Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Keberadaan perempuan dalam pergerakan kebangsaan memiliki sejarah yang panjang dan peran yang signifikan bagi perkembangan kemajuan bangsa. Peran perempuan ini sejak semula telah berakar menurut adat di Indonesia pada tiga ciri : sistem matrilineal, sistem patrilineal, sistem bilineal. Semua sistem kekerabatan itu bersintesis dengan Islam dan yang kemudian memreproduksi hukum yang mengatur perkawinan. Perempuan yang menikah, yang disebut ibu, membentuk posisi khusus dalam struktur kekerabatan dengan fungsi dan peran yang secara permanen diatur oleh adat, terutama melalui hukum perkawinan dan perceraian yang merujuk pada fiqih Islam. Ketiga ciri sistem kekerabatan itu sama-sama menempatkan perempuan sebagai “ penjaga rumah “, tetapi tidak berarti mempunyai pengambilan keputusan atas properti, yakni harta kekayaan, termasuk anak, yang memberi status sosial sebuah keluarga. Dalam fungsi dan peranannya sebagai “ penjaga rumah “ di ketiga sistem kekerabatan itu, ada dua problem yang krusial dialami oleh kaum perempuan. Pertama, berhubungan dengan berbagai soal di seputar perkawinan dan yang Kedua, berkenaan dengan tak adanya hak untuk bisa sekolah. Maka, gambaran tentang perempuan ialah buta huruf, bodoh dan hidup sebagai “ penjaga rumah “. Hukum perkawinan prinsipnya mengatur mas kawin, akad perkawinan, perceraian dan pewarisan. Dicontohkan sistem matrilineal pada masyarakat minang, perempuan menikah tidak ke luar dari rumah atau mengikuti keluarga suaminya. Ia beranak-pinak sambil menjaga rumah gadang yang diwariskan keluarga ibunya. Para ” penjaga rumah gadang ” itu dipimpin oleh ninik-mamak, ialah saudara mereka yang laki-laki. Karena perempuan Minang itu yang menarik masuk laki-laki ke dalam kekerabatnya, maka mas kawin dibayar oleh perempuan. Sedangkan dalam sistem patrilineal, perempuan itu masuk ke keluarga suaminya dan si suami ini membayar mas kawin kepada isterinya. Sering terjadi, jika suaminya meninggal, maka adik suaminya yang laki-laki menikahi janda abangnya itu. Dalam patrilineal, fungsi dan peran perempuan penjaga rumah warisan keluarga suaminya. Dalam sistem bilineal, contohnya di Jawa, perempuan yang kawin bisa ikut suaminya. Akan tetapi, bisa juga perempuan itu menarik masuk suaminya ke dalam keluarganya. Dengan demikian, fungsi dan peran perempuan tetaplah ”penjaga rumah” warisan suaminya atau warisan bapaknya untuk dia dan saudara laki-lakinya. Titik krusial dari urusan perkawinan tersebut ialah poligami dan hak perempuan yang tersingkir jauh dari pengambilan keputusan untuk kawin, cerai dan pewarisan. Terdapat asumsi, bahwa jika perempuan itu sekolah maka usia perkawinannya dapat ditunda, sekaligus mereka tahu dimana kedudukannya dalam hukum perkawinan. Problem itulah yang mengawali pertumbuhan organisasi perempuan awal abad ke-20. 1 Maka berdasarkan sejarah tradisi dan budaya Indonesia, kedudukan perempuan sangat terbatas, mulai dari diri perempuan itu sendiri yang telah ditempa sedemikian rupa di sekitar lingkungan yaitu didominasi sistem patriarki yang menjadikannya sebagai perempuan dengan kepribadian ’ ngemoh ’ atau 1 Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian, Jakarta : Komunitas Bambu, 2008, hal.9-30. menerima apa adanya sampai faktor eksternal yang juga memainkan peran yang cukup signifikan dalam membatasi peran perempuan di ruang publik dan di parlemen. Merujuk peran perempuan di atas maka perempuan dikatakan sebagai the “Second Human Being“ manusia kelas kedua, yang berada di bawah superioritas laki-laki yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. 2 Sebenarnya, sudah banyak upaya dilakukan untuk memerangi ideologi patriarki ini, dimulai sejak zaman Kartini hingga zaman reformasi sekarang ini. Sehingga perempuan Indonesia telah mengalami banyak kemajuan, meskipun pada tingkat tertentu masih terjadi ketimpangan gender. Hal ini dapat dilihat dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia IPM dan Indeks Pembangunan Gender IPG . Pada tahun 2002 angka IPM nasional adalah 65,8 sementara angka IPG adalah 59,2. kenyataan bahwa angka IPG lebih rendah dibandingkan dengan IPM menunjukkan bahwa pada tingkat tertentu di Indonesia masih terjadi ketimpangan gender. Berdasarkan Human Development Report 2003, IPM Indonesia hanya menempati urutan ke-112 dari 175 negara. Posisi Indonesia berada di bawah Malaysia, Thailand, Filipina, bahkan juga Vietnam pada tahun Sejarah sistem politik di sebagian besar negara menunjukkan adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam proses politik mulai di tingkat lokal sampai tingkat nasional. Adanya pembagian antara peran publik dan domestik menjadikan perempuan terpotong aksesnya dalam partisipasi politik dan terdiskriminasi dalam sistem politik. 