rendahnya harga di tingkat petani, untuk mendorong produksi padi, petani mendapat subsidi input pertanian. Subsidi tersebut terutama berperan penting
selama tahun 1990-1994 UNDP, 2005. Penandatangan surat perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan IMF
membuat situasi berubah drastis. IMF menyaratkan semua subsidi pertanian dan penetapan harga oleh pemerintah dihapuskan UNDP, 2005. Sejak tahun 1998-
2000, harga pupuk diserahkan kepada mekanisme pasar dan kebijakan stabilisasi harga dimodifikasi menjadi kebijakan bantuan pangan nasional bagi rakyat
miskin.
2.5. Tinjauan Penelitian Empiris
Peran Pedagang dan Keterlibatan Bulog dalam Sistem Pemasaran Beras
Arifin 2004 dan Natawidjaja 2000 menemukan bahwa di banyak wilayah ada dua jalur pemasaran dalam tata niaga beras, yaitu swasta dan
pemerintah Bulog. Jalur swasta lebih panjang daripada jalur pemerintah dengan banyak pemain yang diawali oleh pengumpul-pengumpul di desa, perusahaan-
perusahaan penggilingan padi, grosir, dan berakhir oleh pedagang-pedagang eceran.
Selain itu, sistem pemasaran beras ternyata bervariasi dalam tingkat kompleksitasnya antar wilayah atau antar kelompok wilayah. Misalnya, dari
observasinya di 7 KabupatenKota di Jawa, Saliem 2004 menemukan betapa pentingnya pedagang dalam perdagangan beras antar pulau atau propinsi,
sedangkan, dari penelitiannya di Solok dan Padang di Sumatera Barat, Djulin 2004 menemukan tidak adanya keterlibatan Bulog di dalam perdagangan beras
Peran Pedagang dalam Menentukan Marjin keuntungan Beras
Hasil studi Natawidjaja 2001 menunjukkan bahwa para pelaku tata niaga di sebagian besar provinsi-provinsi penghasil beras utama nasional mampu
meningkatkan marjin keuntungan yang diterimanya pada saat terjadi kenaikan harga di pasar konsumen dengan cara menangguhkan kenaikan harga yang
diterima pada harga yang seharusnya dibayar ke petani.
Sebaliknya, pelaku tata niaga ini juga mampu menjaga marjin keuntungan yang sama walaupun pada saat harga di tingkat konsumen sedang turun, dengan
cara mempercepat penurunan harga beli pada petani sehingga risiko pasar dibebankan seluruhnya pada petani.
Komponen Biaya dari Harga Beras
Arifin et. al. 2001 menemukan bahwa harga beras di tingkat eceran tergantung pada perkembangan aktual dari bermacam komponen biaya, dari biaya
produksi di tingkat petani, biaya penggilingan, biaya transportasi, dan marjin keuntungan yang diambil oleh agen-agen distribusipemasaran.
Jumlah biaya bervariasi menurut wilayah, sehingga harga sebenarnya yang dibayar konsumen di Jakarta berbeda dengan yang dibayar di Indonesia kawasan
timur. Konsumen-konsumen yang lokasinya dekat dengan pasar-pasar induk di perkotaan membayar lebih rendah dibandingkan mereka yang harus membeli
beras dari pedagangtoko eceran.
Integrasi Pasar Beras
Penelitian yang dilakukan oleh Istiqomah et. al. 2005 di Pulau Jawa, pada periode sebelum liberalisasi perdagangan, pasar beras terintegrasi,
sedangkan pasca liberalisasi, hanya 65 persen pasar yang terintegrasi, harga juga lebih fluktuatif pada periode setelah liberalisasi.
Dawson dan Dey 2002 menguji integrasi pasar beras di Bangladesh dengan menggunakan VECM. Hasil menunjukkan bahwa pasar beras terintegrasi
secara sempurna dan bahwa Dhaka mendominasi pasar-pasar yang dekat, tetapi Dhaka didominasi oleh pasar-pasar yang jaraknya jauh.
Silvapulle dan Jayasuriya 1994 menguji integrasi pasar beras untuk kasus di Philipina dengan menggunakan pendekatan kointegrasi ganda multiple
cointegration approach. Dari hasil analisis diperoleh bahwa pasar beras Philipina terintegrasi dalam jangka panjang, dengan Manila sebagai pasar dominan
dominant market
Efektivitas Peran Bulog dalam Melakukan Stabilisasi Harga Gabah dan Beras
Menurut Dew 1999 efektivitas pengendalian harga produsen dan konsumen sampai tahun 1998 sangat baik. Selama 20 tahun 1973–1997 hanya
10 kali dalam 240 bulan 4 persen harga gabah yang jatuh di bawah harga. Sementara itu, stabilitas harga beras domestik antara 1972-1996, mencapai 4 kali
lebih stabil daripada dunia yaitu fluktuasinya hanya 6 persen dibanding 22 persen di pasar dunia.
