Konstanta tanpa tren B. Konstanta dengan tren

untuk melihat hubungan jangka pendek dan jangka panjang antar harga-harga dari pasar yang berbeda Nagubadi, et. al., 2001. Tabel 12 Uji unit root ADF untuk sistem persamaan integrasi pasar spasial beras eceran harga dalam natural log No. Kota Besar Variabel pada level Variabel pada first difference Variabel pada level Variabel pada first difference Jumlah lag ADF test Jumlah lag ADF test Jumlah lag ADF test Jumlah lag ADF test

A. Konstanta tanpa tren B. Konstanta dengan tren

1 Medan HBEMDN 1 -2.27 0 -8.69 1 -2.25 0 -8.75 2 Padang HBEPDG 0 -2.49 1 -8.96 -2.53 1 -8.92 3 Palembang HBEPLG 0 -1.89 0 -10.9 -1.69 0 -11.00 4 Lampung HBELPG 0 -2.62 1 -9.45 -2.42 1 -9.65 5 Jakarta HBEJKT 1 -3.23 1 -8.30 1 -3.37 1 -8.37 6 Bandung HBEBDG 1 -3.05 2 -8.45 1 -3.04 2 -8.54 7 Semarang HBESMRG 2 -2.19 1 -9.56 2 -1.90 1 -9.64 8 Surabaya HBESRBY -3.03 0 -9.69 -2.92 0 -9.83 9 Pontianak HBEPNTK 0 -2.22 0 -9.73 -3.45 0 -9.99 10 Makasar HBEMKS -1.33 0 -11.70 0 -2.49 0 -11.80 11 Denpasar HBEDPSR 2 -2.36 1 -8.68 2 -2.44 1 -8.83 12 Mataram HBEMTRM -3.32 1 -9.44 -3.36 1 -9.43 a Jumlah lag optimal dipilih pada nilai SIC Schwarz’s Information Criteria minimum. b Test ADF dibandingkan dengan nilai Tabel MacKinnon, dimana dan adalah tolak hipotesis nol bahwa variabel tersebut mengandung unit root pada taraf nyata 1 dan 5. Model VAR untuk pasar beras eceran antar 12 kota besar di Indonesia akan stabil sampai lag 5, sementara pada lag 6 model VAR sudah tidak stabil. Artinya, lag optimum yang akan dipilih berkisar antara lag 1 sampai dengan lag 5. Tabel 13 menampilkan kandidat lag optimal untuk model pasar beras eceran. Karena keterbatasan data time series, maka lag optimum yang akan digunakan adalah pada tingkat lag 1, yaitu berdasarkan kriteria informasi FPE, SC, dan HQ. Tabel 13 Penentuan lag optimal untuk pasar beras eceran Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1591.7650 NA 1.35E-30 -34.7201 -34.3890 -34.5865 1 2252.2400 1132.243 1.63E-35 -46.0712 -41.7669 -44.3347 2 2365.8420 164.784 3.69E-35 -45.4031 -37.1256 -42.0636 3 2521.3200 184.524 4.39E-35 -45.6554 -33.4046 -40.7130 4 2724.1770 187.252 3.04E-35 -46.9490 -30.7249 -40.4036 5 2964.8800 158.705 2.33E-35 -49.0743 -28.8770 -40.9260 Keterangan: adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5 Selanjutnya Tabel 14 menunjukkan hasil uji kointegrasi untuk pasar beras eceran. Berdasarkan trace statistics, terdapat satu kointegrasi pada model. Artinya, pada model ini terdapat satu vektor kointegrasi atau kombinasi linier yang stasioner. Tabel 14 Hasil uji kointegrasi untuk pasar beras eceran Hipotesis Nol Eigenvalue Trace statistics Max-eigen statistic r = 0 0.49060 313.08940 63.40540 r ≤ 1 0.47241 249.68400 60.10635 r ≤ 2 0.40858 189.57770 49.37122 r ≤ 3 0.30895 140.20650 34.73704 r ≤ 4 0.24439 105.46940 26.34094 r ≤ 5 0.21307 79.12849 22.52372 r ≤ 6 0.17810 56.60477 18.43676 r ≤ 7 0.15169 38.16802 15.46385 r ≤ 8 0.09667 22.70417 9.55682 r ≤ 9 0.08359 13.14735 8.20511 r ≤ 10 0.04542 4.94224 4.36962 r ≤ 11 0.00607 0.57261 0.57261 Keterangan: adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5 Persamaan kointegrasi menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang LR antara harga beras di 12 kota besar di Indonesia. Tabel 