2 Siti Musdah Mulia, Perempuan dan Politik, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Umum, 2005, hal.5. 2001 yang pendapatan per kapitanya lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia. 3 3 Hatmadji, “ Pembangunan Sumber Daya Manusia SDM dalam perspektif Kependudukan”, 2004, hal.1. Dalam bidang pendidikan terjadi kemajuan yang berarti. Secara umum, laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama untuk sekolah, namun perataan pendidikan berdasarkan gender sebenarnya belum sepenuhnya tercapai. Dari segi kemampuan baca tulis, perempuan sudah terbebas dari masalah buta huruf. Kemajuan perempuan juga dapat di ukur dari partisipasi perempuan di dunia kerja. Jika pada masa lampau sebagian besar perempuan terpenjara di ranah domestik dan berfungsi sebatas ibu rumah tangga, maka saat ini semakin sedikit perempuan peran satu-satunya adalah menjadi ibu rumah tangga dan lebih banyak perempuan bekerja di luar rumah. Dapat dikatakan bahwa pada masa ini khususnya Indonesia perempuan bisa lebih memaksimalkan diri dengan minat dan bakatnya. Segala kesempatan terbuka walaupun belum semuanya bisa diakses dengan mudah, tetapi paling tidak jalan untuk berkembang itu telah terbuka. Dalam bidang politik masalah keterwakilan politik political representativeness bagi perempuan adalah satu hal yang cukup penting, khususnya dalam peristiwa besar seperti pemilihan umum pemilu . Alasan mendasar bagi tuntutan representase politik yang lebih adil ini dinyatakan, seperti ” Gender sebagai suatu kategori politik yang penting yang harus terwakili secara penuh dalam institusi-istitusi pemerintahan.” Apapun pilihan politiknya, kaum perempuan mempunyai hak untuk diwakili hanya oleh wakil perempuan. Dalam kerangka perpolitikan demokrasi saat ini maka peningkatan jumlah representasi perempuan dalam lembaga perwakilan hanya dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni partai politik ataupun utusan golongan. Dari dua kemungkinan di jalur tersebut maka partai politik merupakan jalur yang paling efektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan secara signifikan partai politik merupakan satu-satunya organisasi politik yang secara sah dapat ikut dalam pemilihan umum . Sehingga saat ini partai politik sudah membuka diri untuk perempuan bisa masuk dan peran lebih. Sepertinya partai politik sadar bahwa selain jumlah perempuan secara kuantitas besar, secara kualitas perempuan tidak kalah dengan pria. Kaum terpelajar dari kaum perempuan sudah sedemikian banyak, keberanian untuk berperan di ranah publik pun semakin besar. 4 Oleh karena itu, masyarakat kita sudah terbuka tentang wacana gender, namun persoalan perempuan tidak akan pernah tuntas untuk dibahas. Dibandingkan era sebelumnya, sesungguhnya persoalan perempuan pada saat ini memiliki bentuk yang serupa, hanya dengan warna dan wajah yang berbeda. Berangkat dari hal tersebut diatas, mari kita bersama-sama melakukan oto kritik Di era sekarang hampir semua ranah publik perempuan sudah bisa mengakses dengan lebih terbuka. Dari lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga sosial sampai lembaga internasional pun perempuan sudah tidak asing lagi. Di Tata Kelola Negara tidak sekedar anggota partai politik yang pasif. Perempuan tidak jadi sekedar penambah suara, tetapi juga penentu suara dan layak jadi wakil rakyat. 4 http : ichwanarifin.blogspot.com200611perempuan-politik-dan-pergerakan.html pada diri sendiri. Sebagai kaum perempuan, sampai dimanakah perjuangan kita selama ini ? Sekalipun perempuan telah mendapatkan kesempatan di ranah publik namun pada kenyataannya sekarang ini perempuan berada di bawah himpitan globalisasi, kapitalisme dan modernisasi. Tuntutan akan perubahan gaya hidup, tingginya kebutuhan akan keping-keping uang, konsumtivisme, memunculkan tekanan-tekanan hebat bagi individu dalam keluarga, yang berakhir dengan munculnya bermacam bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Demikian pula dengan persoalan yang dihadapi para buruh perempuan. Kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual dan PHK sepihak yang mereka alami merupakan bentuk nyata penjajahan dari para pemilik modal. Secara spesifik, tindak kekerasan muncul atas dasar perbedaan etnis, suku, religi bahkan berbasis gender. Andrew Karmen 1984 menjelaskan bahwa viktimasi terjadi pada kasus-kasus pembunuhan, perkosaan, perampokan dan berbagai bentuk serangan kejahatan secara tiba-tiba. Viktimasi dapat dikenali dari adanya unsur-unsur penderitaan yang cukup menonjol dan serius. Khusus mengenai korban kejahatan dan tindak kekerasan yang berkhas dan ditujukan pada perempuan karena mereka bertubuh perempuan yang biasa disebut kekerasan berbasis gender gender based violence . Kekerasan berbasis gender gender based violence merupakan tindak kekerasan diakibatkan oleh relasi yang timpang antara perempuan dengan laki-laki dan ditandai dengan relasi yang powerless dan powerful antara keduanya. 