54
keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari orang tertentu untuk menyelenggarakan kepentingannya.
69
Setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi Miru mengatakan bahwa:
Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21
tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum diangap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah
pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros.
70
3. Adanya Objek Perjanjian Suatu hal Tertentu
Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan, hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu
perselisihan.
71
Barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang yang sudah ada di tangan si berutang pada waktu
perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Akibat syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul
perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga
69
Ibid., hal. 9.
70
Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 29.
71
R. Subekti, Op.Cit, hal. 19
Universitas Sumatera Utara
55
perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian itu dianggap batal demi hukum.
72
Persyaratan yang demikian itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian
haruslah tertentu barangnya atau sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”.
4. Ada suatu sebab yang halal legal cause
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi pokok perjanjian. Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus
memenuhi syarat yang dinamakan sebab atau yang diperbolehkan. Akan tetapi, yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah
sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang terjadi sebab orang yang
mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang adalah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah
dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.
73
Jika perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan
72
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 94
73
Ibid, hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
56
perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap
tidak pernah ada.
74
Dengan demikian, apabila dalam membuat perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu,
perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak
ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan, maka perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan. Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan
menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut. a.
Syarat Subjektif. Syarat subjektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan
bertindak dalam bidang hukum.
75
Kedua syarat ini dikatakan subjektif karena ditujukan kepada orang atau objek yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat
subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan. Adapun yang membatalkan suatu perjanjian itu adalah hakim dengan permintaan
dari orang yang berkepentingan. b. Syarat Objektif
74
Ibid, hal. 96.
75
Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
57
Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kedua syarat ini dikatakan syarat objektif karena merupakan benda atau objek dari perjanjian.
Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
76
Mengenai adanya suatu perjanjian yang terdapat di luar KUH Perdata tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Para pihak bebas menentukan objek perjanjian, sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat
3 KUH Perdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus melaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUH
Perdata dapat berupa pemberian sesuatu, perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.
77
Makna asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas Hukum
Kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut : 1.
Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, asas ini sangat erat
hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 2.
Asas Kepercayaan Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat
menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari.
3. Asas Kekuatan Mengikat
Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat. Terikatannya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa
76
Ibid .
77
Lihat Pasal 1338 Jo Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
58
unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak.
4. Asas Persamaan Hak
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan,
jabatan.
5. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.
6. Asas Moral
Asas ini terlihat di dalam Zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela moral yang bersangkutan mempunyai
kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata.
7. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang
hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
8. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang
bagi para pihak.
78
Dengan demikian jelaslah bahwa perjanjian baik dilakukan secara tertulis maupun lisan sama-sama mengikat para pihak yang membuatnya, asalkan memenuhi
syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Selanjutnya dalam hal menentukan telah terjadinya kata sepakat, para sarjana
telah mengemukakan berbagai teori antara lain : 1.
Teori Kehendak. Teori ini menekankan pada faktor kehendak. Menurut teori ini jika kita
mengemukakan suatu penyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak tertarik kepada pernyataan tersebut.
2. Teori Pernyataan Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat
berpegang kepada apa yang dinyatakan. Misalnya jika A menawarkan sesuatu
78
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku standar Perkembangannya di Indonesia, Alumni Bandung, 1990, hal. 42-44.
Universitas Sumatera Utara
59
barang kepada B dan diterima oleh B maka antara A dan B telah terjadi persetujuan tanpa menghiraukan apakah yang dinyatakan oleh A dan B itu sesuai
dengan kehendaknya masing-masing pihak atau tidak.
2. Teori Kepercayaan
Menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya.
79
Persetujuan kehendak itu sifatnya harus bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun.
Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan maupun dengan upaya yang bersifat
menakut-nakuti. Sebelum ada persetujuan biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan, yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang
obyek perjanjian dan syarat-syarat, sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula kehendaknya itu sehingga tercapailah persetujuan yang mantap.
B. Perjanjian Kerja dan Syarat Sahnya
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji dengan suatu kata sepakat kepada seorang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan di atas, dapat diketahui bahwa kedudukan
antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan jika pengertian perjanjian tersebut dibandingkan dengan kedudukan
para pihak dalam perjanjian kerja.