15 menampilkan persamaan kointegrasi Cointegration EquationCE jangka panjang harga beras eceran. Terlihat adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara pasar beras di Surabaya, Bandung, Lampung, Medan, Makasar, Semarang, Palembang, Mataram, Denpasar, dan Pontianak dengan pasar beras di Jakarta. Sementara pasar beras di Padang tidak memiliki keseimbangan jangka panjang dengan pasar beras di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua pasar beras di ibukota provinsi kecuali Padang telah terintegrasi satu sama lain, dengan kota Jakarta sebagai pasar acuan. Hal ini terjadi karena defisit beras yang jumlahnya sangat besar, maka Jakarta mendatangkan beras dari berbagai daerah penghasil beras di tanah air, sebagian besar melalui Pasar Induk Beras Cipinang. Sebagai hasilnya, pergerakan harga beras di Jakarta menjadi terintegrasi dengan baik terhadap hampir seluruh lokasi pasar ibukota provinsi dalam jangka panjang Tabel 15. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keadaan defisit beras bukanlah hal yang mengkhawatirkan asalkan ditanggulangi dengan adanya kelancaran perdagangan dan arus kuantitas beras yang masuk sehingga daerah defisit selalu bisa berintegrasi dengan pasar-pasar beras lainnya dan bisa merespon dengan cepat setiap permintaan. Dari Tabel tersebut juga diperoleh informasi bahwa kota Padang tidak terintegrasi, ini berarti pola pergerakan harga beras amat berbeda dengan pasar beras lainnya. Tidak terintegrasinya suatu pasar dengan pasar lainnya bisa disebabkan karena adanya hambatan transportasi pengiriman barang atau karena adanya kekuatan yang mampu mempengaruhi keadaan harga pada pasar tersebut. Tabel 15 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk pasar beras eceran Variabel Persamaan Kointegrasi CE HBEJKT-1 1.00000 HBESRBY-1 -2.53008 HBEBDG-1 0.55991 HBESMRG-1 1.13601 HBEMKS-1 1.68374 HBELPG-1 1.38515 HBEPLG-1 -2.23462 HBEMDN-1 2.43385 HBEPDG-1 -0.01898 HBEDPSR-1 2.60707 HBEMTRM-1 -1.98633 HBEPNTK-1 -2.10122 Keterangan: adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5, adalah hipótesis nol ditolak pada taraf nyata 1 Hasil estimasi VECM pada model pasar beras eceran dapat dilihat pada Lampiran 3. Secara ringkas, Tabel 16 memperlihatkan hasil koefisien model VECM persamaan integrasi spasial pasar beras eceran. Nilai t-hitung yang diperoleh dibandingkan dengan nilai t-tabel, di mana nilai yang digunakan adalah tingkat kepercayaan 5 persen t-tabel=1.96 dan 10 persen t-tabel=1.67. Apabila nilai t-hitung yang diperoleh lebih besar dari nilai t-tabel, maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan. Dalam Tabel 16 tersebut, setiap kolom menunjukkan perubahan harga per wilayah DHBEJKT, DHBESRBY, DHBEBDG, DHBESMRG, DHBEMKS, DHBELPG, DHBEPLG, DHBEMDN, DHBEPDG, DHBEDPSR, DHBEMTRM, DHBEPNTK. Koefisien baris DHBEJKT- 1, DHBESRBY-1, DHBEBDG-1, DHBESMRG-1, DHBEMKS-1, DHBELPG-1, DHBEPLG-1, DHBEMDN-1, DHBEPDG-1, DHBEDPSR-1, DHBEMTRM-1, DHBEPNTK-1 menunjukkan besaran penyesuaian yang disebabkan perubahan harga beras jangka pendek pada periode sebelumnya dalam berbagai wilayah terhadap perubahan harga pada saat ini. Koefisien-koefisien koreksi galatError Correction Term ECT menggambarkan kecepatan penyesuaian per periode menuju keseimbangan LR. Pada pasar beras di 12 