5 5 Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta : PT.Rajagrafindo Persada, 2007, hal.48-49. Kekerasan yang dialami oleh perempuan baik di ranah domestik maupun di ranah publik, dapat lebih parah manakala negara tidak mempunyai keberpihakan yang kuat terhadap perempuan. Ketika negara secara tidak disadari terbangun oleh kultur patriarkis yang sejak lama telah mengakar di masyarakat, negara menjadi tidak sensitif terhadap fenomena kekerasan yang dialami oleh perempuan. Hukum negara yang patriarkis cenderung memberi sanksi yang ringan kepada pelaku kekerasan terhadap perempuan, dan tidak memberi perlindungan serta pelayanan yang memadai kepada perempuan korban kekerasan. Berbicara tentang kekerasan dan negara maka sekarang kita akan menjelaskan ” Adakah hubungan negara dengan kekerasan ?” Menurut Gadis, negara pada dasarnya adalah kekerasan. Keberadaan negara ditopang oleh kekerasan. Artinya, negara menghidupi dirinya dengan cara mengatur dan mengolah kekerasan. Adapun sumber dari kemampuan negara mengolah kekerasan bermuara pada kekuasaan politik. Jadi kekerasan dikokohkan untuk mempertahankan kekuasaan. Jika pemahaman terhadap kekerasan negara tidak hanya berhenti pada ”hakekat” tetapi pada ” politik ”, maka bisa dimengerti bagaimana negara merekayasa suatu sistem ” nilai ” values dan ” kepercayaan ” beliefs dalam sistem Aturan Simbolis masyarakat tersebut. Legitimasi kekerasan pertama harus dilakukan lewat ideologi dominan dengan pokok pikiran bahwa ideologi berfungsi untuk melegitimasikan kekuasaan politik tertentu. Kekerasaan terhadap perempuan yang dilakukan oleh negara adalah tamparan keras bagi perempuan Indonesia, terutama bagi feminisme. Gadis menjelaskan juga dalam artikelnya mengenai ” Logika Kekerasan Negara terhadap Perempuan ” bahwa negara melalui aparatnya secara langsung atau tidak ’ merestui ’ ’ mendiamkan ’ kekerasan-kekerasan yang khususnya ditujukan kepada perempuan. Sedang menurut Kartini Syahrir dalam buku ” Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan ” menjelaskan bahwa negara Indonesia telah mengalami evolusi dari negara yang sederhana Tribe , ke bentuk negara yang memiliki strata sosial HutaNagari , lalu memasuki fase penjajahan Belanda, yang ’mengajarkan’ bangsa kita menjadi negara modern dan diatur dengan sistem birokrasi tertentu. Selama proses ini berlangsung kesinambungan pengaturan nilai yang mengatur hubungan pria dan wanita. Namun sayangnya tidak tercermin dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang malah amat bercorak militerisme pada masa Orde Baru. Selain itu, menurut Kartini, kekerasan dan negara menjadi dua hal yang identik satu sama lain, terutama negara yang dipimpin secara militer. Negara yang bersifat lebih tradisional memiliki masyarakat yang rasional. Dalam arti, di dalam masyarakat seperti ini hak-hak perempuan lebih terjaga dan menurunkan kecenderungan kekerasan yang dilakukan negara terhadap kaum perempuan. Kartini lalu menjelaskan mengenai perempuan dan gender. Menurutnya, gender sendiri merupakan istilah barat yang didapat dari Revolusi Industri, dimana terjadi pembedaan pekerjaan untuk pria dan wanita. Apa yang terjadi dari revolusi ini menjadi pilar utama peradaban Barat dan secara otomatis mempengaruhi Indonesia, yang mengalami jajahan kolonialisme Belanda. Misal dalam proses produksi peranan perempuan dibatasi, yang secara hukum diperkuat dengan pencantuman GBHN pada rezim Orde Baru. Adanya rezim ini menumbuh-suburkan kekerasan terhadap perempuan. Negara ’membiarkan’ kekerasan terhadap perempuan karena perempuan tidak dianggap hal penting bagi proses produksi, contoh konkritnya, reproduksi pada perempuan dianggap ancaman yang harus diantisipasi dengan program Keluarga Berencana yang dilaksanakan oleh BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional . 