2.4. Kebijakan Nasional Perberasan
2.4.1. Kebijakan Harga
Kebijakan beras telah melewati tiga fase sejak awal 1970. Pada fase pertama, pemerintah orde baru banyak mengeluarkan anggaran untuk subsidi
input, infrastruktur irigasi, penelitian, dan sistem perluasan, yang memberikan percepatan peningkatan pertumbuhan produksi beras McCulloch dan Timmer,
2008. Berakhirnya masa emas produksi minyak di awal tahun 1980 menyebabkan perubahan yang besar pada kebijakan beras. Pemerintah tidak dapat
lagi menggantungkan pembiayaan sektor beras dari penerimaan minyak. Akibatnya, pertumbuhan produksi beras melambat dan relatif konstan sampai
pada krisis ekonomi tahun 1998. Impor beras dihapuskan dan sejak tahun 1999, stabilisasi harga dilakukan melalui perdagangan swasta private trade. Harga
beras cenderung stabil, namun krisis ekonomi dan desentralisasi menyebabkan penurunan anggaran pemerintah untuk input dan jasa yang diperlukan untuk
mendorong produksi beras. Fase saat ini, mulai tahun 2004, ditandai dengan dihilangkannya peranan impor dari mekanisme stabilisasi harga. Akibatnya,
selama musim panen harga beras rendah, sementara selama musim paceklik harga beras tinggi.
Sejak kemerdekaannya di tahun 1945, setiap rejim pemerintah berusaha menyeimbangkan harga beras. Di satu sisi pemerintah berusaha agar harga beras
tetap rendah bagi konsumen dan di sisi lain memberikan pendapatan tinggi bagi petani padi. Pada saat yang sama sektor pertanian –terutama padi– didorong dan
dijadikan mesin penggerak ekonomi. Inilah tujuan tetap yang berusaha dicapai pemerintah. Namun kebijakan untuk mencapai tujuan yang berpotensi bertolak
belakang tersebut, selalu berubah dari waktu ke waktu. Kebijakan meningkatkan produksi padi di Indonesia dimulai secara
sistematis pada tahun 1967. Kebijakan pertanian bertujuan meningkatkan produksi melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekspansi area persawahan
dilakukan dengan dukungan pengembangan infrastruktur dan irigasi, namun saat ini pengembangan tersebut dihentikan karena secara teknis –jika program
ekstensifikasi dilanjutkan– akan memakan biaya sangat besar. Program intensifikasi pertanian meliputi penggunaan varietas unggul, promosi penerapan
sistem pertanian dan penanganan pasca panen yang lebih efisien untuk mengurangi hilangnya sebagian hasil panen. Untuk membantu petani
melaksanakan program intensifikasi, pemerintah menyediakan subsidi bibit, pupuk, kredit berbunga rendah dan harga pengadaan procurement price untuk
maksimal 5 persen produksi gabah. Penerapan kebijakan pertanian dilakukan berdampingan dengan kebijakan
ketahanan pangan dan kebijakan konsumen yang bertujuan untuk mendiversifikasi pola konsumsi penduduk Indonesia termasuk mengurangi konsumsi beras.
Kebijakan menurunkan konsumsi beras dilakukan dengan mengkampanyekan secara luas diversifikasi pangan, termasuk mempromosikan makanan pokok
alternatif seperti mie dan menurunkan ketergantungan terhadap beras impor dan bahan pangan lain melalui peningkatan konsumsi produk dalam negeri.
Kebijakan beras di Indonesia sejak tahun 1967 terdiri dari tiga fase. Tahun 1967-1996 adalah fase pertama saat pemerintah mengendalikan
pasar beras dalam negeri dengan melakukan intervensi pasar dalam rangka mendorong produksi padi dan menjaga stabilitas harga. Intervensi dilakukan
dengan cara mengelola persediaan beras nasional melalui BULOG Badan Usaha Logistik, lembaga pemerintah yang bertanggung jawab mengelola logistik. Saat
itu, impor diatur dengan ketat melalui kebijakan pengendalian impor dan tarif serta bertujuan menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi nasional.
Pada tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada pangan dan pada tahun 1985- 1987 murni menjadi pengekspor beras. Setelah masa tersebut Indonesia kembali
menjadi negara pengimpor beras murni. Tahun 1997-2001, pemerintah Indonesia meliberalisasi pasar beras,
memprivatisasi BULOG dan menghapuskan hambatan perdagangan. Semua ini dilakukan oleh pemerintah atas desakan World Bank dan IMF yang memaksa
pemerintah menandatangani surat perjanjian Letter of IntentLOI sebagai usaha untuk keluar dari dampak dari krisis ekonomi Asia. Selama kurun waktu tersebut
swasembada pangan Indonesia menurun, ketergantungan terhadap beras impor meningkat, dan harga di tingkat konsumen dan produsen beras menjadi tidak
stabil.