kota besar di Indonesia, dihasilkan koefisien ECT masing- masing kota yaitu untuk Jakarta sebesar 0.049, Surabaya sebesar 0.053, Bandung sebesar 0.087, Semarang sebesar 0.019, Makasar sebesar 0.111, Lampung sebesar 0.159, Palembang sebesar 0.008, Medan sebesar 0.042, Padang sebesar 0.099, Denpasar sebesar 0.081, Mataram sebesar 0.041, dan Pontianak sebesar 0.08. Walaupun pengaruhnya kecil karena hanya bernilai kurang dari satu, namun hampir semua koefisien ECT secara nyata mempengaruhi perubahan harga yang berlaku di setiap pasar pada tingkat kepercayaan 5 dan 10 persen, hanya pasar beras Semarang, Palembang, dan Mataram saja yang tidak signifikan mempengaruhi perubahan harga beras saat ini. Dari hasil uji VECM, hampir semua harga beras eceran di 12 kota besar yang dianalisis dipengaruhi oleh harga beras di kota lainnya dalam jangka pendek. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi perdagangan beras antar kota. Hal yang sedikit berbeda untuk kota Medan, dalam jangka pendek, harga beras di kota ini selain dipengaruhi oleh harga beras di kota lain Jakarta, Makasar, Palembang, dan Mataram pada bulan sebelumnya, juga dipengaruhi oleh harga beras di kota Medan itu sendiri pada periode yang sama. Ini menunjukkan bahwa harga beras di Medan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal namun juga oleh faktor eksternal dalam rangka menyesuaikan harga beras ke arah keseimbangan jangka panjang. Menurut Goletti dan Eleni 2003, faktor penyesuaian ini merupakan biaya transfer di antara kedua pasar. Jakarta merupakan kota yang membutuhkan pasokan beras dalam jumlah yang besar, yaitu sekitar 800 ribu ton per tahun Natawidjaja, 2005. Hal ini dikarenakan sangat tingginya jumlah penduduk yang terkonsentrasi di daerah ini. Dari hasil VECM, terlihat bahwa dalam jangka pendek, harga beras di Jakarta hanya dipengaruhi oleh harga beras di Bandung dan Medan. Namun, dalam jangka panjang, kenaikan harga-harga beras di kota lainnya juga akan mempengaruhi harga beras di Jakarta, hal ini terlihat dari koefisien ECT di kota Jakarta yang signifikan pada tingkat kepercayaan 10 persen. Lebih jauh, harga beras pada kota-kota dari provinsi yang memiliki produksi beras terbesar, yaitu Bandung, Surabaya, Semarang, dan Makasar, dalam jangka pendek bahkan tidak dipengaruhi oleh harga beras di kotanya masing- masing pada periode sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa meskipun suatu daerah memiliki produksi beras yang tinggi, namun tetap ada pergerakan beras antar daerah yang terjadi. Pendorong terjadinya pergerakan barang dari suatu daerah ke daerah lain adalah adanya perbedaan harga yang merupakan mekanisme dinamis pasar dalam mencapai keseimbangan. Menurut penelitian Natawidjaja 2005, ada dua hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga beras sehingga mendorong beras untuk ditransportasikan atau dipindahkan dari satu daerah ke daerah lainnya, yaitu karena adanya 1 perbedaan jumlah ketersediaan beras, sehingga beras dikirim dari daerah surplus ke daerah yang membutuhkandefisit beras daerah konsumen; 2 perbedaan preferensi dan daya beli masyarakat, sehingga beras yang berkualitas bagus dikirim ke daerah konsumen dengan daya beli dan selera lebih tinggi untuk ditukar tambah dengan beras yang berkualitas lebih rendah dan lebih murah. 