80
79
R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1977, hal. 57
80
Djumadi, Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 13. Di dalam pengertian perjanjian kerja tidak dalam kedudukan yang sama dan seimbang karena pihak yang satu
Universitas Sumatera Utara
60
Asas kebebasan berkontrak, yang menjadi asas utama dalam suatu suatu perjanjian pada mulanya dipengaruhi oleh pandangan individual dan kebebasan
individu baik kebebasan berkontrak berpangkal pada kesamaan kedudukan para pihak, pandangan terhadap hak milik sebagai hak yang paling sempurna serta adanya
prinsip bahwa setiap orang harus memiliki sendiri setiap kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan suatu perjanjian serta setiap orang harus dipandang sama dan
diperlukan sebagai orang bebas dan dengan kedudukan maupun hak yang sama. Kebebasan liberal yang mengagungkan individualisme mempunyai
pandangan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama akan dapat menimbulkan ketidakadilan yang besar bagi seseorang, baik di bidang sosial, politik
maupun ekonomi. Oleh karena itu pemerintah harus ikut campur tangan dalam hal pembuatan suatu perjanjian yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap
kelompok-kelompok tertentu, yang pada umumnya mempunyai kedudukan sosial dan ekonomi yang relatif lemah.
81
Campur tangan pemerintah diperlukan, ditinjau dari pihak pengusaha dipandang layak karena bertujuan untuk melindungi pihak yang lemah, dalam
hal ini buruh, agar tercapai keseimbangan yang mendekatkan masyarakat pada tujuan negara yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk
tiap-tiap warga negara.
yaitu pekerja mengikatkan diri dari bekerja di bawah perintah orang lain dalam hal ini adalah pengusaha.
81
J. M. Van Duane dkk, sewaktu memberikan penataran Hukum Perjanjian terhadap dosen-dosen hukum perdata seluruh Indonesia pada bulan Januari 1997 di Fakultas Hukum UGM
dalam Djumadi, Ibid, hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
61
Di dalam penjelasan umum, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Buruh antara lain disebutkan bahwa pada pokoknya mengakui adanya
serta berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu, serta berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu, untuk mendapatkan persetujuan tentang apa
yang dikehendaki. Tetapi walaupun demikian kekuasaan itu harus dibatasi, yakni di dalam lingkungan apa yang oleh pemerintah yang dianggap layak.
Dalam perjanjian pada umumnya dan perjanjian kerja pada khususnya asas kebebasan berkontrak tetap menjadi asas yang utama, namun dalam ketentuan
yang mengatur tentang itu terdapat ketentuan-ketentuan tersendiri, hal ini dikarenakan antara pihak yang mengadakan perjanjian kerja terdapat perbedaan-
perbedaan tertentu, baik mengenai kondisi, kedudukan hukum dan berbagai hal antara mereka yang membuat perjanjian kerja. Pihak yang satu, dalam hal ini pekerja
mempunyai kedudukan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kedudukan dan kondisi dari pihak lainnya yaitu pihak pengusaha atau majikan.
Dengan adanya kenyataan bahwa antar para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut ada perbedaan, yaitu kondisi dan kedudukan yang berbeda
dan tidak seimbang sehingga diperlukan adanya intervensi dari pihak ketiga, yaitu pemerintah guna memberikan perlindungan bagi pihak yang lemah terutama sewaktu
mengadakan perjanjian kerja. Adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan
perjanjian kerja, merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan jika di dalam suatu perjanjian antara pihak yang membuatnya
Universitas Sumatera Utara
62
mempunyai derajat dan kondisi yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Namun tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja,
karena antara para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi
dikarenakan berbagai aspek yang melingkari di sekelilingnya, maka kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat bagi para pihak yang mengadakan
perjanjian kerja tersebut menjadi tidak seimbang.
82
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut arbeidsoverencom mempunyai beberapa pengertian. KUH Perdata memberikan pengertian perjanjian
kerja sebagai suatu perjanjian dimana pihak kesatu buruh mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah yang lain yaitu majikan untuk sewaktu-waktu tertentu
melakukan suatu pekerjaan dengan menerima upah.
83
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja buruh
dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.
84
Selain pengertian normatif di atas, Iman Soepomo berpendapat bahwa pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan buruh dan majikan terjadi setelah diadakan
perjanjian oleh buruh dengan majikan dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan
82
Djumadi, Op.Cit, hal. 27.
83
Pasal 1601 a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
84
Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Universitas Sumatera Utara
63
kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah
85
sehingga perjanjian yang demikian itu disebut perjanjian kerja.
Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja, yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja. Jadi
berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak atas dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat-syarat tentang
perburuhan.
86
Dengan demikian adalah kurang tepat bila Mr. Wirjdono Prodjodikoro menggunakan istilah perburuhan untuk menunjuk istilah perjanjian kerja. Sedangkan
untuk perjanjian kerja beliau menggunakan istilah persetujuan perburuhan bersama.
87
R. Subekti juga menggunakan secara kurang tepat istilah persetujuan perburuhan untuk perjanjian kerja sedangkan perjanjian perburuhan diberinya nama
persetujuan perburuhan kolektif.
