Market Integration and Price Transmission on the CPO and Cooking Oil Markets in Indonesia

(1)

i

INTEGRASI DAN TRANSMISI HARGA PADA PASAR CPO

DAN MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA

ARIFAYANI RACHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

(4)

(5)

v

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Integrasi dan Transmisi Harga Pada Pasar CPO Dan Minyak Goreng Sawit Di Indonesia adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Arifayani Rachman


(6)

(7)

vii

ABSTRACT

ARIFAYANI RACHMAN. Market Integration and Price Transmission on the CPO and Cooking Oil Markets in Indonesia. Under direction of RITA NURMALINA and HARMINI.

Cooking oil is considered as one of staple food in Indonesia. The goverment need to maintain the stability of cooking oil’s price because it will affect the wealth of the people. The aims of this study were to gain better understanding on vertikal and spatial integration of crude palm oil and cooking oil markets and to analyze the nature of price transmission both vertically and spatially and the impact of CPO export tax to market integration. Data analysis methods used in this research were:market integration by cointegration test (VAR based) and price transmission by Error Correction Model (ECM) adapted from Taubadel (1998). The research found that there was no cointegration between international and domestic prices of CPO. The implementation of progressif export tax started in 2007 had an impact to integration of international-domestic CPO markets. Vertically, CPO prices (both international and domestic) were cointegrated to domestic cooking oil’s price and the price transmissions were symmetric. Spatially, cooking oil prices of 10 big cities in Indonesia were cointegrated together with Medan and Surabaya as main markets. Price transmission from main markets to local markets were symmetric.

Keywords : cooking oil, crude palm oil, market integration, price transmission, cointegration, ECM


(8)

viii

RINGKASAN

ARIFAYANI RACHMAN. Integrasi Dan Transmisi Harga Pada Pasar CPO Dan Minyak Goreng Sawit Di Indonesia. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan HARMINI.

Minyak goreng merupakan komoditas yang strategis di Indonesia. Pertumbuhan jumlah penduduk serta peningkatan konsumsi minyak goreng per kapita menyebabkan permintaan minyak goreng pada pasar domestik terus meningkat. Sebagai salah satu bahan pangan pokok, pemerintah memandang perlu upaya stabilisasi harga minyak goreng karena fluktuasi harga minyak goreng akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Minyak goreng yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah minyak goreng sawit sehingga harga minyak goreng domestik mempunyai keterkaitan dengan harga CPO. Adanya konsentrasi yang cukup tinggi baik pada sektor hulu maupun pada industri hilirnya serta integrasi vertikal yang dilakukan oleh sebagian besar industri minyak goreng sawit menimbulkan peluang munculnya market power

yang dapat digunakan oleh industri minyak goreng sawit dalam menentukan harga. Secara spasial, sentra industri minyak goreng utama masih terpusat di Pulau Sumatera dan Jawa. Jika pasar minyak goreng di suatu wilayah terintegrasi dengan wilayah lain maka guncangan minyak harga yang terjadi di wilayah acuan akan tertransmisikan ke wilayah lain. Namun demikian jumlah distributor yang relatif terbatas pada setiap wilayah memungkinkan timbulnya respon perubahan harga yang berbeda ketika terjadi kenaikan dan pernurunan harga di pasar acuan.

Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan yaitu : (i) menganalisis pergerakan harga CPO baik pada pasar internasional maupun pada pasar domestik, serta pergerakan harga minyak goreng domestik baik di tingkat nasional maupun harga minyak goreng di 10 kota besar di Indonesia, (ii) menganalisis integrasi pasar CPO internasional dan CPO domestik, serta pengaruh perubahan mekanisme penetapan pajak ekspor CPO terhadap integrasi pasar CPO internasional dan domestik, (iii) Menganalisis integrasi pasar CPO dan minyak goreng, serta transmisi harga yang berlangsung antar pasar, (iv) menganalisis integrasi spasial pada pasar minyak goreng di 10 kota besar di Indonesia serta transmisi harga yang berlangsung, (v) menganalisis dampak terjadinya shock harga CPO terhadap harga minyak goreng serta shock harga minyak goreng pada pasar acuan terhadap pasar minyak goreng di wilayah lain. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut digunakan analisa secara deskriptif serta analisis dengan metode ekonometrika yaitu dengan pendekatan kointegrasi dan model Vector Error Correction Model (VECM) untuk menganalisis hubungan integrasi antar pasar secara multivariat, serta Error Correction Model (ECM) yang dikembangkan oleh Taubadel (1998) untuk menganalisis sifat transmisi harga yang berlangsung secara bivariat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat nonstasioner. Dari pengujian kointegrasi diketahui jika harga CPO internasional dan CPO domestik tidak terkointegrasi, yang berarti


(9)

ix

pasar CPO domestik tidak terintegrasi dengan pasar dunia. Perubahan mekanisme penetapan pajak ekspor CPO pada tahun 2007, dimana besaran pajak ditetapkan secara progresif berdasarkan harga CPO internasional pada bulan sebelumnya berpengaruh terhadap integrasi pasar CPO dunia dengan pasar CPO domestik.

Harga CPO internasional dan CPO domestik terkointegrasi dengan harga minyak goreng domestik. Hasil estimasi model VECM menunjukkan bahwa dalam jangka panjang harga CPO internasional dan CPO domestik berpengaruh signifikan terhadap harga minyak goreng domestik, dimana harga CPO internasional berpengaruh lebih besar dari harga CPO domestik.

Hasil analisis integrasi spasial memperlihatkan bahwa pasar minyak goreng di 10 kota besar di Indonesia (Medan, Pekanbaru, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Pontianak dan Makasar) terintegrasi dengan 7 persamaan kointegrasi. Dari hasil pengujian kausalitas blok diketahui jika Medan dan Surabaya merupakan pasar acuan pada pasar minyak goreng di Indonesia. Selanjutnya kedua kota tersebut masing-masing diuji kointegrasi dengan harga di kota lain secara bivariat, yang hasilnya harga minyak goreng di Medan terintegrasi dengan seluruh kota kecuali Denpasar, sementara harga minyak goreng di Surabaya terintegrasi dengan seluruh kota kecuali Semarang dan Denpasar.

Analisis terhadap transmisi harga baik secara vertikal maupun horizontal menunjukkan jika transmisi harga secara keseluruhan berjalan simetris sehingga dapat disimpulkan jika karakteristik industri minyak goreng yang terkonsentrasi dan tingginya integrasi vertikal pada industri minyak goreng belum terbukti menyebabkan digunakankannya market power dalam penetapan harga minyak goreng, dan secara spasial transmisi harga yang berjalan simetris menunjukkan jika pasar minyak goreng di Surabaya dengan tujuh kota yaitu Medan, Pekanbaru, Palembang, Jakarta, Bandung, Pontianak dan Makasar berjalan efisien.

Kata kunci : minyak goreng, CPO, integrasi pasar, transmisi harga, kointegasi, VECM, ECM


(10)

x

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(11)

xi

INTEGRASI DAN TRANSMISI HARGA PADA PASAR CPO

DAN MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA

ARIFAYANI RACHMAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

xii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Amzul Rifin, SP,MA Penguji Wakil Komisi Pendidikan : Dr. Ir. Ratna Winandi, MS


(13)

xiii

Judul Tesis : Integrasi dan Transmisi Harga pada Pasar CPO dan Minyak Goreng di Indonesia

Nama : Arifayani Rachman

NIM : H451100401

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Ir. Harmini, MSi

Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Agribisnis,

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS

Tanggal Ujian Tesis: Tanggal Lulus:


(14)

(15)

xv

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas seluruh rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah banyak memberikan bantuan, terutama kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ir. Harmini, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan dan motivasi yang telah diberikan. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Dr. Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian serta selaku penguji luar komisi dalam ujian tesis, serta Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku penguji wakit Komisi Pendidikan atas seluruh masukan dan arahan yang berharga.

2. Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan belajar dan dukungan beasiswa.

3. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian beserta seluruh jajaran terutama Sekretaris Badan serta Kepala Bagian Umum yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melanjutkan studi pada Program Studi Agribisnis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

4. Kepala Bidang Harga Pangan Badan Ketahanan Pangan beserta seluruh staf yang telah membantu penulis untuk memperoleh data yang diperlukan. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Ibu Silvi dari Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan yang telah membantu penulis untuk mengakses data.

5. Seluruh Staf pengajar pada Program Studi Agribisnis atas seluruh ilmu yang diajarkan.

6. Teman-teman MSA Angkatan 1, atas kebersamaan dan kekompakan selama masa perkuliahan.


(16)

xvi

7. Orang tua, Bapak Ibnu Rochman dan Ibu Sri Mulyani, mertua Ibu AE Hafsawati, beserta seluruh keluarga besar yang telah memberikan doa dan dukungan.

8. Suami tercinta, Andhi Dharmawan dan anak-anakku tersayang : Muhammad Zaky, Latifah Q Aini dan Iffa Izzatunnisa yang terus memberikan kasih sayang, doa dan dukungan kepada penulis.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012


(17)

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 30 Juni 1976 dari ayah Ibnu Rochman dan Ibu Sri Mulyani. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Pendidikan formal tingkat SMA diselesaikan penulis pada tahun 1994 dari SMAN 2 Temanggung. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian dan lulus pada tahun 1999. Selanjutnya penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Program Studi Magister Sains Agribisnis pada tahun 2010 melalui beasiswa Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian. Sejak tahun 2003, penulis bekerja sebagai staf pada Sekretariat Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian.

Penulis menikah dengan Andhi Dharmawan dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Muhammad Zaky, Latifah Qurrota Aini dan Iffa Izzatunnisa.


(18)

(19)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xix

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan Penelitian ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Fluktuasi Harga Komoditas Pertanian ... 13

2.2 Kebijakan Stabilisasi Harga Minyak Goreng ... 15

2.3 Market Power pada Industri Kelapa Sawit di Indonesia ... 17

2.4 Metode Pengujian Integrasi Pasar ... 18

2.5 Analisis Transmisi Harga pada Pasar Komoditas Pertanian ... 20

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 23

3.1 Teori Harga ... 23

3.1.1 Kurva Permintaan dan Penawaran Pasar... 23

3.1.2 Keseimbangan Pasar ... 25

3.2 Konsep Integrasi Pasar ... 26

3.2.1 Hukum Persamaan Harga (Law of One Price) ... 27

3.2.2 Model Keseimbangan Spasial ... 29

3.3 Konsep Transmisi Harga ... 30

3.3.1. Transmisi Harga Asimetris ... 31

3.3.2. Metode Pengujian Transmisi Harga Asimetris ... 34


(20)

xx

3.5 Market Power ... 37

3.6 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 38

IV. METODE PENELITIAN ... 41

4.1 Jenis dan Sumber Data ... 41

4.2. Metode Analisis ... 42

4.2.1. Analisis Pergerakan Harga CPO Harga Minyak Goreng ... 42

4.2.2. Pola Disparitas Antar Waktu Harga CPO-Minyak Goreng . 43 4.2.3. Uji Stasioneritas Data ... 43

4.2.4. Penentuan Lag Optimal VAR ... 45

4.2.5. Pengujian Kointegrasi... 45

4.2.6. Estimasi VAR dan VECM ... 47

4.2.7. Pengujian Impulse Response ... 49

4.2.8. Pengujian Kausalitas Blok (Block Causality Test) ... 50

4.2.9. Uji Transmisi Harga Asimetris ... 51

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI KELAPA SAWIT DI INDONESIA 55 5.1. Pemanfaatan Kelapa Sawit ... 55