89 Tabel 16 Hasil uji model VECM untuk pasar beras eceran Koreksi Galat DHBEJKT DHBESRBY DHBEBDG DHBESMRG DHBEMKS DHBELPG DHBEPLG DHBEMDN DHBEPDG DHBEDPSR DHBEMTRM DHBEPNTK Pers. Kointegrasi 1 0.048704 0.053373 0.087227 0.018656 0.111316 0.159411 0.008379 0.042495 0.098611 0.081732 0.041411 -0.079515 DHBEJKT-1 -0.064109 -0.224358 -0.143530 -0.305488 0.170432 -0.297348 -0.066814 0.247241 -0.178865 -0.174618 0.120169 0.389338 DHBESRBY-1 0.002147 -0.068755 -0.056371 0.239078 -0.325931 -0.012227 -0.130654 -0.182486 -0.113244 0.183712 0.199804 0.337713 DHBEBDG-1 0.223006 -0.021622 0.067233 -0.016776 0.078848 0.275797 0.092551 0.016016 0.215589 0.096372 -0.105950 0.095156 DHBESMRG-1 0.044760 0.393380 0.444614 0.157685 0.287183 0.696430 0.188516 0.114812 0.216212 0.264521 0.373534 0.098578 DHBEMKS-1 -0.102868 -0.052863 -0.064613 -0.071941 0.017810 -0.053652 0.038245 0.190017 -0.090979 -0.082841 -0.313999 -0.068599 DHBELPG-1 0.152188 0.114283 0.223084 0.029967 0.229770 0.060489 0.164425 -0.060228 0.076898 0.040266 0.169599 -0.403303 DHBEPLG-1 -0.123409 -0.113773 -0.244952 0.013043 -0.229306 -0.431866 -0.132214 -0.168938 0.017559 -0.210259 -0.286116 0.045971 DHBEMDN-1 0.395381 0.277529 0.539709 0.168301 0.180191 0.636021 0.172277 0.292614 0.503755 0.426499 0.502894 0.098794 DHBEPDG-1 0.012298 -0.013371 -0.200632 -0.024855 -0.089496 -0.121258 -0.178551 -0.047696 -0.016390 -0.021201 -0.192254 0.063700 DHBEDPSR-1 -0.125033 -0.097134 0.338084 0.107143 -0.058035 -0.274230 0.042505 0.017779 0.052156 0.030399 -0.315787 0.027664 DHBEMTRM-1 0.039948 -0.011252 -0.210995 -0.034523 -0.038136 -0.137717 -0.096886 -0.125391 0.102816 -0.099677 -0.078911 -0.013934 DHBEPNTK-1 -0.063073 0.025015 -0.155287 0.063800 0.277371 -0.101422 0.181681 -0.012597 -0.056399 -0.065431 0.015656 0.061418 Keterangan: adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 10, adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik mengenai integrasi pasar beras, maka diperlukan analisis lebih lanjut setelah pembentukan model VECM. Beberapa analisis penting yang dilakukan adalah Impulse Response dan Variance Decomposition. Hasil analisis akan menjelaskan pergerakan harga beras di suatu wilayah akibat pengaruh harga beras di wilayah lainnya dan harga beras yang lebih dominan dalam penentuan harga beras eceran di suatu wilayah. Analisis akan dibatasi untuk melihat pengaruh shock harga beras di Jakarta dan Surabaya terhadap harga beras di kota besar lainnya. Pemilihan kedua kota tersebut dikarenakan kedua wilayah tersebut mewakili kota yang memiliki surplus produksi Surabaya dan surplus konsumsi Jakarta beras paling besar di Indonesia. Gambar 13 dan Gambar 14 berturut-turut menampilkan grafik Impulse Response IR untuk pasar beras eceran akibat adanya perubahan atau shock berupa kenaikan satu standar deviasi dari harga beras di Jakarta dan Surabaya. Periode yang digunakan dalam analisis adalah 12 periode 1 periode sama dengan 1 bulan, artinya respon suatu variabel berlaku sampai 12 bulan mendatang. Shock harga beras eceran di kota Jakarta sebesar 1 standar deviasi akan menyebabkan kenaikan harga beras eceran di kota Jakarta dan 11 kota besar lainnya pada awal periode Gambar 13. Kenaikan terbesar pada awal periode tersebut terjadi di kota