6 6 http:situs .kesrepro.infogendervawokt2002gendervaw03.htm Negara dan Kekerasan Tehadap Perempuan oleh Gisella Tani Pertiwi. Banyak masalah sosial yang terkait dengan kesejahteraan perempuan bermuara kepada kultur patriarki. Untuk menyebut beberapa diantaranya adalah angka kematian ibu yang masih tinggi, keluarga berencana dan aborsi yang tidak aman, ketidakcukupan konsumsi nutrisi perempuan, khususnya perempuan hamil dan menyusui; pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan, kekerasan seksual, perdagangan terhadap perempuan dan buruknya sanitasi air bersih. Masalah-masalah tadi tidak akan terpecahkan dengan baik jika akar permasalahannya, yaitu ketidakadilan dan ketimpangan gender di masyarakat, tidak diatasi terlebih dahulu. Konsep pembakuan peran gender yang mengkotak-kotakkan peran laki- lakisuami dan perempuanistri ini hanya memungkinkan perempuan berperan di wilayah domestik domestikasi , yakni sebagai pengurus rumah tangga sementara laki-laki di wilayah publik sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Peran gender yang memilah-milah peran perempuan dan laki-laki pada kenyataannya telah dibakukan oleh negara dalam berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah Orde Baru. Kebijakan-kebijakan itu akhirnya menyisakan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Reformasi yang sedang berlangsung menuju proses demokratisasi hendaknya juga melibatkan pula proses reformasi dalam rangka mewujudkan ”Jender Equality” dalam berbagai aspek kehidupan negara. Era reformasi sepatutnya juga adalah masa untuk melakukan revisi hukum dan aturan main politik yang bisa menyuarakan berbagai kepentingan termasuk perempuan. 7 Dengan demikian, melalui hukum, negara melakukan peran gender. Hukum dengan demikian dipandang sebagai agen yang menguatkan nilai-nilai gender yang dianut oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan negara untuk menjaga dan menjamin kepentingannya. 8 Landasan hukum yang menjamin keadilan dan kesetaraan gender dirumuskan dalam UUD 1945 pada BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28C ayat 1 yang menyatakan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui Secara umum ada bukti empiris bahwa negara telah mengambil peran penting untuk memajukan perempuan. Kepedulian negara terhadap perempuan dapat dirunut sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama, Soekarno. Pada masa itu, perempuan telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilih dalam pemilihan umum 1955 maupun untuk duduk sebagai anggota parlemen. Pada masa itu juga telah ada Undang-undang yang bernuansa keadilan gender, yaitu UU No.80 Tahun 1958. Pada masa Soeharto ada juga kemajuan penting dicapai perempuan, salah satunya dibentuknya Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita pada Kabinet Pembangunan 1974 . 7 T.O.Ihromi, Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Bandung : PT.Alumni, 2006, hal.300. 8 www.google.comPembakuan Peran dalam Kebijakan-kebijakan di Indonesia, September 2007. pemenuhan kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya serta meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan umat manusia. Landasan hukum lainnya yang memastikan terciptanya kesetaraan dan keadilan gender adalah UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan gender dalam kebijakan, program dan kelembagaan serta peraturan lainnya yang berkaitan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP tidak mampu melindungi perempuan korban kekerasan, seperti pelecehan seksual, perkosaan, pornografi dan pornoaksi. UU No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan langkah maju dan jika terimplementasi dengan baik, seharusnya dapat melindungi perempuan dari perlakuan dan ancaman kekerasan yang dialaminya. 9 Kebijakan-kebijakan yang dibangun negara kita akan membantu kaum perempuan meningkatkan segala bakat dan kemampuan yang merupakan hak-hak Merujuk deskripsi di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat wacana perempuan yang selama ini telah menjadi isu gender yang dilihat dari aspek hukumnya yaitu bagaimana negara Republik Indonesia menjamin keadilan dan kesetaraan gender di era reformasi ini. Apakah kebijakan-kebijakan itu telah diterapkan dengan baik ? Apakah dengan adanya kebijakan tersebut perempuan bisa menggunakan hak-haknya di segala bidang kehidupan ? 9 Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik, Yogjakarta :Graha Guru, 2005, hal.172-173. asasi mereka di luar peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Kebijakan-kebijakan ini juga membantu kita meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan negara kita.

2. Perumusan Masalah