5.2. Profil Perkebunan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... 56

5.3. Profil Industri Pengolahan CPO ... 60

5.4 Profil Industri Minyak Goreng di Indonesia ... 62

VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG ... 67

6.1 Pergerakan Harga CPO dan Minyak Goreng ... 67

6.2 Pergerakan Harga CPO Domestik ... 71

6.3 Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik ... 73

6.4 Spread Harga CPO dan Minyak Goreng Domestik ... 74

6.5 Pergerakan Harga Minyak Goreng Curah Antar Wilayah ... 76

VII. INTEGRASI PASAR CPO DUNIA DAN DOMESTIK ... 81

7.1 Pengujian Stasioneritas Data ... 81

7.2 Pengujian Kointegrasi Harga CPO Dunia dan Harga CPO Domestik ... 82 7.3 Integrasi Jangka Pendek antara Pasar CPO Dunia dan Domestik 83


(21)

xxi

7.4 Dampak Perubahan Mekanisme Pajak Ekspor CPO Terhadap

Integrasi Pasar CPO ... 84

VIII. INTEGRASI PASAR CPO DAN MINYAK GORENG ... 87

8.1 Pengujian Stasioneritas Data ... 87

8.2 Penentuan Lag Optimum ... 88

8.3 Pengujian Kointegrasi Harga ... 88

8.4 Integrasi Pasar CPO Internasional dan Pasar Minyak Goreng Domestik ... 89

8.4.1 Estimasi Model ... 89

8.4.2 Dampak Guncangan Harga CPO Internasional ... 91

8.4.3 Analisis Transmisi Harga CPO Internasional dengan Harga Minyak Goreng Domestik ... 92

8.5 Integrasi Pasar CPO Domestik dan Pasar Minyak Goreng Domestik ... 94

8.5.1 Estimasi Model ... 94

8.5.2 Dampak Guncangan Harga CPO Domestik ... 95

8.5.3 Analisis Transmisi Harga CPO Internasional dengan Harga Minyak Goreng Domestik ... 97

IX. INTEGRASI SPASIAL PADA PASAR MINYAK GORENG DI INDONESIA ... 101

9.1 Pengujian Stasioneritas Data ... 101

9.2 Penentuan Lag Optimum ... 102

9.3 Pengujian Kausalitas Blok ... 102

9.4 Pengujian Kointegrasi Spasial ... 104

9.5 Estimasi Model VECM ... 106

9.6 Pengujian Impulse Response Function (IRF) ... 109

9.6.1 Dampak Guncangan Harga di Medan ... 110

9.6.2 Dampak Guncangan Harga di Surabaya ... 111

9.7 Analisis Transmisi Harga Spasial ... 113

9.7.1 Transmisi Harga Minyak Goreng di Medan dengan Kota Lain ... 113

9.7.2 Transmisi Harga Minyak Goreng di Surabaya dengan Kota Lain ... 116


(22)

xxii

10.1 Kesimpulan ... 121 11.1 Saran ... 122 DAFTAR PUSTAKA ... 123 LAMPIRAN ... 127


(23)

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Daftar negara-negara produsen CPO dunia tahun 2010 ... 2 2. Volume ekspor CPO Indonesia tahun 1999-2009 ... 4 3. Keterkaitan Harga CPO Internasional dengan Penetapan

Besaran Pajak Ekspor ... 16 4. Persebaran areal kelapa sawit menurut pengusahaan tahun 2009 ... 59 5. Jumlah Industri Pengolahan Kelapa Sawit (CPO dan PKO) 2008 ... 62 6. Sebaran industri minyak goreng sawit di Indonesia tahun 2011 ... 63 7. Pangsa pasar 10 perusahaan terbesar dalam industri minyak

goreng sawit di Indonesia ... 64 8. Keragaman harga CPO internasional periode 2000-2012 ... 70 9. Keragaman harga CPO domestik periode 2000-2012 ... 72 10. Keragaman harga minyak goreng domestik periode 2000-2012 ... 75 11. Keragaman spread harga CPO domestik-harga minyak goreng

domestik periode 2000-2012 ... 76 12. Harga dan keragaman harga minyak goreng antar kota besar di

Indonesia periode bulan Januari 2000-April 2012... 79 13. Hasil Pengujian Stasioneritas Data ... 81 14. Hasil Pengujian Kointegrasi Harga CPO Internasional dan CPO

Domestik ... 82 15. Estimasi model integrasi pasar CPO dan Domestik ... 83 16. VAR Granger Causality/Block Exogeneity Wald Test ... 84 17. Hasil pengujian kointegrasi harga CPO internasional dan domestik... 85 18. Hasil pengujian stasioneritas data ... 87 19. Pengujian Kointegrasi Bivariate Antar Harga pada pasar CPO

dan Minyak Goreng ... 88 20. Persamaan jangka panjang antara harga CPO dan minyak goreng ... 89 21. Model VECM integrasi pasar CPO internasional dan minyak goreng 90 22. Estimasi model ECM asimetris transmisi harga CPO internasional

dan harga minyak goreng domestik ... 92 23. Hasil uji Wald terhadap koefisien koreksi ... 93 24. Model VECM Integrasi Pasar CPO Domestik dan Minyak Goreng .. 94


(24)

xxiv

25. Respon harga minyak goreng domestik terhadap guncangan

harga CPO internasional dan CPO domestik ... 97 26. Estimasi model ECM asimetris transmisi harga CPO domestik

dan harga minyak goreng domestik ... 98 27. Hasil Uji Wald... 100 28. Hasil pengujian stasioneritas data ... 101 29. Hasil pemilihan lag optimal menurut beberapa kriteria ... 102 30. P-Value Hasil Uji VAR Granger Causality/Block Exogeneity

untuk harga minyak goreng 10 kota besar ... 103 31. Hasil pengujian kointegrasi harga minyak goreng antar kota

di Indonesia ... 104 32. Persamaan jangka panjang hubungan harga minyak goreng di 10

kota besar ... 106 33. Persamaan jangka pendek hubungan harga minyak goreng di 10

kota besar ... 107 34. Hasil pengujian kointegrasi spasial (Medan sebagai pasar acuan) ... 114 35. Hasil estimasi persamaan ECM transmisi harga spasial ... 115 36. Hasil pengujian kointegrasi secara bivariate ... 116 37. Hasil estimasi persamaan ECM simetris ... 118 38. Hasil estimasi persamaan ECM asimetris ... 119


(25)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Konsumsi minyak nabati dunia tahun 1980-2009 ... 3 2. Stuktur biaya produksi minyak goreng sawit ... 4 3. Perkembangan luas lahan kelapa sawit di Indonesia menurut

pengusahaan tahun 1967-2011 ... 7 4. Penguasaan lahan kelapa sawit di Indonesia tahun 2010 ... 8 5. Perkembangan harga minyak goreng curah (+) dan kemasan (x)

tahun 2008-2010 ... 14 6. a. Kurva Permintaan ... 24 b. Pergeseran Kurva Permintaan ... 24 7. a. Kurva Penawaran ... 25 b. Pergeseran Kurva Penawaran ... 25 8. Kurva Keseimbangan Pasar ... 25 9. Kurva perdagangan antara wilayah potensial surplus dan

wilayah potensial defisit ... 30 10. APT berdasarkan magnitude dan kecepatannya ... 32 11. APT kombinasi magnitude dan kecepatan transmisi ... 33 12. APT tipe positif dan negative... 33 13. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 41 14. Tahapan Pembentukan Model VAR/VECM ... 47 15. Pohon industri kelapa sawit ... 56 16. Perbandingan luas areal perkebunan kelapa sawit menurut

pengusahaan tahun 2011 ... 58 17. Rantai Pasok dan Rantai Nilai Kelapa Sawit ... 59 18. Pergerakan dan pertumbuhan harga CPO internasional periode

Januari 2000-April 2012 ... 69 19. Pergerakan dan pertumbuhan harga CPO domestik periode

Januari 2000-April 2012 ... 71 20. Pergerakan dan pertumbuhan harga minyak goreng domestik

periode Januari 2000-April 2012 ... 73 21. Pergerakan dan spread hargaCPO dengan harga minyak goreng


(26)

xxvi

22. Pergerakan harga minyak goreng antar kota besar periode

Januari 2000- April 2012 ... 77 23. Dampak guncangan harga CPO internasional ... 91 24. Dampak guncangan harga CPO Domestik ... 96 25. Dampak guncangan harga minyak goreng di Medan terhadap

harga minyak goreng di wilayah konsumen ... 111 26. Dampak guncangan harga minyak goreng di Surabaya terhadap


(27)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Uji Stasioneritas Data pada Tingkat Level ... 129 2. Uji Stasioneritas Data pada Tingkat First Difference ... 133 3. Uji Kausalitas Blok ... 137 4. Penentuan Lag Optimal ... 140 5. Johansen Cointegration Test (Summary) ... 141 6. Johansen Cointegration Test (Trace and Maximum Eigenvalue Test) .. 143 7. Pengujian Kointegrasi Bivariate ... 145 8. Estimasi VAR/VECM ... 150 9. Estimasi ECM ... 153 10. Hasil Uji Wald ... 158


(28)

i DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ... i DAFTAR TABEL ... iii DAFTAR GAMBAR ... iv I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 8 1.3. Tujuan Penelitian ... 13 1.4. Kegunaan Penelitian ... 13 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 13 1.6. Definisi Operasional ... 13 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Komoditas Pertanian 2.1.1. Fluktuasi Harga

2.2. Transmisi Harga dan Integrasi Pasar ... 15 2.2.1. Pengertian Transmisi Harga ...

2.2.2. Bentuk-Bentuk Transmisi Harga...

2.3. Transmisi Harga Asimetris ... 18 2.3.1. Definisi ...

2.3.2. Penyebab Transmisi Harga Asimetris ... 2.3.3. Metode Pengukuran Transmisi Harga Asimetris ...

2.3. Metode Pengukuran Transmisi Harga Asimetris ... 21 2.3.1. Pendekatan ECR (Error Correction Representation) ...

2.3.2. Model M-TAR

2.4. Kebijakan Stabilisasi Harga Minyak Goreng di Indonesia ... 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 27 3.1. Teori Pembentukan Harga ... 27 3.2. Law of One Price ... 29


(29)

ii 3.3. Kebijakan Agribisnis ... 32 3.3.1. Definisi dan Instrumen Kebijakan Pertanian ... 32 3.3.2. Kebijakan Stabilisasi Harga Komoditas Pertanian ... 34 3.4. Error Correction Model (ECM) ... 35 3.4.1. Pengertian ... 35 3.4.2. Pembentukan Model ... 37 3.6. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 46 IV. METODE PENELITIAN ... 48 4.1. Jenis dan Sumber Data ... 48 4.2. Metode Analisis Data ... 48

4.2.1. Analisis Fluktuasi Harga Minyak Goreng...

4.2.2. Uji Stasioneritas Data ... 49 4.2.3. Uji Kointegrasi ... 49 4.2.4. Analisis Transmisi Harga Asimetris melalui ECM ... 50 4.2.4. Impulse-Response Function ...

V. GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA 5.1. Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ...

5.2. Industri Pengolahan Minyak Goreng Sawit di Indonesia ... 5.3 Kebijakan Agribisnis Kelapa Sawit ... VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Perkembangan Harga 6.2.

DAFTAR PUSTAKA


(30)

iii DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perkembangan Penetapan Pajak Ekspor ... 15 2. Daftar Negara-Negara Produsen CPO Dunia Tahun 2010 ... 54 3. Jumlah Industri Pengolahan Kelapa Sawit (CPO dan PKO)

Tahun 2008 ... 55 4.


