Komisi
72
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik
73
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal. 184-188.
Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik Economy and Social Commission for Asia Pacific yang menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam
upaya penanggulangan trafiking perempuan dan anak. Adapun yang menjadi tujuan Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Perdagangan Trafiking Perempuan dan Anak Tujuan Umum :
Terhapusnya segala bentuk perdagangan Trafiking perempuan dan anak
Tujuan Khusus : a
Adanya norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan trafiking perempuan dan anak
b Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap
korban perdagangan trafiking perempuan dan anak yang dijamin secara hukum
c Terlaksananya pencegahan segala bentuk praktek
perdagangan trafiking perempuan dan anak di keluarga dan masyarakat.
Pada tahun 2002 terlihat landasasan hukum yang menjamin keadilan dan kesetaraan gender dirumuskan dalam UUD 1945 hasil amandemen pada Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia
74
74
Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.
. Di dalamnya kita dapat mengetahui bahwa adanya
jaminan hak perempuan. Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hak perempuan dan laki-laki dijamin dalam
dasar Negara Republik Indonesia... Kemanusiaan yang adil dan beradab ... dan ... Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Manusia terdiri atas laki-laki
dan perempuan, demikian pula seluruh rakyat Indonesia. Hal ini ditetapkan dalam pasal-pasal terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara dan
penduduknya.
UUD 1945 Hasil Amandemen
Pasal 27 1 menentukan bahwa : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 27 2 menentukan bahwa : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
Bab XA Hak Asasi Manusia Pasal 28A-28J
Pasal 28 menentukan bahwa : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28A menentukan bahwa :
Setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28C 1 menentukan bahwa : Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.