88
Dari pengertian yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas menunjukkan bahwa posisi yang satu pakerjaburuh adalah
tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Apabila dibandingkan dengan posisi dari pihak majikan dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja
maka posisi hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam posisi yang sama dan seimbang.
85
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Edisi Revisi, Jakarta 2003, hal. 70.
86
Ibid .,
87
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu dalam Iman Soepomo, Ibid.,
88
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan Keempat, hal.358 dan 362 dalam Iman Soepomo, Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
64
Jika menggunakan Pasal 1313 KUH Perdata, batasan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain
untuk melakukan sesuatu hal. Dengan kedudukan sebagai tenaga kerja atau bekerja pada pihak lainnya menunjukkan bahwa pada umumnya hubungan itu sifatnya
adalah bekerja di bawah pihak lain. Sifat ini perlu dikemukakan untuk membedakan dari hubungan antara dokter misalnya dengan seseorang yang berobat dimana dokter
itu melakukan pekerjaan untuk orang yang berobat namun tidak berada di bawah pimpinannya. Karena itu perjanjian antara dokter dengan orang berobat bukanlah
merupakan perjanjian kerja melainkan perjanjian melakukan pekerjaan tertentu. Jadi dokter bukanlah buruh dan orang yang berobat bukanlah majikan dan hubungan
anatara mereka bukanlah hubungan kerja. Adanya buruh ialah hanya jika ia bekerja di bawah pimpinan pihak lainnya
serta menerima upah dan adanya majikan jika ia memimpin pekerjaan yang dilakukan pihak kesatu. Hubungan buruh dan majikan tidak juga terdapat pada
pemborongan pekerjaan yang ditujukan kepada hasil pekerjaan. Bedanya Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dengan perjanjian melakukan tertentu ialah bahwa
perjanjian melakukan pekerjaan ini tidak melihat hasil yang dicapai. Jika orang yang berobat itu tidak menjadi sembuh bahkan akhirnya meninggal dunia, dokter itu telah
memenuhi kewajibannya menurut perjanjian.
89
Menyimak perjanjian kerja menurut KUH Perdata seperti tersebut di atas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “di bawah perintah pihak lain”. Di
89
Ibid. , hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
65
bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan antara bawahan dengan atasan sub ordinasi. Pengusaha sebagai
pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerjaburuh yang secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah
untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya.
Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum
karena hanya menunjuk pada hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pihak. Syarat kerja berkaitan dengan
pengakuan terhadap serikat pekerja sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah.
Pengertian perjanjian kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu
lisan atau tulisan, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997
Tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan pengertian perjanjian kerja di atas dapat ditarik beberapa unsur
dari perjanjian kerja yaitu:
90
a. Adanya unsur Pekerjaan work
90
Lalu Husni, Op. Cit, hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
66
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan objek perjanjian. Pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja dan hanya
dengan seizin majikanlah pekerja dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUH Perdata Pasal 1603 a yang berbunyi: “Buruh wajib melakukan sendiri
pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya.”
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilankeahliannya. Maka menurut hukum jika pekerja
meninggal dunia, perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. b. Adanya unsur Perintah
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk
melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien dan
pengacara dengan kliennya. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada perintah pasien dan klien.
c. Adanya Waktu Tertentu
91
Dalam melakukan pekerjaan haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu, dalam melakukan pekerjaannya tidak boleh sekehendak hati dari majikan atau dilakukan seumur hidup. Pekerjaan harus dilakukan sesuai dengan
91
Djumadi, Op.Cit, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
67
waktu yang ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan dan pelaksanannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kebiasaan dan ketertiban umum. Dalam praktek saat ini mengenai jangka waktu ini dikenal dua jenis yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu PKWT dan
Perjanjian Kerja dengan Waktu Tidak Tertentu PKWTT. d. Adanya upah
Upah memegang peranan penting dalam hubungan perjanjian kerja. Bahkan dapat dikatakan tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah
untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah maka suatu hubungan tersebut bukanlah merupakan hubungan kerja. Seperti seorang
narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu atau seorang mahasiswa perhotelan yang sedang malakukan praktek di sebuah hotel.
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata maksudnya bahwa pihak-pihak yang melakukan perjanjian kerja harus sepakat, seia sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa yang dikehendaki
pihak yang satu harus dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk
dipekerjakan. Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian
merupakan syarat mutlak, maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha harus dalam keadaan cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian
Universitas Sumatera Utara
68
jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batas umur minimal 18 tahun.
92
Selain itu, seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya waras.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan dalam istilah Pasal 1320 KUH Perdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian
kerja antara pekerja dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.