(31)

iv DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Konsumsi Minyak Goreng Domestik 1999-2006 ... 2 2. Perkembangan Harga Minyak Goreng Curah dan Kemasan

Tahun 2008-2009 ... 3 3. Konsumsi CPO Indonesia (Rata-Rata) ... 6 4. Sebaran Pabrik Pengolahan Minyak Goreng di Indonesia ... 9 5. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit di 5 Propinsi

Utama Tahun 2010 ... 9 6. Kerangka Konseptual Transmisi Harga Pada Supply Chain

CPO-Minyak Goreng dan Perdagangan Minyak Goreng

Antar Wilayah ... 42 7. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit dan Produksi

Minyak Sawit di Indonesia ... 50 8. Wilayah dengan Areal dan Produksi Kelapa Sawit Terbesar

di Indonesia Tahun 2009 ... 51 9. Perbandingan Luas Areal Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan ... 52 10. Volume dan Nilai Ekspor CPO Indonesia Tahun 1980-2010 ... 54


(32)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia karena termasuk salah satu kebutuhan pokok yang menjadi salah satu sumber utama lemak dan minyak dalam menu makanan masyarakat Indonesia. Dalam pola pangan masyarakat Indonesia, pemenuhan kebutuhan lemak dan minyak jauh lebih banyak dipenuhi dari minyak nabati dibandingkan minyak dan lemak hewani.

Kebutuhan minyak goreng di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Di samping itu situasi perekonomian yang semakin membaik merupakan faktor lain yang ikut mendorong peningkatan konsumsi per kapita masyarakat Indonesia terhadap minyak goreng. Jika pada tahun 2008 konsumsi minyak goreng per kapita baru mencapai 9.6 kg/kapita per tahun, maka pada tahun 2011 konsumsi minyak goreng masyarakat Indonesia telah mencapai 10.7 kg/kapita/tahun (BPS, 2011).

Selain didorong oleh peningkatan konsumsi per kapita dan pertumbuhan penduduk, kebutuhan minyak goreng nasional juga semakin besar seiring dengan perkembangan industri pangan di Indonesia. Menurut Kementerian Perindustrian (2011), kebutuhan minyak goreng nasional pada tahun 2011 mencapai sekitar 5.22 juta ton, terdiri atas konsumsi langsung masyarakat sebesar 3.24 juta ton dan kebutuhan industri pangan sekitar 1.98 juta ton. Besarnya kebutuhan akan minyak goreng di dalam negeri menyebabkan bahan pangan ini mempunyai pengaruh penting dalam perekonomian.

Sebagai komoditas strategis, pemerintah berkepentingan untuk melakukan upaya stabilisasi harga minyak goreng karena fluktuasi harga yang terlalu tinggi akan berdampak kepada penurunan daya beli masyarakat. Fluktuasi harga minyak goreng di Indonesia merupakan fenomena yang sering terjadi dengan besaran yang lebih ekstrim dibandingkan komoditas pangan pokok lain seperti beras (Kemendag, 2008). Dalam beberapa kejadian, kenaikan harga minyak goreng menyebabkan komoditas ini berpengaruh terhadap inflasi. Saat terjadi lonjakan harga minyak goreng pada tahun 2007, kenaikan harga minyak goreng


(33)

2

memberikan andil sebesar 0.08 dari inflasi bulan Juni 2007 sebesar 0.23 persen (BPS, 2007). Demikian pula pada bulan Februari 2011, kenaikan harga minyak goreng ikut memberikan bobot sebesar 0.02 dari inflasi bulanan sebesar 0.13 persen pada bulan tersebut (BPS, 2011).

Minyak goreng nabati yang paling banyak dikonsumsi masyarakat di Indonesia adalah minyak goreng sawit. Minyak ini merupakan hasil olahan dari crude palm oil (CPO) yang telah mengalami proses pemurnian, pemucatan dan penghilangan bau (refined, bleached dan deodorized). Menurut Invordev 2006 dalam Rifin (2010), pangsa pasar minyak goreng sawit pada pasar minyak nabati domestik mencapai 95%.

Selain sebagai bahan baku utama industri minyak goreng, komoditas CPO jugaa mempunyai kedudukan strategis yang lain dalam perekonomian yaitu sebagai salah satu komoditas ekspor utama non migas. Permintaan minyak sawit (terutama dalam bentuk CPO) pada pasar dunia terus mengalami peningkatan, tidak hanya dibutuhkan oleh industri minyak goreng, namun juga sebagai bahan baku industri oleokimia dan biodiesel.

Pangsa pasar minyak kelapa sawit pada pasar minyak nabati dunia terus menunjukkan kenaikan baik dari sisi produksi maupun konsumsinya. Pada era 1980-2000, pangsa pasar terbesar masih dimiliki oleh minyak kedelai. Seiring dengan peningkatan produksi CPO di negara-negara produsen kelapa sawit serta penurunan produksi kedelai di negara produsen kedelai seperti Argentina menyebabkan pergeseran konsumsi dunia dari minyak kedelai ke minyak sawit. Pada tahun 2009, minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia (Gambar 1).

Gambar 1 Konsumsi minyak nabati dunia tahun 1980-2009 (Sumber : Oil World (2010) dalam World Growth (2011)


(34)

3

Sejak tahun 2006, Indonesia telah menggeser Malaysia sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia. Produksi CPO Indonesia pada tahun 2010 mencapai 44 % dari total produksi CPO dunia (Tabel 1). Sebagian besar dari produksi CPO di Indonesia diekspor ke berbagai negara, dan hanya sekitar 32% yang digunakan untuk kebutuhan domestik, terutama sebagai bahan baku industri minyak goreng.

Tabel 1 Daftar negara-negara produsen CPO dunia tahun 2010

Urutan Negara Produksi (MT)

1 23 600 000

2 18 000 000

3 1 500 000

4 850 000

5 820 000

6 500 000

7 460 000

8 300 000

9 265 000

10 252 000

Sumber : USDA (2010)

Sebagai negara produsen CPO, kenaikan harga CPO internasional merupakan peluang untuk meningkatkan devisa negara dari peningkatan nilai dan volume ekspor. Tabel 2 menunjukkan peningkatan volume ekspor CPO Indonesia yang mengalami peningkatan pesat dalam 10 tahun dimana volume ekspor CPO rata-rata meningkat sebesar 32% per tahun selama periode 1999-2009. Tingginya harga CPO internasional merupakan insentif bagi pengusaha CPO untuk terus meningkatkan ekspor. Di sisi yang lain, kenaikan harga CPO internasional akan menyebabkan harga minyak goreng domestik juga ikut mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan peningkatan harga CPO internasional akan mendorong peningkatan volume ekspor CPO sehingga menyebabkan penurunan ketersediaan CPO di dalam negeri yang diikuti kenaikan tingkat harga CPO domestik.


(35)

4

Tabel 2 Volume ekspor CPO Indonesia tahun 1999-2009

Tahun Volume (Ton) Nilai (000 USD)

1999 865 427 269 987

2000 1 817 664 476 438

2001 1 849 142 406 409

2002 2 804 792 891 999

2003 2 892 130 1 062 215

2004 3 819 927 1 444 422

2005 4 564 788 1 592 823

2006 5 199 287 1 993 667

2007 5 701 286 3 738 652

2008 7 904 179 6 561 331

2009 11 119 997 6 709 762

Sumber: BPS di dalam Ditjenbun (2011)

Sebagai bahan baku utama dalam industri minyak goreng sawit, fluktuasi harga CPO sangat berpengaruh terhadap harga minyak goreng domestik. Ditinjau dari struktur biaya pada industri minyak goreng sawit, komponen biaya terbesar adalah biaya pengadaan bahan baku (CPO), sementara komponen biaya yang lain jauh lebih kecil (Gambar 2). Peningkatan harga CPO secara langsung akan meningkatkan biaya produksi sehingga kenaikan harga CPO dunia sering digunakan sebagai alasan produsen minyak goreng sawit ketika harga minyak goreng mengalami kenaikan.

Gambar 2 Stuktur biaya produksi minyak goreng sawit (Sumber : KPPU, 2010)

Stabilisasi harga minyak goreng di tingkat nasional juga sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga antar wilayah. Sebagai negara kepulauan, permasalahan


(36)

5

distribusi bahan pangan juga menjadi salah satu tantangan dalam mewujudkan stabilitas harga di seluruh wilayah nusantara. Mengingat minyak goreng merupakan komoditas yang bulky, efisiensi dalam pemasaran antar wilayah akan dapat menekan biaya transportasi.

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat performa suatu pasar adalah dengan melihat seberapa besar guncangan (shock) yang terjadi pada suatu pasar ditransmisikan secara vertikal yaitu ke atas maupun ke bawah pada supply chain dan ditransmisikan secara horizontal ke pasar di wilayah lain yang terpisah secara spasial. Dalam pasar yang berjalan efisien, perubahan harga pada salah satu level akan ditransmisikan kepada perubahan harga di level yang lain.

Informasi mengenai integrasi pasar dan transmisi harga, baik integrasi vertikal antara pasar CPO dengan minyak goreng maupun integrasi spasial antar wilayah di Indonesia sangat diperlukan karena dapat memberikan gambaran mengenai efisiensi pasar minyak goreng sawit yang berlangsung di Indonesia. Integrasi spasial juga dapat memberikan informasi mengenai gejolak harga di suatu wilayah dan dampaknya terhadap wilayah lain sehingga dapat digunakan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah meluasnya fluktuasi harga.

Adanya integrasi pasar artinya adanya hubungan baik dalam jangka pendek maupaun jangka panjang antar harga pada pasar yang berbeda. Perubahan harga pada pasar yang terintegrasi akan ditransmisikan ke pasar yang lain, baik secara vertikal maupun horizontal. Integrasi vertikal berarti dalam beberapa waktu guncangan yang terjadi pada pasar CPO internasional dan CPO domestik akan ditransmisikan kepada pasar minyak goreng domestik. Sementara integrasi pasar secara spasial berarti dalam beberapa waktu, guncangan harga yang terjadi pada pasar acuan akan ditransmisikan dan sampai ke pasar lain (pasar konsumen) yang secara geografis terpisah. Integrasi pasar antar wilayah yang tidak berjalan sempurna menyebabkan munculnya informasi yang keliru kepada produsen dan pelaku lain dalam rantai pemasaran, yang pada akhirnya mengakibatkan keputusan yang keliru dalam produksi dan pemasaran.

Proses transmisi harga antar pasar yang terintegrasi juga dapat memberikan gambaran mengenai efisiensi pasar. Jika pasar memberikan respon yang berbeda antara kenaikan dan penurunan harga maka transmisi harga akan berlangsung


(37)

6

secara asimetris. Perbedaan respon tersebut terjadi karena salah satu pihak menggunakan market power dalam menentukan harga. Transmisi harga asimetris tidak diharapkan karena dapat menyebabkan penurunan kesejahteraan pelaku pasar.

1.2 Permasalahan Penelitian

Dengan sistem perdagangan yang terbuka, fluktuasi harga yang terjadi pada pasar dunia akan ditransmisikan ke pasar domestik. Sebagai negera eksportir CPO, harga CPO pada pasar domestik sangat dipengaruhi oleh perubahan harga yang terjadi pada pasar internasional. Dengan alasan tersebut, pemerintah berusaha menjaga agar fluktuasi harga dunia tidak menimbulkan dampak yang terlalu besar terhadap harga CPO domestik karena pada akhirnya akan mempengaruhi harga minyak goreng.