Sejak tahun 2001, secara bertahap pemerintah kembali mengendalikan pasar beras dalam negeri namun dengan berbagai modifikasi dibandingkan masa
sebelum liberalisasi di tahun 1997. Kebijakan ini diambil karena dampak negatif liberalisasi pasar terhadap harga di tingkat produsen dan konsumen beras.
Kebijakan terdahulu yaitu harga dasar gabah telah diganti dengan harga pembelian pemerintah dengan batas harga atas yang dianggap tidak efektif.
Perbedaan antara harga dasar gabah HDG dan harga pembelian pemerintah HPP tercantum dalam Tabel 1. BULOG melakukan operasi pasar beras hanya
saat terjadi kenaikan harga. Kebijakan perdagangan saat ini bertujuan khusus menstabilkan harga padi dalam negeri melalui pelarangan impor berkala dan
mengatur persediaan beras melalui privatisasi BULOG. Tabel 1 Perbedaan antara harga dasar gabah HDG dan harga pembelian
pemerintah HPP
URAIAN KEBIJAKAN
HDG HPP
1. Tujuan Kebijakan Menyangga harga gabah
minimum pada tingkat harga tertentu HDG
sepanjang tahun Membantu menyangga harga
gabah utamanya pada saat surplus supaya tidak anjlok
2. Instrumen Kebijakan Melakukan pembelian
gabah sesuai dengan HDG sampai harga pasar gabah
di atas HDG tanpa dibatasi volume pembelian
Melakukan pembelian gabah sesuai dengan HPP dan
volume tertentu yang sudah ditetapkan, tanpa mandat
untuk menjaga harga pasar gabah di atas HPP
3. Instrumen Pendukung Tarif dan pembatasan impor
Tarif dan pembatasan impor 4. Efektifitas Kebijakan
Efektivitasnya dijamin mampu menyangga harga
pasar gabah di atas HDG yang telah ditetapkan
Efektif pada saat terjadi defisit produksi, tetapi
efektifitasnya tidak dijamin mampu menyangga harga
gabah di pasar sesuai dengan HPP yang telah ditetapkan
utamanya pada periode meningkat di luar yang
diperkirakan surplus
Lanjutan Tabel 1 Perbedaan antara harga dasar gabah HDG dan harga pembelian pemerintah HPP
URAIAN KEBIJAKAN
HDG HPP
5. Biaya Kebijakan Dua kali lipat dibanding
HPP karena untuk menjaga harga pasar gabah di atas
HDG diperlukan pembelian sekitar 4 juta ton beras pada
musim panen raya sekitar Rp 16 trilliun
Saat ini pembelian gabah sebanyak 2 juta ton sekitar
Rp 8 trilliun
6. Resiko Politik Apabila gagal memjamin
HDG, petani berhak menuntut pemerintah
demontrasi petani makin marak
Tidak ada tuntutan kepada pemerintah walaupun harga
gabah di bawah HPP, setelah pemerintah
melakukan pembelian sesuai dengan volume dan
HPP yang telah ditetapkan
7. Keuntungan Politik Kredibilitas pemerintah di
mata petani meningkat Kredibilitas pemerintah di
mata petani tidak dijamin
Sumber: Paasch et. al. 2007 Sejak tahun 2003, status Bulog berubah dari LPND menjadi Perum.
Masalah bisa muncul karena terjadi kontradiksi dalam diri Bulog sebagai lembaga yang harus mengemban peran sosial dan komersial. Kondisi ini juga bisa
menciptakan peluang bagi maraknya praktik manipulasi dan inefisiensi untuk tujuan mendapatkan untung perusahaan dan pribadi.
Selain itu, Pemerintah melalui Surat Menko Perekonomian tanggal 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan Stabilisasi Bahan Pangan Pokok Beras, Gula,
dan Minyak Goreng memberi kewenangan penuh kepada Bulog untuk menstabilkan harga beras. Kewenangan itu meliputi monopoli impor, stabilisasi
harga regional tanpa menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah atau HPP demi mengejar target pengadaan, dan menjaga stok beras
minimal satu juta ton.
2.4.2. Kebijakan Perdagangan