Lampung, diikuti oleh Jakarta dan Bandung, masing- masing sebesar 0.042, 0.037, dan 0.027. Secara akumulasi, dalam 12 bulan, Jakarta, Lampung, Padang, dan Bandung adalah 4 kota yang terkena dampak paling besar dari shock harga beras di Jakarta. Sementara, Palembang, Semarang, Denpasar, dan Mataram adalah 4 kota yang terkena dampak paling kecil dari shock harga beras di Jakarta. Shock harga beras eceran di kota Surabaya sebesar 1 standar deviasi akan menyebabkan kenaikan harga beras eceran di kota Surabaya dan kota besar lainnya kecuali Jakarta pada awal periode Gambar 14. Kenaikan terbesar pada awal periode tersebut terjadi di kota Surabaya, diikuti oleh Bandung dan Lampung, masing-masing sebesar 0.03, 0.017, dan 0.012. Secara akumulasi, dalam 12 bulan, Surabaya, Bandung, Denpasar, dan Lampung adalah 4 kota yang terkena dampak paling besar dari shock harga beras eceran di Surabaya. Sementara, Medan, Pontianak, Jakarta, dan Palembang adalah 4 kota yang terkena dampak paling kecil dari shock harga beras di Surabaya. Dampak shock harga beras eceran di Surabaya terhadap harga beras eceran di kota lainnya lebih kecil dibandingkan apabila shock harga beras eceran terjadi di Jakarta. Ini berarti pengaruh kota Jakarta cukup kuat dalam mempengaruhi harga beras eceran di tingkat konsumen di kota-kota lainnya. Selain itu, harga beras eceran di Medan mempengaruhi harga beras di Surabaya secara negatif Gambar 14. Hal ini diduga akibat Medan mengambil sebagian besar pasokan berasnya dari Surabaya. Kenaikan harga di Medan akan meningkatkan suplai beras yang berasal dari Surabaya, sehingga harga beras eceran di Surabaya akan menurun. Lampiran 3 menunjukkan hasil analisis Variance Decomposition untuk pasar beras eceran 12 kota besar di Indonesia. Hasil tersebut menjelaskan variasi harga beras di masing-masing kota dalam 12 bulan mendatang. Pembentukan variasi harga beras eceran di masing-masing kota tersebut lebih ditentukan oleh dirinya sendiri, hanya kota Lampung dan Denpasar saja yang agak berbeda. Dalam 12 bulan mendatang, harga beras eceran di Lampung lebih ditentukan oleh harga beras di Jakarta 39.2 persen daripada harga beras di Lampung itu sendiri 18 persen, sementara harga beras di Denpasar lebih dapat dijelaskan oleh harga beras eceran di Surabaya, yaitu sebesar 30.8 persen. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pasar beras di tingkat konsumen di 12 kota besar di Indonesia tidak terintegrasi secara penuh. Persamaan kointegrasi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan jangka panjang antara pasar beras di Padang dengan pasar beras di Jakarta. Ini berarti harga beras di Jakarta tidak menjadi harga referensi bagi harga beras di Padang. Hal tersebut juga diperkuat dari hasil analisis VECM, bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang, pasar beras eceran di 12 kota besar di Indonesia memiliki tingkat integrasi yang sangat lemah, yang ditunjukkan dari nilai koefisien model yang lebih kecil dari satu. 92 Gambar 13 Hasil impulse response function IRF untuk model VECM pasar beras eceran akibat shock harga beras di Jakarta. 93 Gambar 14 Hasil impulse response function IRF untuk model VECM pasar beras eceran akibat shock harga beras di Surabaya.

5.1.2. Integrasi Pasar Beras di Tingkat Pedagang BesarGrosir