Kebijakan penetapan pajak ekspor terhadap produk minyak sawit dan turunannya merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menjamin ketersediaan CPO di dalam negeri. Kebijakan ini mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 1994 sebagai upaya untuk menjaga pasokan CPO bagi industri minyak goreng di dalam negeri. Sejak pertama kali diberlakukan, mekanisme penetapan pajak ekspor CPO telah mengalami perubahan. Pada awalnya besarnya pajak ditetapkan secara single-rate (pemerintah menetapkan besarnya pajak ekspor untuk periode tertentu). Namun mekanisme ini dipandang masih belum efektif untuk menjaga pasokan CPO dalam negeri sehingga pada tahun 2007, besarnya pajak ditetapkan secara progresif melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK011/2007. Dengan mekanisme yang baru ini, besarnya pajak tergantung kepada tinggi rendahnya harga CPO internasional yang ditetapkan setiap bulannya. Semakin tinggi harga CPO internasional maka tarif ekspor yang dikenakan juga semakin tinggi. Dampaknya, besaran pajak ekspor menjadi fluktuatif setelah dilaksanakannya ketentuan baru tersebut. Perubahan mekanisme penetapan pajak ekspor ini akan berdampak pada integrasi pasar CPO dunia dan domestik.


(38)

7

Ditinjau dari pengusahaannya, lahan kelapa sawit di Indonesia dikelola oleh tiga pihak yaitu Perkebunan Negara, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat. Pada awal perkembangannya, perkebunan kelapa sawit didominasi oleh Perkebunan Negara. Namun sejak tahun 80-an, perkebunan swasta menunjukkan perkembangan yang sangat pesat karena dukungan pembiayaan perbankan pada saat itu. Dalam waktu 10 tahun, luas perkebunan swasta telah melebihi luas perkebunan negara. Demikian pula Perkebunan Rakyat yang menunjukkan perkembangan luas areal yang juga pesat (Gambar 3). Pada tahun 2010, luas areal perkebunan swasta mencapai 54% (4.3 juta hektar). Sementara luas perkebunan rakyat sebesar 38% (3.1 juta hektar) dan luas areal perkebunan negara stagnan pada kisaran 0.64 juta hektar

Gambar 3 Perkembangan luas lahan kelapa sawit di Indonesia menurut pengusahaan tahun 1967-2011

(Sumber : Ditenbun Kementan, 2011)

Namun demikian, peningkatan luas areal pengelolaan lahan kelapa sawit milik swasta tidak serta merta diikuti pertumbuhan jumlah perusahaan yang terlibat dalam industri kelapa sawit. Industri pengolahan kelapa sawit tergolong usaha berskala besar sehingga perusahaan dengan modal yang terbatas akan menghadapi kesulitan untuk memasuki industri ini. Kondisi ini merupakan bentuk barrier to entry yang akan mempengaruhi struktur pasar industri kelapa sawit. Menurut KPPU (2010), pada tahun 2010 terdapat 5 perusahaan besar yang menguasai lebih dari 50% luas lahan milik swasta. Adanya penguasaan lahan


(39)

8

oleh sejumlah kecil perusahaan menyebabkan tingginya konsentrasi pada industri pengolahan CPO.

Karakter industri kelapa sawit di Indonesia juga dicirikan oleh tingginya integrasi vertikal antara industri hulu dan hilir kelapa sawit. Menurut KPPU (2010), 68% persen perusahaan dalam industri minyak goreng sawit terintegrasi dengan industri pengolahan minyak sawit dan perkebunan kelapa sawit. Integrasi secara vertikal memungkinkan perusahaan utama untuk mengatur alokasi CPO sesuai dengan perkembangan harga CPO internasional. Ketika harga CPO internasional naik, perusahaan akan mengalihkan alokasi CPO industri minyak goreng untuk ekspor, dan sebaliknya ketika harga CPO internasional mengalami penurunan, CPO diolah pada unit refinery (pabrik minyak goreng sawit) yang dimiliki perusahaan. Kondisi tersebut menimbulkan peluang market power dalam industri minyak goreng sawit yang akan mempengaruhi efisiensi pasar minyak goreng dan menciptakan tingkat harga yang cenderung merugikan konsumen.

Perilaku perusahaan dalam mentransmisikan perubahan harga CPO (harga input industri minyak goreng sawit) kepada harga minyak goreng dapat menunjukkan digunakan atau tidaknya market power industri minyak goreng sawit dalam penetapan harga. Jika transmisi harga CPO dan minyak goreng berjalan asimetris berarti terjadi perbedaan respon harga minyak goreng antara ketika harga CPO mengalami kenaikan dengan ketika harga CPO turun. Dampak dari transmisi harga asimetris ini sering dirasakan konsumen sebagai hal yang merugikan karena harga minyak goreng cepat mengalami kenaikan ketika harga CPO naik, namun ketika harga CPO turun, harga minyak goreng tidak mengalami penurunan yang signifikan.

Secara geografis, sentra industri minyak goreng sawit di Indonesia saat ini telah tersebar di 19 propinsi, namun wilayah penghasil minyak goreng utama masih terkonsentrasi di bagian barat Indonesia seperti Sumatera Utara, Riau dan Jawa Timur. Minyak goreng yang diproduksi di wilayah sentra industri minyak goreng tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat di wilayah itu saja. Misalnya di wilayah Sumatera Utara, produksi minyak goreng di propinsi tersebut pada tahun 2008 mencapai 3 085 250 ton. Sementara


(40)

9

kebutuhan minyak goreng di propinsi tersebut hanya 127 596 ton atau hanya sekitar 6% dari total produksi (KPPU, 2010). Lebih dari 90% minyak goreng yang diproduksi di Sumatera Utara digunakan untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng di propinsi lainnya. Demikian pula dengan Jawa Timur sebagai salah satu sentra produksi minyak goreng di luar Sumatera, menurut KPPU

(2010), produksi minyak goreng di Jawa Timur pada tahun 2009 mencapai 906 800 ton. Sebagian dari minyak goreng Jawa Timur juga didistribusikan ke

daerah lain.

Pemasaran minyak goreng dari wilayah produsen ke wilayah lain merupakan salah satu faktor terciptanya integrasi pasar minyak goreng antar wilayah di Indonesia. Integrasi pasar diindikasikan dengan adanya keterkaitan harga di satu pasar dengan pasar lainnya. Jika pasar minyak goreng antar wilayah di Indonesia terintegrasi secara spasial, maka disparitas harga antar wilayah hanya akan dipengaruhi oleh biaya transportasi dari wilayah produsen ke wilayah konsumen. Integrasi pasar merupakan salah satu indikasi bahwa pasar minyak goreng berjalan efisien.

Reformasi perekonomian di Indonesia yang mengarah kepada sistem yang lebih terbuka membawa konsekuensi berkurangnya intervensi pemerintah dalam perdagangan komoditas pertanian. Liberalisasi pada pasar komoditas pertanian dipandang perlu untuk mencapai efisiensi alokatif dan pertumbuhan jangka panjang dalam bidang pertanian. Namun manfaat dari liberalisasi bagi produsen dan konsumen hanya akan terjadi jika pasar komoditas pertanian terintegrasi secara spasial, dimana sinyal harga ditransmisikan secara tepat melalui saluran pemasaran sehingga petani dapat melakukan spesialisasi menurut keunggulan komparatif dalam jangka panjang (Gosh, 2010). Pada pasar yang terintegrasi, stabilitas harga akan dicapai melalui mekanisme pasar yang akan menuju keseimbangan penawaran dan permintaan.

Distribusi minyak goreng di Indonesia telah mengalami perubahan dimana sejak era reformasi peran pemerintah dalam pengendalian harga eceran minyak goreng telah banyak tereduksi. Sebelum tahun 1998, Bulog mempunyai wewenang dalam pengaturan distribusi dan stok minyak goreng di Indonesia. Intervensi pemerintah ini mampu menjaga stabilitas harga minyak goreng. Salah


(41)

10

satu indikasinya terlihat dari perkembangan harga minyak goreng yang stabil dibawah Rp 2 000,00/kg selama 5 tahun (1993-1998) (Data CEIC dalan Bank Indonesia, 2008). Setelah wewenang Bulog sebagai stabilisator harga diubah pada tahun 1998, pasar minyak goreng di Indonesia dewasa ini menjadi lebih kompetitif. Dengan adanya perubahan tersebut, setelah tahun 2000, produsen dan distributor minyak goreng antar wilayah mempunyai peranan dalam mentransmisikan perubahan harga minyak goreng di wilayah acuan ke suatu pasar lokal. Transmisi harga yang berjalan simetris dari pasar acuan ke pasar lokal menggambarkan jika pasar minyak goreng berjalan efisien.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini yaitu : 1. Bagaimanakah pergerakan harga CPO internasional, harga CPO domestik,

harga minyak goreng domestik serta harga minyak goreng sawit curah di beberapa kota di Indonesia?

2. Bagaimanakah integrasi antara pasar CPO dunia dengan pasar CPO domestik, antara pasar CPO domestik dengan pasar minyak goreng domestik serta integrasi spasial antar pasar minyak goreng di beberapa kota di Indonesia? 3. Bagaimanakah dampak perubahan mekanisme pajak ekspor CPO terhadap

integrasi pasar CPO dunia dan domestik?

4. Bagaimana dampak terjadinya shock pada suatu pasar terhadap pasar yang lain, baik yang terintegrasi secara vertikal maupun spasial?

5. Bagaimanakah transmisi harga yang berlangsung secara vertikal dan spasial?

1.1 Tujuan Penelitian

Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang melandasi dilakukannya penelitian ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pergerakan harga CPO internasional, CPO domestik dan minyak goreng domestik serta pergerakan harga minyak goreng di 10 kota besar di Indonesia

2. Menganalisis integrasi pasar CPO internasional dan CPO domestik, serta pengaruh perubahan mekanisme penetapan pajak ekspor CPO terhadap integrasi pasar CPO internasional dan domestik.


(42)

11

3. Menganalisis integrasi pasar CPO dan minyak goreng, serta transmisi harga yang berlangsung antar pasar.

4. Menganalisis integrasi spasial pada pasar minyak goreng di 10 kota besar di Indonesia serta transmisi harga yang berlangsung.

5. Menganalisis dampak terjadinya shock harga CPO terhadap harga minyak goreng serta shock harga minyak goreng pada pasar acuan terhadap pasar minyak goreng di wilayah lain.

1.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pihak lain untuk:

1. Memperoleh gambaran yang jelas tentang integrasi pasar dan transmisi harga pada pasar CPO dan minyak goreng.

2. Menambah literatur tentang aspek ekonomi dan agribisnis dari komoditas kelapa sawit dan minyak goreng

3. Sebagai masukan bagi pemangku kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang terkait dengan upaya stabilisasi harga minyak goreng.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini diawali dengan memberikan gambaran umum tentang aspek ekonomi dari agribisnis kelapa sawit Indonesia, terutama pada perkembangan industri pengolahan minyak sawit dan industri minyak goreng sawit. Tahapan selanjutnya adalah menganalisis pergerakan harga CPO internasional, CPO domestik, minyak goreng domestik serta pergerakan harga minyak goreng di 10 kota besar di Indonesia secara deskriptif dengan bantuan grafik dan tabel. Pergerakan harga yang sama merupakan indikasi adanya keterkaitan antar harga. Untuk mengetahui hubungan jangka panjang yang mungkin terjadi antar series harga dilakukan analisis integrasi pasar melalui analisis kointegrasi. Dengan metode tersebut, integrasi yang akan dianalisis adalah integrasi dalam jangka panjang. Jika diketahui adanya hubungan kointegrasi yang berarti adanya hubungan jangka panjang antar harga maka langkah selajutnya adalah mengestimasi bentuk integrasi dengan model VECM (Vector Error Correction


(43)

12

Model) . Analisis dilanjutkan dengan melihat transmisi harga yang berlangsung. Analisis transmisi harga vertikal dilakukan secara bivariate antara harga minyak goreng masing-masing dengan harga CPO internasional dan harga CPO domestik. Analisis transmisi harga spasial dilakukan antara masing-masing pasar lokal dengan pasar acuan yang telah ditentukan sebelumnya melalui analisis kausalitas. Model-model yang diperoleh dari hasil estimasi kemudian dianalisis dan digunakan untuk mengambil kesimpulan.