Objek perjanjian yaitu pekerjaan harus halal, yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang
diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja tersebut sah. Syarat kemauan bebas
kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena
menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut harus halal
sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Kalau syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum
artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang dipenuhi adalah syarat subjektif maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan,
92
Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Universitas Sumatera Utara
69
pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara bebas demikian juga oleh orang tuawali atau pengampu bagi pihak yang tidak cakap membuat perjanjian dapat
meminta pembatalan kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.
Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan atau tertulis.
93
Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak sehingga
jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian. Namun tidak, dalam kenyataan masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum
membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena kelaziman sehingga atas dasar kepercayaan membuat
perjanjian kerja secara lisan. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat
keterangan:
94
a. Nama, alamat perusahaan serta jenis usaha; b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerjaburuh;
c. Jabatan atau jenis pekerjaan; d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayaran; f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerjaburuh; g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. Tempat dan tanggal perjanjian dibuat; i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja;
93
Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
94
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Universitas Sumatera Utara
70
Selain hal-hal di atas terdapat juga beberapa hal lainnya yang perlu diatur dalam suatu perjanjian kerja:
95
a. Macam pekerjaan; b. Cara-cara pelaksanaannya;
c. Waktu atau jam kerja; d. Tempat kerja;
e. Besarnya imbalan kerja, macam-macamnya serta cara pembayarannya; f. Fasilitas-fasilitas
yang disediakan
majikanperusahaan bagi
pekerja buruhpegawai
g. Biaya kesehatanpengobatan bagi buruhpegawaipekerja; h. Tunjangan-tunjangan tertentu;
i. Perihal cuti; j. Perihal izin meninggalkan pekerjaan;
k. Perihal hari libur; l. Perihal jaminan hidup dan masa depan pekerja;
m. Perihal pakaian kerja; n. Perihal jaminan perlindungan kerja;
o. Perihal penyelesaian masalah-masalah kerja; p. Perihal uang pesangon dan uang jasa;
q. Berbagai masalah yang dianggap perlu.
Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk jangka waktu tertentu bagi hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya dan waktu tidak tertentu bagi
hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesai pekerjaan tertentu.
Kemudian apabila dilihat dari pengaturan hak dan kewajibannya, kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian umumnya disebut prestasi. Dalam hal prestasi ini
Subekti yang dikutip Zaeni Asyhadie mengatakan bahwa : “suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima
kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak yang diperolehnya
95
A. Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta 1990, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
71
dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh yang dianggap sebagai kebalikan pengusaha dan sebaliknya apa
yang menjadi hak pengusaha akan menjadi kewajiban pekerjaburuh”.
96
Perjanjian kerja yang dibuat antara pekerjaburuh menghasilkan hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang
terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Secara normatif pengertian hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.
97
Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja. Substansi perjanjian kerja yang
dibuat tidak boleh bertentangan dengan Perjanjian Perburuhan atau Kesepakatan Kerja Bersama KKBPerjajian Kerja Bersama PKB. Demikian pula perjanjian
kerja tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang dibuat oleh pengusaha.
Dalam perjanjian kerja, karena merupakan salah satu dari bentuk khusus perjanjian, apa yang dikemukakan oleh Soebekti di atas berlaku juga. Artinya apa
yang menjadi hak pekerjaburuh akan menjadi kewajiban pengusaha dan sebaliknya apa yang menjadi hak pengusaha akan menjadi kewajiban pekerja.
98
Pekerjaburuh yang baik adalah buruh yang menjalankan kewajiban- kewajibannya dengan baik, yang dalam hal ini kewajiban untuk melakukan atau
96
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 60.
97
Pasal 1 ayat 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
98
Lalu Husni, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
72
tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama, seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan.
99
Selain itu, tenaga kerja yang melakukan hubungan kerja harus mentaati peraturan perusahaan, secara normatif peratuaran perusahaan adalah peraturan yang
dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
100
Dengan pengertian tersebut, jelas bahwa peraturan perusahaan dibentuk oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha dengan memperhatikan saran
dan pertimbangan dari wakil pekerjaburuh di perusahaan yang bersangkutan. Apabila peraturan perusahaan tersebut telah terbentuk, pengusaha diwajibkan
untuk memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan perusahaan yang berlaku di perusahaan yang bersangkutan. Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat:
a. Hak dan kewajiban pengusaha; b. Syarat kerja;
c. Tata tertib perusahaan; d. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan paling lama dua 2 tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. Ketentuannya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
99
Pasal 1603d Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
100
Pasal 1 ayat 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Universitas Sumatera Utara
73
C. Kerangka Hukum Perjanjian Kerja dan Peraturan Perusahaan
1. Syarat-syarat dalam Perjanjian Kerja