Menurut Saifullah 2001, pengendalian stabilitas harga konsumen periode 1985-2001 cukup terjaga. Hal ini ditunjukkan dengan fluktuasi harga
beras yang dapat dikendalikan dan jauh lebih rendah dari fluktuasi harga beras dunia. Selain itu, koefisien variasi –yang menunjukkan volatilitas– di pasar
domestik sekitar 5,54 persen, sedangkan di pasar dunia sekitar 8,63 persen. Hasil kajian Rosner dalam Departemen Pertanian 2002 serta Rosner dan
Bahri 2003 menunjukkan bahwa harga beras dan gabah bulanan ternyata lebih sering berfluktuasi pada era Bulog melakukan monopoli impor 1980-1997,
dibandingkan dengan masa liberalisasi perdagangan 1999-2002. Selama periode 1980-1997, volatilitas harga beras sebesar 4,2 persen, sementara selama periode
1999-2001 volatilitas harga beras sebesar 3,9 persen. Sementara, selama periode 1980-1997, volaitilitas harga gabah di Jawa sebesar 15,1 persen, sementara untuk
periode 1999-2002 sebesar 11,3 persen. Di era Orde Baru, Bulog tidak mampu melakukan stabilisasi harga beras ketika terjadi perubahan iklim kekeringan
yang meluas di seluruh wilayah tanah air, seperti yang terjadi pada tahun 1987, 1994 dan 1998.
Saliem 2005 melakukan studi mengenai efektivitas instrumen kebijakan HDG dan HDPP terhadap pasar beras. Analisis menunjukkan, pada periode 1995-
1997 saat pasar terisolasi efektivitas HDG lebih tinggi dibandingkan pada periode 1998-1999 pasar bebas, maupun 2000-2003 pasar terkendali.
Yonekura 2005 menyatakan banyak aspek kelembagaan yang berubah setelah Bulog berstatus Perum, Perum tidak lagi memiliki hak monopoli serta
tunduk kepada deregulasi perdagangan dalam negeri, sehingga kehilangan kehilangan hak monopoli distribusi dan pengolahan dalam negeri. Pengendalian
harga melalui operasi pasar dikurangi, tetapi tetap mengelola persediaan untuk menjaga harga dasar.
Amang dan Sawit 2001 dalam studinya menunjukkan bahwa manajemen stok merupakan inti dari kebijakan stabilisasi harga beras. Studi tersebut
menemukan bahwa Bulog selama ini hanya menguasai stok beras antara 4–8 persen dari produksi dalam negeri dan mengimpor bila diperlukan. Manajemen
stok beras memerlukan dana dan besarnya dana meningkat dari tahun ke tahun karena meningkatnya biaya-biaya yang meliputi biaya pengadaan, eksploitasi dan
manajemen. Biaya terbesar yang dikeluarkan Bulog adalah untuk pembayaran bunga bank yang mencapai 50 persen dari total biaya stabilisasi.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Operasional Penelitian
Secara umum, spread harga gabah dan harga beras yang semakin membesar sejak tahun 1998 dapat disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, spread
tersebut dapat disebabkan oleh besarnya biaya yang diperlukan dari proses pembelian gabah di tingkat petani sampai penjualan beras di tingkat eceran. Biaya
tersebut meliputi biaya penyimpanan, penjemuran, penggilingan, biaya pengolahan, serta biaya distribusi antar wilayah transportasi yang melibatkan
banyak pelaku pasar. Sistem pemasaran yang menimbulkan biaya yang tinggi akan berdampak bukan saja mengurangi surplus produsen, tetapi juga akan
membebani konsumen. Kedua, keterkaitan harga beras di tingkat konsumen dan di tingkat
produsen yang bersifat asimetri Simatupang, 2001. Peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke harga gabah di
tingkat petani. Sementara itu, peningkatan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan dengan sempurna dan cepat ke harga beras di tingkat konsumen,
demikian sebaliknya. Artinya, fluktuasi harga beras atau gabah cenderung merugikan petani dan konsumen.
Ketiga, kenaikan harga beras internasional dan terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap US dollar juga mendorong terjadinya kenaikan harga beras
domestik, sehingga turut memperbesar gap antara harga gabah dan beras domestik. Pasar gabah dan beras di Indonesia semakin jauh dari sempurna dan
cenderung merugikan petani yang sebagian besar berperan sebagai net consumer. Inilah yang menjadi alasan kuat perlunya intervensi pasar oleh pemerintah.
Namun, bagaimana peran pemerintah melalui Instruksi Presiden Inpres mengenai HPP dan lembaga Bulog dalam menciptakan kestabilan harga gabah
dan beras tersebut. Ketika harga gabah jatuh di bawah harga dasar karena kelebihan
penawaran pada masa panen, Bulog meningkatkan permintaan dengan membeli beras dari koperasi petani danatau pedagang dan menyimpannya sebagai stok.
Sebaliknya, ketika harga beras meningkat karena kelebihan permintaan, Bulog