(44)

13

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fluktuasi Harga Komoditas Pertanian

Fluktuasi harga merupakan permasalahan umum pada pemasaran produk pertanian. Menurut Kohls&Uhl (2002), penyebab instabilitas harga komoditas pertanian dapat muncul dari sisi penawaran maupun permintaan. Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat dipengaruhi oleh keseimbangan antara penawaran dan permintaan komoditas tersebut. Menurut Schnepf (2006), keseimbangan antara penawaran dan permintaan dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang muncul dalam pasar. Diantara bentuk kekuatan tersebut adalah preferensi konsumen dan perubahan apa yang diinginkan konsumen akhir, berbagai faktor yang mempengaruhi proses produksi (cuaca, biaya input, ancaman kegagalan panen), kebijakan pemerintah serta faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penyimpanan dan distribusi komoditas pertanian.

Pada subsektor perkebunan yang didominasi oleh tanaman keras, fluktuasi harga komoditas perkebunan dapat terjadi karena berbagai faktor yang dapat mempengaruhi produksi, diantaranya adalah iklim dan siklus biologis tanaman. Pada tahun 1991 terjadi musim kering yang cukup lama sehingga menyebabkan penurunan produksi komoditas perkebunan pada tahun 1993. Dampaknya harga beberapa produk perkebunan mengalami kenaikan pada tahun 1994.

Fluktuasi harga komoditas perkebunan dipengaruhi penawaran yang inelastis. Tanaman perkebunan pada umumnya mempunyai masa belum menghasilkan pada 3-6 tahun awal penanaman sehingga kenaikan harga pada suatu periode tidak dapat direspon dengan peningkatan produksi pada jangka pendek. Respon peningkatan produksi baru akan terjadi setelah 4-7 tahun. Menurut Oktavianto (2009), Nilai respon penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek bertanda positif dan bersifat inelastis yaitu masing-masing sebesar 0,3377 dalam jangka panjang dan 0,0542 dalam jangka pendek. Sebaliknya, harga sangat fleksibel terhadap penawaran dimana ketika terjadi kelebihan produksi, maka harga akan turun dengan cepat.


(45)

14

Gejolak harga CPO di pasar domestik dan pasar dunia juga berkaitan dengan siklus bisnis dan adanya fluktuasi musiman. Menurut Kohls&Uhl (2002), fluktuasi musiman pada harga tanaman tahunan merupakan akumulasi dari pola musiman pada permintaan, produksi dan pemasaran. Siklus bisnis CPO mempunyai panjang 5-6 tahun. Dalam satu siklus bisnis biasanya mempunyai satu puncak utama dengan panjang sekitar 18-25 bulan dan beberapa puncak minor. Pola fluktuasi musiman harga CPO dalam satu tahun menunjukkan harga tertinggi biasanya terjadi pada bulan Januari yang kemudian turun melandai antara Februari-Mei. Penurunan harga paling tajam terjadi antara Mei hingga Juli dan setelah itu harga mulai mengalami kenaikan hingga bulan Desember/Januari (Dradjat, 2007).

Minyak goreng sawit pada pasar minyak goreng domestik diperdagangkan dalam bentuk curah (sawit kuning) dan kemasan. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyebutkan bahwa pada tahun 2011, komposisi minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat dan digunakan dalam industri 63 persen berupa minyak goreng curah, minyak goreng kemasan 12 persen dan sisanya 25 persen dalam kemasan drum atau plastik.

Data perkembangan harga minyak goreng dari Kementerian Perdagangan memperlihatkan bahwa harga minyak goreng curah lebih fluktuatif dibandingkan minyak goreng kemasan (Gambar 4). Dari data dalam gambar tersebut diketahui bahwa selama periode 2008-2010, keragaman antar waktu minyak goreng curah mencapai 10,8 %, sementara minyak goreng kemasan hanya berkisar 4,3 %.

Gambar 5 Perkembangan harga minyak goreng curah (+) dan kemasan (x) tahun 2008-2010


(46)

15

Besarnya proporsi penggunaan minyak goreng curah ini menyebabkan harga minyak goreng secara keseluruhan mudah mengalami fluktuasi. Salah satu faktor yang menyebabkan harga minyak goreng curah lebih fluktuatif dibandingkan minyak goreng dalam kemasan adalah karena harga minyak goreng curah sangat mudah dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO internasional dan pola pemasarannya melalui pasar tradisional. Sebaliknya minyak goreng kemasan lebih banyak dipasarkan melalui retail moderen yang mekanisme penetapan harganya telah ditentukan seminggu atau dua minggu sebelumnya.

2.2 Kebijakan Stabilisasi Harga Minyak Goreng

Untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng, berbagai kebijakan dijalankan pemerintah untuk mencegah terjadinya fluktuasi harga. Menurut KPPU (2010), kebijakan stabilisasi harga minyak goreng Indonesia dilakukan melalui intervensi kebijakan pada sisi input dan output.

Kebijakan yang ditetapkan pada sisi input meliputi: 1. Domestic Market Obligation (DMO)

Yaitu kebijakan yang mewajibkan produsen CPO untuk mengalokasikan produksinya untuk memasok bahan baku bagi industri minyak goreng. Kebijakan ini merupakan perkembangan dari komitmen antar produsen CPO pada tahun 2007 yang kemudian dilegalisasi melalui SK Menteri Pertanian No 339/Kpts/PD.300/5/2007.

2. Pajak Ekspor

Pengenaan pajak terhadap ekspor komoditas CPO ditetapkan dengan tujuan untuk mengendalikan harga CPO domestik. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat menjamin pasokan CPO bagi industri minyak goreng sawit di dalam negeri. Stabilisasi harga CPO yang merupakan bahan baku utama bagi industri minyak goreng sawit akan menjaga stabilitas harga minyak goreng domestik.

Kebijakan pajak ekspor CPO telah berlangsung cukup lama di Indonesia. Kebijakan ini mulai diandalkan pemerintah sebagai salah satu sumber devisa sejak tahun 1994, dimana pada era tersebut perkebunan-perkebunan baru kelapa sawit mulai berproduksi. Pada awal penerapan kebijakan ini, besar pajak ditetapkan mencapai 40-60 persen.


(47)

16

Dalam perkembangannya, penetapan pajak ekspor CPO terus mengalami perubahan. Sejak tahun 2007, formulasi pengenaan pajak ekspor berubah dari single rate menjadi progresif dimana besaran pajak yang dikenakan disesuaikan dengan harga CPO internasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 02/M-Dag/Per/2/2011 46/M-Dag/Per/11/2010 Tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar, tarif bea keluar untuk komoditas kelapa sawit dan turunannya berpedoman kepada harga rata-rata CPO CIF Rotterdam satu bulan sebelum penetapan harga pungutan ekspor (HPE). Perkembangan penetapan pajak ekspor CPO di Indonesia dapat dilihat pada tabel 3 berikut :

Tabel 3 Keterkaitan Harga CPO Internasional dengan Penetapan Besaran Pajak Ekspor

Waktu Bentuk Kebijakan Harga CPO Internasional Sep 1994 PE CPO sebesar 40-60% Harga CPO internasional melonjak

dari $494 (Jul 1994) menjadi $ 719 (Des 1994)

Jul 1997 PE CPO turun hingga 5% Harga CPO internasional $ 498 (terendah sejak Jul 1994)

Des 1997 PE CPO naik menjadi 30%

Harga CPO Internasional naik ($566) Feb 1998 Larangan ekspor CPO Harga Internasional $ 659

Apr 1998 Larangan ekspor CPO dicabut. PE 40%

Harga internasional mencapai puncak pada bulan Mei 1998 ($ 705)

Jul 1998 PE dinaikkan menjadi 60%

Harga CPO Internasional turun pada Bulan Jul 1998 ($ 661)

Jun 1999-Feb 2001

PE diturunkan bertahap dari 30% (Jul 1999) menjadi 3% (Feb 2001)

Harga CPO Internasional terus turun dari $392 (Jun 1999) menjadi $240(Feb 2001)

Sep 2007 PE ditetapkan progresif mengacu kepada harga

Rotterdam bulan sebelumnya

Sumber : Kementerian Perdagangan (2008)

Selain dari sisi input, upaya stabilisasi harga minyak goreng juga dilakukan dari sisi output, melalui kebijakan-kebijakan sebagai berikut :

1. Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPNDP)

Kebijakan PPNDP bertujuan untuk menjaga stabilisasi harga minyak goreng nasional melalui konversi bentuk minyak goreng curah menjadi


(48)

17

minyak goreng dalam kemasan. Harga minyak goreng dalam kemasan relatif lebih stabil karena merupakan barang dagangan, sedangkan minyak goreng curah merupakan komoditas sehingga harganya mudah terpengaruh harga komoditas lain.

Definisi PPN menurut Kementerian Keuangan, PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam hal ini, Indonesia menganut sistem tarif tunggal PPN sebesar 10 persen.

2. Operasi Pasar Minyak Goreng

Kebijakan ini dijalankan ketika harga minyak goreng tinggi. Tujuannya adalah mencegah harga minyak goreng agar tidak melebihi HET sehingga akan berdampak kepada penurunan harga eceran.

Namun demikian, banyak kajian yang menunjukkan bahwa berbagai kebijakan yang bertujuan untuk menjaga stabilisasi harga minyak goreng tidak akan efektif selama harga CPO internasional tinggi. Susanto (2000) mengkaji sisi tata niaga minyak sawit di dalam negeri dan juga menyimpulkan bahwa pemberlakuan kebijakan pajak ekspor CPO serta alokasi CPO untuk BULOG tidak efektif untuk meredam fluktuasi harga minyak goreng domestik karena berbagai penyimpangan yang terjadi seperti penyelundupan serta pengalihan jatah alokasi prosesor untuk memenuhi kewajiban produsen CPO untuk alokasi BULOG. Akibatnya, prosesor-prosesor minyak goreng di dalam negeri mengalami kekurangan bahan baku.

Menurut Susila (2005), kebijakan pengenaan pajak ekspor CPO dan Domestic Market Obligation dapat berdampak mendistorsi pasar domestik dan internasional serta dapat menurunkan pendapatan petani. Namun demikian, sisi positif kebijakan ini adalah dapat menjadi sumber penerimaan negara.

2.3 Market Power pada Industri Kelapa Sawit di Indonesia

Industri pengolahan CPO dan minyak goreng sawit di Indonesia merupakan industri dengan konsentrasi cukup tinggi. Menurut KPPU (2010), 4 perusahaan dalam industri ini menguasai pangsa pasar mencapai 55.73% pada tahun 2010.


(49)

18

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap konsentrasi industri CPO dan minyak goreng sawit terkait dengan skala usaha yang besar serta penggunaan teknologi tinggi yang merupakan bentuk barrier to entry sehingga hanya perusahaan tertentu yang dapat memasuki pasar. Beberapa faktor yangjuga dapat mendorong munculnya market power adalah tingginya konsentrasi dan integrasi vertikal pada industri kelapa sawit.

Tingginya konsentrasi industri dapat mendorong munculnya perilaku perusahaan yang berada dalam industri minyak goreng sawit dalam penetapan harga yang menyimpang dari kondisi pasar persaingan sempurna. Margin yang cukup besar antara harga CPO dan minyak goreng merupakan salah satu indikator bahwa produsen menikmati market power sehingga dapat menentukan harga di atas biaya marginalnya. Chalil (2008) menganalisis perilaku oligopolis pada industri minyak goreng sawit dengan model dynamic linear quadratic dan menyimpulkan adanya hubungan leader follower antara kelompok perusahaan negara dan perusahaan swasta, dan market power dimiliki tidak hanya oleh kelompok perusahaan swasta tapi juga oleh kelompok perusahaan negara.

Keberadaan market power dalam pasar akan sangat berpengaruh terhadap efektifitas kebijakan dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng. Berbagai kebijakan yang dilaksanakan pemerintah terkait stabilisasi harga minyak goreng domestik menggunakan asumsi bahwa harga CPO dan minyak goreng terbentuk dari mekanisme dalam pasar persaingan sempurna. Namun demikian beberapa fenomena menunjukkan jika asumsi ini tidak terpenuhi. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan sebagai reaksi terjadinya kenaikan harga minyak goreng ternyata tidak dapat segera menurunkan harga.

2.4 Metode Pengujian Integrasi Pasar

Dalam analisis integrasi pasar, terdapat berbagai metode yang dapat digunakan yang pada umumnya bertujuan untuk mencari hubungan antar harga pada pasar yang berbeda. Jika suatu pasar terintegrasi dengan pasar yang lain maka sinyal harga pada salah satu pasar merupakan refleksi harga pada pasar yang lain. Berdasarkan pemahaman ini, maka metode yang paling sederhana untuk menguji integrasi pasar adalah dengan menghitung koefisien korelasi. Namun


(50)

19

pendekatan ini dinilai tidak memuaskan karena bersifat statis. Ravallion (1986), pertama kali memperkenalkan sisi dinamis dari integrasi pasar dengan suatu pendekatan yang dapat menggambarkan integrasi pada jangka pendek dan jangka panjang. Namun demikian pendekatan yang dikembangkan Ravallion ini juga dinilai mempunyai kelemahan karena menggunakan series harga secara univariate.

Berangkat dari kritikan yang muncul terhadap pendekatan secara univariate, selanjutnya muncul metode baru yang menggunakan pendekatan kointegrasi. Konsep kointegrasi pada awalnya diperkenalkan oleh Engle dan Granger pada tahun 1987 dan sejak itu konsep ini banyak digunakan dalam berbagai studi yang terkait dengan data time series. Menurut Lence & Falk (2005), beberapa faktor yang mendorong banyaknya penggunaan metode ini antara lain; (1) banyaknya data ekonomi dalam bentuk time series yang stasioner dalam bentuk diferensiasi atau terintegrasi pada orde 1, dimana kondisi ini merupakan syarat dari kointegrasi, (2) metode kointegrasi dinilai merupakan cara yang lebih memuaskan untuk menggambarkan keseimbangan jangka panjang, (3) banyaknya literatur terkait yang memudahkan aplikasi dari estimasi dan inferensia data yang terkointegrasi. Pendekatan kointegrasi dan error correction models (ECM) banyak digunakan dalam analisa mengenai integrasi pasar karena selain terkait dengan non stasioneritas data juga karena law of one price (LOP) dan integrasi pasar diuji sebagai hubungan jangka panjang dan jarang sekali terjadi pada jangka pendek (Fossati et al, 2007).

Pengujian kointegrasi secara bivariate yang diperkenalkan oleh Engle dan Granger telah banyak digunakan untuk series harga komoditas pertanian. Namun demikian metode pengujian ini masih mempunyai kelemahan karena tidak memungkinkan untuk menguji hipotesis pada parameter (vektor kointegrasi) sehingga metode ini tidak dapat digunakan untuk menguji integrasi pasar berdasakan spesifikasi yang ditentukan dalam LOP. Prosedur pengujian secara multivariate yang diperkenalkan oleh Johansen (1988) dinilai lebih memuaskan karena selain dapat menggambarkan struktur dinamis pada jangka panjang, juga dapat menguji restriksi pada parameter yang bertujuan untuk menguji LOP.


(51)

20

2.5 Analisis Transmisi Harga pada Pasar Komoditas Pertanian

Studi mengenai transmisi harga pada pasar komoditas pertanian di berbagai negara sudah banyak dilakukan, seperti halnya pada komoditas peternakan (Cramon-Taubadel, 1997; Villafuerte, 2010;Goodwin, 2005; Cavicchioli,2010; dan Liu, 2011), komoditas tanaman pangan (Mohanty et al, 1995; Jolejole-Foreman et al, 2011), serta komoditas lain seperti hortikultura dan perkebunan (Fabio et al, 2010; Musumba, 2011; Seyoum, 2010). Berbagai analisis mengenai transmisi harga tersebut bermanfaat dalam menggambarkan efisiensi pasar yang berlangsung pada setiap pasar dan sebagai salah satu bentuk peramalan dalam fluktuasi harga pada suatu pasar dengan mengamati perubahan harga yang terjadi pada pasar yang menjadi acuannya.

Di Indonesia, analisis transmisi harga lebih banyak diaplikasikan pada bidang moneter dan keuangan. Pada sektor pertanian, berbagai studi mengenai integrasi pasar serta hubungan antar harga pada sektor pertanian juga telah banyak dilakukan, terutama pada komoditas-komoditas pertanian yang dipandang strategis, seperti beras dan kelapa sawit.

Transmisi harga vertikal yaitu hubungan harga komoditas tertentu pada berbagai level di sepanjang rantai pasok. Seberapa cepat sebuah shock ditransmisikan antara produsen ke konsumen atau sebaliknya serta besaran penyesuaian yang terjadi sangat tergantung dari sifat produk. Produk yang bersifat mudah rusak (perishable) dan tidak banyak membutuhkan proses pengolahan cenderung mempunyai transmisi yang cepat. Sebaliknya produk yang harus melalui tahapan pengolahan yang lebih panjang serta relatif tidak mudah rusak akan mempunyai mekanisme transmisi yang lebih lambat (Rezitl et al, 2008).

Banyak penelitian melakukan analisis transmisi harga komoditas yang sama pada level yang berbeda dalam rantai pasok. COEC (2009) melakukan analisis transmisi harga vertikal secara agregat pada tingkat Uni Eropa untuk komoditas susu dan daging babi di beberapa negara anggota Uni Eropa. Secara agregat dilihat hubungan harga-harga komoditas pertanian dengan harga pangan di tingkat konsumen. Goodwin (2006) melakukan analisis transmisi harga vertikal dengan menganalisis perubahan harga daging di tingkat petani, pedagang besar dan retail.


(52)

21

Pada umumnya, analisis transmisi harga vertikal dilakukan terhadap harga-harga komoditas yang sama, namun demikian, analisis transmisi harga-harga vertikal juga dapat dilakukan pada komoditas berbeda namun berada pada aliran produk dalam suppy chain yang sama.

Secara horizontal, harga suatu komoditas di suatu wilayah dapat mempengaruhi harga komoditas tersebut di wilayah lain, dan transmisi harga yang terjadi antar wilayah itulah yang disebut dengan transmisi harga spasial. Pada umumnya analisis transmisi harga spasial dilakukan terhadap satu komoditas tertentu, misalnya analisis transmisi horizontal harga daging di Finlandia dengan negara-negara Uni Eropa (Liu, 2011). Goodwin (2006) menganalisis transmisi harga spasial pada pasar daging sapi, ayam dan babi di Amerika Serikat. Nakajima (2011) melakukan analisis transmisi harga dalam perdagangan minyak canola antara Jepang dan Kanada dan menyimpulkan terjadinya APT karena adanya market power yang dimanfaatkan Kanada sebagai negara pengekspor minyak canola terbesar.

Transmisi harga yang bersifat cross-product biasanya terjadi pada suatu komoditas dengan produk tertentu, dimana komoditas tersebut merupakan input produksi utama bagi suatu produk. Villafuerte (2010) melakukan analisis transmisi harga spasial pada pasar daging sapi dan susu di Costa Rica, dimana berbeda 27 persen peternakan memanfaatkan ternak yang sama untuk memproduksi susu dan daging. Sementara itu Baffes (2005) meneliti keterkaitan harga yang terjadi antara harga kapas dan poliester, dan menemukan adanya relasi antara harganya. Contoh lain adalah keterkaitan harga yang terjadi pada komoditas kakao dengan produk cokelat olahan (Bonjean&Brun, 2007)

Dewasa ini, penelitian-penelitian tentang transmisi harga banyak yang bertujuan untuk melihat kemungkinan terjadinya APT. Asimetri dalam transmisi harga dapat terjadi jika guncangan (shock) positif pada suatu level menimbulkan respon yang berbeda pada level yang lain dibandingkan guncangan negatif. Beberapa penelitian menjadikan terjadinya APT ini sebagai dasar untuk melihat kemungkinan terjadinya market power, seperti yang dilakukan KPPU (2010), Nakajima (2011), dan Rifin (2009).


(53)

22

Menurut Meyer dan Taubadel (2002), pada umumnya, APT disebabkan oleh dua hal yaitu keberadaan market power dan adanya adjustment cost. Indikasi adanya market power menjadikan issue mengenai APT menjadi penting karena mempunyai implikasi terhadap kebijakan. Adanya market power dapat dijadikan alasan bagi pemerintah untuk ikut campur dalam pasar.

APT dapat terjadi pada transmisi vertikal maupun horizontal. Rifin (2010) menganalisis adanya APT pada transmisi harga vertikal yaitu transmisi yang terjadi di sepanjang supply chain minyak sawit di Sumatera Utara. KPPU (2010) juga melakukan analisis terjadinya APT pada industri minyak goreng sawit di Indonesia untuk membuktikan adanya market power.

Sementara analisis APT pada transmisi horizontal antara lain dilakukan oleh Liu (2011) yang menganalisis transmisi harga pada pasar daging di Finlandia dengan negara-negara anggota Uni Eropa. Selain itu APT juga dianalisis oleh Vavra dan Goodwin (2005) pada industri peternakan sapi dan ayam di Amerika Serikat.


(54)

23

III.

KERANGKA PENELITIAN

3.1Teori Harga

Harga merupakan sinyal utama yang menjadi arah bagi pengambilan keputusan produsen, konsumen dan dan pelaku pemasaran dalam pasar. Menurut Kohls & Uhl (2002), harga merupakan hasil dari interaksi antara permintaan dan penawaran yang berlangsung pada pasar yang bersaing sempurna. Harga optimal akan terjadi dimana manfaat yang diperoleh oleh pembeli barang atau jasa tersebut sama dengan marginal cost dari penjual.

Secara kuantitatif, cara yang dapat digunakan dalam penentuan harga komoditas tertentu dalam pasar adalah melalui analisis permintaan dan penawaran. Analisis ini juga merupakan alat peramalan kualitatif yang digunakan untuk melihat tren pada pasar bersaing. Pendekatan yang dilakukan dalam analisis ini adalah dengan menggunakan kurva permintaan (demand) pasar dan kurva penawaran (supply) pasar.

3.1.1 Kurva Permintaan dan Penawaran Pasar

Kurva permintaan pasar adalah kurva yang menggambarkan jumlah total barang yang diinginkan dan dapat dibeli oleh konsumen pada setiap tingat harga yang mungkin, dengan asumsi harga barang lain yang berkorelasi, pendapatan, iklan, dan variabel lain tidak berubah (Baye, 2010). Hukum permintaan (Law of demand) menyatakan bahwa hubungan antara harga barang dengan jumlah permintaan bersifat kebalikan dimana semakin tinggi harga barang maka semakin sedikit jumlah permintaan terhadap barang tersebut. Dengan demikian kurva permintaan mempunyai slope negatif (menurun). Setiap titik pada kurva permintaan menggambarkan jumlah barang yang diminta pada setiap tingkatan harga. Perubahan harga akan menyebabkan perubahan kuantitas barang yang diminta oleh konsumen atau yang dikenal dengan Law of Demand (Gambar 6a).

Namun demikian, permintaan suatu barang tidak hanya dipengaruhi oleh harga barang tersebut. Menurut Baye (2010), beberapa faktor seperti iklan, pendapatan, harga barang lain yang berkorelasi, populasi penduduk dan harapan konsumen akan menyebabkan perubahan permintaan (demand) yang dapat


(55)

24

menggeser keseluruhan titik pada kurva permintaan. Faktor-faktor tersebut disebut demand shifter. Pergeseran kurva ke kanan disebut peningkatan permintaan, dan sebaliknya pergeseran kurva ke kiri disebut penurunan permintaan.

Gambar 6a Kurva Permintaan Gambar 6b Pergeseran Kurva

Permintaan

Kurva penawaran pasar adalah sebuah kurva yang menggambarkan jumlah total suatu barang yang akan diproduksi oleh seluruh produsen dalam pasar yang bersaing pada setiap tingkat harga, dengan asumsi harga input, teknologi dan variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi penawaran tidak berubah (Baye, 2010). Sebagaimana konsep dalam hukum permintaan, perubahan harga suatu barang akan mengubah jumlah yang ditawarkan. Kenaikan (penurunan) harga barang dan faktor-faktor lain tetap akan meningkatkan (menurunkan) jumlah barang yang ditawarkan. Hal ini dikenal sebagai Hukum Penawaran (Law of Supply). Kondisi ini mengakibatkan bentuk kurva permintaan mempunyai slope positif.

Variabel yang dapat mempengaruhi posisi kurva penawaran disebut supply shifter, yang terdiri dari harga input, tingkat teknologi yang digunakan dalam berproduksi, jumlah perusahaan dalam pasar, pajak dan harapan produsen (Baye, 2010). Perubahan faktor-faktor tersebut akan menggeser kurva penawaran. Jika kurva bergeser ke kanan disebut kenaikan penawaran, dan sebaliknya jika kurva bergeser ke kiri disebut penurunan penawaran.

D

Harga

Kuantitas

Harga

Kuantitas Qx

Px

D D’

Qx Q’x

Px


(56)

25

Gambar 7a Kurva Penawaran Gambar7b Pergeseran Kurva Penawaran

3.1.2 Keseimbangan Pasar

Keseimbangan harga dalam pasar yang bersaing ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara seluruh penjual dan pembeli dalam pasar. Melalui konsep permintaan dan penawaran pasar dapat disimpulkan bahwa harga suatu barang pada pasar yang bersaing ditentukan oleh interaksi permintaan pasar dan penawaran pasar untuk barang tersebut. Gambaran mengenai keseimbangan pasar dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.

Sumber : Baye (2010)

Gambar 8 Kurva Keseimbangan Pasar

Dari Gambar 8 kita dapat melihat bagaimana penentuan harga pada pasar yang bersaing. Pada tingkat harga PL, akan terjadi kekurangan barang (shortage)

Harga

Kuantitas PH

Q0 Qe Q1

Surplus

Shortage

S

D

PC

PL

S

Harga

Kuantitas

Harga

Kuantitas Qx

Px

S

S’

Qx Q’x

Px


(57)

26

karena jumlah barang yang ditawarkan produsen lebih sedikit dari jumlah barang yang diminta konsumen. Dalam situasi shortage, secara alami akan terjadi kenaikan harga. Ketika harga naik dari PL menjadi Pe, produsen memperoleh

insentif untuk menaikkan jumlah barang yang ditawarkan dari Q0 menjadi Qe.

Sementara itu, seiring kenaikan harga barang, konsumen akan mengurangi pembeliannya. Ketika harga mencapai Pe, maka jumlah barang yang diminta

sejumlah Qe

Pada kondisi sebaliknya ketika harga mencapai P

. Pada tingkat harga ini, jumlah barang yang ditawarkan produsen sama dengan jumlah barang yang diminta konsumen.

H

Jika keseimbangan pasar digambarkan sebagai perpotongan kurva permintaan dan kurva penawaran, maka menurut (Baye, 2010) secara matematis keseimbangan pasar dapat dituliskan dalam persamaan berikut :

, terdapat kelebihan (surplus) barang karena jumlah barang yang ditawarkan produsen lebih banyak daripada jumlah barang yang dapat dibeli konsumen pada tingkat harga tersebut. Ketika terjadi suplus, secara alami akan terjadi penurunan harga menuju harga dimana jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah barang yang diminta.

Qd (Pe) = Qs (Pe) ... (3.1)

Dimana Qd

Q

(P) adalah jumlah barang yang diminta pada tingkat harga P

s

P

(P) adalah jumlah barang yang ditawarkan pada tingkat harga P

e adalah harga keseimbangan 3.2Konsep Integrasi Pasar

Integrasi pasar merupakan sebuah konsep dimana harga-harga pada pasar yang terpisah secara spasial atau pasar yang merupakan level yang berbeda dalam suatu supply chain digerakkan oleh mekanisme penawaran dan permintaan. Integrasi antar pasar antara lain dapat diindikasikan oleh terjadinya pergerakan barang, jasa dan faktor produksi antar pasar. Pengetahuan tentang integrasi pasar berguna sebagai dasar pengambilan kebijakan berdasarkan respon suatu pasar terhadap perubahan harga yang terjadi pada pasar yang lain (Rapsomanikis, 2004).


(58)

27

Secara garis besar, ada dua jenis integrasi pasar, yaitu integrasi vertikal dan integrasi spasial. Integrasi vertikal adalah keterpaduan antar pasar yang masing-masing merupakan level yang berbeda dalam supply chain. Sementara integrasi spasial merupakan keterpaduan antar pasar yang terpisah secara spasial.

Transmisi dan informasi yang berjalan antar pasar mengakibatkan harga komoditas tertentu bergerak secara bersama-sama pada beberapa pasar. Menurut Leuthold&Hartman (1979) dalam Aji (2009) sistem pemasaran dikatakan berjalan efisien jika pasar menggunakan harga masa lalu (past price) secara tepat dalam penentuan harga saat ini (current price determination). Salah satu metode dalam analisis integrasi pasar adalah melalui pendekatan distributed lag auto regression sebagaimana yang dikembangkan oleh Ravallion (1986). Asumsi dasar yang digunakan dalam metode ini adalah bahwa respon ekonomi merupakan reaksi dari fungsi masa lalu sehingga integrasi pasar diestimasikan dengan memasukkan kelambanan (lag) dari variabel dependen dan variabel-variabel lain ke dalam persamaan. Melalui pendekatan ini dalam analisis integrasi pasar dapat diketahui pasar yang bertindak sebagai pasar acuan dan pasar pengikut (pasar yang merespon perubahan yang terjadi pada pasar acuan).

3.2.1 Hukum Persamaan Harga (Law of One Price)

Konsep persamaan harga adalah sebuah teori yang mengacu kepada keterkaitan harga komoditas tertentu yang diperdagangkan pada dua pasar atau lebih. Pada pasar yang efisien, seharusnya hanya ada satu harga dari suatu komoditas tertentu dan tidak dipengaruhi lokasi perdagangannya berlangsung (Persson, 2008).

Menurut Kohl&Uhl (2002), hukum persamaan harga muncul dari perilaku profit-seeking dalam pemasaran dan perdagangan komoditas. Ketika terjadi kenaikan harga suatu komoditas pada pasar tujuan (pasar konsumen) maka perbedaan harga antara kedua pasar menjadi lebih besar dari biaya transfer. Hal ini dilihat oleh trader sebagai peluang untuk menaikkan profit sehingga pelaku perdagangan akan meningkatkan volume perdagangan dari pasar produsen. Sebagai respon dari adanya insentif profit, trader akan membeli komoditas di wilayah asalnya dengan harga yang lebih tinggi dan mengurangi harga pada pasar


(59)

28

tujuan. Setelah seluruh proses adjustment berlangsung, perbedaan harga antara dua pasar akan kembali kepada tingkat biaya transfernya.

Dimisalkan harga suatu komoditas pada dua pasar yang terpisah secara spasial adalah P1t dan P2t

P

dan biaya transfer dari pasar 1 ke pasar 2 adalah sebesar c, maka hubungan antara kedua harga tersebut adalah :

1t = P2t + c ... (3.2)

Jika hubungan dua harga berlangsung menurut persamaan (3.2) diatas, maka kedua pasar tersebut terintegrasi sehingga dalam jangka panjang terdapat keseimbangan antara kedua harga. Meskipun demikian, dalam jangka pendek beberapa hal dapat terjadi yang menyebabkan hubungan antara kedua harga tersebut menyimpang dari kondisi diatas. Jika persamaan (3.2) menggambarkan hubungan harga yang memenuhi law of one price secara penuh, maka untuk hubungan hubungan antara dua harga yang berada dalam kondisi yang tidak sepenuhnya memenuhi law of one price menurut Fackler&Goodwin (2001) di dalam Rapsomanikis (2004) digambarkan melalui persamaan :

P1t - P2t

dimana adalah konstanta yang besarnya antara 0 dan 1

= c ... (3.3)

Kondisi (3.3) merupakan kondisi arbitrase spasial yang dapat menggambarkan hubungan yang lemah dalam law of one price (hubungan yang kuat digambarkan pada persamaan (3.2). Dalam hal ini, harga mungkin mengalami penyimpangan dari kondisi law of one price, namun adanya arbitrase spasial akan menyebabkan perbedaan harga antara kedua harga akan bergerak mendekati biaya transfer.

Dengan demikian integrasi pasar dapat diinterpretasikan melalui pendekatan kointegrasi. Jika dua harga pada dua pasar yang terpisah secara spasial terkointegrasi maka kedua harga tersebut bertendensi untuk bergerak bersama-sama dalam jangka panjang menurut suatu perbersama-samaan linier. Dalam jangka pendek kedua harga mungkin bergerak sendiri-sendiri, sehingga guncangan pada satu pasar tidak langsung ditransmisikan ke pasar yang lain. Adanya arbitrase spasial menyebabkan penyimpangan yang terjadi pada jangka pendek akan dikembalikan kepada keseimbangan jangka panjangnya.


(60)

29

Dalam sebuah pasar, penyimpangan dari hukum satu harga harus bersifat sementara. Dalam kenyataanya, perbedaan harga seringkali berbeda dengan keseimbangan pada hukum satu harga, dimana nilai rasio harga suatu pasar dengan pasar lain ditambah biaya transfer lebih besar atau lebih kecil dari 1. Pada pasar yang efisien, hanya akan terjadi sedikit penyimpangan dari law of one price.

Terjadinya guncangan (shock) di suatu tempat membutuhkan waktu untuk didifusikan ke pasar yang lain. Seberapa lama penyimpangan terjadi salah satunya tergantung dari derajat kompetitif suatu pasar. Hal lain yang berpengaruh adalah kemajuan teknologi informasi. Pasar komoditas yang ditunjang transmisi informasi, inventori dan tidak adanya barrier to entry hanya mentoleransi penyimpangan yang pendek dan bersifat sementara.

3.2.2 Model Keseimbangan Spasial

Tomek&Robinson (1990) memperkenalkan suatu model untuk menggambarkan proses integrasi antara pasar yang mempunyai excess demand dan pasar lain yang mengalami excess supply terhadap suatu komoditas tertentu. Melalui model ini dapat diduga harga yang terjadi pada masing-masing pasar dan jumlah komoditi yang diperdagangkan.

Perdagangan antar pasar yang berpotensi mengalami defisit dan pasar yang berpotensi mengalami surplus dianalisa dengan pendekatan kurva penawaran dan permintaan dari masing-masing wilayah (Gambar 8). Kurva excess supply pasar A dan kurva excess demand pasar B dapat berubah sesuai perubahan permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar. Jika diasumsikan tidak ada biaya transfer dan biaya lain dalam perdagangan antara pasar A dan pasar B, maka kuantitas perdagangan dari pasar A ke pasar B adalah sebesar QE1 dengan tingkat

harga sebesar PE. Volume perdagangan (XY) antara pasar A dan pasar B akan

semakin menurun jika biaya transfer (TC) semakin besar. Jika biaya transfer lebih besar dari PB – PA

Adanya hambatan perdagangan baik yang berupa hambatan tarif dan non tarif akan memperbesar biaya transfer. Jika biaya transfer melebihi selisih harga P

maka perdagangan antara pasar A dengan pasar B tidak akan berlangsung.


(1)

Lampiran 9 Estimasi ECM

Dependent Variable: DLMGDOM Method: Least Squares

Date: 07/08/12 Time: 02:02

Sample (adjusted): 2000M04 2012M04 Included observations: 145 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLCPOINT 0.355417 0.037087 9.583264 0.0000 COINTEQ01 0.162206 0.039630 4.093060 0.0001 DLMGDOM(-1) -0.134829 0.080619 -1.672407 0.0967 DLMGDOM(-2) -0.147742 0.067784 -2.179600 0.0310 DLCPOINT(-1) 0.228063 0.054898 4.154280 0.0001 DLCPOINT(-2) 0.078059 0.056183 1.389360 0.1669 R-squared 0.617782 Mean dependent var 0.008396 Adjusted R-squared 0.604033 S.D. dependent var 0.046578 S.E. of regression 0.029309 Akaike info criterion -4.181312 Sum squared resid 0.119407 Schwarz criterion -4.058137 Log likelihood 309.1451 Hannan-Quinn criter. -4.131262 Durbin-Watson stat 1.993781

Dependent Variable: DLMGDOM Method: Least Squares

Date: 07/08/12 Time: 02:15

Sample (adjusted): 2000M04 2012M04 Included observations: 145 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLCPODOM 0.296920 0.045382 6.542692 0.0000 COINTEQ02 -0.168964 0.043647 -3.871163 0.0002 DLMGDOM(-1) 0.117557 0.079264 1.483102 0.1403 DLMGDOM(-2) -0.218250 0.074809 -2.917430 0.0041 DLCPODOM(-1) 0.100031 0.054073 1.849910 0.0664 DLCPODOM(-2) 0.039147 0.053993 0.725034 0.4696 R-squared 0.381686 Mean dependent var 0.008396 Adjusted R-squared 0.359445 S.D. dependent var 0.046578 S.E. of regression 0.037278 Akaike info criterion -3.700307 Sum squared resid 0.193165 Schwarz criterion -3.577131 Log likelihood 274.2722 Hannan-Quinn criter. -3.650256 Durbin-Watson stat 2.025072


(2)

Dependent Variable: DLMGDOM Method: Least Squares

Date: 07/08/12 Time: 02:35

Sample (adjusted): 2000M04 2012M04 Included observations: 145 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLCPODOM 0.291836 0.046175 6.320258 0.0000 ECTP2 -0.146046 0.056640 -2.578500 0.0110 ECTN2 -0.196575 0.061586 -3.191899 0.0018 DLMGDOM(-1) 0.107721 0.080922 1.331171 0.1853 DLMGDOM(-2) -0.222573 0.075276 -2.956751 0.0037 DLCPODOM(-1) 0.101949 0.054273 1.878449 0.0624 DLCPODOM(-2) 0.040819 0.054173 0.753496 0.4524 R-squared 0.383498 Mean dependent var 0.008396 Adjusted R-squared 0.356694 S.D. dependent var 0.046578 S.E. of regression 0.037358 Akaike info criterion -3.689448 Sum squared resid 0.192599 Schwarz criterion -3.545744 Log likelihood 274.4850 Hannan-Quinn criter. -3.631057 Durbin-Watson stat 2.026300

Dependent Variable: DLMGMDN Method: Least Squares

Date: 07/09/12 Time: 15:37

Sample (adjusted): 2000M03 2012M04 Included observations: 146 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLMGSBY 0.734194 0.058442 12.56268 0.0000 ECTP1 0.666844 0.119313 5.589030 0.0000 ECTN1 0.506885 0.110364 4.592865 0.0000 DLMGSBY(-1) -0.030056 0.085232 -0.352641 0.7249 DLMGMDN(-1) 0.069229 0.083291 0.831169 0.4073 R-squared 0.571732 Mean dependent var 0.009661 Adjusted R-squared 0.559583 S.D. dependent var 0.076204 S.E. of regression 0.050572 Akaike info criterion -3.097182 Sum squared resid 0.360614 Schwarz criterion -2.995004 Log likelihood 231.0943 Hannan-Quinn criter. -3.055665 Durbin-Watson stat 1.985113


(3)

Dependent Variable: DLMGPKB Method: Least Squares

Date: 07/09/12 Time: 15:41

Sample (adjusted): 2000M03 2012M04 Included observations: 146 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLMGSBY 0.922250 0.090146 10.23057 0.0000 ECTP2 -0.307414 0.077842 -3.949226 0.0001 ECTN2 -0.285421 0.113872 -2.506517 0.0133 DLMGSBY(-1) 0.200868 0.124825 1.609201 0.1098 DLMGPKB(-1) -0.026662 0.084447 -0.315729 0.7527 R-squared 0.527580 Mean dependent var 0.008806 Adjusted R-squared 0.514178 S.D. dependent var 0.113136 S.E. of regression 0.078857 Akaike info criterion -2.208715 Sum squared resid 0.876798 Schwarz criterion -2.106537 Log likelihood 166.2362 Hannan-Quinn criter. -2.167198 Durbin-Watson stat 1.997155

Dependent Variable: DLMGPLB Method: Least Squares

Date: 07/09/12 Time: 15:25

Sample (adjusted): 2000M03 2012M04 Included observations: 146 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLMGSBY 0.673700 0.050025 13.46716 0.0000 ECTP3 -0.501597 0.098639 -5.085169 0.0000 ECTN3 -0.472255 0.093076 -5.073880 0.0000 DLMGSBY(-1) -0.046406 0.082348 -0.563538 0.5740 DLMGPLB(-1) 0.020182 0.077681 0.259803 0.7954 R-squared 0.628203 Mean dependent var 0.008832 Adjusted R-squared 0.617656 S.D. dependent var 0.071575 S.E. of regression 0.044258 Akaike info criterion -3.363928 Sum squared resid 0.276183 Schwarz criterion -3.261750 Log likelihood 250.5668 Hannan-Quinn criter. -3.322411 Durbin-Watson stat 1.996749


(4)

Dependent Variable: DLMGJKT Method: Least Squares

Date: 07/09/12 Time: 17:35

Sample (adjusted): 2000M03 2012M04 Included observations: 146 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLMGSBY 0.539693 0.050923 10.59826 0.0000 ECTP4 -0.489131 0.095532 -5.120101 0.0000 ECTN4 -0.420372 0.104706 -4.014794 0.0001 DLMGSBY(-1) 0.245284 0.078038 3.143149 0.0020 DLMGJKT(-1) -0.258465 0.068686 -3.762971 0.0002 R-squared 0.614469 Mean dependent var 0.008709 Adjusted R-squared 0.603532 S.D. dependent var 0.071714 S.E. of regression 0.045155 Akaike info criterion -3.323787 Sum squared resid 0.287495 Schwarz criterion -3.221609 Log likelihood 247.6365 Hannan-Quinn criter. -3.282270 Durbin-Watson stat 2.076893

Dependent Variable: DLMGBDG Method: Least Squares

Date: 07/09/12 Time: 17:39

Sample (adjusted): 2000M03 2012M04 Included observations: 146 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLMGSBY 0.812392 0.033867 23.98750 0.0000 ECTP5 -0.403397 0.101859 -3.960355 0.0001 ECTN5 -0.360871 0.088411 -4.081747 0.0001 DLMGSBY(-1) 0.082073 0.080397 1.020845 0.3091 DLMGBDG(-1) -0.062706 0.080901 -0.775090 0.4396 R-squared 0.826376 Mean dependent var 0.008685 Adjusted R-squared 0.821450 S.D. dependent var 0.069136 S.E. of regression 0.029214 Akaike info criterion -4.194715 Sum squared resid 0.120335 Schwarz criterion -4.092536 Log likelihood 311.2142 Hannan-Quinn criter. -4.153197 Durbin-Watson stat 2.018656


(5)

Dependent Variable: DLMGPTK Method: Least Squares

Date: 07/09/12 Time: 17:45

Sample (adjusted): 2000M03 2012M04 Included observations: 146 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLMGSBY 0.643886 0.050431 12.76756 0.0000 ECTP8 -0.395994 0.091485 -4.328513 0.0000 ECTN8 -0.224460 0.084220 -2.665178 0.0086 DLMGSBY(-1) 0.113774 0.074734 1.522381 0.1302 DLMGPTK(-1) -0.024033 0.079214 -0.303386 0.7620 R-squared 0.578841 Mean dependent var 0.008290 Adjusted R-squared 0.566893 S.D. dependent var 0.065730 S.E. of regression 0.043258 Akaike info criterion -3.409638 Sum squared resid 0.263843 Schwarz criterion -3.307460 Log likelihood 253.9036 Hannan-Quinn criter. -3.368121 Durbin-Watson stat 2.022156

Dependent Variable: DLMGMKS Method: Least Squares

Date: 07/09/12 Time: 17:48

Sample (adjusted): 2000M03 2012M04 Included observations: 146 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DLMGSBY 0.424523 0.059534 7.130764 0.0000 ECTP9 -0.353934 0.092509 -3.825920 0.0002 ECTN9 -0.263039 0.057585 -4.567870 0.0000 DLMGSBY(-1) 0.006699 0.076481 0.087589 0.9303 DLMGMKS(-1) 0.106926 0.073990 1.445145 0.1506 R-squared 0.403078 Mean dependent var 0.008635 Adjusted R-squared 0.386144 S.D. dependent var 0.067339 S.E. of regression 0.052759 Akaike info criterion -3.012517 Sum squared resid 0.392476 Schwarz criterion -2.910339 Log likelihood 224.9137 Hannan-Quinn criter. -2.970999 Durbin-Watson stat 1.976306


(6)

Wald Test:

Equation: CPOINTMGDOM

Test Statistic Value df Probability F-statistic 0.405620 (1, 138) 0.5253

Chi-square 0.405620 1 0.5242

Null Hypothesis Summary:

Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.

C(2) - C(3) 0.050529 0.079338

Restrictions are linear in coefficients.

Wald Test:

Equation: AYMSBYMDN

Test Statistic Value df Probability F-statistic 1.173303 (1, 141) 0.2806

Chi-square 1.173303 1 0.2787

Null Hypothesis Summary:

Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.

C(2) - C(3) 0.159959 0.147674